JUNUS
KARYA :
IVERDIXON TINUNGKI
BAGIAN: SATU
DI RUANG MASA. DERAP SEPATU PATUNG-PATUNG. BUNYI YANG
GADUH
(SETELAH HENING. HANYA ADA BUNYI METRONOM)
PATUNG 1:
Dulu, moyang pertama melihat
awan, menempa terang itu ke dadanya.
Bungabunga bertaburan di
atas seluruh langka mereka.
PATUNG 2:
Hari ini moyangmoyang
sekadar lagu using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar.
Generasi kini tak lagi
menggali kabar, sejarah seuatu yang hambar.
PATUNG 3:
Mereka ingin di depan dipuja
bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar, kendati
abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan jahat
telah menjadi kabur
(KEMBALI HENING. HANYA ADA BUNYI METRONOM)
ALESSA MENDORONG JUNUS DI KURSIH RODA KE TENGAH
PANGGUNG
JUNUS:
Pukul
berapa sekarang?
ALESSA:
Sudah
tengah malam. Pukul dua belas lebih sedikit.
JUNUS:
Jam
dimana perjalanan kematian dimulai. Kematian yang baik selalu berada diantara
kokok ayam pertama dan kokok ayam kedua. Diantara kokok ayam kedua dan kokok
ayam ketiga, itu saat-saat cinta paling sublim.
ALESSA:
Sebagai
penyair, bapak mengetahui banyak misteri kehidupan. Bahkan misteri yang tak
pernah bapak kuak sendiri bisa bapak jelaskan dengan pasti. Penyair serupa
nabi, pewarta misteri ilahi tertinggi. Aku yakin penyair bukan keinginan
seseorang, tapi Tuhan yang memilih.
JUNUS:
Penyair
tak berpikir ia sebagai penyair. Puisi-puisi itu sendiri datang padanya minta
dituliskan. Barangkali seperti wahyu datang pada seorang nabi. Aku tak
bercita-cita jadi penyair. Tapi puisi
menyeretku ke jalan penyair.
Sebenarnya cita-citaku jadi pedagang. Aku diringkusnya, dan tak bisa
keluar dari takdir yang diaturnya.
ALESSA:
Sulit
kupahami. Dan barangkali tak perlu kupahami. Bagiku memahami penyair dan
puisinya seperti memahami bunga dan keindahannya. Puisi seperti wujud yang
punya tubuh, jiwa, dan roh sendiri, tiba-tiba merasuk menjadi diri kita sendiri.
Sering aku bertanya siapa dia puisi itu?
JUNUS:
Penyair
meyakini puisi adalah sabda ilahi. Pribadi yang menjelma dalam warna-warni
makna alam semesta. Spiritualitas yang dapat dicerna logika, hingga manusia
bisa menilai baik dan buruk, indah atau hambar, mulia dan suram. Ia akrab
dengan kepedihan dan air mata. Banyak orang seperti aku ditelantakkannya ke
tengah kepedihan dan air mata sebagai penafsirnya.
ALESSA:
Ia seperti
mesias?
JUNUS:
Hanya
orang-orang baik, mereka yang punya cita rasa, yang bisa menjawab pertanyaanmu.
Mana
handphoneku Alessa?
ALESSA:
Bapak
akan menelpon seseorang selarut ini?
JUNUS:
Tidak.
Aku hanya mau mendengar musik
ALESSA MENGAMBIL HANDPHONE DI SEBUAH MEJA BERKACA. IA
BERHENTI SEJENAK MENENGOK WAJAHNYA DI CERMIN DAN MENYISIR RAMBUTNYA.
JUNUS: (SETELAH MENATAP TINGKAH ALESSA)
Ia
merpati yang tak menemukan sarangnya. Keindahan yang terselip di tengah
duri-duri usia. Misteri yang tak henti mencari tempat bergelayut.
ALESSA MENYERAHKAN HANDPHONE KE JUNUS. JUNUS KEMUDIAN
MENGHIDUPKAN PROGRAM MUSIK DAN…TERDENGAR ORKESTRASI HANS SIMMER. IA
MENGELUARKAN LEMBARAN KERTAS DAN MENYERAHKANNYA KE ALESSA.
JUNUS:
Bacakaan
puisi ini dengan penuh perasaan seperti dulu.
ALESSA: (MEMBACAKAN PUISI ITU)
Ia tak menulis sajak itu dengan kata
tak melukisnya dengan cahaya
tapi dimintanya pada Tuhan di doadoa malam
hingga kubaca dan tak berdaya pada cintanya
di sepi dukaku dibangunnya rumah buat risaurisauku menemukan pintu
seakan buku bertuliskan seribu kata damai sejuta kata cinta
kitab yang awal menulis sayang, di tak terhingga dieratkan dekapan
hingga surga pun punya air mata buat dua hati menyatu dalam sajaknya
o…Allah maha sajak
di mata maha tabah itu tak ada indah kutandingkan
kecuali melangkah terus ke panggung resital agung kau konserkan
di gelak tawa, air mata Kau tamankan di nafasnya
JUNUS:
ia terindah dari seribu indah yang Kau mampirkan ke hatiku
gunung yang meraihku ke puncak buat lembahlembah menjadi terang di
mataku
keihklasan menitip sayang biar aku bisa terbang laksana rajawali
ke tempat tersuci dari sebuah kota yang Kau bangun di kedalaman hatinya
ALESSA:
Sebentar lagi malam bau deklonya
bungabunga kertas tak benama
hutan hitam mengebumikan warna
setangkup kisah lelaki mati muda
kekasihkekasihnya akan mulai mengingatnya
dalam potongan bayang tak lagi teraba
lalu suram seperti cahaya lentera menjauh
ke dasar kenangan
yang berharga adalah manusia menyejarah
kerena langit pun tak bisa melabur warna berbeda
ke atas ingataningatan tentang kebaikanmu di suatu
ketika
hingga pada suatu ketika, senja lain menjadi indah
inilah senja itu
perjalanan pulang yang gagah dengan kisah takjub
derap kaki sahabat mengusungmu dengan nyanyian
seperti konfigurasi di panggung kau mainkan
menggedor pengzaliman atas kemanusiaan
hingga teriakan paraumu tak dapat dilupakan
tak mampu dipadamkan malam juga zaman
JUNUS:
sejarah tetaplah sejarah
dunia tak bisa mengubahnya
kerena surgalah menulis kisahnya…
(MENGHENTIKAN
PUISI ITU) Sudah…sudah. Cukup! Berhentilah
berbalas puisi seperti ini. Sudah 30 tahun kita berdua bermain-main di atas
puisi. Aku tak mau mati dalam intuisi-intuisi suram itu. (MEMATIKAN SUARA MUSIK).
ALESSA:
Sejak mengenal puisi, aku terus
menyukainya. Puisi adalah kekasih yang paling mengerti. Kelembutan dan
amarahnya menjangkau jauh kedalam bilik-bilik kata hati yang tersembunyi. Ia
seperti amarah penuh emosi yang menampar dengan tarian. Seperti cumbuan
terlembut di pucuk-pucuk hati terhening. Kadang kita dibawa sebagai prajurit
yang berperang tanpa ketakutan akan mati. Tapi sesekali dipilinnya dalam
kecemasan social teramat gelap hingga tiba-tiba kita menemukan sebintik cahaya
putih dalam kecemasan itu sendiri. khotbah-khotbahnya adalah jalan di tengah
gurun paling gurun. Tapi ia bisa serupa pisau yang tersandar di urat leherku.
JUNUS:
Kau sudah seperti puisi itu sendiri…
ALESSA:
Pekan ini bapak telah menulis enam puisi.
Seperti ada energy berlebih dalam diri bapak hingga bapak terus menulis seperti
dalam keadaan kesetanan. Bahkan tergesah-gesah ingin menyelesaikan semuanya
dengan cepat. Dan kini bapak ingin menulis puisi ketujuh dengan susah payak
hingga bapak terlihat sakit. Seakan puisi ketujuh adalah puisi terakhir dalam
hidup bapak
JUNUS:
Menulis sebuah puisi seperti perempuan
hamil melahirkan seorang bayi. Penyair akan sangat menderita untuk itu. Tapi
sudalah, biarkan aku menjalaninya. Apa kesan yang kau tangkap dalam
puisi-puisiku belakangan ini Alessa?
ALESSA:
Warna-warna kematian dan pujaan kepada
seseorang, bahkan bapak banyak berdoa untuk kebaikannya. Tapi ada api kecemasan
di sana.
DERAP SEPATU
PATUNG-PATUNG. DAN BUNYI YANG GADUH. (SETELAH HENING)
JUNUS:
Begini
selalu. Selalu saja ada derap sepatu, dan bunyi langkah segerombolan orang yang
mendekat mau menangkapku.
ALESSA:
Bunyi,
dan suara-suara itu hanya dalam pikiran bapak. Dalam imajinasi bapak. Kamar kerja ini selalu sunyi. Hanya Ada suara
metronome yang bapak setel itu. Suara-suara ombak di pantai sana terlalu sayup untuk didengar telinga setua
bapak. Bapak bisa melihat daun ketapang yang jatuh di halaman lewat jendela
itu. tapi tak ada desisannya yang sampai ke sini. Kamar kerja bapak ini luas
dan heningnya begitu indah. Tak ada yang menakutkan. Menurutku bunyi metronome
itu yang menakutkan bapak.
JUNUS:
Metronon
ya metronome. Aku menyetelnya agar selalu menyadari birama hidup. Alessa…kau
tahu alam semesta ini adalah sebuah piano raksasa yang terus berbunyi. Metronom
itu membantuku menulis puisi sebagai lyric dalam sebuah partitur musik alam
semesta itu.
ALESSA:
Berdialog
dengan penyair sama seperti berbagi cerita dengan langit, laut, hutan rimba dan
bunga-bunga yang diam. Jauhnya sama dengan dekat itu sendiri. Tidak terindera
tapi ada. Tidak teraba tapi nyata. Tidak terdekap, tapi hangatnya memeluk kita.
Dekat dengan bapak, aku merasa seperti perempuan-perempuan yang duduk bersama
Nabi Daud saat ia memainkan kecapi dan mengidungkan mazmur-mazmurnya.
JUNUS:
Alessa,
berapa umurmu kini?
ALESSA:
Dalam
tiga puluh tahun aku bekerja kepada bapak. Sudah beribu-ribu kali bapak
menanyakan usiaku. Apakah usiaku begitu penting. Bapak bilang usia hanya
bilangan dalam hidup. Dan hidup sesungguh berarti adalah ketika kita bisa punya
satu menit melakukan kebaikan. Ada apa sesungguhnya?
JUNUS:
(MEMAKSA)
Berapa
umurmu kini?
ALESSA:
Empat
puluh sembilan tahun tiga bulan sebelas hari.
JUNUS:
Sudah
sulit bagimu untuk melahirkan seorang bayi.
ALESSA:
Bapak
selalu mengatakan itu padaku. Sesulit bapak munulis puisi yang ketujuh dipekan
ini kukira.
JUNUS:
Mengapa
engkau tak pernah bertanya padaku, kenapa aku tidak menikah lagi?
ALESSA:
Bukankah
seorang pembantu tidak pantas menanyakan hal itu kepada majikannya.
JUNUS:
Siapa
yang bilang itu. bagiku majikan dan pembantu setara. Tanpa pembantu seseorang
tak pernah akan jadi majikan. Tanpa majikan seseorang tak pernah akan jadi
pembantu. Meski Tuhan tetap ada kendati tanpa umat. Tapi Yesus datang, masuk
dalam kesetaraan dengan manusia hingga logika eksistensial di atas bisa mendetak
seperti metronome yang mengatur birama itu.
ALESSA:
Baiklah,
kalau Bapak memaksa. Lagi pula sejak lama aku menyimpan pertanyaan itu dalam
hatiku: Kenapa bapak tidak menikah lagi?
JUNUS:
Tentu aku
akan menjawab; setelah kepergian istriku, aku tak pernah jatuh cinta lagi! Dan
engkau barangkali akan bertanya apa alasan istriku meninggalkanku. Tapi aku tak
akan menjawab itu. Lelaki sejati tak butuh pembenaran.
ALESSA:
Lelaki
terpandang. Penyair yang cerdas. Orang yang punya peninggalan harta warisan
yang lumayan. Tampan, dan suka berkaian yang satun, bagaimana bisa bapak tak
jatuh cinta lagi.
JUNUS:
Cinta
sama saja dengan penyakit obsesif kompulsif. Cinta mengaburkan batasan antara
kesehatan mental dan psikopatologi. Cinta melepaskan zat-zat kimia yang memicu
hiperaktif, kesembronoan dan kegembiraan yang berlebih. Cinta itu sangat
berbahaya, karena seseorang bisa menempuh risiko-risiko yang tidak lazim hanya
untuk membuktikan cinta. Bahkan Raja Eward III mengesampingkan seluruh Negara
untuk berpaling pada wanita yang dicintainya.
Cinta
hanya tamasya ke masa kanak-kanak, suatu dorongan untuk kembali ke suatu
situasi intim ketika kita menyusu pada ibu dalam perasaan damai.
Cinta
juga umurnya tidak panjang. Seorang lelaki yang mengatakan “engkau cantik
sekali hari ini” kepada kekasihnya, setelah 365 hari kemudian ia akan merasa
kecantikan kekasihnya datar-datar saja.
Cinta tak lebih dari nyala caudate nucleus dalam pangkalan saraf yang jejak kimiawinya
sama dengan efek obat gangguan jiwa. Lihatlah cinta paling membara yang
mengantar suatu pasangan dalam perkawinan sekali pun, usianya hanya empat
tahun. Ya…hanya empat tahun. Lalu, pudar, dan merosot sekadar hubungan
persahabatan, atau bahkan kemitraan ekonomi dua orang yang terikat rekening
bank. Penghianatan istriku padaku dapat diterangkan dengan seksama lewat teori
biokimia cinta ini. Untuk apa aku jatuh cinta lagi bila cinta sesungguhnya tak
lebih dari sakit jiwa.
ALESSA:
Sejauh
berkelit, tapi tetap saja teresepsi seperti sebuah pembenaran. Tapi sudahlah.
Menurutku tak ada seluk beluk cinta yang tak bapak pahami. Barangkali, saat
bapak jatuh cinta lagi, bapak akan lebih paham makna-makna hakikinya.
JUNUS:
sejak
engkau datang bekerja di rumah ini, keinginan jatuh cinta itu kian dalam
terkubur.
Apakah
engkau pernah jatuh cinta Alessa?
ALESSA:
Pertanyaan
yang sama telah bapak lontarkan beratus-ratus kali. Dan aku selalu menjawab:
Iya.
Sekali! Dan selamanya!
JUNUS:
Mengapa
engkau tak mengajak lelaki itu menikah!
ALESSA:
Bagiku
cinta bagaikan dua orang yang berjalan di bawah satu payung tanpa mencakap
sepatah kata pun, tapi mereka saling berbagi ruang agar tak terpercik hujan.
Itu sudah cukup. Tak penting lagi menikah.
JUNUS:
Kemarikan
tanganmu! (ALESSA MENJULURKAN TANGANNYA
KE JUNUS)
JUNUS:
Harusnya
tangan indah ini ada yang membelainya.
Untuk ini
aku harus membayangkan Yesus membelai kepala anak-anak kecil yang dicintainya.
Duduklah
di sampingku! (ALESSA MENGAMBIL KURSIH
DAN DUDUK DI SAMPING JUNUS)
JUNUS:
Kau
selalu mengurus buku-buku diperpustakaanku. Apakah kau pernah membaca cerita
karya Yukio Mishima tentang Sang Pendeta dan Kekasihnya?
ALESSA:
Tiga
puluh tahun lalu ketika aku datang bekerja pada bapak sebagai gadis desa yang
miskin, yang kupunya hanya tangan. Tanganlah yang membuat aku bertahan hidup.
Aku tidak begitu perlu membaca, apalagi
bacaan yang berat dan berliku-liku. Aku hanya tamat sekolah dasar. Di desa kami
orang hanya butuh tangan, tak butuh buku.
JUNUS:
Kau
ternyata tak pernah mendengar kata klise itu: “buku adalah jendela dunia”.
Tanpa membaca maka engkau tak pernah menengok dunia.
ALESSA:
Benarkah?
Apa yang dibaca pemimpin-pemimpin negeri kita yang membiarkan desa-desa,
pulau-pulau, diporak-poranda oleh
industry tambang-tambang itu. orang yang seperti kami hanya punya tangan untuk bertahan hidup,
selalu tergusur oleh kaum pembaca buku.
Bukankah
bapak juga pernah dengan cemerlang mengkritisinya? Aku menghafal puisi bapak yang
kritis itu:
di hutanhutan
tambang
pohonpohon jati yang
jangkung bimbang dan bingung
mencari langit yang
mau melipur ngilu burungburung
satwasatwa murung
antara mau hidup atau mau mati
di senja empedu yang
kian mendidih
seperti senja adam
mendapati eden dalam kemuramannya
hutan itu tidak
berarti ia bukan manusia
kata pepohonan dalam
cemasnya yang menyemak
onak menusuk
tapaknya yang membusuk
maka aku menulis
manusia
ketika hutan
dikosongkan dari segala tafsir
capungcapung tak berarti,
burungburung yang tak mengerti
mematuki hariharinya
sebentar selesai
semua jalan diam
membisu tentang mereka
warga tak punya
apaapa untuk bertahan hidup
kecuali tangan dan helaihelai kehinaan
gugur dalam daundaun
yang mengerut
warna letihnya begitu
mencolok
mencolok oleh lupa
tunastunas muda
lapuk tak mencapai senja
dan jalanjalan
lincin mengkilap oleh marka
membawa semua arah
mengkelok
makna hidup yang
seok
bagaimana hidup di
atas tanah yang humushumusnya digerus
manusia tak lebih
tonggak kayu yang tirus
bila mau mati
bagaimana merayakan
hidup terlanjur dipahami
sebagai kurnia bukan
kuldi
di hutan ini kalian
tak menyisakan pilihan
kecuali pedang dan
ruang masa mati atau menang
mereka yang
kekuasaannya tak mungkin dicabut
kecuali dengan bayonet
dan khianat itu
akan lebih berbahaya
dibanding bandang
jika tiba waktunya
meluap
JUNUS: (BERTEPUK TANGAN)
Aku
suka…aku suka kau menghafal itu. Kau tahu, istriku tak pernah bisa menghafal
sebait pun puisiku. Empat tahun pernikahan, dan ia memilih pergi dariku tanpa
menghafal sepotong pun puisiku. Aku amat sedih memandang puisiku.
Tapi…Alessa,
carilah waktu dan baca kisah itu. dalam kisah Mishima, di sana kau akan
mengerti dimana cinta bisa mengubah keyakinan sekuat apa pun. Dan cintalah yang
memberi pondasi keyakinan yang lebih utuh dalam hidup. Mainkan lagu yang sudah
kuajarkan padamu.
ALESSA PERGI KE PIANO DAN MEMAINKAN SEBUAH LAGU. TAK
BERAPA LAMA….
JUNUS: (PANIK)
Berhenti!
Kemari…kemari selimuti aku!
ALESSA: (MENDEKAP JUNUS SEPERTI ANAK KECIL)
Bapak
kembali mendengar derap sepatu dan langkah-langkah itu?
JUNUS:
Iya…kian
dekat. Mereka seperti ada di dalam kamar ini.
ALESSA:
Barangkali
bapak perlu istirahat di kamar, akan
kuantar!
JUNUS:
Aku masih
ingin di sini.
ALESSA:
Akan kuambilkan
air untuk bapak!
JUNUS:
Buatkan
teh saja. Gulanya sedikit. (ALESSA EXIT)
JUNUS:
hari itu entah waktu keberapa,
tapi terdengar sayup ada suara masa lalu membawa bau laut ke jalanjalan masa
kini. kabutkabut dingin yang berbahagia menyiangi bungabunga piring memecah. di
jalanjalan, mereka yang limbung tak menemukan apaapa…
DERAP SEPATU PARA PATUNG. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH
HENING)
PATUNG 1:
dulu, moyang pertama melihat
awan, menempa terang itu ke dadanya. bungabunga bertaburan di atas seluruh
langka mereka
PATUNG 2:
hari ini moyangmoyang
sekadar lagu yang using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar
generasi kini tak lagi
menggali kabar. sejarah seuatu yang hambar
PATUNG 3:
tapi mereka ingin di depan
dipuja bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar.
kendati abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan
jahat telah menjadi kabur
KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADUH. (SETELAH
HENING)
MASUK ALESSA MEMBAWA TEKO MENUMAN DAN MELETAKKAN DI SUBUAH MEJA.
ALESSA:
Bapak harus minum, agar
tubuh bapak menjadi hangat. Belakangan tubuh bapak dingin dan kaku.
(MENUANG TEH KE GELAS DAN MENYODORKANNYA KE JUNUS) (JUNUS MINUM
TAPI KEMUDIAN MUNTAH) (ALESSA MEMBERSIKAN BEKAS MUNTAH DENGAN LAP)
ALESSA:
Bapak terlalu banyak
berpikir. Rilekslah sedikit biar bapak tenang. Berhentilah bapak memikirkan puisi
ketujuh itu. Carilah ide yang lebih ringan dan cair. Bapak selalu terjebak
diantara masa lalu dan masa kini. Padahal bapak tak mungkin menghadirkan masa
lalu itu secara persis kedalam hari ini. Dan di usia setua ini bapak masih juga
memikirkan cinta. Itu membuat kondisi fisik bapak kian runyam.
Aku akan menyiapkan tempat
tidur bapak sebentar. Bapak mesti istirahat.
(ALESSA EXIT)
KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH
HENING)
PATUNG 1:
dulu, moyang pertama melihat
awan, menempa terang itu ke dadanya
bungabunga bertaburan di
atas seluruh langka mereka.
PATUNG 2:
hari ini moyangmoyang
sekadar lagu yang using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar
generasi kini tak lagi
menggali kabar. sejarah seuatu yang hambar.
PATUNG 3:
tapi mereka ingin di depan
dipuja bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar,
kendati abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan
jahat telah menjadi kabur.
JUNUS:
(MARAH)
aku yang terutus, tak ingin menganyam daun ara buat gaun masa kini yang begitu sengsara.
kitabkitab yang ditulis
sejak moyang adam cukup memberi peta di mana letak benuabenua merdeka, tapi,
siapa yang mau membaca.
SEORANG TUA MELINTAS DI DEPANNYA TAPI KEMUDIAN BERHENTI TAK JAUH
DARINYA
JUNUS:
Dia, seorang yang menyimpan
duka cita. buruhburuh yang sejak subuh kelelahan diluar sana
adakah mereka tua dengan
duka yang sama denganya
SOSOK TUA:
Ia selalu tak mau bertanya, karena
masa kini pun tak menoleh kepadanya. Seperti cintanya kepada alessa yang terus
dipendamnya. Ia berfikir aku yang salah atas semua cita-citanya,
padahal ketika aku
melemparkan biji-biji bunga ke hutan-hutan, setelah tumbuh, ia dengan enak
menikmati keindahannya. Ia pikir keindahan hanya untuknya. Dan orang lain cukup
dengan kemuraman saja.
JUNUS:
Generasi terakhir hidup diabad ini, lebih tabah memelihara kekejaman dan
perang bersanding mesra kebaikan dan kemurahan. Apakah kau tau itu? Di
pasarpasar jutaan orang mengeluh, mestikah dalam keyakinan semacam itu sang
pahlawan datang dalam bau peluru. Kekacauan tak terhindarkan
SOSOK TUA:
Junus…Junus. Aku anastasia!
JUNUS:
Pohon jarak itu telah hilang
dari tanah nenek moyang!
SOSOK TUA:
Aku yang menumbuhkannya.
Tapi kau mengeluhkan kehilanganya. apa kau inginkan dariku?
JUNUS:
Darah. rintih, sebuah
kemenangan!
KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH
HENING)
SOSOK TUA DATANG MENDEKAP JUNUS
SOSOK TUA:
Warnawarna mentubi di hatimu , mengayam haru biru ke seluruh penjuru
kota imajinasimu
tubuhmu tercabik-cabik oleh imaji indah dan imaji liar. Kau tersekap
tak bisa bergerak. Tak seperti dekapan bunda mencintaimu dalam puisi-puisimu
yang dulu. Kini semata belitan keinginan mencengkram kesadaranmu. bibirmu kaku,
pucat. mulutnya gagu. Kecuali hatimu menggumam penyesalan. selalu begitu. Kau
Junus!
JUNUS:
Aku tak punya istri jelas, tak punya anak jelas. Kata-kata meliar di
bilik renungku. istri, anak, apakah
sesuatu yang lumrah dibiografi lelaki. bukankah itu tak lebih sebuah narasi.
bukan esensi! anastasia aku menggugatmu! Mengapa aku jatuh cinta pada Alessa pembantuku.
Mengapa aku takut mengatakan cintaku itu kepadanya. 30 tahun aku terpenjara
dalam perasaan cintaku. Lalu kau tak kasihan padaku. Kau justru memanggilku
datang ke kota ini dengan tugas seperti dulu. Lelaki yang menggeliat seperti
ulat yang melalap daun-daun jarak
ASAP MENGEPUL. ADA BUNYI DESIS KIAN
BISING. DERAP SEPATU KIAN DEKAT MENGURUNGNYA. ORANG-ORANG ITU MENANGKAPNYA DAN MENGIKATNYA
DI ATAS MEJA.
JUNUS:
aku antagonis yang kau disonansi!
SOSOK TUA:
Lihat ! junus membelalak. lipit mata mongolschopilnya memandang
sekeliling. begitu buram. Suram. seperti awal. seperti akhir batin yang
berpikir
TIBA-TIBA JUNUS MELIHAT RUPA LELAKI
DUDUK DI PUNCAK BUKIT.
SOSOK TUA:
Ia memandang lelaki berkulit merah. Tamburnya berbentuk pinggul wanita
JUNUS:
judas! Itu dia. Judas!
SOSOK TUA:
sang penjual kebaikan. Lelaki yang ususnya burai di tanah darah. Tapi…junus
girang. Judas melemparkan senyum manisnya. Senyum manis begitu, tengik dan
berbahaya. Panggul dia!
(GEMPAR. ORANG-ORANG MEMANGGUL JUNUS)
SOSOK TUA:
Jantungnya mendentam serupa keriuhan pesta angin menderu membawa bau
keringat pucat
JUNUS:
Kemana aku akan kalian bawa!
SOSOK TUA:
orangorang tak mendengar. Terus bergerak. Segerak api di liang magma.
JUDAS MENGGENDAM TAMBUR SAMBIL
MELANTUNKAN SYIAR-SYAIR
SOSOK TUA:
Syairsyair tak halus lagi. Katakata menjadi besi. Katakata menjadi
peluru. Katakata begitu berbahaya kini
BERKALI-KALI JUDAS MENGULANG SYAIR-SYAIR
SAMBIL MENARI
HINGGA SEMUA MENGKATARSIS, MUAL, MUNTAH,
HISTERIS, TERJEREMBAB, KOMA.
KECUALI JUNUS, JUDAS DAN SOSOK TUA
SOSOK TUA:
Mereka kakak beradik dari ayah Sangir, ibu Minahasa. Tapi mereka tak
kenal betul orang tuanya, seperti anakanak masa kini merasa orang tuanya
bioskop, facebook, game, mall
Junus dan judas telah ditinggal sejak bayi, di hanyutkan di laut di
atas perahu londe, sejak pesisir mulai dipagar dan laut tak lagi cermin. itulah
upacara pelepasan maut di abad ini. Kekacauan historiografi dalam perbedaan
tafsir atas kitabkitab suci oleh para akademisi ahli filologi.
(MASUK
SEORANG WARTAWAN LANGSUNG MEMBUAT FOTO-FOTO JUNUS DAN JUDAS)
WARTAWAN:
Aku dari Koran warta bumi. Dapatkah kalian
menceritakan asal usul kalian?
JUDAS:
Saat kami dihanyutkan, angin barat bertiup keras di liang fasifik. Kami
dilontar ke manamana
junus terlontar ke Perjanjian Lama, aku terperosok ke Perjanjian Baru!
Dan kami bertemu di sebuah bait puisi ketujuh ini.
WARTAWAN:
Wah aku tak paham! (Exit)
SOSOK TUA:
Lihatlah. sang wartawan mengernyit. ia tak paham, tak mengerti. Bagaimana
pun seorang wartawan bukan atheis, tapi
ia lebih atheis dari seorang atheis pada masa kini.
wartawan semacan sekte baru, bangkit sejak masa revolusi industry, kini
penyanjung manisfeto mega machine. Wartawan dengan pandangan apokrifnya
sewenangwenang mempahlawankan penjahat.
mengubah damai jadi sebuah perang, mengkomoditikan perang sebagai lahan
mencari uang. Dengan semangat menggebugebu mendatangi lokasi bencana sekadar
mencari tahu jumlah korban jiwa, kerugian materi. Apakah mereka punya air mata
untuk empati?
Wartawan menjadi sesuatu yang sulit ditaklukan, kecuali oleh nuraninya
sendiri.
Sensasi militer meledakkan bom itu lebih menarik. wartawan kini serupa
sutradara. mengatur kapan ada air mata. “Qui facit per alium facit per se”.
JUNUS DAN JUDAS TERTAWA
SOSOK TUA:
Puisi ketujuh telah
dimulai. (LAMPU PADAM)....bersambung
(Catatan: BILA ANDA INGIN MENDAPATKAN BAGIAN NASKAH SELANJUTNYA...HUBUNGI SAYA: 085343976992)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar