LOGLINE :
--- Sikap Kasila mempertahankan tanahnya untuk tidak
dijual kepada pihak perusahaan tambang pasir besi, telah membuat ia sangat
tertekan. Dibenci warga sekitar dan keluarga. Diintimidasi pihak penguasa. Ia
kehilangan semuanya, termasuk John Pargo suaminya yang hilang entah ke mana.Tapi
ia terus bertahan memperjuangkan hak dan kebenaran yang diyakininya --
Drama ini
berlangsung di sebuah beranda dan halaman rumah sederhana seorang nelayan di
pesisir pantai. Beranda yang terbuat dari tiang-tiang kayu dan bambu. Pembatasnya
hanya bentangan bambu yang diikat ke tiang tanpa dinding di bagian bawah.
Beberapa peralatan nelayan tergantung di setiap tiang. Kursi kayu dan bangku yang
dibuat dari papan serta sebuah meja kayu juga mengisi ruangan itu. Sebuah pintu
tampak di tengah dinding yang membatasi beranda dengan rumah bagian dalam. Di
samping beranda ada halaman dengan latar belakang semak dan pepohonan hutan. Di
halaman ada dego-dego dan beberapa potongan batang kayu yang dipakai sebagai
tempat duduk .
BAGIAN SATU:
Di suatu
malam. Suasana sunyi yang hanya diisi suara deburan ombak, bunyi jengkrik, dan
sesekali terdengar teriakan burung malam tiba-tiba berubah jadi gempar. Beberapa
orang yang membawa senter dan obor mendatangi rumah Kasila dan John Pargo. Dari
halaman, mereka meneriaki John Pargo untuk keluar dari rumah. Mereka marah
karena Kasila dan John Pargo berkeras tak menjual tanahnya kepada perusahaan
tambang Pasir Besi.
Orang-orang : (Ramai penuh emosi) John Pargo keluar
kau… John Pargo keluar kau… John Pargo keluar kau.
Pangaes : Kalau
kau tak keluar kami akan membakar rumahmu!
Petroko : Jika
kau berkeras, kami akan membunuh kalian!
Suasana
kian panas dan gaduh oleh suara-suara ancaman.
Kasila,
istri John Pargo beberapa saat kemudian keluar dari rumah dalam keadaan
ketakutan menemui orang-orang itu di halaman.
Pangaes : Kasila,
mana John pargo…? Mana suamimu?
Kasila
kian ketakutan dan tak berani memandang orang-orang itu. Ia gugup dan tak bisa
menahan berat tubuhnya yang limbung. Ia beruhasa duduk dengan gemetar di sebuah
batang kayu.
Petroko : Kalau
kau menyembunyikan suamimu, kami akan membunuhmu juga.
Pangaes : Kami
akan membakar rumahmu! mana John pargo…?
Mana suamimu?
Petroko : Jawab..!
Kuperingatakan, kau dan John Pargo harus segera menyerahkan tanah –tanah kalian
ke perusahaan tambang. Jangan lagi berkeras Kasila. Katakan pada suamimu, aku
Petreko siap menghadapinya kalau perlu…
Pangaes : Katakan, kesabaran kami sudah habis! Dan kami akan mengusir
kalian dari pulau ini dengan paksa.
Petroka : Kalau perlu, akan kami lakukan dengan kekerasan Kasila!
Kasila
tiba-tiba menemukan keberaniannya. Ia mengangkat tangannya dengan tenang.
Orang-orang terdiam. Mereka menanti apa yang akan dikatakan Kasila. Ia bangkit
dengan tenang dan berdiri tegap mendekati Petroko. Semua memandangnya dengan
takjub. Ia mengambil tangan Petroko yang memegang pedang, lalu mendekatkan
pedang petroko ke lehernya lalu berkata dengan tenang dan menakjubkan.
Kasila : (tanpa
emosi) iris leherku… iris leherku Petroko. Bila uang yang kalian terima seharga
nyawaku…iris leherku.
Melihat
ekspresi Kasila yang dingin dan misterius, Petroko menarik tangannya dan mundur
agak menjauh. Kasila menatap semua orang dengan perasaan yang dingin. Tak ada
lagi ketakutan di matanya. Suasana
mencekam. Tiba-tiba Kasila berteriak keras penuh emosi.
Kasila : Bakar
rumahku. Bakar! (terdiam sejenak, dan
suaranya kembali dingin tanpa emosi tapi mencekam) Bila kasih sudah mati…bakar rumahku. (tiba-tiba melengking penuh emosi)
bila tak ada lagi perasaan kasih dalam hati kalian… bakar rumah dan sekalian
bunuh aku! Karena hanya dengan jalan itu kalian baru bisa mengatup suaraku. (kembali
dingin dan sinis) Sekuatnya kekuasaan menutupi kebenaran yang kusuarakan,
suatu saat sejarah akan membukanya menjadi terang benderang. Saat itu, kau dan
penguasa dibalikmu akan tampak jelas sebagai wujud mahkluk yang sungguh teramat
hina.
Semua
terdiam. Sesaat kemudian, Kasila berjalan kembali menuju pintu rumahnya. Semua
orang memandang dengan takjub. Di depan pintu Kasila kembali memandang
orang-orang lalu berkata:
Kasila : Suamiku
sedang melaut! (Masuk ke rumah. Exit)
Orang-orang
saling pandang.
Petroka :
Keberanian perempuan itu sudah mencapai titik gila.
Pangaes : Ayo kita
kembali.
Petroka :
(Meneriaki Kasila) Kasila! Awas kau. Suatu saat kami akan menghabisimu!
Tiba-tiba
pintu rumah Kasila terbuka lagi. Kasila berdiri di ambang pintu itu.
Kasila : (Sinis) Aku selalu menunggumu Petroka.
Selalu menunggumu!
Semua
orang meninggalkan tempat itu.Kasila kembali masuk. Exit)
Tak berapa
lama kemudian muncul suami istri Akala dan Dreta dalam keadaan takut. Mereka
langsung masuk ke beranda dan memanggil Kasila.
Dreta :
Kasila…Kasila… ini Dreta!
Akala duduk
di bangku, batuk-batuk dan menahan dadanya yang sakit.
Kasila
muncul dari ambang pintu, dan langsung menemui kedua suami istri itu.
Dreta : Apakah
mereka ke sini? Apa yang mereka perlakukan padamu Kasila?
Kasila : Biasa, burung-burung
bangkai itu datang menebar ketakutan.
Dreta : Aku terpaksa mengajak Akala pergi dari rumah
setelah mengetahui mereka akan mendatangi rumahku.
Kasila : (mengajak Dreta duduk, setelah itu) Harusnya
kalian jangan lari, tapi hadapi mereka. Karena bila kita terus lari, maka
mereka merasa di atas angin.
Dreta : Kau tahu
Kasila, suamiku sedang sakit sejak kejadian rusuh lalu. Apa yang bisa kami
lakukan.
Akala : (Batuk sesaat) Aku tidak
mau lari…Tapi Dreta memaksa. Aku tidak takut menghadapi mereka meski dengan
tubuhku yang terasa lemah. Lebih baik aku mati dari pada jadi orang terusir
dari pulau ini.
Dreta : Rusukmu
patah, tubuhmu lemah, bagaimana kau bisa menghadapi mereka. Jangan selalu
menyalahkanku!
Akala : Melawan
tidak selalu harus dengan kemampuan adu fisik. Melawan adalah sikap. Sikap kita
melawan setiap ketidak adilan itulah yang paling penting. Tanganku tak mampu,
tubuhku tak mampu, tapi hatiku, jiwaku, perasaanku masih perkasa untuk melawan.
Kasila : Aku tak
meragukan itu Akala. Aku tak meragukannya. Tenanglah! Apa yang dilakukan
istrimu, semata-mata karena ia mengasihimu. Jangan menyalahkan Dreta.
Akala : Ia sudah
goyah Kasila. Ia sudah mulai luntur. Ia membujukku untuk melepas tanah kami ke
perusahaan tambang asing itu.
Dreta : Aku
melakukan itu karena sudah tidak tahan Akala. Setiap hari kita diintimidasi,
diawasi, di mata-matai. Kau selalu saja menyalahkanku!
Dreta ke
dego-dego di halaman dan menangis di sana.
Dreta : Apa
artinya tanah-tanah itu, bila kita kehilangan nyawa.
Akala: (Terbatuk-batuk dan marah) Lebih baik
kita kehilangan nyawa dari pada kehilangan harga diri. (Terbatuk-batuk lagi)Ini bukan sekadar persoalan tanah yang ingin
dikuasai tambang pasir besi itu Dreta. Ini persoalan hak-hak kita sebagai warga
Negara. Negara yang harusnya melindungi kita. Bukan membuat kita jadi
orang-orang terusir dari tanah kita. Ini persoalan kemanusiaan. Nilai
kemanusiaan yang ditindas oleh kekuasaan. Apakah pasir besi lebih berharga
dibanding kehidupan orang-orang pulau ini.
(terbatuk
lagi) Ini tidak sederhana Dreta. Tidak sederhana.
Kasila :
Sudalah…jangan bertengkar lagi. Masuklah kalian berdua. Dreta, Akala perlu
minum air hangat. Masuklah.
Mereka masuk ke dalam rumah. Exit.
Lampu
Padam. Waktu berganti.
BAGIAN DUA :
Sore hari. Di dego-dego dekat beranda rumahnya, John
Pargo baru usai memperbaiki kulit penampang tagonggongnya. Sesaat ia mencoba menabuh
tagonggong, sambil menyenandung sebuah lyric sasambo. Akala duduk di dekatnya.
Kasila tampak membawakan kopi untuk kedua lelaki itu, meletakkannya di
dego-dego lalu kembali masuk ke rumah. Beberapa saat kemudian John Pargo
berhenti lalu mengajak Akala minum.
Akala : Sudah
sejak lahir kita di pantai ini. Kita seperti dua lelaki penjaga pulau. Anak
kita berdua sekeloh dan bekerja di kota, tapi kita berdua tetap memilih tinggal
di sini. Terasa belum lama. Tagonggong warisan ayahmu juga masih tampak bagus.
Suaranya masih merdu mengiringi suara
satwa berkesiur. Tapi perusahaan tambang pasir besi itu datang merusak
semuanya.
John Pargo : (setelah
menyesap kopinya) Bukan cuma alam yang akan rusak, juga tradisi dan budaya
pesisir kita akan lenyap. Keturunan kita di hari kemudian tak lagi bisa mencium bau hutan lindung dan mangrove yang
segar di tanah airnya sendiri. Juga debur ombak dan laut yang meniupkan uap
asin dan bisikan-bisikan ikan yang meneguhkan hati. Hal-hal indah itu kini seakan dipaksa berhenti. Kekuasaan
selalu punya racun ditegukkan ke rakyat. Rakyat selalu menjadi mahkluk rombeng
terlunta-lunta di atas bumi.
Sesaat
kemudian muncul Bumbeka, lelaki yang dituakan di kampung itu.
Bumbeka : Pargo!
John Pargo
dan Akala menengok ke arah suara.
John Pargo : Mari
Tua Bumbeka. Duduklah!
Bumbeka
kemudian duduk di dekat John Pargo.
Bumbeka : Syukur
kau di rumah Pargo. Akala ternyata kau juga di sini.
Akala : Aku tidur
di sini semalam, bersama Dreta, Tua Bumbeka.
John Pargo : Tetua
kalau sudah datang begini pasti ada maksud penting.
Bumbeka : Saya
sangat khawatir semalam Pargo. Aku mendengar orang-orang mendatangi rumah Akala
dan rumahmu. Untung tidak terjadi sesuatu.
John Pargo: Hemm…Pangaes
dan Petroka…manusia-manusia pengecut. Mereka tahu aku tidak ada di rumah jadi
mereka berani datang mengintimidasi istriku. Tua Bumbeka, suatu ketika aku akan
mematahkan batang leher kedua kolotidi itu.
Bumbeka:
Pargo…Pangaes dan Petroka itu keluargamu. Mereka sangat mendukung perusahaan
tambang pasir besi itu. Mereka bisa melakukan sesuatu yang baruk padamu dan
Akala, apalagi penguasa ada di belakang mereka.
John Pargo :
Manusia-manusia yang sudah mati akal sehatnya. Semua tanah mereka sudah dilepas
ke perusahaan tambang. Mereka menyatakan siap pergi dari pulau ini. Kalau
mereka mau pergi silahkan pergi, tapi jangan paksa aku atau Akala menyerahkan
tanah-tanah kami.
Bumbeka: (Dengan
berat hati) Terpaksa saya menjual tanah-tanah saya ke perusahaan tambang itu.
Saya sudah tua, tak tahan menghadapi intimidasi.
Akala : Harusnya
kau bertahan Tua Bumbeka.
Bumbeka : Harusnya
Akala.
John Pargo : Jadi
Tua Bumbeka akan ke mana setelah tanah-tanah itu lepas?
Bumbeka : Entahlah
Pargo…Yang pasti saya harus meninggalkan pulau ini. Ini sangat menyakitkan,
tapi apa yang bisa saya lakukan. Saya menyesal, tapi sudah terlambat. Pada usia
setua ini saya harus pergi dari pulau kelahiran saya ini entah ke mana. Tempat
mati pun saya tidak tahu. Harusnya pemerintah tidak memasukkan perusahaan
tambang itu ke pulau ini Pargo.
John Pargo :
Kesalahan juga ada pada diri kita. Mengapa kita melepas tanah-tanah kita ke
perusahaan tambang itu.
Bumbeka : Tapi
pemerintah memberi izin kepada perusahaan tambang itu.
Akala : Izin
itulah yang telah menjadi penyebab malapetaka. Pemerintah menginginkan kita
terusir. Pemerintah menginginkan kita mati. Kita mati dan hanya mereka, dan
keluarga mereka yang hidup.
John Pargo : Aku tidak
tahu apa alasan pemerintah member izin. Tapi coba Tua Bumbeka bayangkan, luas
pulau ini hanya 4.800 hektar, sementara perusahaan itu diberi izin menambang di
atas lahan seluas 2.000 hektar. Itu artinya, mendekati setengah pulau ini akan
di tambang dan kemudian tenggelam menjadi lautan. Habitat ikan akan hancur.
Lingkungan porak-poranda. Pemerintah benar-benar tidak memikirkan nasib 2.649 jiwa yang menghuni pulau ini. Nasib kita seperti
binatang yang sesuka hati diusir dari pulau kita.
Bumbeka : Yang
bisa saya lakukan hanya berdoa meminta pertolongan Tuhan.
John Pargo :
Benar Tua Bumbeka, engkau harus berdoa…aku juga berdoa kiranya ada pertolongan
Tuhan bagi kita. Dan aku bersyukur karena hingga kini Tuhan memberikanku
kekuatan melawan. Kerena pulau ini adalah anugerah Tuhan bagi kita dan bagi
bangsa kita.
Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Itu bunyi pasal 33 dalam undang-undang dasar Negara kita.
Karena para pendiri bangsa sadar betul nilai karunia Tuhan itu harus
dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan untuk kepentingan penguasa saja.
Bila kita dipaksa pergi dari atas
tanah-tanah kita itu berarti penguasa telah gagal menjalankan amanat
undang-undang. Dan juga gagal menafsir makna karunia Tuhan.
Bumbeka : Tapi rakyat tak pernah menang melawan
penguasa Pargo.
Akala :
(tiba-tiba marah) Siapa bilang Tua, siapa bilang rakyat tidak pernah menang
pada penguasa. Bahkan tanpa perlawanan pun sebuah kekuasaan bisa hancur bila
dikenakan dengan kesombangan, keangkuhan, dan ketidak adilan.
(terbatuk-batuk) Kekuasaan adalah jubah
api Tua Bumbeka.
Bumbeka : (Agak
geram) Mulutmu itu bisa membuat engkau terbunuh!
Akala : Aku
berharap kau bisa terus bersama kami Tua Bumbeka. Tapi kau menyerah. Uban-uban
di kepalamu akan menangis karena sikapmu itu. Bahkan burung-burung di pulau ini
akan menutupkan matanya bila melihatmu.
Bumbeka: (Marah)
Kau telah menghinaku Akala. Kau telah menghinaku. Aku tidak bisa terima ini.
Setua ini baru kau yang berani menghinaku.
Akala : Tak perlu
merasa terhina Tua. Karena orang-orang yang mudah menyerah adalah memang
orang-orang yang hina.
Bumbeka : (Sangat
Marah) Akala….kau sudah sangat keterlaluan.
John Pargo
: Tenanglah…tenanglah.
Akala dan Tua Bumbeka menjadi tenang.
John Pargo
: Aku tidak melawan penguasa Tua Bumbeka. Aku hanya menjalankan amanat Tuhan
untuk mengemukakan kebenaran. Akala juga begitu, kendati kebenaran sesulit
mencari sebatang jarum yang jatuh di jazirah semak yang luas. Kita semua boleh
tersaput dan tenggelam oleh tangan-tangan bengis kekuasaan. Tapi semangat
memperjuangan kebenaran tak boleh dibiar mati.
Bumbeka :
Harusnya semua penduduk pulau ini berpikir seperti itu.
Akala : (Sinis) Begitu seharusnya!
Bumbeka: Akala…
kau mulai lagi.
Akala : Dari dua
belas murid Yesus saja ada Judas yang
tergila-gila oleh uang dan kekuasaan, ada Petrus yang menyangkali Yesus karena
takut pada ancaman kematian, ada Tomas
sang peragu dan hanya percaya pada kenyataan yang terlihat oleh mata dan
teraba oleh tangan. Sudalah Tua Bumbeka, aku tahu kau akan pamit untuk pergi
dari pulau ini. Selamat jalan.
Bumbeka: (Sinis)
terima kasih Akala. Tapi kuingatkan kau, orang yang mencelupkan roti sepinggan
dengan Yesus, justru dia yang paling berbahaya.
Tua Bumbeka merasa tertekan dan berlalu dari sana. EXIT. Sesaat
kemudian, John Pargo kembali mengambil tagonggongnya dan menyenandungkan sebuah
lagu.
Lampu
Padam. Waktu berganti.
BAGIAN TIGA
Sore hari. Kasila sedang menapis beras di beranda. Tak
berapa lama muncul John Pargo yang baru pulang dari kebun.Meletakkan bawaannya
di samping beranda.
Kasila : Bagaimana
kaadaan kebun?
John Pargo
: Tanaman-tanaman mulai layu. Bagian bukit yang di atas sudah mereka gali. Kita
kehilangan hutan penyangga air.
Kasila :
Benar-benar malapetaka. (Merenung dan sedih)
John Pargo masuk ke dalam rumah, lalu kembali keluar dengan
mok air minum dan meneguknya. Ia tampak mikirkan sesuatu.
John Pargo :
Seluruh warga kampung sebelah sudah menyerah dan mulai pergi.
Kasila : Setelah
Tua Bumbeka menyerah , di sini tinggal kita, Akala dan keluarganya serta
beberapa rumah di ujung sana. Saya dengar, mereka juga sudah bersedia menjual
tanah mereka.
John Pargo :
Aku mampir di rumah Akala tadi. Ia tampak sungguh menyedihkan. Ia terbaring
sakit di rosban. Dreta ternyata sudah menerima uang dari pihak perusahaan
tambang itu dan pergi meninggalkannya.
Kasila : Sungguh kasihan
Akala. Apa yang bisa dilakukannya dengan tubuh yang sakit itu.
John Pargo :
Aku sudah menyarankannya untuk pergi menyusul istrinya. Tapi ia tetap berkeras
bertahan di rumahnya. Besok rumahnya akan digusur.
Kasila : Moga
Tuhan menolong dan menguatkan hatinya.
Kasila masuk ke dalam rumah membawa
beras yang baru ditapisnya. John Pargo mengaso di dego-dego. Tak berapa lama
Kasila muncul lagi dengan beberapa pakaian basah kemudian mengantungya di tali
jemuran yang membetang tak jauh dari dego-dego.
John Pargo
: Aku heran. Orang-orang yang tanah dan rumahnya tidak masuk dalam areal
tambang justru ikut mengintimidasi warga yang justru sedang berjuang
menyelamatkan pulau ini.
Kasila : Uang
telah membeli semuanya. Jangan warga, penguasa pun bisa goyah di hadapan uang.
John Pargo :
Tapi tidak semua warga kita yang pergi karena takluk pada uang. Mereka pergi
karena ingin cari selamat. Mereka lupa dimana hidup dan mati itu ada di tangan
Tuhan.
Kasila : Logika
semacam itu hanya ada di otak orang sepertimu.
Tak berapa lama masuk kembali Tua Bumbeka dengan kepala yang
berdarah dan tampak kesakitan. John Pargo dengan cepat menyambut Tua Bumbeka
dan membawanya ke dego-dego.
John Pargo
: siapa yang melakukan ini, Siapa Tua?
Tua Bumbeka yang kesakitan tidak bisa menjawab. Kasila
tampak berusaha menolong.Tak berapa lama, dua orang pemuda menyeret seorang
lelaki yang berhasil mereka tangkap karena memukul Tua Bumbeka.
Pemuda 1 : Pargo… orang ini yang memukul Tua Bumbeka.
Menatap orang yang tertangkap itu dengan penuh kebencian.
John Pargo:
(ke Kasila) Bawa Tua ke dalam rumah.
Kasila menuntun Tua Bumbeka ke dalam rumah. John Pargo
berjalan cepat menuju lelaki yang ternyata Petroka itu, lalu menjambak kerak
bajunya dengan penuh amarah.
John Pargo
: Kau…kau Petroka. Bajingan kau. Kau berani memukul orang setua itu. Kau
benar-benar pengecut. Kalau kau
laki-laki ayo lawan aku.
John Pargo kemudian mendorong Petroka hingga terjerembab,
lalu mengajaknya berkelahi.
John Pargo
: Ayo berdiri. Lawan aku. Berdiri…lawan aku Petroka.
Petroka ketakutan dan tidak mau berdiri. John Pargo mendekatinya
dan kembali menjambak kerak bajunnya. Petroka kelihatan kian ketakutan. John Pargo mencabut sebilah pisau dari balik
bajunya dan mengancam Petroka.
John Pargo :
Petroka
kau tahu aku bisa membenamkan pisau ini ke jantungmu bila aku mau. Sekarang
katakan apa alasanmu memukul Tua Bumbeka. Katakan!
Petroka :
Dia tidak menyerahkan komisi penjualan tanahnya padaku. Dia berbohong padaku.
John Pargo
: Jadi kau juga menarik komisi dari warga yang menjual tanahnya?
Petroka : Aku
bertindak sebagai perantara mereka dengan pihak perusahaan tambang. Jadi aku
wajib dapat komisi.
John Pargo:
Kau benar-benar kolotidi Petroka. (menguncang-guncang Petroka) Benar-benar kolotidi.
Sampai hati kau merampok dari warga yang sudah terusir itu. (Memerintah dua pemuda) Ikat dia,
setelah itu kita bawa ke aparat desa untuk mengurusnya.
Dua pemuda itu mengikat Petroka. John Pargo masuk ke dalam
rumah, tak berapa lama keluar lagi lalu mereka pergi membawa Petroka.
Lampu
Padam. Waktu berganti.
BAGIAN EMPAT
Sudah dini hari. Suasana sunyi yang hanya diisi suara deburan ombak
dan bunyi jengkrik. Kemudian terdengar suara ayam berkokok petanda dini hari. Tak
berapa lama muncul Akala terlihat mendekati beranda. Ia begitu panik dan
gelisah.
Akala :
Kasila…Kasila…aku Akala!
Sesaat
kemudian pintu terbuka dan Kasila keluar.
Akala : Cilaka
Kasila…cilaka. Mereka membawa Pargo dengan perahu.
Kasila : Membawa
pargo?
Akala : Iya
kasila!
Kasila : Siapa
mereka?
Akala : Aku
kurang jelas, terlalu gelap untuk bisa mengenali mereka. Tapi yang pasti di
sana ada Pangaes dan Petroka.
Kasila : Bukankah
Pargo dan dua pemuda itu membawa Petroka ke aparat desa? Mengapa kini Pargo
yang justru mereka bawa pergi?
Akala : Itulah.
Kita butuh penjelasan. Mana Tua Bumbeka? Kata orang ia ke sini bersama Petroka?
Ia yang bisa menjelaskan semua ini.
Kasila : Ia sedang
istirahat di dalam. Ia dipukuli hingga
kepalanya luka. Dan dua pemuda itu membawa Petroka ke sini karena telah
memukuli Tua Bumbeka.
Akala : Tidak
seperti itu. Pasti tidak seperti itu penjelasannya Kasila. Itu sebuah rencana
menjebak Pargo.
Akala
dengan geram masuk ke rumah Kasila. Sementara Kasila tampak bingung dengan
sikap Akala. Tak berapa lama, Akala meskipun dalam keadaan sakit berusaha
menyeret Tua Bumbeka keluar.
Akala : Kau
harus menjelaskan semuanya Tua. Katakan
pada Kasila apa sesungguhnya yang terjadi.
Akala
menyeret Tua Bumbeka ke sebuah batang kayu dan mendudukannya di sana.
Akala : Katakan
yang sebenarnya Tua. Ini menyangkut nyawa seseorang.
Kasila :
Sesungguhnya ada apa Tua?
Tua
Bumbeka tampak begitu gelisah dan merasa bersalah. Ia seperti tak mampu
mengatakan sesuatu.
Akala : Katakan yang sebenarnya
Tua.
Tua Bumbeka : Saya
amat menyesal Kasila. Amat menyesal. Mereka memaksaku untuk melakoni sandiwara
ini.
Akala : Jadi kau
berpura-pura dipukuli, lalu dua pemuda itu datang pura-pura menangkap Petroka.
Dan setelah Pargo pergi bersama-sama membawa Petroka, lalu mereka menangkapnya?
Tua Bumbeka: Rencana
mereka seperti itu Akala. Tapi saya tidak pura-pura dipukuli. Mereka
benar-benar memukuli saya Akala.
Kasila
tampak terpukul dan sulit bicara. Ia duduk di dego-dego dan berusaha menahan
emosinya.
Akala : Dengar
itu Kasila…Dengar itu! Tua Bangka ini ikut terlibat dalam permainan kotor
mereka.
Tua Bumbeka : Aku
dipaksa Akala. Aku dipaksa. Kalau tidak mereka akan membunuhku.
Akala : Kau
menghindar dari kematian, dan menyerahkan kematian itu pada Pargo.
Tua Bumbeka : Tidak
seperti itu Akala.
Kasila
tampak mulai menemukan kata-katanya.
Kasila : (Sinis dan dingin) Lalu seperti apa tua
Bumbeka… (tiba-tiba melengking penuh
emosi) Lalu seperti apa tua Bumbeka!
Tua
Bumbeka terkejut dan kecut dengan kemarahan Kasila. Ia berusaha mendekati
Kasila memohon ampun.
Tua Bumbeka : Kasila
maafkan saya. Saya tidak bermaksud …
Kasila : (Penuh emosi) Saya tidak bermaksud apa? Pergilah kau dari
sini! Tak ada lagi rasa hormat tersisa untukmu.
Tua
Bumbeka mundur agak menjauh dari Kasila. Ia menatap Akala dengan segan.
Akala : (dingin tapi sangat sinis) Orang
yang mencelupkan roti sepinggan dengan Yesus tak selalu ia sosok Judas. Tidak
selalu Tua Bumbeka. Pergila… (menatap Tua
Bumbeka tajam dan berseru keras) Pergilah… sebab aku juga bisa
membunuhmu kalau aku mau.
Tua
Bumbeka akhirnya pergi dengan perasaan gelisah dan malu.
Akala dan
Kasila terdiam sejenak mengikuti pikiran masing-masing. Sesaat kemudian baru
Akala mengusulkan sesuatu.
Akala : Kau
harus melaporkan ini pada aparat Kasila.
Kasila : Tidak
ada gunanya. Hukum pasti tidak berpihak pada kita.
Akala : Tapi aku
bisa jadi saksi Kasila.
Kasila : Bila
kau lakukan itu, kau akan masuk daftar orang yang harus dihilangkan.
Akala : Jadi apa
rencanamu setelah ini?
Kasila : Meneguk
cawan seperti Yesus. Karena kadang kebenaran tidak menang di hadapan hukum.
Tapi kebenaran senantiasa menang di hadapan sejarah.
Akala : (Tampak menelan kepahitan) Sungguh menyedihkan.
Benar-benar menyedihkan. (sesaat
kemudian) Aku pergi. Selamat tinggal.
Kasila : Selamat tinggal Akala. Selamat tinggal.
Suasana
jadi muram. Bunyi ombak. Suara jengkrik. Lampu padam.
Kampung
Pece, Tuminting, Juni 2015
Tamat
Iverdixon
Tinungki.
Dilarang
dipentaskan tanpa seizing pengarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar