Oleh : Iverdixon Tinungki
I. DARI PAROKI KE WILAYAH
1. Pelayanan Distrik
Manado
Dalam Tata Gereja GMIM 2007 , struktur
pelayanan GMIM ditata dalam tiga aras yakni Jemaat, Wilayah dan Sinode. Kendati
faktanya ada sejumlah kegiatan pelayanan saat ini yang dilakukan dalam sistim
Rayon (sistim Distrik pada masa lalu),
-- semisal Pengurus Lansia GMIM Rayon Manado-Kembes, dan atau Pertemuan Komisi
Kategorial Pria Kaum Bapa Rayon Manado…dst--, struktur ini bukan merupakan aras
pelayanan dalam GMIM saat ini.
Sebelum GMIM berdiri, sistim
pelayanan menurut distrik dikenal sebagai upaya membagi dan menjangkau wilayah
pelayanan disebabkan oleh kurangnya tenaga pelayan atau pendeta ketika itu.
Sistim pelayanan Distrik (clasis)
tersebut diperkirakan bermula pasca berdirinya Indische Staats Kerk (Gereja
Protestan) pada tahun 1800, pasca bubarnya VOC Kerk. Teritorial pelayanan misioneri
dari Gereja Protestan Belanda menjadi hamba Tuhan di Minahasa hingga masa
tibanya Pendeta
Riedel dan Schwarts di tahun 1831 dibagi menurut distrik dalam struktur wilayah
pemerintahan Hindia Belanda.
Di kurun pelayanan para misionari
Katolik sejak 1563-1602, istilah Distrik atau Rayon, juga Clasis tidak dikenal.
Hal tersebut dapat dipahami dimana tugas pelayanan para Peter baru pada tahapan
sebagai peretas sekaligus pioner bagi pengenalan dan perjumpaan Injil Kristus
dengan masyarakat di kawasan ini.
Lantas bagaimanakah struktur pelayanan sebelum
GMIM terbentuk? Dalam catatan awal kita telah melihat sebuah mata rantai yang
terputus dalam misi pelayanan Gereja
Katolik selama 198 tahun (1602-1800)di Sulawesi Utara, bahkan di semua daerah
jajahan Belanda. Kondisi tersebut sekaligus mengubah keadaan pelayanan di
Kawasan Manado Utara dan Manado pada umumnya, yang ditandai dengan peralihan
dari pelayan misi Katolik ke pelayanan misi Protestan.
Sejak masuknya pendeta DS
Montanes dari Gereja Protestan Belanda pada
1675 misi pelayanan Protestan dimulai di Manado dengan mensasar orang-orang
Kristen yang berasal dari buah kerja misi Katolik pada kurun waktu sebelumnya.
Pelayan dari Pendeta Montanes di distrik Manado kemudian diteruskan oleh
Pendeta DS. Werndly 1707, Pendeta J Kam 1817 dan oleh Pendeta Muller meninggal pada tahun 1826,
Pendeta Lammers yang meninggal di Kema pada tahun 1824.
Dapat
dilihat pelayanan di distrik lainya antara lain yakni dilakukan Pendeta Riedel di Tondano 1831 dan Schwarts di Langowan 1831. Sejak tahun 1836 Amurang menjadi distrik pelayanan,
dan disusul pada tahun 1838 Tomohon,
1848 Air Madidi, 1849 Kumelembuai, 1861 Sonder.
Ratahan pada tahun 1862.
Sekitar 8
tahun setelah meninggalnya Ridel (1860) dan
Schwarts (1859), distrik pelayanan Gereja Protestan Belanda telah
membentang dari Manado hingga Kumelembuai. 15 tahun kemudian di Tomohon berdiri
sekolah Guru yang dipindahkan dari Tanahwangko (berdiri tahun 1852), juga
dibuka kursus-kursus untuk para penginjil di tahun 1867.
Dalam
kurun 19 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1886 kursus-kursus bagi para
tenaga penginjil ditetapkan menjadi Stovil (School
Tot Opleiding Voor Inlandsch Leeraren). Pendeta-pendeta lulusan pertama
Stovil yang ikut mewarnai pelayanan menuju terbentuknya aras pelayanan Wilayah
Manado Utara II diantaranya; Pendeta Hendrik Sinaulan yang menjadi pimpinan
pertama Paroki Singkil, kemudian dilanjutkan Pendeta Altius Adolf Mohede, dan
Pendeta Hendrik Dandel, dimana pada masa kepemimpinanya terjadi peralihan aras
pelayanan dari Paroki menjadi Wilayah.
Dengan
kian bertambahnya lulusan tenaga pendeta
pasca berdirinya Stovil, distrik-distrik pelayanan dilengkapi dengan
Paroki (saat ini disebut aras pelayanan
Wilayah). Untuk distrik Manado dibagi dalam 3 Paroki yakni;
Paroki Titiwungen, Paroki Tikala, dan Paroki Singkil, dimana untuk setiap
Paroki ditugaskan seorang pendeta.
Menurut catatan Sem Narande, 3 orang pendeta pertama yang memimpin 3
Paroki di distrik Manado adalah Pendeta Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil,
Pendeta Lantang di Paroki Titiwungen, Pendeta Talumepa, di Paroki Tikala.
2. Paroki Singkil 1903-1973
Di antara penghujung abad XIX dan
dipermualaan abad XX terjadi peralihan penting dalam sistim dan struktur pelayanan Gereja Protestan di Tanah
Minahasa, dimana terjadi pemekaran aras pelayanan dari Sitim Distrik ke Sistim
Paroki (wilayah). Dikurun ini perhimpunan Para Zending yang berpusat di Tomohon
memecahkan pelayanan distrik Manado menjadi 3 Paroki yakni: Wilayah Bagian
Utara distrik Manado menjadi Paroki Singkil. Wilayah bagian tengah distrik
Manado Menjadi Paroki Titiwungen. Sementara wilayah Selatan Manado menjadi area
pelayanan Paroki Tikala.
Di kurun ini pun kita bisa
merefleksi betapa kekuasaan Kristus
begitu kokoh dan kekal untuk selamanya. Kerajaan Allah yang terus melebar,
jemaat-jemaat tumbuh, aras pelayanan kian meluas, hamba-hamba Tuhan berlipat
ganda. Dari hanya seorang Hamba di tahun 1563 dengan 1500 orang dan 2 orang
raja sebagai jemaat mula-mula di pesisir Pantai Sindulang, kabar baik
keselamatan dari Kristus Tuhan itu kemudian membesar tampak terbendung oleh
kekuasaan dunia.
Sementara di lain sisi kekuasaan
dunia bisa tenggelam bersama senja. Periode kekuasaan Portugis dan Spanyol di
kawasan ini berakhir kurang dari dua abad. Pemerintahan Kolonial Belanda
runtuh dalam tiga setengah abad.
Pendudukan Jepang hanya berlangsung sesaat. Tapi dari patahan-patahan sejarah
kekuasaan dunia itu, kerajaan Allah dibangun dengan kokoh melintasi abad dan
kekuasaan mana pun, hingga kini dan di masa depan.
Sejak ditetapkan menjadi aras pelayanan
Paroki Singkil, Wilayah distrik Utara Manado ini berturut-turut telah dipimpin
oleh 4 pendeta sebagai kepala Paroki, aras pelayanan Paroki kemudian diubah
menjadi aras pelayanan Wilayah, dan terjadi pergantian penyebutan Kepala Paroki
menjadi Ketua Wilayah.
a. Kepala Paroki Pertama 1903-1933
Menguak Pesisir dan
Rimba
Pendeta pertama yang ditugaskan NZG menjadi
Kepala Paroki Singkil adalah Hendrik Sinaulan pada tahun 1903. Iabertugas
sebagai pimpinan Paroki Singkil hingga
tahun 1933, atau menjalani masa pelayanan selama 30 tahun. Sebuah record masa
pelayanan di aras wilayah yang paling lama bila dibanding dengan masa penugasan
seorang Ketua Wilayah sepanjang sejarah GMIM bersinode.
Teritorial pelayanan Paroki Singkil 1903-1933
membentang dari Singkil hingga Tongkaina dan perbatasan Wori (daerah gunung
Tumpa). Bila dibandingkan dengan saat ini, kawasan pelayanan Paroki Singkil
ketika itu adalah teritorial pelayanan dari 5 Wilayah saat ini yakni; Wilayah
Manado Utara I (Ma-Ut I), Wilayah Manado Utara II (Ma-Ut II), Wilayah Manado Utara III (Ma-Ut III),
Wilayah Manado Wawonasa Kombos (Mawako), Wilayah Manado Pandu Tumpa (Mapatu).
Masyarakat yang mendidami kawasan ini
ketika itu adalah suku Bantik-Minahasa (sub suku dari 9 sub suku Minahasa)
serta para pendatang dari Sangihe Talaud, Ternate, Gorontalo, Cina, Arab, dan
Borgo (Keturunan Spangol-Portugis).
Di kurun itu, kawasan daerah tepi
pantai yang membentang dari muara kali Tondano hingga muara kali Bailang, yang
saat ini menjadi kelurahan Singkil, Sindulang, Karangria, Maasing, Tumumpa adalah
area perkebunan kelapa, yang juga merupakan desa para nelayan. Di tengah
bentangan perkebunan kelapa ini, ada 2 areal
onderneming di kawasan ini yaitu:
Pertama, ordeneming milik Sie Bun Ko yang terletak di Maasing, yang dikuasainya
sejak tahun 1920 hingga 1957. Kedua, onderneming milik keluarga Kalengkongan
yang terletak di Tumumpa, yang dikuasai sejak tahun 1921 hingga 1926. Kemudian
kepemilikannya beralih ke tangan De Van Bode (1926-1928), selanjutnya beralih
ke Ullers (1928-1933), kemudian beralih ke Kongsi Eng Goan Hien, Hiap Hong, Tek
Hong (1933-1937). Kemudian dipegang Eng Goan Hien, sampai masa
dinasionalisasikan pada tahun 1959.
Sementara lebih ke utara, yakni
daerah Bailang, Batusaiki, Molas, Meras, Tongkaina, adalah areal hutan dan
perkebunan yang merupakan tanah-tanah suku Bantik. Kawasan perbukitan, Tuminting, Sumompo, Tuna,
Kombos, merupakan hutan rimba dan perkebunan palawija rakyat. Daerah tepian utara daerah aliran sungai
Tondano (Wawona dan sebagian besar Singkil Sindulang) merupakan wilayah
pemukiman penduduk. Desa-desa seperti Buha, Bengkol, Pandu dan perbatasan Wori
hingga gunung Tumpa adalah kawasan tanah-tanah suku Bantik yang juga merupakan areal
perkebunan Kelapa, Palawija dan hutan rimba.
Di area pesisir, perkebunan dan hutan
rimba inilah pendeta NZG Hendrik Sinaulan berkarier selama 30 tahun. Tantangan
yang tak ringan dipundakkan kepada seorang hamba Tuhan untuk melayani aras
pelayanan yang sedemikian luas. Anggota jemaat yang tersebar di desa-desa
pesisir dan areal-areal perkebunan yang harus di datangi dan dilayani. Sebuah
kondisi pekerjaan pelayanan yang amat berat di masa penjajahan Belanda, dimana
tingkat pendidikan masyarakat masih begitu rendah. Bahkan sebagian besar
anggota jemaat yang tidak mengenyam pendidikan formal, buta huruf, dan masih
hidup dalam pengaruh-pengaruh kepercayaan lama animisme dengan pola hidup yang
masih mengandalkan praktek syamanisme. Belum lagi perilaku buruk dari tradisi
mabuk-mabukan. Keadaan ekonomi penduduk yang pas-pasan untuk untuk hidup
sehari-hari, keadaan sanitasi yang buruk, rumah tempat tinggal yang sederhana
dan gubuk. Tak ada sistim penerangan listrik.
Namun seperti dikisahkan para Rasul
Tuhan dalam Kisah Para Rasul 20:28, dimana rasul Paulus meminta para tua-tua
jemaat di Efesus untuk mengembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan
darah Anak-Nya sendiri. Begitu pulalah Pendeta Hendrik Sinaulan bagi jemaat
Paroki Singkil, ia meminta para orang-orang tua di tengah persebaran desa-desa
kecil di kawasan ini untuk ikut bersama mengembalakan umat Allah. Sebuah
pekerjaan pekabaran Injil yang penuh tantangan di kurun awal aras pelayanan
wilayah yang satu abad kemudian menjadi pondasi-pondasi pelayanan gereja yang
kokoh di kawasan ini.
Membangun Gereja,
Merintis Jemaat
Hendrik Sinaulan adalah pendeta lulusan Stovil (School Tot Opleiding Voor Inlandsch
Leeraren) yang berdiri di tahun 1886. Ia dilahirkan di Manado, 9 Desember
1875, atau 25 tahun sesudah berdirinya organisasi Kerukunan Kristen Hosana
Ambang Susah yang menjadi cikal bakal berdirinya Gereja Nazaret
Tuminting(1850). Meninggal dunia pada 8 November 1960, dalam usia 85 tahun. Menikah
dengan Sophie Rintjap, dan dikarunia 2 orang anak: Engelbert Sinaulan dan
Elfrida Sinaulan.
Sebelum menjalankan tugas
pengembalaannya di Paroki Singkil, Sinaulan menjadi Pendeta di Jemaat Suluun
selama 10 tahun. Ketika diinagurasi di Stovil Tomohon, ia merupakan Inlandsche Leraar kelas 1 dari 9 lulusan
waktu itu.
Sejak diangkat sebagai pimpinan
Paroki, Pendeta Hendrik Sinaulan langsung melakukan pembangunan gedung Gereja
Singkil Sindulang yang dimulai pada 1903. Gereja Singkil Sindulang merupakan bangunan
gereja pertama di kawasan pesisir Manado
Utara sejak pelayanan Paroki Singkil ditetapkan oleh Komisi Perhimpunan Gereja
Protestan Belanda di Tomohon. Peribadatan di jemaat-jemaat terpencil di
teritorial Paroki Singkil masih dilakukan di sejumlah bangunan gereja darurat
atau menggunakan rumah penduduk yang diorganiser oleh orang-orang tua di tempat
masing-masing.
Kegiatan peribadatan di gereja pusat Poriki
Singkil sebelum berdiri gedung Gereja Singkil Sindulang ketika itu dilakukan di
serambi Hukum Besar Ticoalu yang luasnya
4 X 10 meter, kemudian dipindahkan menggunakan Sekolah Manado IV.
Pendeta Sinaulan pada awal
pelayanannya dibantu oleh 5 orang Penatua yaitu: Pnt. A Kapugu (ketika itu masih menjabat
sebagai Hukum Tua Singkil Sindulang), Pnt. Abraham Jacob Mohede, Pnt. Ticoalu (
Ex Hukum Besar), Pnt. Gontha Simon Abuthan (Guru), Pnt. Ferdinandus.
Dalam masa 30 tahun pelayananya,
Sinaulan tercatat berhasil mengorganiser anggota jemaat yang tersebesar
diteritorial yang begitu luas, selain para nelayan, tukang dan pekerja
ordeneming di kawasan Manado Utara, menjadi sidi-sidi jemaat di gereja Singkil.
Ia mengangkat banyak Anak Sarani. Dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret
Tuminting dipapar dimana di kurun awal peritisan jemaat itu di tahun 1916-1933,
pendeta Sinaulan memiliki lebih dari 200 anak sarani di kawasan rimba Tuminting
itu. Selain itu, ia melakukan pendampingan pada upaya perintisan pembangunan
sejumlah jemaat baru di kawasan teritorial
pelayanannya, seperti Jemaat Karangria, jemaat Buha, Jemaat Bengkol, jemaat
Pandu, jemaat Tuna. Dan karya terpenting dikurun kepemimpinanya adalah
berdirinya Gereja Jemaat Nazaret Tuminting di Tahun 1933 yang dipimpin perintis
jemaat Paulus Kawangung, dan berdirinya Gereja GMIM Bailang yang dipimpin guru
jemaat Matheos Kasiaha.
Satu tahun kemudian, usai
kepemimpinan Pendeta Sinaualan di Paroki Singkil, Gereja Masehi Injili Minahasa
(GMIM) disahkan pendirianya lewat keputusan Raja Belanda Wilhelm I pada 30
September 1934. Dengan berdirinya GMIM, pelayanan Indische Staats Kerk pun
berakhir di Tanah Minahasa.
Dari Paroki Singkil dan setelah
pensiun dari NZG, pendeta Hendrik Sinaulan kemudian diangkat oleh Kerapatan
Gereja Protestan Minahasa (KGPM) sebagai anggota Majelis Gembala dalam Pucuk
Pimpinan KGPM yang dipimpin A. Jacobus. KGPM berdiri pada 21 April 1933 atau 1
tahun lebih dulu dari GMIM.
b. Kepala Paroki Kedua 1933-1947
Pelayanan di Tengah Revolusi
Setelah pelayanan Pendeta Hendrik
Sinaulan berakhir di tahun 1933, Paroki Singkil
dipimpin Pendeta Robert Nicolas Rogahang yang bertugas hingga tahun 1947.
Pada masa ini system pelayanan telah diatur Sinode GMIM di Tomohon yang
dipimpin oleh Ketua Sinode pertama Ds De Vreede. Karena setahun setelah
pensiunnya Pendeta Hendrik Sinaulan sebagai Pendeta NZG, Gereja Masehi Injili
Minahasa resmi berdiri yaitu pada 30 September 1934.
Kurun waktu antara tahun 1933 hingga 1947 diwarnai oleh suasana panas pergolakan politik
dan revolusi kemerdekaan Indonesia. Di tengah perang untuk mengakhiri kekuasaan
Belanda di tanah air, serta masa-masa pendudukan Jepang, hingga perang
kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan kurun
waktu pelayanan pendeta kedua di Paroki Singkil ini. Dilain sisi ada pergolakan
politik dalam tubuh organisasi gereja di kurun 1933-1934, dimana Organisasi
Pelayanan Gereja Protestan Belanda di tanah Minahasa sebagai akar GMIM,
mendapatkan saingan baru saat berdirinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa
(KGPM) pada 21 April 1933 oleh DR. Sam Ratulangi. KGPM sebagai gereja yang
bernafaskan semangat kebangkitan nasional yang ikut berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia ketika itu, tentu sangat merisaukan Pemerintah Belanda. Ini sebabnya
raja Belanda kemudian mengistruksikan pendirian GMIM pada 30 September 1934.
Dua organisasi Gereja Protestan pun berdiri di tanah Minahasa. KGPM dengan
semangat Pelayanan dan Nasionalisme, sedangkan GMIM murni bertumpu pada misi
pelayanan semata, tanpa mencampuri urusan politik.
Kembali ke Paroki Singkil, teritorial
pelayanan Paroki Singkil di kurun pendeta Rogahan masih sama dengan waktu
kepemimpinan pendeta Hendrik Sinaulan. Hanya saja beberapa jemaat baru telah
resmi berdiri di antaranya Jemaat GMIM Bengkol yang pada tahun 1935 telah
dilayani oleh tenaga Pendeta lulusan Stovil tahun 1930 yang ditugaskan Sinode
GMIM yaitu Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan. Jemaat Nazaret Tuminting dan
Jemaat GMIM Bailang yang pimpinan Majelis Jemaatnya (BPMJ) di tangan para Guru
jemaat.
Pada masa pendeta Rogahang, seperti
juga pada masa Pendeta Hendrik Sinaulan, aras kepemimpinan Paroki tidak
memiliki Badan Pekerja Paroki (BPP) yang seperti saat ini adanya BPW (Badan
Pekerja Wilayah) yang kemudian berubah menjadi Badan Pekerja Majelis Wilayah
(BPMW). Seorang Kepala Paroki ketika itu adalah pimpinan tunggal untuk sebuah
aras pelayan paroki.
Penempatan resmi Pendeta Robert
Nicolas Rogahang tidak begitu diketahui, tapi tugas dan pelayanannya selaku
ketua Jemaat Singkil sekaligus sebagai pimpinan Paroki Singkil berakhir pada tahun1947. Melihat
tahun penempatan pendeta Rogahang, tampak adanya kekosongan kepemimpinan Paroki
Singkil sejak tahun 1933-1947. Siapakah yang menjadi pimpinan Paroki dalam
kurun 14 tahun yang diwarnai revolusi itu?
Belum ada data-data faktual formal yang mampu memberi jawaban hingga
saat ini tentang kondisi itu. Diperlukan penelitian lanjutan untuk menjawabnya.
Sebuah kasus menarik yang bisa
dipakai sebagai data pembanding untuk kondisi tersebut adalah catatan yang
dimuat Sem Narande dalam Bukunya Valdu
La paskah Jilid II tentang penyelesaian sengketa kepemimpinan Jemaat GMIM
Bailang di tahun 1934, dimana Guru Jemaat pertama Matheos Kasiaha didakwa oleh
beberapa orang anggota masyarakat Bailang dalam sebuah perkara Pidana. Dalam
konteks ini, bukan perkara pidananya yang menarik untuk ditelisik tapi dalam
catata tersebut dikemukakan, pada tanggal 1 November 1934 atau 1 bulan 1 hari
setelah GMIM berdiri dan berpusat di Tomohon, Pendeta Mulengen datang memimpin
Ibadah di Gereja Bailang, sekaligus memimpin pemilihan Guru Jemaat yang baru di
jemaat itu dimana Estefanus Takongselang terpilih menggantikan Matheos Kasiaha.
Fakta tentang kedatangan Pendeta Mulengen dalam rangka menyudahi sengketa di
Gereja GMIM Bailang di atas menegaskan dimana jemaat Bailang sebagai sebuah
jemaat di aras Paroki Singkil harus mendatangkan seorang pendeta dari Sinode
Tomohon untuk menyelesaikan persoalan kepemimpinan jemaatnya. Apakah dengan
kehadiran pendeta dari Sinode ini menyatakan dimana sesudah periode pendeta
Hendrik Sinaulan di Paroki Singkil yang berakhir pada 1933, NZG atau GMIM tidak
langsung menempatkan pendeta lagi sebagai Pimpinan Paroki di kawasan Pesisir
ini? Perlu penelusuran lanjutan mungkin kini atau dikemudian hari!
Beberapa data formal dan informal
yang dapat dijadikan rujukan guna memperkirakan kurun waktu penempatan Kepala
Paroki kedua ini antara lain catatan John Rahasia yang mengukapkan dimana
Pendeta Nicolas Rogahang telah bertugas di Manado Utara sebelum tahun 1945 di
Paroki Singkil. Hal tersebut dikarenakan kondisi Bangsa dan Negara dalam
keadaan perang. Ketika terbentuk Barisan Pemuda Nasional Indonesia yang berfungsi sebagai TKR di Sulawesi Utara pada bulan September 1945, dimana John Rahasia
sebagai Hulubalang, yang juga anggota jemaat Paroki Singkil, menyebutkan
pendeta Rogahan telah menjadi pelayan di
Paroki Singkil, sekaligus melayani tahanan-tahanan pemberontak di penjara
Manado oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Sementara
dalam catatan sejarah Jemaat Nazaret Tuminting ditulis, pada tanggal 17 Maret
1940, Pendeta Nicolas Rogahang selaku Kepala Paroki Singkil memimpin ibadah
peneguhan sidi jemaat bagi 9 orang angkatan sidi di gereja Nazaret Tuminting
(Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting,1999).
Sementara di
sisi lain, dalam sejarah Jemaat Bengkol, sebagai salah satu jemaat di aras pelayanan
Paroki Singkil dimana pada tahun 1935
Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan telah ditempatkan Sinode GMIM untuk menjadi
ketua jemaat di sana. Apakah Pendeta Pangemanan mengisi kekosongan kepemimpinan
di Paroki Singkil ketika itu? Belum ada bukti formal dan informal yang mendukung.
Ketika
menempati pos pelayanannya di Paroki Singkil, salah satu catatan penting dalam
tugas pelayanan dan penggembalaan jemaat yang tersebar di teritorial yang luas itu,
Pendeta Rogahang menugaskan tenaga-tenaga guru, untuk menjadi guru jemaat di
desa-desa terpencil yang telah memiliki
jemaat sendiri atau yang sedang merintis berdirinya sebuah jemaat. Sebuah data
menyebutkan, pada tahun 1935, Pendeta Rogahang menugaskan Guru Makpal untuk
melayani peribadatan pada hari-hari
minggu di Jemaat Nazaret Tuminting hingga tahun 1942.
Kebijakan dan ketekunan seorang
gembala dalam memimpin aras pelayanannya di tengah keadaan masyarakat yang
bergolak karena perang tentu menjadi tantangan tersendiri bagi Pendeta Nicolas
Rogahang. Seperti pendahulunya, Pendeta Rogahang adalah satu-satunya tenaga
pendeta yang ditempatkan di sebuah aras pelayanan Paroki, yang dimana dalam
kurun kepemimpinannya, kelompok-kelompok masyarakat Kristen di setiap desa
dalam wilayah pelayananya mulai merintis berdirinya jemaat-jemaat baru. Ini
sebabnya, guna merespons keinginan masyarakat untuk membangun jemaat sendiri
harus diimbangi oleh sebuah kebijkan penempatan tenaga-tenaga guru jemaat untuk
melayani ladang pelayanan Tuhan yang sedang tumbuh ini.
Sosok Pendeta Nasionalis
Pendeta Rogahang dilahirkan di
Ratahan 6 Oktober 1883. Ijazah kependetaannya dikeluarkan Perhimpoenan
Commissie Segala Pandita di Tanah Minahasa di negeri Manado pada 13 Oktober
1911, atau 23 tahun sebelum GMIM lahir. Pada masa perang kemerdekaan, ia
digelar sebagai Pendeta Merah Putih karena khotbah-khotbahnya yang selalu
membakar semangat juang para pemuda untuk membela tanah air Indonesia.
Ia tidak seperti rekan pendeta NZG
lainnya yang ketika itu selalu berdoa untuk keselamatan dan kelestarian
kekuasaan Ratu dari pemerintahan Kolonial Belanda. Di tengah para pemuda
pejuang yang ditahan pemerintah kolonial
di penjara Manado, ia berdoa agar Tuhan memberikan kekuatan, ketabahan dan
semangat juang bagi para pejuang untuk mencapai cita-cita kemerdekaan. Pendeta
Rogahang dalam khotbah-khotbahnya menekankan
kesetaraan hidup umat manusia di dunia dan pentingnya kemerdekaan bagi sebuah
bangsa. Ia menolak semua upaya kekerasan dan penjajahan oleh manusia terhadap
manusia, dan oleh bangsa terhadap bangsa. Bagi Rogahang, kehidupan adalah
anugerah terindah dari Tuhan yang tak bisa dirampas oleh siapa pun dari
seseorang.
Kesaksian D.C David yang dikutip Sem
Narande di tahun 1980 mengemukakan, khotbah pendeta Rogahang sangat tajam dan
tanpa tendeng aling-aling. Ia dengan tegas menegur setiap kesalahan dan
tindakan buruk anggota jemaatnya. Ia juga sosok yang rajin sebagaimana
diceritakan penatua tua Frits Carel
Commettie. Tanpa mengenal lelah ia mendatangi setiap pelosok Paroki
pelayanannya untuk menunaikan tugas pengembalaannya. Ia juga melakukan
tugas-tugas penginjilan ke daerah-daerah lain di luar Paroki Singkil. Di kurun
kepemimpinanya jemaat-jemaat baru terus tumbuh dan terhimpun di aras Paroki
Singkil. Sistim pelayanan di jemaat-jemaat mulai terurus dengan baik.
Penempatan resmi pendeta dan guru-guru jemaat lewat SK Sinode GMIM dilakukan,
terutama jemaat-jemaat yang telah memiliki bagunan gereja sendiri. Hal tersebut
terbukti dengan penempatan Guru Jemaat Estefanus Takonselang ke jemaat Nazaret
Tuminting melalui SK BPS GMIM angka 60 tertanggal 31 Desember 1942 (2602,
Syoowa), dan penempatan Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan tahun 1935 di Jemaat
GMIM Bengkol.
Pendeta Rogahang ternyata sosok yang
juga esentrik. Ia sangat hobi nonton film dan minum. Menurut Penatua Commettie,
Pendeta Rogahang sangat menikmati hobinya nonton film dan minum sampai mabuk.
C. Kepala Paroki Ketiga 1947-1951
Setelah Pendeta Rogahang, Ketua BPMJ Singkil
dan Kepala Paroki digantikan oleh Pendeta Altius Adolf Mohede. Ia bertugas
sejak 1947 hingga 1 Maret 1951. Ketika ia bertugas, nama Paroki
Singkil pun berubah menjadi Paroki Singkil Sindulang. Hal tersebut disebabkan,
gereja Singkil yang menjadi pusat Paroki tak saja memiliki kolom di kawasan
Singkil, Pancurang, Tuna, Wawonasa, tapi telah melebar hingga ke kawasan
Sindulang dan sekitarnya. Di sisi lainnya, secara historis penyebutan Singkil Sindulang adalah sebuah kesatuan dalam
sejarah pelayanan kekristenan mula-mula di pesisir ini.
Altius Adolf Mohede, dilahirkan di
Ulu Siau 2 Februari 1908. Setelah lulus dari Stovil Tomohon, langsung
ditempatkan di Langoan tahun 1934. Kemudian ke Noongan. Pada Mei 1940 di
tugaskan ke Riau, Tanjung Pinang dan Singapura. Ia kemudian ditugaskan ke
Bogor untuk melayani jemaat-jemaat yang merupakan orang-orang
Belanda, pada masa pendudukan Jepang.
Pada masa perang kemerdekaan, pendeta
Mohede ikut berjuang memimpin pasukan
bersenjata KRIS Bogor Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi, mendampingi Kolonel
Alex Kawilarang. Ia pernah ditahan oleh tentara Jepang pada masa pendudukan. Pada
masa penahanan itu, istrinya Paulien Saerang meninggal dunia. Ia kemudian menikah lagi dengan Els Tindas.
Setelah usai bertugas di Paroki Singkil, Pendeta Altius Adolf Mohede, beberapa
kali menjadi anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Utara. Ketika menjadi anggota DPRD
itu, Pendeta Mohede talah dinonaktifkan dari tugas-tugas kependetaan.
Penonaktifan oleh pihak Sinode GMIM itu disebabkan oleh penolakannya terhadap
penugasan sebagai pendeta ke wilayah Serey, Likupang.
Selama 4 tahun bertugas sebagai
Kepala Paroki Singkil, aras pelayanan GMIM di kawasan Manado Utara ini
berkembang pesat. Ketika itu pimpinan di aras Sinode telah dikendalikan oleh
Pendeta pribumi pertama DS. A.Z.R. Wenas, mengantikan ketua Sinode sebelumnya
DS. HH. Herwerden (1937-1941). Tugas-tugas Sinodal yang harus diembannya di
aras wilayah tampak berjalan baik dengan makin berkembangnya jumlah kolom di
jemaat-jemaat yang baru berdiri. Pada masa kepemimpinan Paroki, pemekaran atau
penambahan kolom di tiap-tiap jemaat dalam aras pelayanan Paroki dilakukan
lewat pengesahan resmi oleh Kepala Paroki atas nama BPS Sinode GMIM.
Jemaat Nazaret Tuminting yang berdiri
di tahun 1933 yang hanya berawal dengan 20 Kepala Keluarga saat memisahkan diri dengan
pelayanan gereja Singkil, tumbuh menjadi 3 Kolom, meliputi Kolom Tuminting,
Kolom Sumompo, Kolom Tumumpa. Pengesahan
pendirian kolom di Tumumpa pada tahun 1946 oleh Pendeta A. Mohede yang tertulis
pada Buku Sejarah Jemaat Nazaret selaku Kepala Paroki Singkil Sindulang,
harusnya terjadi pada tahun 1947, karena mengingat tahun penempatan Pendeta A.
Mohede sebagai Kepala Paroki baru pada tahun 1947.
Kolom Jemaat Nazaret Tuminting yang
terletak di kawasan Onderneming Tumumpa dan Maasing itu pun kemudian dimekarkan
atas persetujuan Kepala Paroki, menjadi jemaat otonom yang saat ini disebut
Jemaat GMIM Torsina Tumumpa, yang dimulai dengan 4 kolom. Pengesahan Jemaat
otonom bagi Torsina Tumumpa dilakukan oleh Pendeta Rondo tahun 1949, dengan
Guru Jemaatnya yang pertama Estefanus Takonselang. Takonselang yang melepaskan
tugasnya di Jemaat Nazaret Tuminting digantikan Guru Jemaat Paulus Kawangung.
c.
Kepala Paroki Keempat 1951-1973
Pribadi Yang Setia
“Hendaklah setiawan kamoe sampai kepada mati,
maka Akoe akan mengaroeniakan kepadamoe makota alhajat itu” (wahjoe
2:10).
Setelah Pendeta Altius Adolf Mohede,
pada 1 Maret 1951, Pendeta Hendrik Daandel ditempatkan oleh BPS GMIM sebagai ketua Jemaat Singkil
Sindulang sekaligus sebagai Ketua Paroki Singkil. Ia bertugas hingga 15
November 1973.
Pendeta Daandel dikenal sebagai
pribadi yang setia tapi tegas dalam mengemban tugas pelayanan. Ia hanya bekerja
pada empat jemaat semasa ia mengemban
tugas pelayanannya, tetapi dengan jangka waktu kerja cukup lama di tiap Jemaat.
Tahun 1932 setelah lulus sekolah Theologia STOVIL ditempatkan di Likupang
sampai dengan tahun 1935. Kemudian di Serey selama 8 tahun, dari tahun 1935
sampai 1943 (zaman pendudukan Jepang),
lalu di berangkatkan ke Gorontalo sebagai misi GMIM. Di sana bertugas selama 6
tahun dari tahun 1943 samapi 1949. Baru kembali ke Manado dan di tempatkan di
Maumbi antara tahun 1949 sampai 1951 dan dari situ terhitung malai tanggal 1
Maret 1951 di tempatkan di Bethanie Singkil dan sekaligus selain sebagai Ketua
Jemaat juga Ketua Paroki Singkil Sindulang. Bertugas di sini selama 22 tahun 8
bulan.
Ketika diutus sebagai misi GMIM ke Gorontalo, sesudah bertugas selama 4 tahun,
BP Sinode menganugerahkan tanda kenangan kepadanya atas kerajinan dan
kesetiaanya. Selengkapnya bunyi keputusan surat itu sebagai berikut :
Gereja Masehi Injili
Minahasa
Pada perhimpoenan Badan
Pengoeroes Synode tt. 30 Djuli 1947 di poetoes menganoegerahkan soerat tanda
kenangan kepada :
HENDRIK DAANDEL
Pendeta Pemimpin Oemoem
Zending GMIM Gorontalo, karena keradjinan dan kesetiaannja goena Geredja kita.
“Hendaklah setiawan
kamoe sampai kepada mati, maka Akoe akan mengaroeniakan kepadamoe makota
alhajat itu” (wahjoe 2:10).
Tomohon, 30 September
1947
Badan Pengoeroes
tersebut
Ketoea Synode
Ttd
A.Z.R.Wenas
Djoeroetoelis Synode
Ttd
S. KALIGIS
Hendrik Dandel lahir di Kanawong
Ondong Siau 3 Maret 1905. Sebelum ke STOVIL mengenyam pendidikan di SD Ulu II di Tatahadeng 1921, lulus jadi
guru (iajazah Kweekling) menjadi guru di SD Lehi. Setelah ia masuk Kweekschool
Kaluwatu 1925-1928 (berijazah) menjadi kandidat Kepala Sekolah Batuwulang
Ondong Siau 1928-1929 dan dari sini baru ke Stovil. Ia menikah dengan Engelista
Andaria.
Pendeta Hendrik Dandel meninggal
pada tanggal 15 November 1973, dengan
waktu pengabdian selama 22 tahun.
Dikurun pelayanannya yang relatif
panjang itu, banyak perkembangan yang terjadi di aras Paroki Singkil Sindulang.
Cikal bakal jemaat yang dirintis pendahulunya di berbagai desa di teritorial
Paroki Singkil Sindulang berdiri menjadi Jemaat Otonom. Selain Jemaat Bethanie
Singkil Sindulang, Jemaat Bengkol, Nazaret Tuminting, Torsina Tumumpa, Sion
Bailang, jemaat-jemaat baru yang berdiri dikurun kepemimpinan Pendeta Hendrik
Daandel diantaranya, Jemaat GMIM Kombos,
Pniel Tuna, Petra Karangria, Jemaat GMIM Molas, Jemaat GMIM Buha, Jemaat GMIM Pandu.
Tugas dan fungsi organisasi pelayanan
yang diembannya berjalan baik, sebagaimana
tri tugas panggilan orang percaya yaitu: Membangun, membaharui dan
memelihara keutuhan gereja (Marturia),
menyaksikan dan memberitakan Injil kepada segala Makhluk (Koinonia), Melayani demi keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan
(Diakonia).
Hal tersebut dapat terefleksi dimana
di kurun itu, gedung-gedung gereja baru berdiri di ladang-ladang persemaian
Injil Tuhan ini baik dalam bentuk darurat, semi permanen, hingga permanen. Dikurun
inilah bangunan gereja semi permanen Jemaat Nazaret Tuminting mulai dibangun. Jumlah
kolom di tiap-tiap jemaat ikut berkembang seiring kian pesatnya pertumbuhan
jumlah penduduk di kawasan ini. Terjadi pergantian kepemimpinan jemaat-jemaat
yang berlangsung sebagaimana aturan tata gereja GMIM.
Dalam sejarah Jemaat Nazaret
Tuminting tercatat di kurun kepemimpinan Pendeta Hendrik Daandel di aras Paroki
Singkil, Nazaret telah melakukan 4 kali pergantian kepemimpinan BPMJ, dimana
sebanyak 3 kali masih dalam kepemimpinan guru-guru jemaat, hingga pada tahun
1962, jemaat Nazaret Tuminting untuk pertama kali mendapatkan penempatan
seorang ketua BPMJ yang pendeta yaitu Pendeta
Manuel Lumowa Wangkai (1962-1974).
Penempatan pendeta ML. Wangkai di
Jemaat Nazaret tercatat kian mensemarakkan pelayanan di aras paroki Singkil
Sindulang. Karena Pendeta Daandel
sebelumnya hanya satu-satunya tenaga pendeta di aras pelayaan Paroki ketika itu,
dengan masuknya ML Wangkai, maka tugas pelayanan di Paroki Singkil Sindulang
dibagi menjadi dua, yakni: pertama, untuk jemaat-jemaat di bagian Utara Paroki
(Tuminting, Tumumpa, Bailang, Molas, Meras, Talawaan, Tiwoho, Wori, Pandu, Bengkol,
Buha) dilayani Pendeta ML. Wangkai. Sedang jemaat-jemaat di selatan Paroki
(Singkil Sindulang, Karangria, Wawonasa, Tuna, Kombos) dilayani Pendeta
Daandel. Baru pada tahun 1971, Jemaat GMIM Tuna ditempatkan Pendeta Dumanauw Musa Victor Kandijoh (1971-1973).
Kelokan Lain di Torsina
Selain kesetiaannya dalam mengemban
misi pelayanan di kurun kepemimpinannya sebagai Kepala Paroki, aspek ketegasannya
juga penting mendapatkan catatan. Sebab, dari sikapnya itu sejarah gereja di
kawasan ini membentuk kelokan tersendiri, yakni berdirinya GMPU (Gereja Masehi
Protestan Umum) sebagai dampak dari perpecahan babak pertama dari dua babakan
perpecahan di Jemaat GMIM Torsina Tumumpa.
Hal itu berawal dari kisah cawan
anggur yang telah kosong dalam ibadah perjamuan di tahun 1955. Sebagaimana
catatan Sem Narande, dalam sebuah ibadah perjamuan kudus di Jemaat Torsina
Tumumpa, terjadi peristiwa cawan anggur yang kosong karena semua isinya telah
diminum habis oleh seseorang yang sebelumnya menerima cawan itu, hingga orang
berikutnya hanya menengguk anggur dari cawan yang telah kosong. Peristiwa itu
tentu membuat gaduh suasana, banyak anggota jemaat yang ikut perjamuan tertawa,
termasuk para majelis jemaat.
Pendeta Daandel yang memimpin ibadah
perjamuan ketika itu, sontak memberi teguran keras dan tegas kepada Majelis
Jemaat, karena tertawa-tawa pada saat berlangsungnya acara di meja perjamuan. Suasana
itu menurut Pendeta Daandel, tidak menghormati kekudusan sakramen perjamuan.
Majelis Jemaat saat itu tersinggung
dan tak menerima teguran sang Pendeta, bahkan menilai Pendeta Daandel tak
menghargai Majelis serta mencemarkan kehormatan Majelis. Kejadian ini pun
berbuntut pada pertikaian antara Majelis Jemaat Torsina dengan Pendeta Daandel
selaku Kepala Paroki. Untuk menyelesaikan pertikaian ini Badan Pimpinan Sinode
mengutus Pendeta A. Rondo untuk mendamaikan. Tapi misi perdamaian pendeta A
Rondo gagal, karena 3 orang Majelis yakni Porcorus Arbraang, Salmon Marune dan
Matheos Talimpung, langsung menyatakan keluar dari Jemaat GMIM Torsina berpinda
ke GMPU, dan mendirikan gereja GMPU di Tumumpa.
Dan di tahun itu, atau 6 tahun
sesudah jemaat Torsina dinyatakan otonom setelah dimekarkan dari Jemaat Nazaret
Tuminting, tepatnya 18 Desember 1955, angin kencang menyaput runtuh bangunan
darurat Gereja Torsina Tumumpa. Kejadian itu menjadi bagian akhir dari babakan
pertama kisah jemaat Torsina, dan babakan kedua perpecahan menuju terbentuknya
Gereja KGPM Tumumpa sedang menanti, sebagai bagian dari kisah pelayanan di
kurun kepemimpinan Pendeta Daandel sebagai Kepala Paroki Singkil Sindulang.
Kerapan Gereja Protestan Minahasa
(KGPM) Tumumpa terbentuk dari eksodus kedua jemaat GMIM Torsina Tumumpa
tahun1968. Awalnya, kekisruhan hanya dipicu masalah ketidak beresan keuangan di
BPMJ dalam kepemimpinan guru jemaat Estefanus Takonselang. Pada perkembangan
berikut, persoalan kian menajam karena sebagian anggota jemaat menilai
kepemimpinan Guru Jemaat Estefanus Takonselang otoriter. Dari kesaksian para
tua-tua Jemaat Torsina sebagaimana dikutip Sem Narande, persoalan tersebut
benar-benar merobek keutuhan jemaat, hingga kondisi Jemaat terpecah menjadi dua
blok. Yang satu berpihak pada Ketua Jemaat, dan lainnya berseberangan dan
menolak kepemimpinan Ketua Jemaat. Konflik tersebut tak berhasil diselesaikan
di aras Jemaat, Paroki dan Sinode, tapi melebar ke rana hukum yang juga tak
mendapatkan penyelesaian.
Yang menarik dari peristiwa ini
bukanlah masalah benar tidaknya pokok kekisruhan itu. Karena kebenaran sejati
hanya milik Tuhan, maka tugas generasi berikutnya adalah merefleksi esensi
teologis dari peristiwa itu, dimana Tuhan telah membentuk kelokan baru dalam
sejarah pelayanan di aras Paroki Singkil Sindulang. Ketua Jemaat Torsina
Estefanus Takonselang bersama para pendukungnya kemudian melakukan eksodus kedua setelah berdiri GMPU dalam konflik
babak pertama, dengan mendirikan KGPM di Tumumpa sebagai buah dari konflik
babak kedua. Torsina yang ditinggal pergi sang pendiri jemaatnya sendiri,
kemudian dipimpin Pendeta Gustaaf Adolf Pangemanan, yang ditugaskan Sinode GMIM
sejak 2 Juni 1968.
Kembali ke Pendeta Daandel, mendekati
tahun-tahun akhir pengabdiannya di Jemaat Bethanie Singkil Sindulang, aras
pelayanan Paroki di wilayah-wilayah GMIM diganti menjadi aras pelayanan
Wilayah. Kepala Paroki pun berubah menjadi Ketua Wilayah. Dan sejak itu, Paroki
Singkil berubah menjadi Wilayah Manado Utara.
(bersambung ke bagian 4)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar