Kamis, 19 Desember 2013

MERANG ILALANG (puisi Iverdixon Tinungki)




setelah hujan kemarau bermula
merang ilalang terbang mencari penampang
kecuali rumah ber-AC, dan mobilmobil berkecepatan kencang

setumpuk buruh yang terus tumbuh dan luruh
merang melumut menumbuhkan sengat ke liang mulut

kota dan semaksemaknya adalah dua dunia
di atas dan dibawah tiada bertangga

DI SUATU PAGI DESEMBER (Puisi Iverdixon Tinungki)



kembali kau bawa cuaca kembar
bau kukis, lagulagu natal
dan badai kejarkejaran di pucuk kelapa
senantiasa meliukkan getir yang sama
dalam tahuntahun menjahitkan kepelbagaian

ma…aku mau menyerup kopi ke 50 tahun
sambil membayangkan kebun kacangkacangan
dalam kegembiraan ayah di pagi berhujan
memuat panggi ke dalam roda pedati
menyusuri pasar masih sepi

KENANGAN KARANG (puisi Iverdixon Tinungki)



sejauh kail aku memancing kenangan karang
ombakombak memecah dan diam
Ulu…ya, camarcamar berhulu
menikahkan usiaku dengan waktu
asin anyir di ruasruas darahku

di Kahetang, ada rumpun bambu, pohon Kupa
membawa perangperangan anakanak dalam kenangan itu
aku di sana menyambut ledakanledakan ramai
masa bermain yang kini tak bisa lagi kembali
ada kawan ada musuh tumbuh di bumi lugu
menghidu riang pulau dilebati bau laut

IBUNDA (puisi Iverdixon Tinungki)



kenangan tentangnya adalah anyaman sungai di lembarlembar
tikar pandan. tersulam pula bau pesisir, hening hutan
setubuh doa, tangisan dieram menetas laut dan pelayaran

ia menyiangi pagi ketika selindris bunga salak mengelopakkan musim
menghalaman di teduh matanya dimana tumbuh semua pengharapan

di sana perkampungan selalu sebuah firman dan dena tua
mengajar  keikhlasan  kedalam nafas penyabit dedaunan
menadah tabah ke dada tua oleh masa selalu kabut
tapi ditafsirnya bercahaya

TARIAN SELEPAS PESTA (puisi Iverdixon Tinungki)



kutemukan langkah selaras
dalam tarian selepas pesta di keningmu

ada seutas kabut bagai tanda kau tata
dalam setiap serupan masa lalu

Rabu, 18 Desember 2013

PERTEMPURAN PASIR (puisi Iverdixon Tinungki)



langit yang magnit
menyeduh pasirpasir berserakan
menetas jadi sengat anggur beribu gelas

di pulaupulau yang hilang
di pesisirpesisir tenggelam
perjamuan asa anggur asam itu
mentahirkan keinginan pulang

KALENGKANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



suatu hari aku bertemu Kalengkang
ia nelayan. ombak bertubuh dalam dirinya

sejak lahir laut tumpah ke dalam hatinya

ia di pulau batangbatang pandan dan bakau
bersinggah burungburung perantau

“aku Kalengkang. laut itu rumah, ladang dan hidupku”

MENJADI DIRI (Puisi Iverdixon Tinungki)



--buat Ances--

laut tercemar memberi kita ikanikan kesakitan
hutan terbabat memberi kita banjir mencekam

mari menggergaji pikiran bahagia menerima kepedihan
kita punya bahasa dapat ditanak menjadi katakata
mengatakan tidak pada pesan asing yang memaksa

PADA SUATRU SORE KETIKA BAYANGBAYANG BERGENTAYANGAN (puisi Iverdixon Tinungki)



pada suatu sore ketika bayangbayang bergentayangan
di pinggir laut berpagar, nelayan menjaring mayat katakata
berlendir, dari pikiran tua digenangi dahak
tertatih menepis ajal, tak mau mati
kendati nafas tinggal sejengkal

berlapis petuah renta menyaru bagai khotbah
dipasangi lampu seakan surga tinggal sedepa
pada setiap ucapannya

ZIARAH LOKONGBANUA (Puisi Iverdixon Tinungki)



bawa padaku narasi api penyeduh darah
dari biarabiara penempaan katakata
dengan sebatang dupa
kumau merendam kembali laut
yang kau kendurikan di abadabad tua

di kaki tradisi
berakar seluruh leli
gema dayung
kerat arus yang kau kunyah

DALAM SEHARI (Puisi Iverdixon Tinungki)



dalam sehari kita dibebat sebegitu banyak bebunyi
hilir mudik. belitmembelit
rincing kleneng gerobak penjual rujak, kue putu, sayurmayur
suara Adzan, lonceng gereja, hingga ringtone sebuah hp

bebunyi itu menyerbu, massal serupa katakata hirukpikuk
menjinakkan hirau takhirau, menghadirkan lanskap panoramic
menyelusup, menyasak ke sendisendi renung

KARAT (puisi Iverdixon Tinungki)



di bawah kubah megah
kau tambang debu
karatkarat
pelbagai dongeng kejayaan diri
akhirnya membusuk bagai bangkai

sebuah elysium
berisi jajaran pohon tanpa daun
ke sana kau rebahkan semua arwaharwah
kau tenung dalam sejarah angkuh
beriburibu burung hantu memekik
semua kata melesap dari mulutmu

KUPU ( Puisi Iverdixon Tinungki)



dengan berlinangan air mata
kupu itu meniti dahan soka

bau asam tanah telah sampai ke hidungnya

tinggal bersisa beberapa kepak sayap saja
langit segera pekat
matahari menjadi sesuatu yang gelap

“KLIKITONG”: LANSKAP LAUT, KULTUR, DAN KEHIDUPAN



Oleh Adek Alwi

 “KLIKITONG”, kumpulan puisi IverdixonTinungki (Teras Budaya, Jakarta,2013), memuat 133 puisi. Rinciannya, bagai berikut: 17 puisi ditulis tahun2005; 2 di tahun 2006; 6 tahun 2008, 9 tahun 2009, 27 tahun 2010, 21 tahun 2011,20 tahun 2012, 29 tahun 2013; plus 2 puisi tidak ditulis tahun ciptanya, yaitu“Renungan Pesisir” serta “Malam Akhir Tahun di Ulu”.

Rincian itu bagi saya perlu, setidaknya karena dua hal. Pertama, usai membaca semua puisi di “Klikitong” (hadiah RemmyNovaris DM, 24 Agustus 2013), yang tinggal di ingatan saya adalah lanskap lautan, lanskap kultur, sejarah dan kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi. Saya merasa kian dekat dengan mereka selaku saudara sebangsa. Karena itu, kedua, saya jadi tergoda mengetahui:sejak bila kiranya Iverdixon Tinungki menggumuli tema-tema itu (dalam kumpulanini tentunya). Sebab di biodatanya saya baca, walau lahir dari orang tua berdarah Sangihe Talaud, dua dari pulau-pulau di areal tapal batas RI itu,domisili serta aktivitas penyair ini di Manado –kota yang di satu larik puisinya bertahun cipta 2005 dia sebut, sudah “empatpuluhdua tahun aku melihatnya”.

Kamis, 21 November 2013

BUNGA BAKUNG



bunga bakung mekar itu
membawaku november
november di atas jam berceceran
november di atas tubuhtubuh kesepian

tubuhtubuh tiada letihnya mencari penghiburan
tubuhtubuh yang melahap seluruh malam
ketikahujan berhamburan menyingkap
bilikbilik kenangan

DI KALI JENGKI



air kali ini membawa pergi dekapan
yang tertakik di beribu batang malam

juga bau tubuh yang tirus
keyakinan yang hangus

di tepi bibir warna soka meluntur
dengan rohnya yang purba

TONSARU



barangkali sudah kau genapkan hal paling kutakutkan
ratusan bangau kehilangan berdepadepa kabut Tonsoru
dalam sejarahnya menganyam riang di wajah persawahan
kini terbang ke liang kepedihan dengan tulangtulang sayap retak

di tepi parit, alangalang berkibar menguarkan cemas di matanya
jalan aspal telah membelah padang angin yang  gemetar di sini
di lahanlahan pertanian tergulung gelombang pikiran
terus menyusun sihirsihir mimpi menumbuhi lampu kota di sisi ilalang

BENCANA



tungku yang di dalamnya berkobar seluruh maut
menempa kita ketabahan, karena kematian itu kekasih
menyaji kesedihan bagai gambar ke tepi hati
yang mesti kita cintai

 

seperti batas dua musim

yang pergi, yang datang lagi

sama hakiki

MENGITARI PAGI



aku dan cucuku pagi itu menanami langit persegi dengan bibit mimpi
langit di atas jalan sudah setahun sebulan hanya itu saja. sudah jenuh
rumput daundaun pasa, rumah tetangga menabung gonggongan anjing
dari jaman ia bersuami hingga sudah jadi janda, gonggongan tetap saja

muka mereka sulit tertawa, pernah gila barangkali
burungburung itu kicaukicaunya menerangkan angin ditungganginya
punya tubuh, tumbuh bersama seinci mimpi di bidang persegi

POHON CERI



aku tak bisa membawa kembali pohon ceri kemarin
bahkan aku lupa senja saat daun ceri  itu jatuh berwarna apa
aku hanya bisa membayangkan Tuhan memantelimu
semacam bulu binatang. hangat. matamu kelinci
berjinjit pada tagihan listrik sudah pasti tinggi
dan biaya kuliah anak tibatiba meminta diterjemahkan
dalam bentuk bolabola hujan pecahpecah di jalananan

TERKENANG PERTEMUAN MAKASSAR



--buat L.K. Ara--

 

bapak,  aku takzim  kepada para Syeikh

yang menggubah seluruh hikayat

di tinggi Seulawah

 

jangankah gempa, prang peuringgi

tak membuat Gayo goyah

kerena tanahmu seluruhnya puisi

MEMBACA GAYO DALAM GEMPA



entah berapa nama berpulang membawa gayo ke surga

dalam sejarah lempengan bumi yang terus beradu

tiba kembali di Juli yang berduka dalam kisah gempa

mengoyak negeri para Lingga dengan air mata

 

datarandataran tanah adat yang rebah membawa lempung

yang sejak leluhurnya telah ditempa jadi guci

menakik seluruh kisah bau kopi

di kampungkampung dengan rumah panjang Sara Umah

DI SUNSET MENCAKAPI KABUT



dalam segelas nescafe kau larungkan pesta tawa
di balik kaca, kabut  membancakkan gelisahnya
antara tawa dan kabut itu seluruh gairah tercapit
di ujung lidah

kau mengajakku mencakapi  kabut merenik  di tanjung itu
renik kabut yang kukuh merapikan denyut jantung
di ruas gelombang yang menyeduh satu dua kenangan
satu dua yang terbekas di ingatan, jatuh ke gelas itu
lainnya menyelusup ke embun di hitam rambutmu

SUATU MALAM DI TEPI JALAN



malam melukai kita dengan tepitepi yang hilang
melipat bayang satu jam lalu ramai lalulalang

sepi tumbuh ke segenap dinding bangunan
sebentuk belukar. lumut dan abu bersisihan

aroma kopi, wine terjulai mensedekahi hati
sedang menapis amisamisnya

Butuh Drama dan Puisi Natal?

Bila anda butuh Naskah Drama berbentuk refleksi Natal atau puisi bertema Natal, anda bisa menghubungi Sanggar Kreatif Manado, atau kontak Iverdixon Tinungki di 085343976992. Atau anda juga langsung akses FB Iverdixon Tinungki.

Sabtu, 26 Oktober 2013

10 Puisi Surat Untuk Anastasia (bagian 1)



PUISI-PUISI IVERDIXON TINUNGKI

FRAGMEN PERTAMA: Batang Air

pada sungaisungai kering ini akan kau catat riwayat lumut
dan pasir yang sedih
tapi suatu ketika akan kau sadari, pada sungaisungai kering ini
katakata berhenti.

mimpimu tentang batangbatang air mana hendak mengalir?

di hari ke tujuh bukankah leluhur Adam menemukan Tigris Eufrat
lalu kuldi bercahaya itu menimba semua kebaikan
tanah basah. sesungguhnya tubuh, darah lelaki teraniaya

batang air mana, memerciki senandung dedaun suplir, semak pakis,
reruntukkan rumpun bambu, pohon telah dinamai, telah dilupai 
selain batang air kegembiraan murni, tumbuh di rahim
kesedihan itu sendiri

Selasa, 08 Oktober 2013

DI SUNSET MENCAKAPI KABUT (puisi Iverdixon Tinungki)



dalam segelas nescafe kau larungkan pesta tawa
di balik kaca, kabut  membancakkan gelisahnya
antara tawa dan kabut itu seluruh gairah tercapit
di ujung lidah

kau mengajakku mencakapi  kabut merenik  di tanjung itu
renik kabut yang kukuh merapikan denyut jantung
di ruas gelombang yang menyeduh satu dua kenangan
satu dua yang terbekas di ingatan, jatuh ke gelas itu
lainnya menyelusup ke embun di hitam rambutmu

sejenak kau biarkan aku berkelana ke rambutmu
dengan sisa usia mulai runtuh di kelopak matamu
toh, malam tinggal sebentar ini, katamu

NAKIRA (Puisi Iverdixon Tinungki)



bertemu di siang penuh cakap
dekat laut. tapi bukan laut ingin disentuh

ingin disentuh hati sayup, kuyup
di reruntukkan gerhana tibatiba, di sebuah telaga
digalinya di tepi mata. mengapung ia. putih korona

ketika itu, katakata hanya 15 detik bersua, kecuali kota Bitung bercahaya
tiangtiangnya berkeringat , merambat ,menyepat  lidah

UJUNG SEPTEMBER (Puisi Iverdixon Tinungki)



barangkali, ini kali terakhir menatap savana
atas pulau akan ditenggelamkan itu

orangorang tak bisa lagi menata waktu, meniti tahun
ketika batu kini berwarna empedu, terhalau. berdebu

cericit unggas pun menyeruak ngilu terakhirnya di dahan bakal kulai itu
melepas bau udara tersisa, bangkai hari tak bernyawa. Lalu, merantau
ke pulau baru dengan ketakutan lain. tak ada rumah lebih damai
di bentangan bumi. selalu akan datang bunyi mesin mengeruk,
menggergaji semua citacita, semua mimpi

SUARA-SUARA DARI BANGKA (Puisi Iverdixon Tinungki)



mereka datang menambang pulau kami
dan memberi kami limbah
memberi kami luka

mereka menciutkan nyali kami dengan senjata
tapi nyawa kami tak takut lagi pada ajal
tak takut lagi pada dajal

perlawanan tumbuh dari dasar hati kami
hanya mau mengatakan : berhenti!

2013

ORANG-ORANG DARI BANGKA (Puisi Iverdixon Tinungki)



hari itu 30 September
alat bor itu turun membuncang Bangka
suatu penyerbuan tepat di jantung kita
sebuah pulau akan pecah, mati pada sebuah senja

hari itu 30 September
orangorang Bangka gaduh dengan amarah
tambang biji besi dipaksa berdiri di pulau mereka
sebuah kiamat kemanusiaan, sungguh menggetarkan
di tangan para pemburu harta

hari itu 30 September
tak sedikit orang baik harus mati
di saat sangat sedih ini
tahun tercepit kesepian
ujung September kembali retak

KAU AKAN JADI ANGIN SELAMANYA UNTUK POHON YANG TUMBUH DARI CINTA INI

Puisi Iverdixon Tinungki



suatu hari
tinggal puingpuing
kau pungut di dini hari
dari sebuah obituary

kau akan terbiasa dengan kematian ini

ketika jalanjalan menggelap
gema geram menyelinap
menghiburmu dengan bau lumpur kodrat

POHON MULAI MENGERING (Puisi Iverdixon Tinungki)



kuikhlaskan daundaun berjatuhan
musimmusim menyudahi perjanjian
dengan akarakarku kian gemetar ini

aku ingin tersenyum
tak mencemasi tanah
berhenti memberiku apaapa
kecuali getah terakhir
masih menopang kuberdiri
mengakhiri kisahkisah kucintai

betapa singkat ingatan pelbagai kodrat
kehidupan seakan baitbait catatan berwarna
mengabur, lebur jadi bayangan bata
sebuah petak
di mana seluruh sepi menunggu

TUGU (Puisi Iverdixon Tinungki)



tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru

angin  menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut

begitu getir mendekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata

Minggu, 29 September 2013

MORAYA*) (Puisi Iverdixon Tinungki)



aku tak mencari  Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung
lengking suara burung manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya

ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usia, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya

ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasar
sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara

Jumat, 27 September 2013

POHON (Puisi Iverdixon Tinungki)



api dan tanah basah memberi getah
ke dalam pena, menuliskan
sebatang pohon mulai berdahan

sebagaimana pohon tumbuh
cuaca menjadi ragu
tak berbagi bias cahya
ke pucuk yang kini meninggi
menyigi surga tertinggi

di dahandahan rimbun terlindung
akan bergelantungan buah
benih ilahiah dengan segala manis asamnya
di tempah bau getah dengan segala kelat pahitnya

MANADO (Puisi Iverdixon Tinungki)



ketika Simao d’Abreu di tahun 1523 menjumpai sebuah kota
moyang kita telah menetas pulau ke atas  punggung burungburung
yang ribuan tahun menerbangkan kesunyiannya ke didih gelombang
ke ribaan saman di sejengkal laut  dengan mitosmitos naga

sejak itu perahuperahu tiba dalam bau kopi dan kisah sutera
juga Sharif Makdon lelaki bersorban menabur kalam
ke atas petapeta pelayaran
adzan menggema dengan takbirtakbir indah
ke tubuhtubuh sejarah yang setiap incinya teralas sejadah

45 (Puisi Iverdixon Tinungki)



--dari sebuah pasar—

serbuk terakhir menguar dari deretan pohon akasia itu
jatuh di tapal batas terjauh, ufukufuk baru sebuah subuh
membangkitkan  lagi magma liar lelaki, menapis fitrah diri
lama terbaring di bawah reruntuhan abad
menjelma pasar ini

sejak dulu sebuah pagar melingkar tanah beberapa depa
jadi ruang buntu bagi makrifat tumbuh
angkasa pecah kembar dalam imaji banal ke banal

atas nama sejarah pelacur menjinakkan malam
masih tersisa dalam pesta para pemabuk
menyulap area sebuah taman seakan tepi sebuah saman
dengan wajahwajah tirusnya yang gamang

JALAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



puluhan tahun aku melewati jalan biasanya
melintasi gunung terpangkas serupa punggung letih
menyeberang jembatan sungai tengah kota
melewati klenteng bercat kuning merah pahatan naga

puluhan tahun kulepas pagi senja di route itu
hingga tak kuingat lagi apa berubah di sana
semua jelas sekaligus samar
sejatinya selalu kulupa
biar tak jadi luka

sebab tak ada bisa menerka
kelam di depan
kecuali terus berjalan