CATATAN MUSIM
hari
itu musim yang luar biasa
kau
mentraktirku kopi Afrika
di
café bernama Cabana
di
luar sana cuaca Pasifik
memperdengarkan
gemanya yang merana
perahu
nelayan
dan
burung layanglayang
meneguk
duka
sebilah
puisiku masih terluka
seorang
pemetik gitar
mengonserkan
lagunya;
Killing Me Softly
--entah kepada siapa ia
berkata,
kota bagai singa
mencakari mimpi sebelum
tumbuh dan bernyawa
tapi
kubaca matamu
bagai
etalase esok dipenuhi musim semi
sejumput
rumput bisa seindah melati
aku
pun ingat fotomu saat di Eropa
ada
yang menggerah di tepi dada
jejak
buram sepi sebuah jalan
tak
bisa kulalui
kecuali
kususun rapih
--kendati
barangkali kisah ini bakal dilalap api
lalu perlahan kau
bernyanyi
dengan petikan musikmu
sendiri
lagu
itu tertelan sebagai ampas pahit
dari
gelas bakal kukenang
bakal
kubawa pulang
--sebagai
kopi dan maut yang menagih
Sebab,
aku harus pulang menelusuri jalan muram
dihantui
biografi rambutmu
dan
kecemasan
gegas
menusuk setajam panah
aku
bakal mati di rambutmu karena;
“begitu
cantiknya kau”
sungguh
aku luput menyimak
betapa
puitisnya sayap Balam
ia
menyempurnakan kitab senja
harusnya
kukecupkan jelang pulang
MEMORABILIA
hari itu
hari di mana hujan berderai
sekawanan sapi mendengus di hutan pinus
dan tawamu terhunus
hari di mana hujan berderai
sekawanan sapi mendengus di hutan pinus
dan tawamu terhunus
aku menyiapkan dadaku
seandainya kauingin menusukku
seandainya kauingin menusukku
aku baru meletakkan sepeta dingin
dari sekian banyak jalan tertutup semacam silybum
dari sekian banyak jalan tertutup semacam silybum
dan engkau menatapku dengan aroma dengking
persis ke mataku
persis ke mataku
aku tertangkap dan remuk!
karena aku memang bukan sosok zillionaire
aku tak bisa jadi sebungkus dongeng untukmu
aku tak bisa jadi sebungkus dongeng untukmu
tapi hari itu
hari di mana hujan berderai
aku datang padamu
hari di mana hujan berderai
aku datang padamu
aku ingin melihat matamu
biar ia melucuti semua puisiku
menjadi semacam ringkik kuda
dengan penunggang yang tak berzirah
biar ia melucuti semua puisiku
menjadi semacam ringkik kuda
dengan penunggang yang tak berzirah
kau tak berkatakata
hanya tersenyum
dan udara dingin kian merana
hanya tersenyum
dan udara dingin kian merana
aku duduk di teras
dekat sebatang pinus muda yang gagah saat basah
ringkik kuda dan dengusan sapi
terasa bola api yang tibatiba membakar
dekat sebatang pinus muda yang gagah saat basah
ringkik kuda dan dengusan sapi
terasa bola api yang tibatiba membakar
kelenjarku dikerubuti sekaligus dingin dan panas
dan masa lalu
seolaholah semuanya gegas menetas
dan masa lalu
seolaholah semuanya gegas menetas
bau geranium yang harum
dan rambutmu yang terasa mencibir itu
tibatiba menjelma bukit
mejambakku ke tengah gema risau yang bertalu
dan rambutmu yang terasa mencibir itu
tibatiba menjelma bukit
mejambakku ke tengah gema risau yang bertalu
aku seperti sepotong sepi yang terperangkap
di tengah tanah tinggi yang tandus
di tengah tanah tinggi yang tandus
burungburung beterbangan tampak bagai batu
ke sana kemari mengancamku
ke sana kemari mengancamku
kau akhirnya menyentuh pundakku
dengan tangan yang masih dulu
tapi musim itu begitu bisu di keningmu
dengan tangan yang masih dulu
tapi musim itu begitu bisu di keningmu
hari itu
hari di mana hujan berderai
aku pulang tanpa sepotong sorak sorai
hari di mana hujan berderai
aku pulang tanpa sepotong sorak sorai
BUNGA BIRU ATAS NAMAMU
sebutlah
ini petualangan menanti malam kembali
pada
sebuah pena yang tergilagila
merangkum
getaran kalbu
dari
bunga biru atas namamu
atas
nama itu akhirnya yang jelita sebuah kehilangan
bersumpah
akan hidup setelah lahir
sebagai
jalan terbaik dari luka usia
atas
nama itu luka usia dirasuki cahayacahaya
bertaburan
oleh jerit kesakitan yang ditebuskan
yang
tak terbanding bahkan oleh pukau danau
atau
jejeran pohonpohon puitis kegemaranku
sebutlah
aku akan membusuk
di
sebuah batang melangkoli
tempat
sang nafas kucintai berpendar
dan
mengintai dengan kecupan paling bisa
karena
aku hanya meminta menatap
bagaimana
legenda ini akan mati
sebagai
harga yang lunas
sebagai
mata yang tuntas menanggalkan gaun
di
setiap lekuk percikan api
pinsaupisau
yang mendekap dengan mesranya yang tajam
dan
senyumanmu menusuk kian dalam
ke
dalam lukalukaku yang terhina oleh saman
DI TIKUNG MERAH
keterpukauan
apalagi
kau
tegukan ke angin
sudahlah!
telah
kutelan semua katakata paling maut
kita
adalah cerita getir
berkembang
biak di mulut kegelapan
gemercik
adalah
sungai
busuk mengalir dari mata
sebagai
anak kandung keburukan dunia
aku
menyerah!
bendera
putih dari ludah paling durhaka
berkibar
tanpa pesona
dulu
kita bertualang di dunia yang tiada
dan
cermin tak memperlihatkan muka
entah
siapa kita?
sebagai
catatan
rayuan
dihuni bisikan tanpa huruf
di
lembar itu dunia telah hangus
sudahlah…
bahaya
apalagi yang ingin kau susupkan
liang
tembikar ini sebegitu tua
sebentar
pecah
bahkan
pecah ketika tanpa sebab
tidak
ada lagi yang ingin kucintai
apakah
ini omong kosongku
aku
telah piatu diakhir kisah cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar