Dalam sebuah forum yang khusus membahas
sajak-sajak Husen Mulahele, seseorang mengajukan ‘definisi’: “Husen adalah
pertama-tama sebuah integritas, selanjutnya dan selamanya ia membangun terus
integritas itu untuk terutama membuat puisi, maka bahkan seutuh dirinya adalah
puisi yang selalu berdaya pukau.”
Umumnya mereka yang mengenal Husen setuju
dengan ‘definisi’ tersebut. Husen Mulahele, lahir di Manado 1944, di manapun ia
hadir selalu bersama pancaran kesenimanannya, apapun yang ia ucapkan selalu
liris, dan dalam setiap kata-kata yang ia tulis selalu hadir dirinya. Ia
menulis puisi dengan kecintaan amat dalam.
Buku-buku antologi puisinya adalah Air
(Surabaya: Ladang Minor, 1975), Sajak-sajak Surabaya Utara (Surabaya: Ladang
Minor, 1976), Ya Nasib (Surabaya, 1977), Saujana (Surabaya,1978), dan Lenso
yang diterbitkan akhir 1997 oleh Dewan Kesenian Surabaya, hampir sedasawarsa
setelah penyairnya wafat 1988 di Jakarta.
Tahun 1975 mendirikan dan mengasuh Teater
Ladang Minor, Surabaya. Kemudian, 1977, dalam kelompok kreatif November,
bersama Peter Rohi, M. Djupri, Dr. Nurinwa, Prof. Dr. Machmud MZ dan Wayan
Sumantri, menerbitkan majalah sastra dan budaya Trem, dimana Husen menjadi
redaktur puisi. Sejak 1978 sampai 1981 membina sejumlah sanggar di Manado,
termasuk Teater Manandou yang ia rintis beberapa tahun sebelumnya saat masih
mukim di Surabaya. Di Manado, ia dikenal sebagai motor penggerak kehidupan
sastra modern. Tak sedikit muridnya tumbuh menjadi penyair terkemuka di
Sulawesi Utara, di antarannya Kamaja Alkatuuk, Iverdixon Tinungki. Sebuah
sajaknya yang paling populer dan paling sering dibacakan di Manado berjudul:
“Sam Ratulangi Adakah Tuan”.
Di kalangan insan pers — melalui perannya
sebagai redaktur koran Mingguan Mahasiswa, Memorandum (Surabaya) dan majalah
Popular (Jakarta) — Husen dikenal sebagai seniman-jurnalis. Karena berita yang
sesingkat apapun dan ihwal peristiwa yang sekecil apapun selalu digarapnya sama
serius sebagai suatu karya penting, dengan pengerahan segenap kemampuan
susastra serta inovasi teknis artistiknya.
Berikut petikan dari puisi Husen Mulahele,
Pamit, yang berbicara tentang kematiannya sendiri. Ditulis tiga bulan menjelang
wafatnya. Yang kurang-lebih menunjukkan betapa seutuh hayatnya sampai matinya
menyatu dengan puisi.
Ini
hidup telahkah sia-sia?
Dermaga
hanya tersisa ampas
muntah
kelasi puluhan tahun silam.
Pelayaran
takkan tiba lagi di rumah tua,
pada
musim pertemuan ketika kita memainkan gelak
karena
kapal berangkat terus menuju haluan
dan
aku harus selalu pergi, selalu mengucap:
“Selamat
tinggal.”
Inikah,
sayang, saat perpisahan menikam sebab?
Dalam
bejana yang kian retak oleh gelisah?
Yang
ditunggu telah memburam dalam kenangan,
berkarat
dalam catatan.
Lalu
matahari menarik sinarnya dari ubun-ubunku
dingin
membungkuskan tanda pada ujung jari kakiku
dan
merayap ke pusat detak yang mulai diam.
Sementara
kamar sunyi, kamu membayang-bayang
cakaran
suaraku dalam lembar-lembar tulisan
seperti
memahami isyarat purba.
(Kurator
Iverdixon Tinungki)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar