Jumat, 30 Agustus 2013

SAKEHA SIONDALI (Puisi Iverdixon Tinungki)



--legenda Kampung Laghaeng--
ombak meruwat kematian
di batang dongengan
cinta, hiu, dan keperkasaan

sakahe siondali
kecupan terakhir kekasih
serupa mata belati

SEBUAH KEMAH (Puisi Iverdixon Tinungki)



sebuah kemah berlantai gurun
disesaki tubuhtubuh peristiwa, suarasuara gagu
juga sepasukan bayangbayang penyergap kali
yang sejak dulu selalu kugali mencari hulu semua mimpi
mereka datang dengan panah dari bulu burung rajawali

aku bertempur kesekian kali pada frase dan baitbait puisi
lalu luluh di endapan lumpur, kini gigih menggambar letih
di engah nafasku sendiri

RITUS KELAHIRAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



hari kesepuluh, bulan kesepuluh
ia meraung, ia mengerang, menyibak leluhur legam
begitu erat mencengkrami malam di pucuk dedaunan

tibatiba sehelai daun nangka jatuh di simpang penyeberangan
menggegar keributan. Tapi, malam  seperti sepeda begitu lambat
membisukan teriakkan

ia berperahu dengan penampang dingin dari tempahan baja
derit mesin pembaca detak nadi, kain putih dan semua rasa sakit
berhamburan ke langit tinggi. sesekali terbenam
sesekali mencengkram. igauigau liar berkejaran

TAK MAU KEMBALI (Puisi Iverdixon Tinungki)



ia  tak mau kembali
ia tak mau ke kota lagi
ia memilih mematik api
di tradisi mengajari hidup mandiri

ia merasa kampung lebih asri
lebih sejati. menyeduh mimpi

SEBUAH LUKISAN JANIN (Puisi Iverdixon Tinungki)



jangan lahirkan aku sebagai perempuan,
ungkap janin di sebuah lukisan rahim

diamdiam ia ingin meninggalkan segala
bakal dicintai suatu ketika nanti
di negeri beraroma ngeri ini

kucuali kalian cukup kuat mengukur lebar memar
panjang sayatan terlanjur terpeta
pada percakapan hati antara aku dan air mata bundaku

DIAGNOSA (Puisi Iverdixon Tinungki)



--didedikasi buat sahabat dr. Djemi Tomuka,
penyair yang juga ahli forensik--

moga kau tak sekadar menemukan sperma
membeku di pucuk meatus sajaksajakku
sebegitu birahi menyetubuhi laut dan sejarahnya

langit tampak serupa anatomi rahim
di penuhi tubuhtubuh perahu

KAU SELALU MEMBURUKU (Puisi Iverdixon Tinungki)



waktu. kau memburu menit belum tiba
dengan detik tertatihtatih
sudah berapa millennium kau tinggalkan pesan
pemburuan kekasih tiada letih kau geluti

kekasih. menurutmu ia tembikar dari lempung
kau bentuk seimajinasi larva berikhtiar terbang seperti kupu
dari tungku penempahan, apinya abadi
kau berniat melahirkan cinta adikodrati

KENANGAN SEBUAH PETANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



kenangan tentangmu adalah ribuan siput
menyerap batang di sebuah petang, hingga malam
meliang pada semua rongga ingatan akan pesisir ini
dengan sejarah pasir dulu melumurimu

semua begitu saja tersibak saat ombak jauh menyurut
usai meruwat pemandangan rumah cangkangcangkang itu

kau masih di sini ternyata dalam puluhan tahun yang runtuh
berharap laut terbelah buat melanjutkan perjalanan dulu tertunda
kendati tiangtiang tanggul penahan ombak tak lagi menyimpan jejak
kesakitan kau endap, kau cecap

MENCEBUR DI DONGENGAN LAUT (Puisi Iverdixon Tinungki)



ingatan yang ranum sejak masa kecilku
sebentuk dongengan laut
di pucukpucuk ombaknya aku mencebur

ada tubuh perahu, bau rumpun suplir
tertambat di kaki waktu
ketika kabut dengan seiris garis tipis
membelah beribu titik cahaya
menjelma biografi mimpimimpiku

KEMERDEKAAN DUA ANAK JALANAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



kemana kita?
menonton mereka merayakan kemerdekaan!
kemerdekaan itu apa?
panjat pinang!
bisa tidak aku ikut?
kamu masih kecil nanti keinjak!
umur berapa aku bisa merdeka?
kalu sudah bisa panjat pinang!

2013

SPESIES (Puisi Iverdixon Tinungki)



tak selalu seumpama buah, kehidupan bermula
mungkin angin kau hirup di nafasmu itu
punya sejarah lebih tua dari bijibijian

lalu kau menyadari tulang dan danging terbungkus kulitmu
pengembara. pemakna tandatanda rayanya alam semesta

marilah kita mulai dari segelas kopi, sebatang rokok
siapakah kita selalu berpikir senja ini akan lampau
hanya bisa meramal esok

KEPODANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



mengingatmu
mengingat burungburung kepodang
di hutanhutan, dan di sebuah lereng tak bernama
menirukan suara kemba kutulis diakhir mantra

kepodangkepodang berkesiuran
mencengkrami mimpi dan jaga
dengan cakar kecilnya yang liat
melelehkan getah hutanhutan
menjadi sungai mengkeloki semua luka
terlanjur menganga di tepi ingatan

SEANDAINYA KAU PULANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



--buat saudariku SS—

aku tahu kau ingin pulang
menemui semua yang kau rindukan
pulau, jejak ibunda, sanak keluarga
mungkin juga ada sosok kau sebut cinta

sudahkah kau punya peta tentang sisi jalan
jalan sudah lama kau tinggalkan
hingga kau temukan lagi marka, silsilah, artefak dan…
semua kenangan yang kini tak lagi kau hafal. kecuali laut itu

PEMAKAMAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



--dalam percakapan dengan seorang anak Papua—

ketika semua keihklasan telah tunai
tak ada lagi pilihan
kecuali memutuskan berjalan ke pemakaman
mengubur harapan  dan mimpi  yang memar

harapan dan mimpimimpi tak lagi punya tempat tetas
di atas tanah air  yang sejarahnya meminggirkan  orangorang
sebegitu tulus mencintainya

DONGENGAN DARI MASA LALU (Puisi Iverdixon Tinungki)



kelemahanku adalah kemelaratan
di ujung lidah terasa kelat
tapi begitu tunai kusesap

2013

BERPERAHU DI TIMUR KITA (Puisi Iverdixon Tinungki)



berperahulah di sini, di timur kita
dengan pinisi dan kora sendiri
di ruh pertempuran penuh harga diri
biar perahu dan laut ini  jadi cerita abadi

kita takkan lagi berlayar ke barat
ke sarang para penipu, pencoleng, dan perompak
ke otak penuh rancang kiamatkiamat
memerah rakyat bawah yang  tak lagi punya suara
sekadar meratap

SAJAK LAUT IKAN-IKAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



aku mau menulis sajak di punggung ikanikan
ikanikan yang datang dari kedalaman arus
ikanikan yang kuat mengejar musim
sekawanan blue marlin sepasang megalondon
barangkali dengan ini sajaksajak menjelma sirip dan taring

seumpama suatu ketika aku akan jadi lelaki tua
tiba di perjalanan terakhir tak lagi mahir
memaknai bunyi kertap layar, dayungan yang memar
di mulut ombak sejarah laut yang berkarat
sajaksajak itu mungkin telah menguruk bentang samudera
mejadi benua katakata dengan sejejeran kotakota makrifatnya

PEMANDANGAN LADANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



ladangladang ditumbuhi ilalang itu menyemak
serupa wajah anakanak tak berumah dan ibu bapak
berharap ada benih cinta tumbuh
tapi hatinya terlanjur retak

semua kenangan telah berkarat
juga derak tiang bajak, bunyi seruling
remuk di kaki abad

PEMECAH BATU (Puisi Iverdixon Tinungki)



--buat ET, lelaki yang pantang menyerah memaknai hidupnya---

dengan sebuah palu ia memecahkan batu keseribu
kesepuluh ribu, lalu keseratus ribu, dan seterusnya
batubatu menjadi getas
ia tak mau menghitung lagi
tibatiba menyadari
selagi hidup tak ada benarbenar tuntas
ditetas. meski segegasnya kita meringkas nafas

di lembaran malam tahun ke lima puluh
tangannya penuh lepuh
sungaisungai kian dalam
membenamkan batubatu

LELAKI TUA DAN CUCUNYA (Puisi Iverdixon Tinungki)



--berbahagialah setiap orang yang melihat
anak dari anakanaknya—
--karena lewat mata anak itu setiap orang
akan melihat surga--

lalu dengan sebuah ayunan, sebait nyanyian
lelaki tua itu membisiki cucunya cerita terindah hatinya
seperti surat terkirim di aliran sungai
buat surga di bening mata cucunya
sambil berandai Tuhan membaca harapannya
kelak suatu ketika cucunya akan melihat anak dari
anakanaknya

SARKASME JAKARTA (Puisi Iverdixon Tinungki)



menanam bawang di Jakarta
tumbuh pisang
menanam pisang tumbuh
buah terlarang
tanamlah Jakarta
bakal tumbuh kemakmuran

2013

DALAM RIUH CAMAR (Puisi Iverdixon Tinungki)



(Buat Abangku Remmy Novaris DM)

camarcamar riuh itu
mengayuh tubuhku ke daratan pulaupulau ini
camarcamar yang berabadabad menempah kegembiraan laut
hingga sajaksajakku bertemu arus, ombak dan mambang
di kedalaman selembar peta buatku menemukan kebanggaan

aku mulai hafal semua lekuk tanjung dan musim pasang surut
juga air mata belum kunamakan di indah tawa anak pulau
yang mimpimimpinya jauh merantau bersama sekawan jelaga

BATUSENGGO (Puisi Iverdixon Tinungki)



seperti menghitung biji pasir
pelayaran jadi kekal di semua bau ingatanku
akan belukar keasinannya. ia menyelinap ke dalam benak
menjelma silsilah batu  setegak layar mendekap erat

pada dekapan kekasih itu aku mencari hulu hilir hidupku
kujumpai arus keras gigih  menenggelamkan cahaya
pulau dan lautku jadi samar, memar

PERAHU (Puisi Iverdixon Tinungki)



laut biasa kuseberangi menyeberangi hatiku
seketika hatiku tersebak arus di segulungan ombak
tibatiba membentuk kapak menghujamku
tapi aku tak akan berhenti berperahu menemui perangku

aku tak akan meninggalkan lagaku sendiri
meski sebenarnya pikiranku begitu letih
menerjemahkan hulu dan hilir dari mimpiku
yang terus mengalir