Sabtu, 26 Oktober 2013

10 Puisi Surat Untuk Anastasia (bagian 1)



PUISI-PUISI IVERDIXON TINUNGKI

FRAGMEN PERTAMA: Batang Air

pada sungaisungai kering ini akan kau catat riwayat lumut
dan pasir yang sedih
tapi suatu ketika akan kau sadari, pada sungaisungai kering ini
katakata berhenti.

mimpimu tentang batangbatang air mana hendak mengalir?

di hari ke tujuh bukankah leluhur Adam menemukan Tigris Eufrat
lalu kuldi bercahaya itu menimba semua kebaikan
tanah basah. sesungguhnya tubuh, darah lelaki teraniaya

batang air mana, memerciki senandung dedaun suplir, semak pakis,
reruntukkan rumpun bambu, pohon telah dinamai, telah dilupai 
selain batang air kegembiraan murni, tumbuh di rahim
kesedihan itu sendiri

Selasa, 08 Oktober 2013

DI SUNSET MENCAKAPI KABUT (puisi Iverdixon Tinungki)



dalam segelas nescafe kau larungkan pesta tawa
di balik kaca, kabut  membancakkan gelisahnya
antara tawa dan kabut itu seluruh gairah tercapit
di ujung lidah

kau mengajakku mencakapi  kabut merenik  di tanjung itu
renik kabut yang kukuh merapikan denyut jantung
di ruas gelombang yang menyeduh satu dua kenangan
satu dua yang terbekas di ingatan, jatuh ke gelas itu
lainnya menyelusup ke embun di hitam rambutmu

sejenak kau biarkan aku berkelana ke rambutmu
dengan sisa usia mulai runtuh di kelopak matamu
toh, malam tinggal sebentar ini, katamu

NAKIRA (Puisi Iverdixon Tinungki)



bertemu di siang penuh cakap
dekat laut. tapi bukan laut ingin disentuh

ingin disentuh hati sayup, kuyup
di reruntukkan gerhana tibatiba, di sebuah telaga
digalinya di tepi mata. mengapung ia. putih korona

ketika itu, katakata hanya 15 detik bersua, kecuali kota Bitung bercahaya
tiangtiangnya berkeringat , merambat ,menyepat  lidah

UJUNG SEPTEMBER (Puisi Iverdixon Tinungki)



barangkali, ini kali terakhir menatap savana
atas pulau akan ditenggelamkan itu

orangorang tak bisa lagi menata waktu, meniti tahun
ketika batu kini berwarna empedu, terhalau. berdebu

cericit unggas pun menyeruak ngilu terakhirnya di dahan bakal kulai itu
melepas bau udara tersisa, bangkai hari tak bernyawa. Lalu, merantau
ke pulau baru dengan ketakutan lain. tak ada rumah lebih damai
di bentangan bumi. selalu akan datang bunyi mesin mengeruk,
menggergaji semua citacita, semua mimpi

SUARA-SUARA DARI BANGKA (Puisi Iverdixon Tinungki)



mereka datang menambang pulau kami
dan memberi kami limbah
memberi kami luka

mereka menciutkan nyali kami dengan senjata
tapi nyawa kami tak takut lagi pada ajal
tak takut lagi pada dajal

perlawanan tumbuh dari dasar hati kami
hanya mau mengatakan : berhenti!

2013

ORANG-ORANG DARI BANGKA (Puisi Iverdixon Tinungki)



hari itu 30 September
alat bor itu turun membuncang Bangka
suatu penyerbuan tepat di jantung kita
sebuah pulau akan pecah, mati pada sebuah senja

hari itu 30 September
orangorang Bangka gaduh dengan amarah
tambang biji besi dipaksa berdiri di pulau mereka
sebuah kiamat kemanusiaan, sungguh menggetarkan
di tangan para pemburu harta

hari itu 30 September
tak sedikit orang baik harus mati
di saat sangat sedih ini
tahun tercepit kesepian
ujung September kembali retak

KAU AKAN JADI ANGIN SELAMANYA UNTUK POHON YANG TUMBUH DARI CINTA INI

Puisi Iverdixon Tinungki



suatu hari
tinggal puingpuing
kau pungut di dini hari
dari sebuah obituary

kau akan terbiasa dengan kematian ini

ketika jalanjalan menggelap
gema geram menyelinap
menghiburmu dengan bau lumpur kodrat

POHON MULAI MENGERING (Puisi Iverdixon Tinungki)



kuikhlaskan daundaun berjatuhan
musimmusim menyudahi perjanjian
dengan akarakarku kian gemetar ini

aku ingin tersenyum
tak mencemasi tanah
berhenti memberiku apaapa
kecuali getah terakhir
masih menopang kuberdiri
mengakhiri kisahkisah kucintai

betapa singkat ingatan pelbagai kodrat
kehidupan seakan baitbait catatan berwarna
mengabur, lebur jadi bayangan bata
sebuah petak
di mana seluruh sepi menunggu

TUGU (Puisi Iverdixon Tinungki)



tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru

angin  menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut

begitu getir mendekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata