Minggu, 29 September 2013

MORAYA*) (Puisi Iverdixon Tinungki)



aku tak mencari  Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung
lengking suara burung manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya

ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usia, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya

ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasar
sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara

Jumat, 27 September 2013

POHON (Puisi Iverdixon Tinungki)



api dan tanah basah memberi getah
ke dalam pena, menuliskan
sebatang pohon mulai berdahan

sebagaimana pohon tumbuh
cuaca menjadi ragu
tak berbagi bias cahya
ke pucuk yang kini meninggi
menyigi surga tertinggi

di dahandahan rimbun terlindung
akan bergelantungan buah
benih ilahiah dengan segala manis asamnya
di tempah bau getah dengan segala kelat pahitnya

MANADO (Puisi Iverdixon Tinungki)



ketika Simao d’Abreu di tahun 1523 menjumpai sebuah kota
moyang kita telah menetas pulau ke atas  punggung burungburung
yang ribuan tahun menerbangkan kesunyiannya ke didih gelombang
ke ribaan saman di sejengkal laut  dengan mitosmitos naga

sejak itu perahuperahu tiba dalam bau kopi dan kisah sutera
juga Sharif Makdon lelaki bersorban menabur kalam
ke atas petapeta pelayaran
adzan menggema dengan takbirtakbir indah
ke tubuhtubuh sejarah yang setiap incinya teralas sejadah

45 (Puisi Iverdixon Tinungki)



--dari sebuah pasar—

serbuk terakhir menguar dari deretan pohon akasia itu
jatuh di tapal batas terjauh, ufukufuk baru sebuah subuh
membangkitkan  lagi magma liar lelaki, menapis fitrah diri
lama terbaring di bawah reruntuhan abad
menjelma pasar ini

sejak dulu sebuah pagar melingkar tanah beberapa depa
jadi ruang buntu bagi makrifat tumbuh
angkasa pecah kembar dalam imaji banal ke banal

atas nama sejarah pelacur menjinakkan malam
masih tersisa dalam pesta para pemabuk
menyulap area sebuah taman seakan tepi sebuah saman
dengan wajahwajah tirusnya yang gamang

JALAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



puluhan tahun aku melewati jalan biasanya
melintasi gunung terpangkas serupa punggung letih
menyeberang jembatan sungai tengah kota
melewati klenteng bercat kuning merah pahatan naga

puluhan tahun kulepas pagi senja di route itu
hingga tak kuingat lagi apa berubah di sana
semua jelas sekaligus samar
sejatinya selalu kulupa
biar tak jadi luka

sebab tak ada bisa menerka
kelam di depan
kecuali terus berjalan

SILSILAH (Puisi Iverdixon Tinungki)



--Laksamana Hengkengnaung--

aku diperanakan dalam silsilah rajaraja
penempah  lautan. pengasah kearifan
di arus terdalam

maka ibu meruwatku dengan pasir
dimana seluruh hutan dilangir
berlapis gamping, bau asin direndami

aku dikemenyani mantra
di kaki sembilan purnama
tiga hiu, lima peri bergaun awan
agar kubisa mengencani
tubuh katakata purba
pada dongengan, susastera tetua
sehalus sutera, tempat tumbuh bara

LUMPUR (Puisi Iverdixon Tinungki)



kau sisihkan ke dalam sajakku seonggok lumpur
dari bukit tercabik, hutan berkabung

ia mengubur  cahaya sepotong bulan
di tangan para pendulum
gagal membentuk lempung
jadi guci abu leluhur berkumpul

--malam pun begitu murung--
suarasuara burung hantu
memamah bulan yang bingung
menakik cahaya di hati masih unggun

UJUNG MUSIM KEGEMBIRAAN (Puisi Iverdixon Tinungki)



rupa hujan yang bertandang sore ini
barangkali  ujung musim kegembiraan
di riwayat pucukpucuk pohon randu
lama tumbuh di petak mimpiku

sebentar kelelawar akan menggetarkan
cabangcabang dengan suara risau 
menyalin topografi bukit dilebati rindu
ke dalam sebuah alegori  keruh air laut

PANTAI HILANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



menakar  nafas di cekung busur
betapa fana segala di mata anak pana

tulangtulang lemas
suatu ketika akan tiba
di pantai hilang

begitu risau daun
mengelopaklah semua ketakutan
jadi rerumputan dengan bau aneh
menggigili getir  muai di jejari
tak bisa menggapai, melambai

SECANGKIR KOPI (Puisi Iverdixon Tinungki)



harihari memperdaya
tunai di secangkir kopi

aku menyesap
membayangkan kau mendekap

senja tirus sebentar gelap
kau menyisi ke ranjang
membungkam percakapan
kemarin retak

Kamis, 12 September 2013

UBAN (puisi Iverdixon Tinungki)



pada perjalanan kesejuta kau tiba kembali di rumahku
membawa kisah uban melebat seakan waktu
tak lagi bersahabat. di matamu pohonpohon pucat melukisi
dena penjelajahan tersisa seunjung nafas

kau mengeluh ujung sepatumu tak lagi utuh
seperti batuk di mulutmu menggerami bauh tanah sangat kau kenali ini
berlimpah bangkai kematian tanpa pesta pemakaman, pun luput dikenangi

SANDAL (puisi Iverdixon Tinungki)



aku masih punya sandal berwarna dadu
buat menyurusi waktu terlanjur kelabu di pucukpucuk
haru. ketika dedaun pohon trembesi melayang jatuh
ku tahu langit lagi meramu anatomi sapu
buat semua kenangan layu

aku menjadi malu mengenakan sepatu
melintasi jalan sekitarku berbatu, rumah kumuh
pemandangan sayu di mata anakanak lugu
ibu bapak terbatabata menjalani hidup penuh ragu
semua luruh jatuh ke kakiku
dimana sandal berwarna dadu berubah perahu

JAKET (puisi Iverdixon Tinungki)



sebuah jaket merupa sungai suatu musim kusut masai
dengan alir sejarah tangisan, endapan lumpur kisahkisah
dulu kita semai, kita berai

serupa alu dengan lesung, ada detakkan metrum di sungai
mengabari butiran tahun remuk menepung di cekung masa lalu

bayangbayang suram itu tibatiba merentak hujan
di sisi jembatan, terbuncang sedu perempuan

SEBUAH SENJA DI BOULEVARD (puisi Iverdixon Tinungki)



matahari yang tiada letih menjinakkan air mata
tumpah menerakan warna terkekal dari rahimnya
ke sebuah kota dengan menaramenara mall
bayangan orangorang remuk, melumut
di semua rimpang sebentar hilang ditapis kebisingan

ketika mobilmobil menyerbu bagai lebah
pejalan kaki menyingkir menyelamatkan nafasnya
dari sesak kota yang tak lagi menghitung
langkahlangkah manusia

KENDURI (puisi Iverdixon Tinungki)



runtuhlah katakata semua pemuja keheningan
siapa sesungguhnya lahir sekadar pengeja sihir alam
menamai debudebu beterbangan, berkarat di lendir cinta
lalu mengingatingat warna bendera, tanggal tahun suatu upacara

aku terlanjur berutang budi kepada petani
mengubah samannya sendiri menjadi petakpetak kenduri

andaikata nelayan dininabobokan nasib
semua masa lalu harusnya terbakar, tak ada marka
buat menyisi, memutuskan arah, diam atau pergi

KELAK (puisi Iverdixon Tinungki)



kelak mereka membangun patungpatung dirinya
kelak mereka menamai jalan, jembatan dengan namanya
kelak lapangan terbang, rumah sakit,  kampus dan
kapalkapal dinamai lengkap beserta gelarnya

setiap orang  ingin dikenang, tak ingin dilupakan

tapi kelak anakanak akan bertanya siapa mereka itu
menaruh nama pada segala seakanakan diwariskannya

SEPATU 1 (puisi Iverdixon Tinungki)



anak itu  mengimpikan punya sepasang sepatu
tapi sepatu bukan perkara mudah bagi ibunya
ibunya hanya pembersih kebun palawija tetangga

ia berharap ada ayah seperti sahabatsahabatnya
ayah yang selalu membeli sepatu setiap tahun baru tiba
tapi entah siapa ayahnya. Ibunya tak mengisahkannya
ia tak berusaha bertanya
karena bertanya apa gunanya

SEPATU 2 (puisi Iverdixon Tinungki)



sebelum pemakaman
anak itu memakaikan sepatu ke kaki ibunya
sepatu kemarin baru digambarnya
sepatu pertama kini milik ibunya

ada penyesalan di hatinya
ia punya seribu sepatu, ibunya cuma satu
“andai ibu masih hidup, aku akan menggambar
sepuluh ribu sepatu untukmu,” ratap anak itu

PETA YANG HILANG (Puisi Iverdixon Tinungki)



andaikata ia masih hidup
aku ingin berziarah ke tanah air yang akrab
disimpannya pada catatan kronologi
masa lalu yang sempurna

ia telah mengayuh jalan raya sejarah
dengan kepedihan, luka, juga cacatnya
menuliskan hakikat masa depan lebih berdaya
ke dalam mimpimimpi kita

PERJALANAN (puisi Iverdixon Tinungki)



ada sebuah tempat tak dapat aku lupakan
sebuah nama tak dapat aku hapuskan
terus kupertaruhkan  hingga akhir perjalanan

selalu saja ada juga bertanya
apa kutemukan dalam pendakian
sementara di puncak kini hanya ada kekosongan