TUGU
Karya
: Iverdixon Tinungki
tugu peringatan peperangan itu
membawaku bau peluru, sengat batu
sedih biru
angin
menyelimutinya
berulangkali menerjemahkan sunyi
runtuh ke akarakar lumut
begitu getir kudekapi bau pedih
selalu menguar dari liang tanah
di mana rebah bangkaibangkai
membawa beribu luka, beribu katakata
semua
meruyup kisah gelisah
ke dalam asap meratapi nyanyian hati
aku mengambang tanpa temali
di atas laut yang dulu membawa kita
kenduri
orangorang kehilangan kekasih
mengisaki hujan dengan segala
kegemetarannya
menyelinapkan darah mereka ke tubuhtubuh
sepi
seorang bayi, ibu, saudari, bapak, dan
masih banyak lagi
tak bisa disebut lagi, dimaknai lagi
--karena mati tak akan membawa mereka kembali--
begitu saja tumpah ke atas tugu ini
bah peperangan, nyawanyawa cahaya
lingsir ke dalam cadar kabut
gugup menyelesaikan erang dan riang yang
remuk
pada detikdetik tanpa cuaca
doadoaku pecah dalam raung
tibatiba menderam bersama ngilu kemboja
kehilangan seluruh pucuknya
ketika bungabunga bergelantungan begitu
sanwa, begitu merah
di tengah udara seakanakan melepas
seluruh nyawanya
dan kita membuatnya hidup kembali
pada analogi tiang, kotak dengan bola bumi
yang miring
dalam berpasang mata tak mampu
menangkup
kisah lampau itu ke dalam kini lebih
maut lagi
BIOGRAFI TANAH MOYANG
Karya: Iverdixon Tinungki
di tanah
air subur inilah kita menyambung
garisgaris
peta manusia dan kebaikannya
memaknai
waktu dan saman
bangkit kembali
menegak merayakan hidup
karena antara masa
lalu, masa kini, masa depan
ada garis elok mesti
ditaut
jadi kekuatan
bersatu bangkit melangkah
dalam imaji nyiur
melambai memanggil
kita akan menyusuri
apa yang kita miliki
tanahtanah ke
atasnya seakan
seluruh keringat
bisa tumbuh
dan para pendahulu
mewariskan negara
mereka bangun dengan
jerih lelah dan darah
lalu, di atas masa
kini yang ramai ini
ada mesti kita benah
dalam kisah menjaga tanah air
kian lama kian rentah,
kian luka, kian terjarah
oleh nafsu kita yang
alpa
bukankah kita hidup
untuk menghidupkan yang lainnya
di masa inilah
seseorang akan melarung perahunya
para petani pergi ke
ladang dan sawahnya
menanam memanen
semua harapan
terkurnia dalam alam
kotakota akan tumbuh
merajut kisah niaga yang maju
dalam semangat
rakyat bersatu
meraih damai
disetiap tetes peluh
lalu, kita melangkah
ke masa depan
dalam hutan terjaga
hijaunya
dalam laut terawat
nyawanya
karena kita
mencintai tanah air ini
dalam hidup atau
mati
bungabunga akan
keluar
menghamburkan wangi
ke garisgaris masa
burungburung
serentak
beterbangan
mengikuti garuda
mengabar kegembiraan
dalam satu kata
kata merdeka lebih
nyata
di tanah air inilah
akan kita raih masa depan itu
laksana burungburung
hidup
mendapati rumahnya kembali
membawa kita terbang
ke citacita lebih
tinggi
saatnya kita
tuliskan dongengdongeng kita sendiri
tentang masa depan
yang tahu
dimana letak pagi
lebih bercahaya
kita semua akan
memandang
bendera dikibar deru
angin
di tiangtiang kapal,
di tiangtiang masa
dalam kisah rayanya
Indonesia
terus tumbuh di
liang hati
GUA
JEPANG
Karya:
Iverdixon Tinungki
pada batubatu kapur beku
riwayat peperangan masih utuh
bayangbayang kempetai
kepalakepala menggelinding
ibuku dulu menyanyikan hinomaru dengan
pedih
ia mencucurkan air mata
betapa dalam laras kebencian tertikam ke
dadanya
di sini aku memasuki luka sejarah
betapa mahalnya harga masa lalu
dalam kini yang samar dikenang
bonggol kayu, bau para opsir
kembali mengoyak dadaku
ketika orangorang baik tak sempat
menjerit
menjalani maut di ujungujung pedang
pancung
para shogun mengikat kepalanya dengan
pita matahari
tak mampu membayar nestapa ini meski
dengan sepuku
DONGENG PEPERANGAN
Karya: Iverdixon Tinungki
dalam 1656 jam
tahuntahun merangkai
buku
sebuah biografi katakata
tumbuh dari satu kata
dengan kata itu kita
menulis asap dan nyawa
mengenang debu dan
kehilangan
menyambung
garisgaris peta dan kebaikan
memaknai waktu dan
saman
untuk bangkit
kembali tegak
siapa mereka bila
ada tanya
siapa kita bila ada
langkah
karena hidup bukan
bergerylia sepanjang umur
bukan melata oleh
perasaan terhina dan terkutuk
antara raffles dan
dekker
ada garis elok dan sisi kumal
adipati pengabdi dan
pangeran pemberontak
candicandi abadi dan ladangladang cemas
tangga ke surga dan
laut yang luka
perantauperantau
tak menemukan rumah
di tanah lain
semua mau kembali ke
tanah lahir
ke imaji nyiur
melambai memanggil
pukul sepuluh di
sebuah desa
ditemukan dirinya
dalam bentuk segenggam padi
seonggok laut sobek
bagai kain
menanti
bintangbintang yang teguh mencahayai
bangkaibangkai
pesisir remuk ini
di jam itulah ia
melarung perahunya
saat bungabunga
hutan keluar dari kerudungnya
menghamburkan wangi
ke garisgaris masa
burungburung
serentak beterbangan
dalam satu kata.
satu kata itu saja!
semua mendengar dan
menyaksikan
keilahian alam
dikata itu
sontak dari benak
ibu bumi yang diam
menumbuhkan
padi
mayangmayang
kian sarat
oleh bijibiji bernas dan pekerti
di sini burungburung
hidup mendapati rumahnya kembali
saat hujan
mengalungkan air matanya
ke serambi diramaikan gelak anakanak
tanjungtanjung
menjorokkan tubuhnya memeluk bandar
terus menanti yang
masih ingin pulang ke sini
kereta pertama
bergerak diwaktu usang
telah didaur jadi
paku dalam kenduri relrel dari masa lalu
ketika tiba di
stasiun
orangorang telah
menyetel jam ke 1656
waktunya kita
kembali ke rumah sendiri
kanakkanak menunggu
dengan tangan gemetar
menggenggam sebilah
keris
entah mau ditikan ke
dada siapa
jangan biarkan waktu
tercecar ke tanah
yang begitu lama
kehilangan makna
sebagai sebuah rumah
dongengdongeng pun
lahir di sini
di tangan ibu yang
mencuci bercak darah tuban pecah
di bukubuku bacaan
ayah
mencari letak pagi
lebih bercahaya
dikeriuhan anakanak
nakal membakar kepatuhannya
tibatiba semua tinta
ingin menulis tak lagi satu kata
kata yang dahulu jadi pedoman
mereka lupa sejarah
bergerak ini
tak saja oleh orang
terpelajar
orangorang
kecil pun ikut memutar tuasnya
ada mencari karno
ada mencari hatta
tan malaka dan
rumahrumah bencana
tapi ditemukannya
potretnya sendiri, munafik
sebilah bayonet dan sangkur terhunus
siapsiap membela
timur barat dalam tafsir yang kabur
chairil yang aku itu
telah letih dan gugur
satu kata yang
luhur hilang di stasiun kereta api manggarai
ketika musuhmusuh
sejati sesungguhnya diri sendiri
selamat pagi kawan
selamat malam tuan
apa yang kalian
ingin tinggalkan dalam gestapu September
menghidukan pesing
di bukubuku sejarah
dengan
potonganpotongan bianglala tak berwarna
dimana tukul yang
ingin pulang ke kata merdeka
sajaksajak
sederhananya masygul dalam nisan tak bernama
barangkali ia sedang
merayakan mati yang maut itu
ketika sebuah orde
menggebuk dalam mimpi paling buruk
maka ada saman
penyairpenyair
berkutat dengan air mata
sepanjang hayatnya
seakan air mata
bahasa satusatunya
dengan kemuraman
dilukis sedemikian detilnya
kotakota pun
menyerbu
menggulung
dusundusun
tanahtanahnya
ditanami racun
kotakota melucuti
tradisi
dan kampungkampung
jadi wujud yang mati
aku di sini di jam
ke 1656
memandang bendera
dikibar deru angin
di tiangtiang kapal
membawa pergi
harga diri kita ke
benuabenua lain
MANADO
Karya : Iverdixon Tinungki
ketika Simao d’Abreu di tahun 1523 menjumpai sebuah kota
moyang kita
telah menetas pulau ke atas punggung
burungburung
ribuan tahun sayapsayapnya
menerbangkan
kesunyiannya
ke didih
gelombang, ke ribaan saman
di sejengkal
laut mitos naga
sejak itu
perahuperahu tiba dalam bau kopi, kisah sutera
juga Sharif Makdon lelaki bersorban menabur kalam
ke atas petapeta pelayaran
ke atas petapeta pelayaran
adzan menggema dengan takbirtakbir indah
ke tubuhtubuh sejarah setiap incinya teralas
sejadah
dari barat Pedro Alfonso mengirim tiga kapal layar
mensitir mata lahar sejarah itu, menampilkan sinar
baru
di atas pucukpucuk ilalang, bungabunga rempah
mekar sepanjang musim mengharumi lembah, laut
dan mantramantra abad dengan segala
epiknya
binatangbinatang kecil berupa shishi
dari kisah purba
membentuk ayunan di lapislapis angin
dalam jalur pelayaran kian ramai
kian kemari, kian ke sini, ke pesisir
ke hutanhutan dipenuhi lebah madu
getah pepohon yang diburu pada pelayaran
pada pertempuran
kapalkapal asing, pedagang cina
hingga Peter Diego de Magelhaes
mencelupkan jejari
ke kali jengki memurnikan kepala
rajaraja dengan air suci
dari kisah pasang surut musimmusim
yang
juga tibatiba menyulut api peperangan
api tumpah ke dalam kota
ke dalam guciguci sejarah yang pecah
ketika graafland menulis parasparas
murung
dilegenda burungburung hutan keramat
orangorang sangir jadi penduduk pertama
para Walian dan misionari
mentengkarkan panenan gagal dalam murka
dewa
hingga terbunuhnya
Pater Lorenzo Garalda
di kitab tua injil yang terengah
menabur biji sesawi ke kedalaman hati
manusia
air
mata jatuh dari langit ke atapatap kisah itu
meresidu keperkasaan pedang sakti Danangbala
perkasa merakit perang demi perang
untuk sesuatu yang samar di matanya
dahulu, kini, dan selamanya
kemulian tumbuh di anyir darah
sebuah benteng spanyol berdiri di
pesisir kota
dibangun dari kayukayu balok
jadi sengketa Spanyol – Belanda
di tubir laut Sulawesi, diperlintasan
benderabendera kerajaan se nusantara
dengan dua kapal perang Molucco dan
Diamant
meruntuhkan Spanyol di tahun 1661
De
Nederlandsche Vastigheit jatuh
Ford
Amsterdam tumbuh di bawah kisah yang juga runtuh
kini tumbuh lagi kisah baru,
bentengbenteng lebih kukuh
mengisi seksi boulevard dengan
menaramenara asing
tak kita kenal, bersama legenda
penyamunan yang dilegal
sebagaimana sejarahnya kota ini pernah
diserang gerombolan kera
seperti VOC menguasainya dalam ratusan
tahun yang kalah
ternyata dibutuhkan epik lebih perkasa
di ujung sebuah pena
sebab dalam kata merdeka pun penjajah
punya beribu wajah
PANTAI
MANADO 2014
Karya :
Iverdixon Tinungki
tiangtiang gelagar kayu ting
bau jaringjaring kering
batubatu kian kemari
membantai tradisi pantai
di sana, di laut
pukatpukat harimau menebar maut
benih benih ikan, benihbenih kegembiraan diledakan
apalagi dapat aku larung
soma dampar sudah usai berhitung dengan
burungburung
tak ada lagi musim pasang belo
subuh sembab, senyap oleh lendir, oleh maut
teriakan; hela
haluang kamudi
derap kaki para penarik lasau
ramai pesta bau bakaran ikan di tubuh subuh
lesap kedalam makam bebatu
abad sudah 21
di tahuntahun 1980-an
masanaimasanai menyesap semua kesedihan sejarah
pasir
tandusang hilang, kana padam diabadi kegelapan
pesta volka katrili polines yang anggun
nelayannelayan mengenakan kemeja lengan panjang
dasi hitam, rambut pipih ke kulit kepala tak lagi
mengangguk
perempuanperempuan dengan taklim disuguhkan peradaban
saman aneh telah tiba berbagi mabuk dansadansi
cekung teluk, jalan boulevard
borjuisborjuis hidup bagai kelelawar
memamah habis pagi tak berdenyar
MORAYA*)
Karya:
Iverdixon Tinungki
aku tak mencari Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung
lengking suara manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung
minahasa
menunggang pemandangan pematang
memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya
ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usiaku, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya
ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan
bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan
sasarku;
--minahasa sekadar batu waruga dengan
jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara--
tiangtiang palisade terpancang di
sekeliling
batangbatang sagu, kisahkisah hantu
danau
dalam bayangan parit, amis
bau tubuh hangus
hanyut menembus abad
pucukpucuk mimpiku tertanak
mereka belum mati dalam 204 tahun
pertempuran
benteng sesungguhnya masih kukuh
disiangi
sawahsawah rawa Minawanua
dimana unggasunggas mengawinkan padi
dengan nyawa yang gugur
pada sebuah pagi dan malam buta
kembali ditetasnya
ke dalam dada para leluhurnya
di atas kawah danau, air hidup mengairi
sawahsawah
mengaliri jiwaku, memerciki peristiwa,
merayapi sebongkah luka
ketika menimang sebutir padi dalam legenda moyang
perang anti kolonial itu tak sekadar
perebutan ladang
tapi letupan harga diri melawan
portugis, spanyol , belanda, juga
abadabad lebih tua
UkungUkung mengirim pedang tumbak
terhunus
menggemetari lembarlembar sejarah menderasi arasaras
dimana kebebasan tak mungkin tunduk pada
ajal, pada senapan
kebebasan terus menegak meski tubuhnya
tersungkur dalam lumpur
luka dan nanah
aku membaca sejarah kau samak itu
ketika angsaangsa menumpahkan semua
kenangan, keluhnya
ke wajah danau dengan arakarakkan
menjalarkan gaduh;
residen Marinus Balfour pada Juli 1809
mengutus Lodewijk Weintre
bersamanya beratusratus serdadu Belanda Ternate
beratusratus perahu, rakit, korakora
bersenjata lengkap. mengepung!
Minawanua sebenarnya tak bisa mereka
rengkuh
di sana walakwalak setia berpegang
sumpah
terjaga, serupa suara manguni mengabar
makam
hanya tempat perebahan jasat
sedang sebuah nama abadi di matanya
gempuran meriam berdentum menggema
di subuh Agustus terpiuh itu
“I yayat un santi!”
seru waraney dalam derap serdadu
Minahasa
juga suara perempuan di gelombang tak
pernah diam
meriaki danau, menggetari rawa, seakan
semua nyawa menyeru;
“Rumungku’
se Maesa!”
peperangan danau menggertak,
miris tak memandang siapa
sesekali serangan berani mati pun
tumpah
mengejutkan arwaharwah berduka
Weintre tersengat. menderita
dengan panas hati dan seluruh kebencian
Weintre mengobar serangan lagi
di malam 5 Agustus 1809
di malam 5 Agustus 1809
ketika penampangpenampang daun
baru mulai menampung embun
1400 pasukan melawan 4 perahu perang
menenggelamkan Moraya
dalam kobaran api dan anyir darah
pekik suara berdesing
di hembusan nafas terakhir para
pemberani
memilih mati demi sesuatu yang diyakini
indah
ruyup di embun dini hari
ada yang memasuki hutanhutan
suara tangisan anak, ratapan ibu
mengoyak
air mata ke atas danau,
tak saja oleh musuh, tapi juga khianat
menyayat luka ke rahimrahim perempuan
terjarah dengan seluruh kisah kekayaan
alamnya
foso ya foso
mengangkat sumpah
Ukung Lonto
tak pernah menyerah
laskar menguasai medan rawa penuh
jebakanjebakan
hantuhantu danau dari pohon sagu dalam
bentuk manusia,
dibungkus lumut dan tanaman melata
pada malam hari perisai ini dibiarkan
mengambang di permukaan air
menyiutkan hati musuh mau mengoyak Moraya
kini dan di abad belum tiba
serupa Prediger yang terluka kepalanya
di atas tanah nenek moyang
dalam sejarahnya yang tak bersalah
di ujung peperangan
Weintre menulis laporannya; --temanku Balfour
Tondano telah mengalami nasib naasnya di
tengah malam tadi
seluruhnya menjadi lautan api
tidak ada sisa lagi
mereka tidak sempat menyingkir
yang selamat dari amukan api
akan kami dihabisi--
debudebu beterbangan ke atas surat itu
menyuburkan hutanhutan
di semua seluk barisan gunung
mewariskan jejak gerilya
ke ujung langkah
menyeretku ke altar
menyeretku ke altar
“luminga ko’oko”
seekor manguni bertubuh
dalam nafasku
merangkai moraya lebih utuh
PENIUP
HARMONIKA
Karya
: Iverdixon Tinungki
para peniup harmonika malang
penjantanpenjantan blues yang
kebingungan
kerbau tua di landang mati
burungburung pematuk kutu telah pergi
semua ke gunung mencari rumah Tuhan
Leo yang zuhud tamat di sebuah rel
tak sempat naik ke gerbonggerbong
melaju meninggalkannya
peron menjadi makam, toltol menjadi
dendam
buah beri membusuk di sebuah dusun
harusnya kelak dilihatnya
saat salju mencair,
darah menemukan titik didihnya
semua penyair sesungguhnya pungguk
tanpa kerinduan apa dapat kita muliakan
dari chairil, tarji, dan widji
begitulah bang…
jakarta tak melihat apaapa
ketika kabutkabut ingin kuledakkan itu
membebat
kesadaran
bahwa tanahtanah Tuhan adalah tempat di
mana
seorang bayi kelaparan.
ayah ibunya hanya punya tangan buat
bertahan
dari sergapansergapan ilusi palsu sebuah kebijakan
sebelum menembakan batok kepalanya
setidaknya hemingway pernah berperang
dibeberapa medan
tapi barat tetap saja ladang mati yang
subur
memeluk penyairpenyairnya tersungkur
aku tak ingin harmonika bila siulan
telah cukup
melindungi diri dari tentakel kemiskinan
mengintai itu
blues apalagi bila laut lebih ritmik
aku telah tua dengan improvisasi
membijaksanai badai
saat melintas dari satu pulau ke pulau
lain
pungguk di sini adalah pungguk lihai
lebih taktis dibanding garuda
terperangkap kerangkengkerangkeng mimpi
di sebuah desa kami
seorang anak berjuang menggambar sepatu
buat dikenakannya ke sekolah
tak saja itu, mereka harus mendayung
perahu
melintasi gelombang
buat melihat dunia di sebuah buku
sejarah
berisi catatan matinya
apache hanya indah dalam sebuah film
begitu aku manangisi semuanya
ketika blues, harmonika,
pelanapelana para koboi
memberi mereka mati lebih merah
dari warna tubuhnya sendiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar