AKU
DAN PUISIKU
Sekilas
Catatan Proses Kreatif
Oleh:
Iverdixon Tinungki
Sejatinya,
jalan menuju puisi adalah jalan tanpa ujung berhenti. Semacam upaya terus
menerus membongkar diri, mencari penghayatan yang dalam dan sublim tentang
hidup dan kehidupan. Karena ada yang selalu menarik untuk diburu, ada yang
selalu meminta untuk ditulis. Kesadaran dan perasaan ini barangkali yang muncul
dalam ungkapan, “puisi yang baik dan indah selalu berupa puisi yang belum
ditulis”.
Setiap
kali aku menyelesaikan sebuah puisi sebagai titik pencapaian dari pencarianku,
selalu terpampang kembali rute lanjutan dengan setangkup keterpesonaan yang
baru. Sebab, pada akhirnya seorang penyair akan berusaha menempatkan puisinya
dalam situasi yang bebas, dimana ketika penyair mencapai titik kehidupan
manusia yang bebas pula, menjadi individu yang memiliki kemampuan impulsif yang
serba spontan. Di rute inilah menurutku seorang penyair tumbuh dan berkembang
dengan seluruh pengalamannya yang disebut sebagai proses kreatif kepenyairan. Proses
kreatif inilah yang barangkali dimaksudkan semiolog Roland Barthes dimana
penyair adalah subyek yang terkonstruksi secara sosial dan historis.
Pada
kurun awal barangkali seperti pengalaman penyair lain, aku berada dalam konsep
bersastra yang paradikmatik. Menulis puisi mengikuti model puisi yang sudah ada
baik bersumber pada bentuk-bentuk puisi tradisional, atau mengikuti
bentuk-bentuk Mazmur dalam Injil, bentuk-bentuk puisi dalam buku teks pelajaran
sekolah yang tersedia. Apa yang ditulis adalah ekspresi paling individual dari
emosi yang paling individual yang bersifat spontan. Masih terbatasnya upaya
identifikasi tanda (signifier) dan
penanda (signified). Pikiran dan rasa
belum dikelola untuk mencapai kemampuan maksimalnya sehingga puisi itu punya kekuatan
elektis memperagakan kebebasan. Masih bertumpu pada acuan abstrak, berupa
impresi-impresi dari obyek tertangkap oleh pikiran dan rasa yang terbatas.
Sebagai puisi yang ditulis menurut tangkapan indera dan rasa, maka karya-karya
awal ini berisi kekaguman pada alam, manusia, dan peristiwa-peristiwa khusus
yang mempesona hati. Apa yang tertangkap oleh indera dan rasa itulah yang
tertulis dalam wujud apa adanya. Seperti wujud-wujud obyek yang tertangkap
kamera seorang fotografer amatir. Citraan dan diksi yang serba lugu dibangun
dalam struktur yang tidak canggih. Tapi puisi-puisi awal yang kutulis semasa
SMP dan SMA itu bukan berarti tidak berguna, karena sesederhana apa pun, sebuah
puisi adalah karya humanis yang menceritakan hidup dan kehidupannya. Dan dalam
proses bercerita itulah sesungguhnya seorang penyair sedang merayakan
kehidupannya dengan cara menghargai kehidupan secara keseluruhan.
Apa
yang saya alami dikurun awal, barangkali juga dialami penyair lain yakni
keterbatasan isi pikiran, keterbatasan rasa, dan keterbatasan tubuh. Padahal
setidaknya tiga elemen diri ini perlu dikebangkan mengikuti cara-caranya.
Pikiran di mana di tempat itu beradanya kecerdasan perlu diolah atau diisi
dengan bacaan-bacaan berupa buku-buku ilmu pengetahuan, dan buku-buku lain yang
dipandang penting untuk pengayaan wawasan, juga pengayaan melalui penelitian,
wawancara, diskusi-diskusi bahkan bila mungkin lewat studi formal. Demikian
pula rasa perlu pengelolaan yang ajek agar kita memiliki kepekaan. Olah rasa
ini bisa dikelola lewat latihan-latihan meditasi, yoga, kontemplasi, mendekatkan
diri pada alam, lingkungan, atau ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial
kemanusiaan. Semua itu akan memberikan pengayaan pada aspek rasa. Pengelolaan
rasa ini tentu dapat dikebangkan dengan cara-cara lain berlatih menyanyi,
memainkan musik, tari, lukis, teater, dan atau membacakan puisi. Elemen tubuh
juga mesti mendapatkan perhatian pengelolaannya hingga bisa menopang
kepentingan dua elemen lainnya di atas. Di antaranya latihan bersifat penguatan
fisik berupa olah raga, gestur, mimik, dan disiplin-disiplin dalam mengikuti
ritme hidup keseharian. Juga latihan mengenal sifat dan fungsi tubuh, hingga
kita benar-benar mengenal tubuh kita sendiri.
Dengan
terkelolanya tiga elemen diri ini setidaknya seorang penyair dapat dibilang
sudah punya modal awal untuk menuju terciptanya karya yang baik. Tapi modal
awal ini tidak akan cukup bila, kita tidak melatih kemampuan teknis dalam
menulis. Ide-ide atau imaji-imaji yang berkelindan dalam pikiran kita akan
sulit tertuang menjadi puisi bila kemampuan teknis ini tidak kita latih dengan
benar dan sungguh-sungguh. Maka melatih menulis puisi terus-menerus akan
menambah terjadinya akselerasi antara pikiran dan rasa yang telah cukup modal
itu untuk mewujudkan sebuah karya. Berlatih menulis juga akan mempertemukan
kita dengan kemampuan berbahasa. Karena bahasa sebagai media ekspresi dalam
puisi tak bisa dicomot begitu saja untuk mengungkap ide, gagasan yang ingin
kita tuang dalam sebuah puisi. Proses pemilihan bahasa atau kata (diksi)
merupakan hal prinsip dalam sebuah proses penulisan puisi, agar struktur puisi
kita terasa kokoh dan canggih atau mencapai bentuknya yang estetik. Karena pada
akhirnya sebuah puisi adalah kehadiran bahasa dan kehadiran realitas.
Menurutku,
puisi yang baik dan indah itu lahir dari seorang penyair yang tahu apa yang
akan ia tulis, mengerti apa yang akan ia tulis, dan memiliki kemampuan teknis
untuk menuliskannya. Hal inilah yang disebut sebagai kemampuan impulsif seorang
penyair dalam melahirkan puisi secara spontan bahkan kadang tidak disadari sang
penyair sendiri.
Apa
yang kutulis di atas sesungguhnya adalah hal-hal bersifat umum yang mengacu
pada pengalaman proses kreatifitasku dalam menulis puisi. Masih banyak hal-hal
khusus dan detil yang ikut memberi warna tersendiri bagiku melintasi jalan
proses kreatifitas itu.
Rahasia
sukses menulis puisi sesungguhnya terletak pada keberanian kita untuk menulis
puisi yang pertama. Sebab, ketika puisi pertama lahir, maka puisi-puisi
selanjutnya akan memaksa kita untuk dilahirkan. Puisiku yang pertama berjudul:
“Bunga Mawar”. Kini aku tidak ingat lagi seluruh isi dari puisi itu karena
sudah tercecer entah di mana. Tersisa dari ingatanku tentang puisi “Bunga
Mawar” ini adalah isinya berupa doa terindah dari hatiku kepada Tuhan. Suatu
doa seindah Bunga Mawar. Dari mana datangnya ide menulis puisi Bunga Mawar?
Setidaknya ada tiga referensi utama yang melandasi gagasan puisi ini yakni:
Pertama, di halaman rumah kami ada beberapa rumpun bunga mawar berwarna merah
tua, dan merah muda. Kedua, keterpesonaanku pada kitab Mazmur yang ditulis Nabi
Daud dalam bentuk puisi. Ketiga, kekagumanku pada puisi karya Chairil Anwar berjudul
“Doa”. Puisi Bunga Mawar kutulis pada usiaku 13 tahun saat aku SMP kelas 1.
Sejak lahirnya puisi pertama ini di tahun 1976, hingga pada saat ini (2016) aku
telah menulis sekitar 900-san puisi yang antara lain sudah terdokumentasi dalam
7 buku puisi tunggal, dan beberapa antologi puisi, serta beberapa manuskrip
siap terbit. Ada juga seratusan puisi awal yang tercecer dan hilang.
Bila
anda yang bertanya, apa tujuanku menulis puisi sebanyak itu? Maka jawabannya
adalah, puisi merupakan salah satu hal yang paling membahagiakanku dalam
merayakan kehidupan ini. Bukankah hidup adalah karunia Ilahi yang paling
berharga bagi manusia? Maka puisi adalah doaku di tengah perayaan hidupku.
Dalam perayaan hidup itu, aku merasa ada hal-hal yang patut kumuliakan dan ada
hal-hal yang patut kukritisi. Dan puisiku berada di kutub kesadaran memuliakan
dan mengkritisi itu.
PERKENALAN
PERTAMA DENGAN PUISI
Perkenalan
pertamaku dengan puisi modern Indonesia terjadi pada Agustus 1974. Ketika itu
usiaku 11 tahun, masih duduk di kelas 5 SD GMIM 3 Manado. Ceritanya, menjelang
perayaan dan peringatan hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus, aku mendapatkan
tugas mendeklamasikan sebuah puisi pada acara di sekolah usai upacara bendera.
Guru Wali Kelas yang akrab kami sapa Engku Kakumboti memberiku puisi berjudul
“Doa” karya Chairil Anwar. Ia menjelaskan pesan yang ada dalam puisi tersebut,
katanya, puisi itu berisi doa yang tulus, dan penyerahan diri yang ikhlas dan
sungguh-sungguh kepada Tuhan. Puisi itu kuhafal, kemudian kudeklamasikan pada
saat acara dimaksud. Aku masih ingat ketika itu teman-teman sekolah dan para
guru bertepuk tangan gembira seusai aku mendeklamasikan puisi itu dengan penuh
penghayatan sampai meneteskan air mata. Apalagi saat berdeklamasi aku diiringi
dengan petikan gitar oleh Engku Kakumboti membawakan sebuah lagu himne
perjuangan. Sejak perkenalan dengan puisi “Doa” ini, aku jadi suka dengan
puisi. Puisi tersebut akhirnya menjadi materi deklamasiku di mana-mana.
Aku
tak dapat membayangkan andai saja Chairil Anwar tidak menulis puisi “Doa”, maka
aku tak punya bahan puisi untuk kudeklamasikan diberbagai tempat, bahkan dari
gereja ke gereja pada ibadah Minggu siang. Barangkali juga aku tak punya kesan
yang mendalam tentang puisi, dan bisa saja aku tak setertarik sehingga saat ini
dalam menulis puisi. Puisi “Doa” karya Chairil Anwar telah menjadi inspirasi
awal bagiku yang memicu ketertarikanku lebih mendalam pada dunia puisi.
Mengapa
aku suka berdeklamasi? Pertanyaan ini tentu cukup penting diajukan, karena di
sanalah letak akar lain kesukaanku pada puisi. Ceritanya, sejak kecil ayah dan
ibuku suka menuturkan cerita rakyat atau membacakan syair-syair kepada kami
--aku dan saudara-saudaraku-- menjelang tidur. Bagi anak suku Sangihe, tradisi
bercerita itu disebut mebio. Cara
kedua orang tua itu bertutur sangat menarik dan ekspresif hingga aku nyaris
hafal semua cerita yang pernah dituturkan ayah dan ibu dan sering kututur
kembali kepada sahabatku-sahabatku di kampung dan di sekolah. Itu sebabnya,
ketika Wali kelasku memintaku mendeklamasikan puisi “Doa” aku langsung
menyanggupinya, karena aku amat girang mendapatkan kesempatan mendeklamasikan
sebuah puisi di hadapan teman-temanku dan para guru. Lambat laun aku kian
tertarik mencari puisi Chairil Anwar yang lain. Aku juga mulai berburu
puisi-puisi berbagai penyair. Waktu itu aku bertemu puisi-puisi, Taufig Ismail,
Hamid Djabbar, Toto Sudarto Bachtiar, Amir Hamzah, WS. Rendra, bahkan
puisi-puisi penyair dunia seperti Wiltman, Hugo, dan masih banyak lagi.
Aku
terus berdeklamasi dengan puisi-puisi para penyair yang kutemukan itu.
Dua tahun kemudian, terpikir mengapa aku tidak menulis puisi sendiri, hingga aku bisa mendeklamasikan puisiku. Pada 1976 akhirnya untuk pertama kali aku menulis puisi, judulnya “Bunga Mawar”. Puisi itu kudeklamasikan berkali-kali, baru berhenti ketika aku bisa menulis puisiku yang kedua. Sebagai siswa SMP, menulis puisi tentu semata untuk kesenangan saja. Tidak terpikir puisi pertama kedua bahkan puluhan puisi lainnya itu harus disimpan atau didokumentasikan. Biasanya juga hanya ditulis di selembar kertas, isinya dihafal, dan kertasnya tercecer, dan hilang entah ke mana.
Dua tahun kemudian, terpikir mengapa aku tidak menulis puisi sendiri, hingga aku bisa mendeklamasikan puisiku. Pada 1976 akhirnya untuk pertama kali aku menulis puisi, judulnya “Bunga Mawar”. Puisi itu kudeklamasikan berkali-kali, baru berhenti ketika aku bisa menulis puisiku yang kedua. Sebagai siswa SMP, menulis puisi tentu semata untuk kesenangan saja. Tidak terpikir puisi pertama kedua bahkan puluhan puisi lainnya itu harus disimpan atau didokumentasikan. Biasanya juga hanya ditulis di selembar kertas, isinya dihafal, dan kertasnya tercecer, dan hilang entah ke mana.
Kegemaranku
menulis dan mendeklamasikan puisi akhirnya mendorongku bergabung dengan sebuah
Sanggar Seni Remaja di Manado pada 1979. Di Sanggar Seni Remaja, aku ikut
dikelompok puisi dan drama. Beberapa kali aku tampil mendeklamasikan puisiku
dan bermain drama pada pergelaran Sanggar. Pada suatu ketika di tahun 1981,
untuk pertama kali aku ikut lomba baca puisi yang diselenggarakan Karang Taruna
Manado, bertempat di Maasing, Manado Utara, aku menjadi juara pertama. Puisi
yang kubacakan karya penyair asal Manado, Hussen Mulachele berjudul “Makin”.
Pada kesempatan inilah kemudian aku mendapatkan perhatian khusus dari seorang
juri bernama Kamajaya Alkatuuk. Beliau menemuiku secara khusus saat usai lomba.
Kami berkenalan, dan ia memperkenalkan dirinya sebagai Mahasiswa FPBS IKIP
Manado. Ia mengatakan kagum dengan caraku membacakan puisi. Ia menanyakan
apakah aku juga menulis puisi. Setelah kujawab iya, ia langsung meminta
alamatku dan berjanji akan datang ke rumahku untuk melihat-lihat puisiku.
Sejak
kunjungan pertamanya ke rumahku, ia langsung gembira membaca puluhan puisiku.
Ia bilang aku punya bakat menulis puisi. Kami kian akrab ketika Bung Kamajaya
bergabung di Sanggar Remaja Manado sebagai pelatih teater dan puisi. Baik
bersama dengan anggota sanggar lainnya setiap pekan ada diskusi teater dan
puisi, ada latihan naskah dan baca puisi, ada latihan dasar-dasar teater dan
penulisan puisi. Bung Kamajaya yang ternyata seorang penyair dan dramawan yang
handal itu juga memintaku untuk mengirimkan puisiku ke koran-koran lokal di
Manado, dan ternyata nyaris setiap pekan puisiku muncul di harian-harian lokal.
Puisiku juga sempat menjadi juara pertama lomba mengarang puisi tingkat SLTA se
Sulut yang diadakan Kanwil Depdikbud. Berkali-kali juga aku jadi juara baca
puisi tingkat SLTA dan bahkan tingkat umum. Prestasi-prestasi itu tentu kian
memacu kesukaanku pada puisi. Aku memang gemar membaca sejak SD, terutama
buku-buku cerita bergambar, atau komik. Kegemaran membaca itu kian tersalurkan
ketika aku mendapatkan bimbingan khusus dari Bung Kamajaya. ia mengarahkan
buku-buku yang harus kubaca untuk menambah wawasanku diseputar penulisan puisi.
Ia memberikan aku sejumlah buku puisi para pesastra mutakhir Indonesia. Aku
mulai berkenalan dengan karya-karya puisi Gunawan Mohamad, Sapardi Joko Damona,
Adul Hadi WM, Sutardjo Colzum Bachri, puisi-puisi terbaru WS Rendra, dan
lain-lain. Ia juga memberikan buku Kajian-kajian sastra, esai-esai, mitologi
Yunani, sosiologi, filsafat, sejarah dan buku-buku lainnya mengkaji
persoalan-persoalan di seputar masalah-masalah sosial dan politik. Dari sanalah
kemudian aku kian gemar membaca buku-buku yang isinya serius lintas disiplin
ilmu.
Novel-novel
popular dari pengarang Indonesia, novel dektektif dan spionase dari pengarang
luar yang gemar kubaca mulai bergeser ke novel-novel sastra karya pengarantg
Indonesia dan pengarang luar. Aku melahap nyaris semua novel karya Leo
Toslstoy, Fyodor Dostoyevsky dan Puisi serta cerita-cerita karya Kahlil Gibran.
Aku juga membaca karya-karya Rembindranath Tagore, Johann Wolfgang Von Goethe,
Shakespeare, Mishima, Kawabata, Ignasio Silone, dan sederet nama pengarang
popular di Indonesia dan dunia. Aku juga mulai membaca drama-drama karya
terjemahan dari para dramawan dunia, selain karya-karya Putu Wijaya, Arifi C
Noor, Nano Riantiarno dan dramawan Indonesia lainnya .
Dengan
semua bacaan itu, aku merasa mulai menemukan pijakan nilai dan pijakan teknis
dalam proses penulisan puisiku, juga drama-dramaku. Mata hatiku yang kugunakan
untuk menulis yang awalnya masih meraba-raba dalam gelap ketidaktahuan mulai
melihat bintik-bintik sinar yang muncul dalam karyaku.
Ketika
Sanggar Remaja Manado bubar di tahun 1982, Bung Kamaja Alkatuuk mendirikan
Teater Alit Muara. Aku bergabung di teater ini bersama kawan-kawan dari
kelompok teater dan puisi sewaktu di Sanggar Remaja Manado. Teater Alit Muara
memiliki kegiatan yang terbilang padat, baik ikut festival, pergelaran,
diskusi, dan latihan-latihan dasar teater dan penulisan. Bung Kamajaya juga
mengajakku menghadiri diskusi-diskusi di Teater Manado, yang anggotanya para
dramawan dan sastrawan senior di Sulawesi Utara. Materi-materi diskusi yang
berat dari filsafat hingga sastra mutakhir dan kritik sastra kuikuti dengan
perasaan penasaran yang menyala-nyala.
Bila
aku tidak mengerti, maka Bung Kamajaya selalu menyiapkan waktu menjelaskannya
padaku dengan bahasa yang sederhana hingga aku mengerti. Sifatku yang suka
bertanya bila tak mengerti topik-topik diskusi atau penasaran dengan isi suatu
buku, membuat aku sering juga berdiskusi secara khusus dengan para senior,
seperti Penyair dan Dramawan Hussen Mulachele, Benni M. Matindas, Baginda M.
Tahar. Sejak itu aku merasa banyak pengetahuan yang bertambah, selain itu aku
mulai akrab dengan kosa kata sastra dan kosa kata ilmiah yang berat-berat itu.
Aku membeli kamus sastra dan kamus bahasa Indonesia, untuk mencari penjelasan
dan pengertian tentang kosa kata baru yang kudengar. Akhirnya asupan dan
tabungan kata yang kuketahui kian banyak, dan itu sangat berguna saat menulis.
Dalam
proses kreatif ini aku berkesimpulan dimana seorang penyair adalah seseorang
yang berguru pada semua orang, berguru pada semua pengalaman, berguru pada
alam, dan sebisa-bisanya belajar semua bidang ilmu pengetahuan. Artinya kepada
seorang petani pun penyair akan datang berguru. Saat seorang penyair menemukan
makna dalam proses kotemplasinya, maka ketika ide dan gagasan itu akan
dituangkan ke dalam puisi, ia akan membutuhkan pengetahuan yang cukup untuk
mengusai system yang membentuk makna itu. Bila diandaikan secara sederhana,
seorang penyair dalam menulis sebuah karya setara dengan upaya mengurai
perjalanan beras menuju kenyang.
TENTANG BUKU
KUMPULAN PUISI KARYAKU
Buku
Kumpulan Puisiku yang pertama “Sakral” terbit tahun 1987, diterbitkan Alit
Muara. Sakral berisi 33 puisi yang kutulis semasa SMA hingga tahun-tahun awal
masa kuliah (1982-1985). Ketika buku Sakral terbit, aku mahasiswa semester 4 di
Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik Merdeka Manado (Stisipol).
Buku
kedua “Surat-surat Sunyi” diterbitkan Departemen IPAIT Sinode GMIM, 1994. Buku
Kumpulan Puisi ini memuat 72 sajak, yang kutulis dikisaran 1986-1993, ditengah
kesibukan kerja sebagai jurnalis dan kuliah.
Buku
ketiga “Di Tangan Angin”. Kumpulan Puisi ini berisi 96 puisi ditulis dalam
kurun 1994-2000, diterbitkan Sanggar Kreatif Manado, 2001.
Buku
keempat “Aku Laut Aku Ombak” Kumpulan puisi berlatar tradisi Nusa Utara, berisi
61 puisi, diterbitkan Kutub Jokyakarta, 2009.
Buku
kelima “Klikitong”. Kumpulan ini berisi 134 puisi berlatar alam, manusia,
sejarah dan tradisi Nusa Utara, diterbitkan Teras Budaya Jakarta, 2013. Buku
ini penerima Anugerah Puisi tahun 2013 dalam peringatan Hari Puisi Indonesia
setelah berhasil meraih Buku Puisi Pilihan pada Sayembara Buku Puisi Indonesia
tahun 2013.
Buku
keenam “Makatara”. Kumpulan Puisi diterbitkan Teras Budaya Jakarta, 2014,
berisi 168 puisi. Buku ini juga penerima Anugerah Puisi tahun 2014 dalam
peringatan Hari Puisi Indonesia setelah berhasil meraih Buku Puisi Pilihan pada
Sayembara Buku Puisi Indonesia tahun 2014.
Buku
ketujuh “Kopero”. Kumpulan Puisi diterbitkan Teras Budaya Jakarta, 2015, berisi
175 puisi.
Sejumlah
puisiku juga terangkum dalam beberapa Antologi Puisi: Mimbar Penyair Abad 21,
diterbitkan Balai Pustaka, 1996. Dua Penyair Sulut, diterbitkan Bengkel Seni
Mandiri, 1990.
Sasambo, diterbitkan Forum Komunikasi Budaya Satal, 1989. Aceh Berduka, diterbitkan Balai Bahasa Medan, 2004. Duka Aceh Duka Kita, diterbitkan Yayasan Tagonggong, 2004. Pinangan, diterbitkan Teras Budaya Jakarta, 2012. Antologi Puisi “Bersepeda ke Bulan”, diterbitkan Indopos, 2014. Antologi puisi Penyair Indonesia – Malaysia 2015.
Sasambo, diterbitkan Forum Komunikasi Budaya Satal, 1989. Aceh Berduka, diterbitkan Balai Bahasa Medan, 2004. Duka Aceh Duka Kita, diterbitkan Yayasan Tagonggong, 2004. Pinangan, diterbitkan Teras Budaya Jakarta, 2012. Antologi Puisi “Bersepeda ke Bulan”, diterbitkan Indopos, 2014. Antologi puisi Penyair Indonesia – Malaysia 2015.
TENTANG PROSES
PENULISAN
Kesadaran
yang mendasari proses penulisan puisiku yakni dimana puisi merupakan cerminan
sekaligus kritik atas realitas. Puisi sebagai sesuatu yang berkaitan erat
dengan jiwa sebagai resepsi emosi manusia dari realitasnya, juga sebagai
representasi realitas, dan ekspresi manusia dalam menanggapi realitasnya. Puisi
tak sekadar permainan kata tanpa makna, tapi penggalian dengan diantaranya
spirit merevitalisasi ruh ibu budaya dengan wawasan estetik penyair pada konsep
puitika yang tak dapat dilepaskan dari ibu budaya yang melahirkan dan
membesarkan penyairnya. Menulis puisi menurut aku harus dicapai dengan
kesungguhan, kedalaman, dan semangat meraih capaian estetik sebagai bagian
inheren dengan proses kreatif penyair.
Sedikit
kuceritakan bagaimana aku secara seksama mencermati, merekam, mencatat, dan
menumpahkan segala pengalaman hidupku berhadapan dengan realitas keseharian,
latar sejarah, kisah dan kehidupan masyarakat ke dalam puisi.
Kadang
juga aku menulis karena keterpukauanku pada alam, pada pohon, tumbuhan,
burung-burung, pergerakan awan, matahari, bulan bintang. Aku sering terangsang
untuk segera menuliskannya sebagai puisi, seperti seorang pelukis yang langsung
melukis impresi-impresi itu pada kanvasnya. Aku mempelajari nama-nama tumbuhan,
hewan, memperhatikan morfologinya, anatominya, tingkah lakunya untuk bahan-bahan
puisiku. Setiap terjadi gejolak dalam masyarakat, aku berusaha untuk
memahaminya apa latar belakangnya, faktor apa yang mencetuskannya, apa
akibatnya, lalu kucatat dalam puisi.
Dalam
proses penulisan tidak selalu kerjapan-kerjapan inspirasi, atau percikan-percikan
imajinasi yang kutemui dan kudapatkan itu langsung kutulis menjadi puisi yang
selesai. Ada tahapan mengendapan, kontemplasi, dan studi refensi terlebih
dahulu, baru menuliskannya menjadi puisi. Tahap akhir adalah melakukan selfcritique atas puisi yang sudah jadi.
Tahapan selfcritique merupakan finishing dengan melakukan aktivitas
pengeditan dan atau melakukan pertimbangan akhir pendiksian.
Guna
penguatan struktur dan stilistika bahasa, pada proses penulisan aku sering
membuat kode-kode hermeneutik guna mengokohkan sisi estetika puisiku. Aku juga
sering mengambil kosa kata dari bahasa daerah atau bahasa asing tak saja karena
pertimbangan musikalitas bahasa, tapi juga karena pertimbangan filosofis guna
menopang gagasan dalam pesan. Untuk hal ini dapat saya beberkan salah satu
contoh di mana kata “mélanging perahu”
pengertian verbalnya “membangun perahu”. Tapi kata “mélanging” dari sudut pandang budaya masyarakat Singihe tidak
semata bermakna “membangun atau membuat”. Mélanging
lebih bersifat suatu ritual dalam konteks mengadakan sesuatu dengan merujuk
pada system nilai dalam tradisi dengan segala tingkatan fragmentasi-fragmentasi
ritualnya.
Aku
juga mengadopsi model-model kepribadian sebagai kode simbolik untuk menciptakan
tanda dan karakter. Untuk hal ini aku pernah penulis dalam satu larik begini:
“langit berwarna hadi”. Dalam khasana warna tentu tidak ada warna hadi.
Mencampur aduk warna-warna natural dalam cat tetap saja kita tidak akan bersua
dengan jenis warna hadi. Lantas dari mana warna hadi dalam larik puisiku itu?
Warna hadi adalah model kepribadian. Ceritanya, Hadi seorang sahabat baikku
yang menurutku punya sisi karakter dan sifat yang unik. Ia seorang melangkolis,
tertutup dan penuh misteri, progresif tapi terkadang cepat putus asa, cerdas
tapi penuh pertimbangan. Sifat unik sahabatku ini kemudian menginspirasikan aku
menjadikannya simbol warna yakni warna hadi. Sebagai model kepribadian, warna
hadi berevolusi menjadi kode cultural lewat proses stilisasi dari representasi
realitas menjadi kode simbolik.
Dalam
beberapa diskusi, ada peserta yang bertanya mengapa pada setiap kata ulang atau
satu kata yang berbentuk jamak seperti kata, “burungburung, atau berkalikali,
atau berlikuliku” aku menuliskannya tersambung tanpa mencantumkan garis datar.
Pada 3 buku aku yang terbit terlebih dahulu, penulisan kata ulang atau kata
jamak masih menggunakan garis datar. Tapi pada 3 buku terakhir, garis datar itu
kuhilangkan. Sikapku menghilangkan garis datar itu adalah penyesuaian atas struktur
puisiku pasca penelitianku pada struktur mantra dan syair-syair atavisme dalam
budaya masyarakat Sangihe Talaud. Saat melakukan pemodelan pada struktur
puisiku dengan mengadopsi struktur mantra dan syair atavis itu, maka garis
datar pada kata ulang atau kata jamak harus dihilangkan, hingga kata ulang atau
kata jamak itu mengalir atau meloncat cepat dengan efek katarsis tersendiri. Di
sisi lain, penghilangan garis datar pada kata ulang dan kata jamak juga untuk
memberikan efek khas pada rima atau tone. Lewat bentuk kata tersambung itu, aku
membayangkan bunyi ombak yang datang sambung menyambung, atau angin deruh
menderuh datang menerpa, sebagai efek yang menimbulkan mistika bunyi
sebagaimana dalam mantra. Ada juga beberapa kata yang kutulis bersambung semua
tanpa jedah, itu merupakan teknik bahasa senafas dalam mantra yang menurutku
akan memberikan tone tersendiri dalam puisiku.
Upaya
memasukkan kode-kode berserta fungsi yang diembannya, dan konstruk
antartekstual ke dalam puisiku didasari pemikiran dimana puisi sebagai teks
merupakan sebuah jaringan kutipan yang diambil dari sumber–sumber kebudayaan
yang tidak terbilang.
TENTANG IBU
BUDAYA YANG MELATARI KEHIDUPANKU
Puisiku-puisiku
selalu dilatari nafas lokalitas budaya sekitarku. Menceritakan alam, manusia,
sejarah dan tradisi masyarakat Nusa Utara (Sangihe Talaud), dan Sulawesi pada
umumnya.
Bila budaya sekitar adalah ibu yang melahirkan seorang penyair, maka meski sekilas pintas akan kuceritakan latar ibu budayaku yang membesarkan aku itu, beserta sedikit biografi hidupku.
“Somahe Kai Kehage, Pantuhu Maka Sasalintiho”, falsafah yang samar-samar kudengar sejak usia 5. Pada usia 7 aku telah menghafalnya dan mengerti maknanya; “Riang Melawan Ombak, Bijaksana Mengikuti Arus”. Itu adalah falsafah purba manusia Nusa Utara (Sangihe-Talaud) yang tertakik dari rahim budaya bahari “Sasahara”.
Bila budaya sekitar adalah ibu yang melahirkan seorang penyair, maka meski sekilas pintas akan kuceritakan latar ibu budayaku yang membesarkan aku itu, beserta sedikit biografi hidupku.
“Somahe Kai Kehage, Pantuhu Maka Sasalintiho”, falsafah yang samar-samar kudengar sejak usia 5. Pada usia 7 aku telah menghafalnya dan mengerti maknanya; “Riang Melawan Ombak, Bijaksana Mengikuti Arus”. Itu adalah falsafah purba manusia Nusa Utara (Sangihe-Talaud) yang tertakik dari rahim budaya bahari “Sasahara”.
Di
sini, di Nusa Utara, kehidupan laut tampak begitu gemuruh dalam syair-syair tua
suku dan anak suku ini. Ini sebabnya orang Nusa Utara dalam sejarahnya disebut
manusia yang berumah laut. Sebuah syair atavis bernuansa majis berikut,
mengambarkan pandangan terhadap kehidupan laut itu;
Dumaleng Su Apeng Nanging (Berjalan di lautan purnama)
Manendeng mbanuang (Menjunjung hidup)
Mbanuang datu langi (Hidup dititis
langit)
Sole tama sole (diguncang tak
terguncang)
Buntuang taku makibang (Lapar tak jerah)
I anang, I amang (Sang cucu, sang
leluhur)
Magenda putung su hiwang (menimbah api
di pangkuan)
Duatang langi (Sang langit)
Dari
unsur semantik, bantin syair di atas mengusung tema laut yang diungkap dengan
perasaan penuh guruh, dengan nada dan suasana laut yang mengecipak. Orang laut
Nusa Utara sangat sadar, di mata ombak tak ada juragan, kelasi atau jurumudi.
Semua manusia berderajat sama. Juru Kemudi sejati hanya Ilahi, itulah aspek
amanat dalam syair ini. Mereka mau mengatakan di lautlah sesungguhnya mereka
menakik api sejati dari ilahi.
Dari
unsur sintaksis, syair ini menampilkan irama semacam struktur fisik ombak yang
selalu bergerak secara beruntun dan berulang-ulang dalam irama gerak arus. Dari
irama yang berulang (paralelisme) itu terbentuklah rima yang indah dengan
pilihan kata (diksi) yang sangat memperhitung tone.
Poetic
spirit yang teresepsi pada syair itu merupakan ungkapan kerinduan terhadap
rumah spiritual yang berada di alam metafisik. Pada syair di atas terasa sebuah
kelana transendental untuk bertemu jawaban ideal sekaligus melontarkan
antithesis yang tersirat, menyampaikan hikmah kepada kita tentang kenyataan
hidup di laut yang sesungguhnya.
Lewat syair di
atas kita diajak memasuki hakikat puisi yang bersifat spiritual, karena ia
dihasilkan melalui proses kejiwaan yang berbeda dari penuturan biasa. Dengan
menggunakan peralatan intuisi dalam memandang, menanggapi dunia dan
keberadaannya, dan membangun ungkapan puitiknya dengan menggunakan imaginasi.
Pada puisi ini, sifat ungkapan puitik pada dasarnya melambung tinggi mengatasi
kenyataan fenomenal dalam ruang dan waktu.
Mari
kita lepas dari tolehan sejenak pada syair di atas, dan kembali pada sejarah!
Orang Nusa Utara adalah para pembuat perahu dan penjelajah laut yang ulung.
Mereka pandai membaca peta bintang, menghitung musim pergerakan arus. Mereka
amat menyadari di atas lautlah hidupnya dilarung. Setiap baris potongan bulan
dinamai dan diartikan seiring pasang dan surut. Mata angin dipilah-pilah
kedalam wujud, nama, dan sifat yang berbeda. Hidup mesti tertaut dan berpaut
pada gerak angin. “Boleng Balang
Sengkahindo” (Tarik Dayung Bersama-sama) falsafah daya hidup bersama
mengajar pantang surut melayar. Itulah Nusa Utara!
Nusa
Utara tak lain bentangan kepulauan di bibir Fasifik yang terbancak indah. Di
reruntuk itu ayah dan ibuku dilahirkan. Masa kecilku pun dihabiskan di
pulau-pulau ini. Di pulau-pulau ini pula aku belajar berenang, berperahu,
memanjat pohon pala, pohon kelapa, pohon buah-buahan, membuka makam kerajaan,
membersihkan ruang kubur raja-raja, menyusun kembali belulang dan peti-peti
hingga keturunan baru wafat bisa dimakamkan bersama.
Sejak
masa kecil itu pula aku banyak mendengar kisah-kisah sejarah masa lalu tentang
kepulauan ini, tentang para perlaut dan bajak laut, tentang peri-peri darat dan
mambang laut, tentang kerajaan dan para raja-ratu yang bijaksana dan yang
kejam, tentang peperangan melawan penjajah, dongengan-dongengan menghibur yang
ditutur ayah, ibu, kakek dan kakak sebelum aku tidur.
Di
sini aku belajar berbagai tari tradisi, menyanyikan syair-syair sastra dari
masa para leluhur. Membaca kitab-kitab mantra milik kakek-kakekku. Belajar
agama dari masa sundeng, hingga ajaran-ajaran semitik yang dibawa para zending
dan ulama. Mengikuti ritual-ritual adat seperti Tulude, Sawakka, Mane’e, dan Menahulending. Ayah juga mengajar aku
mengartikan berbagai tanda alam di langit, di laut, di mimpi, juga cara
bersahabat dengan hutan. Ibu berbagi ajaran tentang anyam-ayaman daun pandan,
menanam umbi-umbian, dan memelihara hewan, menyayangi satwa, dan mengartikan
bunyi suara burung di siang dan malam hari.
Pernahkah
engkau merasa nikmatnya mencium bau garam yang asin dibawa angin di malam hari.
Di waktu yang panjang aku menyerup dan menyesapnya ke dalam paru-paruku. Dari
situlah dikumudian waktu, bau yang kueram itu, mendetak ke dalam setiap baris
puisi yang kutulis. Bila pada masa kecil aku menari dalam Klikitong, rancak
tari itu juga yang merasuk dalam setiap larik metaphor yang kutulis. Di usia
sebegitu lugu, di musim-musim angin yang kuat menderu di atas ranjang papan
beralas tikar pandan kami diajar menyenandungkan syair-syair tua yang maknanya
sungguh samar. Tapi semua itu telah melatih, mengasah kepekaan batin dan
kecemerlangan ruhani yang kini mengilhami, lalu kumaknakan kembali pada
syair-syair yang baru. Syair-syair yang dipenuhi cinta, juga memar yang tempias
di ruang haru dan geram. Itu semua yang sejatinya mendorongku berdialog lewat
puisi yang kutulis untuk masa kini. Karena, semua hal yang kutimbah dari masa
lalu itu telah menjadi asal dari keyakinanku dimana puisi yang hidup adalah
puisi yang menceritakan kehidupan itu sendiri.
Di
Biaro ada Lamanggo. Di Ruang ada Maleo, Di Tagulandang ada Minanga, Di Siau ada
Bokong Bunu, Di Makalehi ada Tenggohang, Di Sangihe ada Medellu, di Talaud ada
Makatara. Betapa indah dan puitis nama-nama tempat dan nama manusia di
bentangan pulau-pulau ini yang selalu mencari tempat untuk didiksi.
Pada
usia 7, aku sudah diajar cara berladang, mencangkul, dan menanam sayuran,
umbi-umbian. Pada usia itu pula aku sudah mahir memilah, memetik buah pala yang
ranum. Salak yang masak, atau yang masih sepat. Saat itu juga aku telah
menghafal cukup banyak syair-syair tua yang berisi ajaran kearifan. Sasasa…ya ajaran kearifan itu “Sasasa”. Sasasa dituturkan
turun-temurun agar menjadi “Sinasa”
(bekal) hidup generasi yang baru.
Ayahku
lahir di pulau Siau. Ia masih keturunan raja Kansil. Ibuku lahir di pulau
Kakorotan, Talaud. Masih kecil sudah diangkat dan dipelihara sebagai anak oleh
salah seorang cucu dari Raja Kansil, dan tinggal di Tarorane, Siau, (Kabupaten
Sitaro saat ini). Opaku yang di Talaud (kabupaten Talaud saat ini) adalah
kerabat kerajaan Siau yang bertugas sebagai penghubung di pulau-pulau Nunusa
yang wilayah terjauhnya adalah pulau Miangas. Marga Tinungki yang kusandang
berasal dari Opaku yang berasal dari Pulau Bebalang, Sangihe. Opaku yang di
Sangihe (Kabupaten Sangihe), seorang pelaut yang bekerja di armada laut
Belanda.
Meski aku dilahirkan di Manado, tapi masa kecilku dihabiskan di pulau Siau. Ayahku menjalani masa dinas di ketentaran pada perang Permesta 1953-1961 (Manado-Minahasa). Menjelang peristiwa 65, ayah membawa kami pulang ke pulau Siau. Aku sekolah di SD Ulu I Siau hingga kelas 5. Pada 1974, karena bencana meletusnya gunung Karangetang, kami pindah lagi ke Manado. Kendati begitu, setiap tahun kami selalu berkunjung ke Siau. Pada masa SMA hingga masa kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu-waktu liburan di kepulauan Sangihe dan Talaud. Aku berkeliling dari satu desa ke desa yang lain memberikan pelatihan teater dan pentas bersama di berbagai desa dan pulau-pulau kecil (Nusa Utara terdiri dari 144 pulau yang menjadi wilayah 3 kabupaten saat ini).
Meski aku dilahirkan di Manado, tapi masa kecilku dihabiskan di pulau Siau. Ayahku menjalani masa dinas di ketentaran pada perang Permesta 1953-1961 (Manado-Minahasa). Menjelang peristiwa 65, ayah membawa kami pulang ke pulau Siau. Aku sekolah di SD Ulu I Siau hingga kelas 5. Pada 1974, karena bencana meletusnya gunung Karangetang, kami pindah lagi ke Manado. Kendati begitu, setiap tahun kami selalu berkunjung ke Siau. Pada masa SMA hingga masa kuliah, aku lebih banyak menghabiskan waktu-waktu liburan di kepulauan Sangihe dan Talaud. Aku berkeliling dari satu desa ke desa yang lain memberikan pelatihan teater dan pentas bersama di berbagai desa dan pulau-pulau kecil (Nusa Utara terdiri dari 144 pulau yang menjadi wilayah 3 kabupaten saat ini).
Sejak
SMP aku sudah bergiat di Sanggar teater yang dibina Rafles Kainage kemudian
oleh Dr. Kamajaya Alkatuuk. Pada masa itu aku kian banyak bersentuhan dengan
para sastrawan dan dramawan nasional yang sering datang ke Manado. Hamid
Djabar, N. Riantiarno, Ikranegara, Gerson Poyk. Namun aku harus menyebut secara
khusus nama-nama berikut ini yang begitu berpengaruh dalam hidup berkesenianku:
Hussen Mulachele, Benny Matindas, Eric MF. Dayoh, Reiner Ointoe, Wempy Lontoh.
Pada masa kuliah aku sempat mendapatkan kesempatan belajar teater rakyat dalam
program Yakoma PGI di Bengkel Teater W S Rendra di Cipayung, Depok.
Aku
juga menyempatkan waktu tinggal cukup lama di pulau-pulau. Khusus di pulau
Para, Sangihe aku tinggal lebih dari 1 tahun, dan di pulau inilah aku bertemu
Adolfina Lusye Damura, gadis yang kemudian menjadi istriku. Kami dikarunia dua
orang puteri; Pertama, Adetisye Novelia Tinungki,SS menyelesaikan pendidikan S1
di Fakultas Sastra Universitas Sam Ratulangi Jurusan Sastra Inggris, dan Cristy
Puitika Tinungki, sedang studi di Fakultas Teologia Universitas Kristen
Tomohon.
Mertuaku
datang dari keluarga nelayan yang punya sejumlah usaha jaring, perahu angkutan
laut antar pulau kecil, serta kapal laut untuk angkutan pulau besar ketika itu.
Di kisaran pertengahan tahun 1980-an aku menyempatkan diri belajar mengemudikan
perahu dan kapal. Lebih dari setahun aku menjadi pelaut aktif baik di perahu
dan kapal antar pulau. Sesekali aku pergi dengan perahu berdagang ikan asin ke
pulau-pulau lain bahkan ke Manado. Tentang berdagang ikan asin ini sangat
kuingat karena uang hasil dagang ikan asin itulah yang kugunakan untuk
menerbitkan buku puisiku yang pertama “Sakral” yang terbit di tahun 1987. Di
masa inilah aku benar-benar merasakan makna sejatinya “Somahe Kai Kehage, Pantuhu Maka Sasalintiho”. Di waktu yang lain,
aku ikut bersama nelayan tradisional Seke
menangkap ikan dengan daun janur kelapa di tubir laut saat subuh.
Kian
waktu aku terus terhisap untuk berbasah-basah dalam ombak budaya dan sejarah
bahari negeriku yang kaya makna itu. Dikurun perjalanan itu hingga kini aku
aktif melakukan berbagai diskusi, penelitian dan wawancara dengan para
budayawan setempat mengenai budaya dan berkenalan lebih jauh dengan karya-karya
sastra tradisi. Menemui tua-tua adat di setiap desa dan kampung. Mencatat
berbagai tuturan tentang legenda, mitos, syair-syair tua. Mencatat nama-nama
tempat, pohon, tanjung, gunung. Merekam aktivitas hidup masyarakat desa. Semua
itu kulakukan karena ingin memaknainya kembali ke dalam puisi. Di Talaud aku
mendapatkan tuntunan dari banyak tua adat antara lain dari Gaghurang G. Ulaen,
dan sahabatku Tuwongkesong. Di Sangihe aku mendapatkan arahan dan masukkan dari
Gaghurang Dionesius Madonsa, Gaghurang Apolos Nikolas Moleh, Gagurang Efraim
Tatimu, Gaghurang D. Manatar. Juga ada Yakang Rembran Randangkilat, dan Tuari
Syahrul Ponto. Di Siau, aku berdiskusi dan mengunjungi berbagai tempat dengan
Opa Hersen Anise, seorang mantan pelaut yang pernah melayari route
internasional. Di Manado, aku berbagi bahasan mengenai budaya etnik Tionghoa
dengan pelukis Hendrik Mamahit.
Bersama
mereka aku larut dan berlayar lebih jauh ke dalam “Sasahara” dan “Sasalili”
rahim budaya bahari yang mendetakkan hidup manusia Nusa Utara dari masa purba
yang harusnya teringklinasi ke dalam masa kini.
Tapi,
membicarakan dan menemukan kembali nilai dan semangat bahari di masa kini bukan
perkara muda, kendati Indonesia adalah salah satu negara dengan konsepsi budaya
maritim terbesar di dunia. Mengapa? Kejayaan bahari Bangsa Indonesia pada masa
lalu, pada saat ini mengalami keredupan. Setidaknya ada dua sebab terjadinya
hal ini, yaitu praktek kebaharian kolonial Belanda pada masa lalu; dan
kebijakan pembangunan bahari pada masa rezim Orde Baru. Pada masa kolonial
Belanda, atau sekitar abad ke -18, masyarakat Indonesia dibatasi berhubungan
dengan laut, misalnya larangan berdagang selain dengan pihak Belanda. Akibatnya
budaya bahari bangsa Indonesia memasuki masa suram. Kondisi ini kemudian
berlanjut dengan minimnya keberpihakan rezim Orde Baru untuk membangun kembali
Indonesia sebagai bangsa bahari. Pada era kolonialisme terjadi pengikisan
semangat bahari Bangsa Indonesia yang dilakukan oleh kolonial dengan menggenjot
masyarakat Indonesia untuk melakukan aktivitas agraris untuk kepentingan
kolonial dalam perdagangan rempah-rempah ke Eropa.
Di
tengah ringkih, dan redupnya semangat bahari kita itu, aku justru terhela
menelusuri jejak moyangku yang kian mempesona hatiku. Aku terus membongkar
berbagai catatan tua yang diserahkan kerabat ayahku Evert Tinungki, juga
membaca buku-buku, esai, artikel ilmiah tentang Nusa Utara yang ditulis para
sarjana, pakar, dan budayawan di antaranya yang ditulis D. Brilman, H. K.
Mangumbahang dan J. E. Tatengkeng, John Rahasia, Sem Narande, Shinzo Hayase,
Domingo M. Non, dan Alex J. Ulaen, Pitres Sombowadile, Max Surdirno Kaghoo,
Alfian Walukow, Ivan R.B Kaunang. Menelusuri berbagai tulisan lepas yang
berserakkan di blog-blog pribadi dan website pemerintah. Juga melakukan diskusi
antropologi yang ajek dengan sahabatku Alfred Sambalao. Aktivitas ini kulakukan
semata ingin mendapatkan informasi yang lebih jauh tentang Jejak Moyangku. Di
sinilah aku merasa berhutang budi dan patut bersujud taklim dan berucap rasa
terima kasih yang tulus kepada semua mereka yang namanya kutulis dan yang tidak
kutulis.
Di
tengah pergulatan panjang itu, aku menyadari dimana tanah dan manusia Nusa
Utara sebagai sebuah komunitas kultural, dalam sejarahnya telah mengalami
perjumpaan, perubahan dan transformasi. Baik itu terjadi secara sengaja maupun
tidak sengaja. Bersamaan dengan itu pula, sepajang sejarahnya, Nusa Utara telah
merumuskan prinsip dan identitas kulturalnya.
Kini,
NUSA UTARA bagiku adalah semesta sastra. Semacam barisan ombak yang mewariskan
citra kepribadian dan keunikan budaya sebuah bangsa yang mengafirmasi
nilai-nilai kebaharian. Di jazirah 144 pulau ini, filosofi, impian, harapan,
lekuk sejarah, tatanan nilai, kerajaan, legenda dan mite mengilhami hidup
masyarakatnya sebagai manusia yang berumah di pulau dan lautnya. Semua itu
tumbuh dalam rentetan relasi yang menggoda aktivitas sastrawi sejak masa lalu
hingga kini yang menuntut pemaknaan kembali.
Ribuan
karya sastra warisan tradisi dalam bentuk Sasalamate, Sasambo, Kakalumpang,
Kakalanto,Nalang, Beke-Beke atau Mebio, yang bersumber dari rahim Budaya Laut (Sasahara) dan Budaya Pulau (Sasalili) terus ditutur dan
disenandungkan hingga kini. Nuansa dan ragam karya budaya itu seakan mau
mengungkap dimana setiap ladang, pohon-pohon yang rimbun berbuah lebat, laut
yang berlimpah ikan, bintang dan bulan yang menandai musim, suara satwa yang
berkabar pesan rahasia dari alam, cerocok dan tanjung sekeramat puncak-puncak
gunung, perahu-perahu yang harus dibangun dan dilarung dari dasar ritual dan
doa, waktu pasang dan surut juga kisah arus badai yang menerjemahkan gelombang
ke dalam pelayaran, mau mengisahkan cerita magi masyarakatnya serta hubungan
transendental dengan ilahi pencipta kehidupan. Semua itu terus tersembul
seperti mata air spiritual dalam sumur sejarah peradaban bahari negeri ini.
Dalam
berbagai literatur, dan sastra tutur, leluhur Nusa Utara di masa lalu adalah
penjelajah dan pengarung laut yang ikut menorehkan kejayaan budaya maritim
nusantara, dalam rentan 2000 tahun sejarah kebudayaan Indonesia yang mencapai
masa keemasan pada tiap kurun waktu.
Sejarah
mencatat kejayaan bahari bangsa Indonesia sudah lahir sebelum kemerdekaan, hal
ini dibuktikan dengan adanya temuan-temuan situs prasejarah maupun sejarah yang
menggambarkan bahwa nenek moyang Bangsa Indonesia merupakan bangsa pelaut.
Kerajaan Sriwijaya (683 M – 1030 M) memiliki armada laut yang kuat, menguasai
jalur perdagangan laut dan pengaruhnya meliputi Asia Tenggara yang mana hal ini
dikuatkan oleh catatan sejarah bahwa terdapat hubungan yang erat dengan
Kerajaan Campa yang terletak di antara Camboja dan Laos. Kerajaan Mataram kuno
di Jawa Tengah bersama kerajaan lainnya seperti Kerajaan Tarumanegara telah
membangun Candi Borobudur yang pada relief dindingnya dapat terlihat gambar
perahu layar dengan tiang-tiang layar yang kokoh dan telah menggunakan layar
segi empat yang lebar. Kejayaan Kerajaan Singosari di bawah kepemimpinan Raja
Kertanegara telah memiliki armada kapal dagang yang mampu mengadakan hubungan
dagang dengan kerajaan-kerajaan lintas laut. Perkembangan Kerajaan Singosari
dipandang sebagai ancaman bagi Kerajaan Tiongkok dimana saat itu berkuasa
Kaisar Khu Bilai Khan.
Kerajaan
Majapahit (1293 M – 1478 M) selanjutnya berkembang menjadi kerajaan maritim
besar yang memiliki pengaruh dan kekuasaan yang luas meliputi wilayah
Nusantara. Dengan kekuatan armada lautnya, Patih Gajah Mada mampu berperang
untuk memperluas wilayah kekuasaan, sekaligus menanamkan pengaruh, melaksanakan
hubungan dagang dan interaksi budaya.
Pada
abad ke 16 kerajaan-kerajaan di Nusa Utara, terutama Kerajaan Siau dengan
Laksamana Hengkeng U Naung (Bawata Nusa) 1590-1668 dalam berbagai arena perang
laut telah menunjukkan kekuatan semangat bahari kita. Bukti-bukti sejarah ini
tidak bisa dielakkan bahwa kejayaan bahari Bangsa Indonesia sudah bertumbuh
sejak dahulu dan memberikan nuansa ke dalam khazanah sastra kita. Dan tradisi
bahari Nusa Utara bagian dari sejarah besar itu.
Nusa
Utara di masa lalu membentang dari Kaidipang (Kerajaan Kaidipang di Bolmong
Raya), dan Kerajaan Wowontehu yang diperkirakan berdiri di sekitar gunung
Lokon, Minahasa, lalu menjadi kerajaan Bowontehu (1400-1500) saat dipindahkan
ke Pulau Manado Tua, (Sebuah pulau di depan kota Manado saat ini), dan kerajaan
Manado (1500-1678) hingga ke kawasan Selatan Filipina (Kerajaan Kandahar). Di
kawasan inilah nenek moyang orang Nusa Utara yakni para Kulano yang dipimpin
Humansadulage-Tentedengsehiwu mendirikan kerajaan-kerajaan tua baik sebelum
abad 14 di daratan Utara Pulau Sulawesi, dan memasuki abad ke 15, ketika
keturunannya mendirikan kerajaan-kerajaan di gugus pulau-pulau Nusa Utara.
Nusa
Utara pada masa kini adalah gugus pulau-pulau yang terletak di batas paling
Utara RI. Berbatasan langsung dengan Negara tetangga Filipina. Kawasan ini
terdiri dari tiga gugusan pulau; gugusan pulau-pulau Siau-Tagulandang-Biaro,
gugusan pulau-pulau Sangihe, dan gugusan pulau-pulau Talaud. Gugusan pulau yang
memiliki luas daratan 2.263,56 Km2 dan luas lautan 44.000 Km2 ini disebut para
eskader Spanyol sebagai pulau surga (Paradise), bukan saja karena keindahan
alam dan budayanya, tapi juga oleh kesuburan tanahnya. Pihak Belanda pun
menamainya sebagai negeri Ringgit, karena kekayaan alam rempah-rempah yang
berlimpah, terutama pala. Di selatan, di tanah-tanah Minahasa, di daerah
perlintasan nenek moyangku itu ada dammar, cengkeh, dan beras. Dalam beberapa
sumber sejarah Minahasa, Nusa Utara disebut-sebut sebagai tanah moyang
kesembilan.
Lantas
dari mana asal – usul manusia Nusa Utara sesungguhnya? Seperti klan lain di
Indonesia, orang Nusa Utara (Sangihe – Talaud) sebagai sebuah indigenous, dalam
kurun ribuan tahun hidup dalam mite dan legenda tersendiri, yang pada akhirnya
melahirkan system nilai dalam kehidupan mereka. Tapi apakah dengan demikian
membedakan ke-asal-an etnik ini dengan suku bangsa lain di jazirah Nusantara?
Kajian antropologi kebudayaan pada masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe
Talaud merupakan rumpun manusia berbahasa Milanesia yang berasal dari migrasi
Asia pada 40.000 tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar
3.000 tahun SM dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang
lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistik di atas, adalah
adanya kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari
Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi
Formosa.
Agak
berbeda dengan sejumlah anasir antropologi kebudayaan, hasil peneletian gen
manusia saat ini memberikan cerita tentang pengembaraan panjang leluhur manusia
di seluruh dunia yang disebut berasal dari Afrika sejak 50.000 tahun silam yang
berekspansi ke Eurasia. Perhitungan para paleoantropolog dan pakar genetika
menyebutkan homo sapiens ini berasal dari 200.000 tahun silam dan berhasil
mengembangkan keturunan sebanyak enam setengah miliar jiwa. Hal ini dibuktikan
dengan pemetaan gen yang menunjukkan 99,9 persen kesamaan kode-kode genetika
atau genom manusia di seluruh dunia. Sisanya 1 persen hanya menegaskan
perbedaan individual seperti warna mata atau resiko penyakit. Perjalanan
panjang itu pun telah membawa sejumlah perubahan lain seperti mutasi
neurologist yang menciptakan perbedaan bahasa lisan dan juga sebuah perubahan
wajah dan ras baru.
Lalu,
benarkah setiap manusia yang pernah hidup di bumi berasal dari seorang ibu Hawa
Mitokondrial dan ayah Adam Kromosom Y yang hidup pada 150.000 tahun silam di
Afrika, seperti yang ditulis dalam sebuah artikel di majalah National Geografi?
Pertanyaan ini masih membuahkan kegelisahan para ahli untuk mengungkap jawaban
yang memuaskan. Yang pasti sejumlah artefak masa lalu, menunjukkan adanya
migrasi umat manusia dari suatu tempat ketempat yang lain. Dan setiap klan atau
etnik telah hidup dalam milenia pada sebuah tempat hingga mengalami sujumlah
mutasi budaya dan tunduk pada masing-masing dewa serta melahirkan mite-mite
baru dalam kehidupan kelompok masing-masing.
Bila
masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud,
kita dipertemu dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti
pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat
disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Selain para pendatang ini juga ada dua
jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang
(raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil). Untuk dua jenis manusia terakhir itu,
hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukkan terhadap keberadaan
mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas
kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat
fenomena alam. Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu
kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda? Ini masih sebuah
pertanyaan.
Sejumlah
legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia di Nusa
Utara. Dari kepercayaan turun-temurun. Pulau-pulau Sangihe Talaud konon
tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe
dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal dari kata Sangi (Tagis). Di pulau-pulaud Talaud,
penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana
manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang
berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru
merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso
(surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu:
tangis. Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya.
Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis
menjadi manusia.
Kepercayaan
terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan
adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori
keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori
Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau
kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri
kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat
mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya
ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul
sampai mati.
Manusia
Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam
semesta dan manusia yang di sebut “Doeata,
Ruata”, juga dinamakan ”Ghenggona”.
Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung
(Roh penguasa laut), dan Empung (roh
penguasa Pulau). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut,
di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di
cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana.
Kendati
begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud,
yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode
Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado
1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari
1425-1951: 1). Kerajaan Tagulandang berdiri 1570 dipimpin Ratu pertama
Lohoraung. 2). Kerajaan Siau berdiri 1510 dipimpin Raja pertama Lokongbanua. 3)
Kerajaan Kauhis –Manganitu berdiri 1600 dipimpin Raja pertama Tolosang. 4).
Kerajaan Kendahe – Tahuna (1580) dipimpin Raja pertama Tatehe Woba, yang
kemudian cucunya yang bernama Mahegalangi mendirikan kerajaan Tahuna. 5).
Kerajaan Tabukan dipimpim Kulano tertua Gumansalangi 1425 yang disebut Raja
Tampung Lawo atau Upung Dellu.
Gumansalangi
(Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo, yang
bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa), istrinya,
adalah keturunan dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu, yang
mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Mereka
melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau
terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir –
Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut
mendirikan kedatuan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada
periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan
Talaud.
Sementara
Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana anaknya
bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu bersama
para pengikutnya.
Bulango
adalah saudara dari Lokongbanua, raja pertama kerajaan Siau. Keduanya adalah
keturunan dari raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu.
Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga keturunan
Mokoduludut. Ini sebabnya ada kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang
Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih
dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik,
(Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu.
Untuk
wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansalangi hingga
keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu.
Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga
di Kendahe yang didirikan oleh Mehegelangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif
Mansur dan istrinya Taupanglawo. Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua)
pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi.
Di
tengah pergulatan yang mengasyikkan menggali mendalami jejak-jejak mayong ini,
kian terasa betapa kaya dan berharganya nilai budaya bahari kita. Seperti
seseorang yang berperahu di atas samudera syair ilahi yang luas. Kian ke sana,
kian terasa baru sedikit saja yang kuketahui. Tapi, sebagai penulis puisi, aku
ingin merayakan kehidupan di tengah pengetahuan yang sedikit itu. Sambil
menyadari dalam menjalani kehidupan selalu ada yang patut dikritisi, dan ada
pula yang patut dimuliakan. Ada yang patut dikenang, ada yang patut dibarukan.
Dengan seluruh kegembiraan kumiliki, aku menumpahkan perasaan-perasaan itu ke
dalam puisi. Dalam menulis aku berusaha dengan caraku sendiri, dengan bahasa
kumengerti, dalam suasana akrab dalam keseharian kujalani. Aku berusaha keluar
dari romantisme sejarah, dengan kesadaran bahwa masa lalu tak mungkin
dihadirkan ke dalam kini secara persis. Disinilah tafsir dan pemaknaan kembali
menjadi penting.
Sejak
tahun 1980 aku sudah memulai menulis puisi-puisi dengan latar manusia, alam,
sejarah, dan budaya Nusa Utara. Puisi-puisi itu bertebaran di berbagai antologi
bersama dan buku puisi karyaku yang terbit di bawah tahun 2016.
Barangkali
ini sekadar secuwil catatan proses kreatifitasku yang sejatinya ingin
kupersembahkan kepada sidang pembaca. Moga bermakna. “Dumaleng ia dumaleng, Lumempang ia lumempang”, (Berjalan aku
berjalan, melangkah aku melangkah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar