Rabu, 02 September 2020

SEJARAH TEATER MODERN DI MANADO 1

 

Dari La Belle au Bois dormant  Hingga Perang Cordoba

Oleh: Iverdixon Tinungki

 

Mundur 43 tahun ke belakang, Kota Manado tak semodern hari ini. Ruas jalan Manado Utara yang dulu tempat Bemo melintas, kini terbenam 3 sampai 5 meter di bawah permukaan jalan saat ini. Namun tonil “La Belle au Bois dormant” (Putri Tidur di Hutan)) yang diadaptasi menjadi “Putri Tidur” telah dipentaskan sejak 1977 di sana.

Di Manado Utara, Jemmy Kakunsi, boleh dikata, salah satu sosok aktor remaja yang cukup popular di kurun itu. Ia menjadi idola kalangan pelajar seangkatannya karena pemeranannya yang memikat sebagai tokoh Pangeran dalam tonil Putri Tidur. Pertunjukan itu dipentaskan grup Tonil SMP Kristen Katolik Siti Fatima.

Ketika “La Belle au Bois dormant” di pentaskan Sekolah Katolik yang cukup aktif dengan pertunjukan tonil tahunan ini, ruang pertunjukan di aula SD RK IX Manado tak mampu menampung ledakan penonton. Sejumlah penonton muda lainnya terpaksa bergelantungan di jendela gedung. Ada yang memanjat pohon ketapang di halaman sekolah agar boleh sedikit mengitip pertunjukan menakjubkan itu. Dan lainnya, terpaksa memanjat tiang listri tua tak jauh dari samping sekolah.

Menonton Putri Tidur, ada kenangan tak lekang zaman yaitu adegan ciuman yang sedemikian romantis dan sublim dari lelaki yang sehari-harinya berpenampilan ala musisi Fariz RM era 1970-an akhir.

Sebagai pemeran tokoh Pangeran yang oleh karena ciumannya maka Sang Putri bisa terjaga dari kutuk tidur panjangnya, kemampuan akting Jemmy  boleh dikatakan sangat berhasil membius penonton.

Buktinya, pada adegan klimaks ciuman itulah ruang pertunjukkan mendadak gemuruh oleh teriakan histeris penonton yang kebanyakan remaja, terpukau oleh pertunjukan. Dan sial! Di luar gedung, sebuah tiang listrik besi pipih yang sudah tua mendadak oleng dan nyaris patah persis pada adegan ciuman itu berlangsung.

Mengapa? Beberapa penonton memaksa memanjat tiang itu ditengah gemuruh tepuk tangan –termasuk saya--  sehingga saat oleng, kami pun terlontar agak keras ke tanah, gegara ingin menyaksikan adegan spektakuler itu setidaknya dari lubang jendela kerena tidak kebagian tempat di dalam aula pertunjukan yang penuh sesak.

La Belle au Bois dormant  adalah cerita rakyat Eropa yang pertama kali dipublikasikan tahun 1697 oleh Charles Perrault. Kisah ini kemudian diadaptasi menjadi film “Sleeping Beauty” yang diproduksi Disney.

Tonil ini mengisahkan kejadian disebuah perayaan pesta keluarga kerajaan yang begitu meriah yang juga dihadiri tamu istimewa yaitu Peri Hitam memiliki kekuatan sihir begitu besar.

Sang Peri Hitam  datang walaupun tak diundang. Ia datang dengan penuh kemarahan terhadap raja dan keluargannya. Ia datang membawa hadiah buruk bagi sang putri yaitu  mantra kutukan kepada sang putri. Putri itu dimantrai akan menusukan jarinnya pada jarum disebuah mesin pemintal dan akan mengalami tidur panjang dan kemudian meninggal sebelum hari ulang tahunnya yang ke-16. Beruntung ada seorang pangeran yang berhasil membebaskan Sang Putri dari Tidur panjang dengan sebuah ciuman cinta.

Dan Jemmy Kakunsi adalah pemeran Pangeran yang jatuh cinta dengan putri tidur itu. Ketika ciuman cintanya mendarat di bibir sang pemeran Putri Tidur, sang putri perlahan terjaga dari tidurnya yang telah bertahun-tahun.

Grup Tonil SMP Siti Fatima cukup dikenal di era itu, dibina para guru seni Sekolah Katolik. Sebagaimana Siti Fatima, para remaja pemuda Katolik di Manado, tercatat sering mementaskan lakon-lokan klasik Eropa di panggung-panggung mereka.

Di lingkungan gereja protestan, terutama GMIM, Tonil marak dipentaskan pada saat perayaan Paskah, terutama mengangkat kisah-kisah dari Alkitab  tentang penyaliban Yesus, atau pada saat Perayaan Natal dengan kisah-kisah kelahiran Yesus.

Pementasan tonil masa itu lebih banyak dilakukan di lingkungan gereja dan Sekolah-sekolah Kristen. Bahkan beberapa data menyebutkan, pertunjukan tonil sudah berlangsung marak sejak 1960-an. Tokoh-tokoh Tonil yang paling dikenal ketika itu diantaranya Om Samuri sebagai generasi dramawan awal, kemudian disusul Roindra Kairupan hingga Richard Rhemrev di Manado Utara. Di Selatan Manado, dikenal Hengky Sumuan, Efafras Raranta, bisa jadi hingga  Benni M. Matindas.

Perkembangan pesat tonil dengan para seniman Kristen di Manado disebut ada keterkaitan dengan kedatangan para misionaris Eropa  di era penjajahan Belanda, sehingga lakon-lakon yang dipertunjukan banyak menggunakan naskah adaptasi dari lakon-lakon Eropa.

Sebagaimana sejarahnya, di Indonesia pada umumnya, seni teater dikenal dengan beberapa sebutan yaitu Drama,Tonil, Sandiwara, Komidi, Lakon, dan Teater. Tonil sendiri berasal dari bahasa Belanda “toneel” artinya pertunjukan. Dan tonil dikenal di Indonesia sejak jaman penjajahan Belanda. Maka penyebutan drama pada masa penjajahan Belanda di Indonesia sendiri disebut dengan istilah tonil.

Sementara sandiwara yang berasal dari kata dalam bahasa Jawa sandi dan wara pada masa itu sering dipakai untuk menyebut pertunjukan di luar lingkungan gereja dan sekolah Kristen.

Sejak era 1970-an, pengertian drama modern dan tradisional telah dibedakan yaitu, drama modern adalah aktivitas drama menggunakan naskah dialog, sedangkan drama tradisional menggunakan improvisasi dalam dialognya.

 

Perkembangan pertunjukan sandiwara di lingkungan remaja dan pemuda Masjid juga telah marak ketika itu. Di Islamic Centre, Teling, Manado,  mendiang Joseph Annis membina para Remaja Masjid  menggarap pertunjukan kolosal “Perang Cordoba”, sebuah kisah  kekhalifahan  yang memerintah di Semenanjung Liberia dan Afrika Utara dari tahun 929 hingga 1031, berpusat di Cordoba (Saat ini Spanyol).

 

Penyerbuan pasukan besar ke Cordoba yang membuat Khalifah Sulaiman Al-Mustain tak bisa berbuat apa-apa, serta memporak-porandakan Cordoba, dan menjadikan Al-Mahdi kembali memegang kekuasaan. Namun setelah kekuatan Sulaiman Al-Mustain di Algeciras kembali pulih dengan adanya bantuan dari panglima-panglima Barbar,  Ibukota Cordoba kembali dikepung. Khalifah Al-Mahdi pun terbunuh dalam perang besar itu.

Dalam pertunjukan Sandiwara Perang Cordoba, telah dikenal beberapa aktor ternama ketika itu diantaranya  Muhidin Bulwafa, dan Kamajaya Alkatuuk. Sebagai salah seorang figuran yang ikut bermain dalam pertunjukan Perang cordoba, saya masih ingat kisah lakon itu dan menyimpan banyak kenangan selama proses latihan yang berlangsung beberapa bulan. (*)

 



 

Kamis, 09 Maret 2017

PENYAIR ACHI BREYVI TALANGGAI

Oleh: Iverdixon Tinungki



Penyair dan sutradara teater ini, lahir di Manado 25 Juli 1990. Anak pertama dari Melton Talanggai dan Olga Silouw. Tamat dari  SMA Negeri 5 Manado pada 2007. Tahun 2010 melanjutkan kuliah di Fakultas Sastra Unsrat dan mengambil fokus Literatur di Sastra Indonesia hingga meraih gelar Sarjana Sastra.

PENYAIR ARIE TULUS

Oleh: Iverdixon Tinungki



ARIE TULUS adalah penyair produktif, pelukis, perupa dan seorang dosen. Lahir di Kakaskasen Tomohon Minahasa pada 14 April 1962 dari keluarga Tulus-Rumimper. Setamat di SPG Kristen Tomohon tahun 1981, ia berangan-angan menjadi seorang pelatih olah raga, karena ia pehobi atletik dan volley ball. Untuk meraih angan-angannya, ia memilih kuliah di Fakultas Keguruan Ilmu Keolahragaan di IKIP Manado.

PENYAIR BENNI E. MATINDAS

Oleh: Iverdixon Tinungki



Jalan hidup Benni E. Matindas (lahir 1955 di Manado)—yang disebutnya sendiri sebagai perjalanan puitika—bisa dibagi dalam beberapa ruas. Ruas pertama berawal pada 1975, ditandai ketika ia yang sudah secara serius menulis puisi dan melukis sejak remaja ini mulai mempublikasikan puisi, cerpen dan esainya di media massa yang terbit di Jakarta, Manado, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Ruas ini hanya sepuluh

PENYAIR DJEMI TOMUKA

Oleh: Iverdixon Tinungki



Ia seorang dokter ahli foreksik. Kesehariannya selalu berhubungan dengan tubuh manusia setelah mati. Karena itu buku kumpulan puisinya yang pertama berjudul “Seperti Angin”. Karena lewat puisi ia ingin menceritakan kehidupan.

PENYAIR HUSEN MULAHELE 1944-1988

Oleh: Iverdixon Tinungki



Dalam sebuah forum yang khusus membahas sajak-sajak Husen Mulahele, seseorang mengajukan ‘definisi’: “Husen adalah pertama-tama sebuah integritas, selanjutnya dan selamanya ia membangun terus integritas itu untuk terutama membuat puisi, maka bahkan seutuh dirinya adalah puisi yang selalu berdaya pukau.”

Rabu, 22 Februari 2017

PENYAIR IVERDIXON TINUNGKI



IVERDIXON TINUNGKI, penyair berdarah Nusa utara ini lahir di Manado, 10 Januari 1963. Anak ke tiga dari lima bersaudara. Ayah Erens Tinungki, ibu Triofina Sono. Menikah dengan Adolfina Lusye Damura dan dikurania dua putri, Adetisye Novelia Tinungki dan Crysty Puitika Tinungki. Menjalani masa kecil di pulau Siau hingga kelas 5 SD. Pada 1974, pindah ke Manado. Lulus SMA 1982 dan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Stisipol) Merdeka Manado.