MENDONGENG BAKENG
Oleh : Iverdixon Tinungki
Terkisahlah
cerita lama di kabut mega
Selaksana anak taufan menghamburkan pasir
Menerjang mata para raja dan sultan
Selaksana anak taufan menghamburkan pasir
Menerjang mata para raja dan sultan
Sebuah
dongeng, sebuah perlawanan! Sebuah daya yang niscaya. Sebuah creativity yang memungkinkan
hadirnya entitas aktual. Karena di balik maknanya, --mengacu semiotika de
Saussure -- terdapat suatu system yang rumit dan kompleks sebagai pembentuknya.
Maka tersebutlah di suatu masa, Ansuang Bakeng (Raksasa Bakeng) bertahta sebagai penguasa. Raja diraja, di tanah Sangihe. Permaisurinya Boki, perempuan suka pesta, dan hidup mewah. Ketika kisah ini dicipta, anaknya masih kanak-kanak. Diberi nama Watairo. Tapi rakyat hanya boleh menyapanya Batairo.
Maka tersebutlah di suatu masa, Ansuang Bakeng (Raksasa Bakeng) bertahta sebagai penguasa. Raja diraja, di tanah Sangihe. Permaisurinya Boki, perempuan suka pesta, dan hidup mewah. Ketika kisah ini dicipta, anaknya masih kanak-kanak. Diberi nama Watairo. Tapi rakyat hanya boleh menyapanya Batairo.
Entah apa
penyebab huruf “W” menjadi “B”. Tak ada penjelasan. Tapi, terasa ada gelagat
tersembunyi terbebat. Semacam kombinasi antara konsep dan citra bunyi yang
melahirkan tanda (sign) sebagai
penanda (signifie). Seperti guru
dipanggil “tuang guru” (tuan guru), pejabat disebut “tuang labo” (tuan besar),
pejabat tinggi, penguasa dan ninggrat disebut “manga mawu” (para tuhan). Dan
ironis, kaum jelata disebut “manga dempuge” (para rumput), lebih leceh lagi,
“manga nune” (para tak beradab).
Generasi kini barangkali menyangka,
perubahan kata itu sekadar symbol perangai kekuasaan lama. Kekuasaan yang
mendudukkan rakyat sebagai pihak yang selalu keliru dan salah. Bodoh dan tak
berdaya. Sampai-sampai di mulut pun tak boleh ada kata terlafal benar. Rakyat
dilarang berfikir dengan bahasa, dan kata-kata harus lumpuh sejak awal. Seperti
gelagat polisi menghardik tersangka: “Diam! Kau berani melawan petugas!”.
Tersangka, yang keliru dan yang tidak keliru sama-sama terpaksa bungkam.
Terpuruk dalam “kebudayaan bisu”, sitir Freire.
Gelagat
semacam itu memang tak semata tabiat masa lalu. Penguasa kini tak lebih sama.
Kendati demokrasi yang menetas sejak zaman negara kota athena telah diasup
nyaris seluruh negara, sebagai perekat kepelbagaian perbedaan. Sebagai anima
pemecah kebuntuan musyawarah-mufakat.
Tapi musim
semi penindasan belum juga surut. Kebenaran bukan milik rakyat. Kebenaran
seakan hanya boleh tumbuh di lengan kekar kekuasaan.
Dongeng pun berlanjut; bila ayah ibunya gemar meminum darah manusia, dan mencabik daging-dagingnya dalam lauk jamuan pesta, Watairo justru menyukai bunga Karaluga (Laka), buat memerahkan kukunya. Ia ingin punya kuku seindah kuku harimau atau singa. Jauh di lubuk hati sikecil, bibit penindasan ternyata berkecambah. Singkatnya, Bakeng dan keluarganya adalah karakter antagonis, gambaran penguasa yang keji dan barbar.
Dongeng pun berlanjut; bila ayah ibunya gemar meminum darah manusia, dan mencabik daging-dagingnya dalam lauk jamuan pesta, Watairo justru menyukai bunga Karaluga (Laka), buat memerahkan kukunya. Ia ingin punya kuku seindah kuku harimau atau singa. Jauh di lubuk hati sikecil, bibit penindasan ternyata berkecambah. Singkatnya, Bakeng dan keluarganya adalah karakter antagonis, gambaran penguasa yang keji dan barbar.
Lantas
siapa protagonisnya? Pangaia, Panggelawang, dua lelaki, beserta adik perempuan
bungsu mereka, Kuko Polo Masidada (Gadis Kesayangan Cantik Jelita). Tiga
bersaudara ini, yatim piatu. Tinggal di gubuk, di pesisir pulau. Berprofesi
nelayan. Ayah ibu mereka sudah lama menghilang entah ke mana. Ketika itu, tiga
bersaudara ini masih kanak-kanak, belum tahu apa-apa. Setelah dewasa, baru
didapatkan kabar, ayah dan ibu mereka telah menjadi bagian dari santapan pesta
kerajaan. Mereka marah, terhina, dan kehilangan. Tapi menghadapi penguasa dan
kekuasaannya bagaimana caranya?
Pencipta
dongeng ini, tentu membutuhkan tragika lebih dalam, untuk mematik konflik dan
amarah. Untuk mengubah alur ketakutan menjadi keberanian. Untuk mengasah ketakberdayaan
menjadi perlawanan. Untuk menempa apriori apatis menjadi tindak heroik
patriotik. Untuk membebaskan perbudakan nilai kemanusia menjadi kemerdekaan
yang manusiawi. Sebab tanpa alur itu, dongeng ini tak lebih sebuah kisah biasa.
Tanpa epilog yang sublim dan megah. Tanpa pesan yang memiliki darah dan arah
yang berharga. Inilah yang dimaksudkan Hegel dalam The Phenomenology of Mind, dimana hanya dengan mengambil resiko
hiduplah, kebebasan dapat dicapai. Seseorang yang tidak berani mempertaruhkan hidupnya,
tidak akan mencapai hakekat kesadaran diri yang mandiri.
Menyadari
manusia adalah subyek yang terkonstruksi secara sosial dan historis, maka
terbetiklah gagasan pentingnya nilai manusia dan kemanusiaan. Sebab, tak boleh
selamanya manusia menjadi budak kehidupan. Budak kehidupan adalah suatu keadaan
masyarakat yang tenggelam dalam bisu dan ketakutan. Mitos yang ditiupkan kaum
penindas harus diruntuhkan. Pendongeng tak kenan seperti apa yang dipersaksikan
Kahlil Gibran, dimana betapa buasnya sesungguhnya perbudakan kehidupan mengisi
hari-hari manusia dengan kesengsaraan dan kesukaran, dengan air mata dan
kesedihan mendalam.
Dongeng
ini pun bergerak ke arah elegi. “Raja Bakeng memerintahkan penangkapan Kuko
Polo Masidada, untuk dijadikan bagian santapan pesta kerajaan”. Di sini,
penindasan digambarkan bergerak di atas semua keagungan dan prosesi megah dari
kebodohan kekuasaan. Sama seperti praktik kriminalisasi yang berlangsung di
negeri kita. Lembaga tempat keadilan ditempa, saling menyerang dan membungkam.
Lalu apa dapat ditimba dari gelagat kekuasaan semacam ini? Seorang nenek miskin
mencuri ubi buat mengganjal perutnya yang lapar mendapat ganjaran hukuman lebih
berat dibanding kuruptor yang menggasak miliaran rupiah uang rakyat.
Bila lagi meminjam matafora penyair lembah Cedar Libanon, Kahlil Gibran, maka perbudakan kehidupan tampak mencekik jiwa dan hati, menganggap manusia adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh, (The Treasured Writings of Kahlil Gibran, Castle Books).
Bila lagi meminjam matafora penyair lembah Cedar Libanon, Kahlil Gibran, maka perbudakan kehidupan tampak mencekik jiwa dan hati, menganggap manusia adalah gema kosong sebuah suara, dan bayangan menyedihkan dari sosok tubuh, (The Treasured Writings of Kahlil Gibran, Castle Books).
Sungguh
dua luka peristiwa telah mengangah dalam kisah ini, menyulut dua semangat
kembar perlawanan. Pangaia, Panggelawang pun melawan. Tak ada lebih penting
dari upaya membebaskan adiknya (nilai kemanusiaa) dari terkaman tirani
kekuasaan. Tapi lagi-lagi terbersit pertanyaan; bagaimana caranya melawan?
Ketika
Paulo Freire lahir pada tahun 1921 di Recife, Brazil, pusat salah satu daerah
paling miskin dan terkebelakang di dunia ketiga, “Dongeng Bakeng” ini sudah
berumur kurang lebih 300 tahun sejak dicipta. Bahkan sudah lebih dulu tampil
sebagai model kesadaran kaum bawah mengkritisi perangai kekuasaan raja-raja di
tanah Sangihe.
Paulo
Freire, disebut pendekar kaum tertindas karena ia yang menemukan jawaban yang
mewakili buah pikiran kreatif dan hati nurani yang peka akan kesengsaraan dan
penderitaan luar biasa kaum tertindas di sekitarnya yang diungkapkannya pertama
kali di Universitas Recife tahun 1959 dalam disertasi doktornya. Kemudian
dituangkannya dalam buku “Pedagogy of the
Oppressed” (Pendidikan Kaum Tertindas) yang terbit di Amerika Serikat di
atas tahun 1967.
Metode pengajaran Freire itu menginspirasikan banyak bangsa Asia Afrika untuk mengadopsinya sebagai metode pengajaran untuk rakyatnya yang terkebelakang --termasuk diadopsi negara benua Amerika Serikat yang menyadari kondisi masyarakatnya yang terpuruk oleh dampak lecutan perkembangan tekhnologi yang membuat masyarakatnya tenggelam dalam kubang “budaya bisu” yang dalam.
Metode pengajaran Freire itu menginspirasikan banyak bangsa Asia Afrika untuk mengadopsinya sebagai metode pengajaran untuk rakyatnya yang terkebelakang --termasuk diadopsi negara benua Amerika Serikat yang menyadari kondisi masyarakatnya yang terpuruk oleh dampak lecutan perkembangan tekhnologi yang membuat masyarakatnya tenggelam dalam kubang “budaya bisu” yang dalam.
Sementara
Dongeng Bakeng dengan pesan sarkastiknya, bila diresepsi dengan pendekatan
sosiologi sastra, dapat diperkirakan lebih dulu menghantam kekuasan raja-raja
Sangihe era abad ke 16 yang disimbolkan sebagai raksasa dengan segala
tiraninya.
Dongeng ini tak jelas siapa penciptanya. Yang pasti ia datang dari kesadaran kaum bawah. Kaum yang sama dirasakan Freire sebagai bagian dari “kaum rombeng dari bumi”. Karena memang kecil sekali kemungkinan kesadaran menemukan diri, semacam ini lahir dari kalangan atas, kalangan mapan, meskipun mereka adalah kaum cerdas. Sebab, orang cerdas yang miskin, jauh lebih peka terhadap keadaan disekitarnya dibanding orang cerdas yang kaya, begitu simpul Knut Hamsun, sang pengarang Norwegia yang masyur.
Dongeng ini tak jelas siapa penciptanya. Yang pasti ia datang dari kesadaran kaum bawah. Kaum yang sama dirasakan Freire sebagai bagian dari “kaum rombeng dari bumi”. Karena memang kecil sekali kemungkinan kesadaran menemukan diri, semacam ini lahir dari kalangan atas, kalangan mapan, meskipun mereka adalah kaum cerdas. Sebab, orang cerdas yang miskin, jauh lebih peka terhadap keadaan disekitarnya dibanding orang cerdas yang kaya, begitu simpul Knut Hamsun, sang pengarang Norwegia yang masyur.
Pendongeng
pun melanjutkan kisahnya; Pangaia, Panggelawang membuat jembatan jebakan di
atas jurang yang dalam. Saat pesta tiba, mereka menyamar sebagai pelayan.
Setelah membebaskan adiknya, mereka menyembeli Watairo sebagai korban pengganti
menu jamuan makan. Pesta berlangsung, dan kekacauan tak terelakkan. Pangaia -
Panggelawang diam-diam pergi ke ujung jembatan jebakan, merayakan kemenangan
pertama yang diraihnya, sambil menanti kemenangan berikutnya. Tapi apakah itu
bermakna sebuah kemenangan? Penindasan lama runtuh di atas kelahiran penindasan
baru! Gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa! Begitu ketika kata, dilucuti dari
maknanya. Semuanya menjadi semena-mena. Yang terdengar hanya gemerincing
perang, dan bau darah dengan segala makna anyirnya.
Dengan
logika apapun kenyataan di atas bukan suatu kemenangan! Tapi pelestarian
selamanya rantai penindasan. Kemenangan sesungguhnya adalah ketika kita mampu
bangkit menuju pada titik yang setara. Bukan sebagai obyek penindasan, dan
bukan pula sebagai subyek penindas. Pada kesetaraan itu, baru penindasan
disebut selesai. Dan kemenangan sesungguhnya dapat diraih. Ini yang ditawarkan
Freire dalam metode pendidikan kaum tertindas yang harus berintikan pembebasan
kesadaran atau dialogika.
Tapi pada
kisah ini, pendongen ingin akhir yang lain. Raja Bakeng diceritakan mengenali
kuku anaknya di atas pinggannya sendiri. Warna bunga Karaluga yang indah. Siapa
lagi, kalau bukan kuku milik anaknya. Ia marah, terhina, dan kehilangan.
Bersama istrinya, dikerjarlah si dua bersaudara. Tapi di jembatan jebakan,
mereka terperosok, lalu terbuncang di dasar jurang. Maka punahlah sang raksasa
dan keluarganya dalam babak paling memilukan.
Sebagaimana
esensi satra adalah memuliakan sekaligus mengkritisi kehidupan, dongeng Raksasa
Bakeng di atas, di satu sisi meresepsikan kita suatu pemahaman atas kontradiksi
sosial, politik, dan ekonomi, serta mengambil tindakan untuk melawan
unsur-unsur yang menindas dari realitas tersebut. Tetapi di sisi lain, perlawan
berlangsung secara radikal, dengan mengabai kesadaran (conscientization) kesetaraan, sehingga baik penindas dan yang
tertindas berakhir dalam suatu situasi yang suram.
Disitulah
letak menariknya dongeng ini. Dan dalam sejarah tanah Sangihe, tidak sedikit
–untuk menghindar menyebut cantoh kongkrit-- raja yang tumbang dalam suatu
perlawanan berdarah. Pada generasi kepemimpinan berikutnya, Raja Dalero yang
berkuasa di Tabukan 1892-1898 membuka ruang dialogia antara rakyat dan raja.
Membuka ruang kritik oleh rakyat untuk dirinya dalam symbol tari Alabadiri yang
diciptakannya. Dan tarian ini menjadi dasar dan inspirasi bagi penghapusan
aturan perbudakan di Tabukan sejak itu.
Dongeng
Bakeng sangat popular di Sangihe. Dituturkan turun temurun dalam tradisi beke
atau mebio (bercerita), juga dalam Kakumbaede (jenis syair sastra sasambo).
Di akhir dongeng, pendongeng memasukkan kisah gunung “Awu”, konon tercipta dari magma amarah Bakeng dan Boki istrinya. Tumbuh dari dasar jurang tempat mereka terbuncang. Dan terus melancarkan dendam amarahnya dalam letusan-letusan. Setelah sempat memecahkan lempengan pulau jadi pulau-pulau kecil pada letusan sebelumnya, di tahun 1892, letusannya melululantakkan wilayah Kerajaan Tabukan, Tahuna, dan Kendar dengan korban jiwa 2000 orang. Sungguh suatu kisah yang muram dari rana kekuasaan, dan dendam! ***
Di akhir dongeng, pendongeng memasukkan kisah gunung “Awu”, konon tercipta dari magma amarah Bakeng dan Boki istrinya. Tumbuh dari dasar jurang tempat mereka terbuncang. Dan terus melancarkan dendam amarahnya dalam letusan-letusan. Setelah sempat memecahkan lempengan pulau jadi pulau-pulau kecil pada letusan sebelumnya, di tahun 1892, letusannya melululantakkan wilayah Kerajaan Tabukan, Tahuna, dan Kendar dengan korban jiwa 2000 orang. Sungguh suatu kisah yang muram dari rana kekuasaan, dan dendam! ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar