SEJENAK MANODONG SASAHOLA
Oleh: Iverdixon Tinungki
Dala Ulu,
dala Ulu,
Indala, dala Indala
(Sana Ulu. Sana Ulu
begitu Indah, di sana begitu Indah)
Indala, dala Indala
(Sana Ulu. Sana Ulu
begitu Indah, di sana begitu Indah)
Membaca
syair tua di atas, saya jadi ingat Voltaire. Sastrawan, budayawan, dan filsuf
besar Prancis yang hidup dan terkenal di abat ke 18, di samping Montesquieu dan
Rousseau. Ketika menulis “L’Ingenu”
(Si Lugu), para kritikus samannya langsung berujar; “bila ingin memahami
dongeng Voltaire, seseorang harus melibatkan pengetahuan sosial budaya,
pengalaman hidup, kematangan berpikir. Sebab, bila tidak, karya-karya Voltaire
tak lebih dari dongeng popular biasa.”
Dengan
cara memahami karya Voltaire, terasa ada yang menakjubkan yang disuarakan bait
syair Sasahola di atas. Dan tidak sedikit generasi SaTaS (Sangihe-
Talaud-Sitaro) masa kini yang tidak terperosok dalam lupa dan luput mencecap
kelindan keindahan khazanah sastra purba negeri sendiri. Kendati, beragam puisi
dan karya sastra atavisme yang penuh spirit dan makna seakan terkubur bersama
semangat ke Nusa Utara-an yang konon masih terbaring koma dan bahkan mati suri
justru ketika percaturan politik identitas lagi bernas-bernasnya.
Maka sangat mengharukan ketika muncul keluh kesah seperti diutarakan Sekretaris organisasi Forum Nusa Utara, Maxi Sidayang, SE yang menyoal keberserakkan semangat Nusa Utara. “Mengapa kita selalu sulit bersatu,” ujarnya dalam bentuk pertanyaan yang terasa menyayat. Apa yang hilang dari cara-cara hidup kita sebagai orang Nusa Utara?
Maka sangat mengharukan ketika muncul keluh kesah seperti diutarakan Sekretaris organisasi Forum Nusa Utara, Maxi Sidayang, SE yang menyoal keberserakkan semangat Nusa Utara. “Mengapa kita selalu sulit bersatu,” ujarnya dalam bentuk pertanyaan yang terasa menyayat. Apa yang hilang dari cara-cara hidup kita sebagai orang Nusa Utara?
“Takoae
henane amang!” --Ada tapi tidak hidup, tidak bercahaya. Dan memang kalau pun
ada, tak lebih sekadar prosesi ritual yang bersifat hura-hura, sarat
kepentingan sesaat, ketimbang ibadat kutural bernilai spiritual.
Bahkan
terasa ironis ketika kita menemukan manusia yang jauh di belaham bumi Barat
seakan lebih menghargai budaya kita ketimbang kita sendiri. Puisi di atas
sebagai misal, adalah petikan dari kumpulan Sasahola Laanang Manandu (De lange Sasahola), yang direkam
penulis Barat W. Aebersold, dalam buku “Sangirese
tekst met Ned. Vert” In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde (1959).
Pada buku
Aebersold, Sasahola Laanang Manandu, terdiri dari 88 bait sampiran dan makna
dengan kanon puitik yang kuat dan dalam. Lewat syair itu, kita diajak melakukan
tamasya historis cultural dari masa migrasi pertama suku bangsa Sangihe oleh
klan Humansa Dulange – Tendeng Sehiwu (klan Sangil—Philipina Selatan), hingga
ke masa berdirinya kerajaan – kerajaan orang Sangihe yang membentang dari
Mindanao hingga Buol, Toli-toli. Pada Sasahola Laanang Manandu tersirat dan
tersurat suatu identifikasi entitas cultural, bahkan untold story yang bisa direposisikan sebagai politik identitas.
Barangkali
adalah sangat cerdas ketika Sosiolog kelahiran Laghaeng, Siau, Sudirno Kaghoo,
S.Sos dengan jenial merumuskan politik indentitas itu dalam satu kata “Tutune”.
Tutune, --tak sekadar kata bermakna pribumi atau kaum bumi putra—sebagaimana kita temui dalam diskursus multicultural. Tutune adalah adagium yang membersit dari liang-liang citra cahaya nilai luhur manusia SaTas. Bila ditilik dari filsafat bahasa, Tutune merupakan alunan indah serat gelombang jati diri. Mengandung emosi dan gagagasan, tujuan dan harapan. Suatu realitas yang membutuhkan pemaknaan.
Tutune, --tak sekadar kata bermakna pribumi atau kaum bumi putra—sebagaimana kita temui dalam diskursus multicultural. Tutune adalah adagium yang membersit dari liang-liang citra cahaya nilai luhur manusia SaTas. Bila ditilik dari filsafat bahasa, Tutune merupakan alunan indah serat gelombang jati diri. Mengandung emosi dan gagagasan, tujuan dan harapan. Suatu realitas yang membutuhkan pemaknaan.
Pada
“Tutune”, kita temukan oase falsafa hidup manusia SaTaS yang dirumuskan Kaghoo,
sebagai: Mateleng: manusia yang punya
sifat mau mendengar dan patuh. Matelang:
Manusia yang dewasa berfikir, dan teguh dalam mengupayakan hidup. Mateling: Manusia yang arif dan
bijaksana dalam menjalani kehidupan.
Bahkan
pada abstraksi “Tagaroalogi”, John Rahasia, “Tutune” adalah puncak dari
filsafat manusia Sangihe yang dicirikan lima unsur utama yakni: Pertama,
“Tembo” (Kepala - Wisdom). Kedua, “Seba Kuihi”(Dada Kiri - humanity). Ketiga,
“Seba Kuaneng”( Dada Kana - Believe in God). Keempat, “Tiang” (Perut – Power).
Kelima “Manu Kadio” (Kelamin – regeneration). Sangat menarik sesungguhnya
berselancar dalam gemuruh nilai “Laanang”, dan memetik makna-makna kehidupan di
sana.
Setelah
terkubur sekian lama, kata “Tutune” itu tiba-tiba muncul cukup kencang dalam
dialog-dialog masyarakat SaTaS seiring momentum politik di Kabupaten Sangihe
dan Sitaro beberapa waktu lalu. Di tahun politik 2015 (momentum Pilkada
Provinsi Sulut dan Kota Manado) kata ini kembali didengung sejumlah kalangan
untuk merekat kekuatan bargaining
position dan atau barangkali bargaining
power SaTaS di kancah momentum “sekedipan” (sengkakonda) mata ini.
Penunggangan
pada emosi primordial semacam ini sebenarnya bukan fenomena yang tiba-tiba
menjadi sesuatu yang lazim di era abad 21. Hal ini merupakan pilihan jalan di
era tanpa jalan, pasca gagalnya filsafat pengetahuan merumuskan jalan “tol”
untuk melanggengkan kehidupan paradaban umat manusia.
Pengkristalan
kembali, bahkan bangkitnya semangat berciri etnik ini digambarkan secara
sempurna oleh John Naisbitt dalam bukunya; “Global
Paradox” sebagai fenomena yang akan menderas di aras abad 21. Ia
menyebutnya sebagai fenomena tribalisme. Suatu exodus besar kembalinya umat
manusia ke nilai entitas kultur masing-masing masyarakat.
Di sinilah Nietzsche benar. Sang filsuf eksistensialis itu pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia. Inilah pembeda khas manusia dari binatang. Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan kebudayaan-kebudayaannya.
Di sinilah Nietzsche benar. Sang filsuf eksistensialis itu pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia. Inilah pembeda khas manusia dari binatang. Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan kebudayaan-kebudayaannya.
Getirnya,
isu kebudayaan dan sejarah hampir menjadi isu marjinal di negeri kita. Padahal
proyek modernitas sebuah daerah tak bisa lepas titik tumpuannya pada referensi
kultural dan historiografi hidup masyarakatnya. Orang-orang SaTaS masa kini
cenderung teralienasi dari sejarah dan kebudayaan lokalnya sendiri. Lantas
bagaimana kita menginklinasikan arah pembangunan daerah kepulauan itu tanpa
horizon pinjakan sejarah dan budaya yang kokoh. Siapa orang SaTaS? Bagaimana
spiritisme hidup orang SaTas? Bagaimana perilaku dan moralitas orang SaTaS?
Seperti apa local wisdom-nya?
Rentetan pertanyaan di atas semestinya menjadi kegelisahan yang patut
mendapatkan jawaban segera sebagai landasan pijak bagi perumusan kebijakan
pembangunan daerah itu.
Sejarah
dan kebudayaan daerah bagi orang SaTaS masa kini harus menjadi akar yang kokoh
dalam pembentukan karakter dan jatidiri menuju teraihnya kesejahteraan
masyarakat daerah kepulauan itu. Kenyataannya, terpuruk menjadi sekadar tradisi
memuja makam-makam keramat. Di satu sisi kita mengagung-agungkan nilai-nilai
sejarah budaya dan kesenian tradisional sebagai aset kebudayaan daerah yang
terwaris dari sejarah panjang kehidupan orang-orang sejak masa lalu. Di lain
kenyataan, eksistensi kehidupan kebudayaan daerah sudah layu. Nyaris mati atau
tidak terpakai lagi dalam kehidupan masyarakat kita. Kenyataan pahit itu makin
didukung pengaruh globalisasi dan sikap generasi masa kini yang makin rapuh
menerima arus kebudayaan asing dengan jalan telan mentah.
Sejarah
dan kebudayaan daerah yang sebenarnya tempat orang SaTaS dilahirkan,
dipelesetkan dalam sinisme mistifikasi tak patut: “kebudayaan daerahku
ketinggalan zaman.” Sebuah stigma anakronistik terhadap kebudayaan daerah
sendiri. Yang terjadi selanjutnya, kebanyakan orang mulai menelantarkan
nilai-nilai luhur sejarah dan budayanya. Di sini, nilai-nilai sejarah dan budaya
daerah yang mengedepankan berbagai nuansa filosofis (kebijaksanaan) hidup
terabaikan. Sikap yang merendahkan sejarah dan kebudayaan daerah/tradisional
tampak sebagai sebuah ironi.
Hal ini
tampak dalam ketakacuhan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Sering muncul
penilaian miring dalam kemasan komentar sarkastik yang merendahkan kebudayaan
daerah. Ketika orang tua menasihati anak-anaknya dengan petuah-petuah leluhur,
banyak kali anak-anak menolaknya dan mengatakan kuno, gak gaul, dan out of date. Tradisi-tradisi warisan
masa lampau di Nusa Utara hanya dijadikan sebagai sebuah artefak, menjadi
pajangan museum untuk sekedar bernostalgia tanpa relevansi dengan kehidupan
generasi saat ini. Muncul juga olok-olokkan ”Dunia Timur itu inferior dan
irasional. Dunia barat lebih rasional dan superior. Maka, alangkah lebih baik
berkiblat ke dunia barat”.
Sebuah
kutipan menarik dari gagasan apologetis Levi-Strauss mengedepankan: “kebudayaan
tradisional adalah khazanah kebijaksanaan dan patokan etis bagi umat manusia
dewasa ini.” Untuk tidak menjadikannya sebuah ironi dan lelucon, tapi bagaimana
memulai sikap menghargai, menggali, menemukan, dan manaruh respek yang tinggi
terhadap aneka khazanah sejarah dan kebudayaan lokal kita yang terangkum dalam
serentetan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di masa lalu, religi, mitos,
bahasa, seni, sastra, dan teknik yang berurat akar di jazirah negeri kepulauan
ini.
Kembali
mereferensi sejarah dan kebudayaan daerah adalah sebuah imperatif-persuasif
aktual generasi SaTaS masa kini. Sejarah dan kebudayaan daerah dimaksud
melingkupi segala tradisi konstruktif (local
wisdom) yang dihayati oleh para pendahulu demi perkembangan kemanusiaan dan
kemajuan peradaban, diantaranya: budaya Laut “Sasahara”, budaya Darat
“Sasalili, heroisme patriotik dan nasionalisme masa kerajaan-kerajaan hingga ke
masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tanpa tradisi, menyitir Rendra, “pergaulan
bersama terkacaukan dan kehidupan manusia biadab.” Berakar dalam kebudayaan
sendiri bukanlah dimaksud untuk membentengi diri dari benturan budaya Barat
yang kian mengglobal, tetapi sebuah upaya penyeimbangan demi sebuah filter bagi
kebijaksanaan hidup. Baline Keree ringang? (bukankah begitu kawan?). ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar