Oleh : Iverdixon |Tinungki
I.
AWAL
MULA 1563-1934
1. Sebuah Kabar Baik
Manusia adalah sang penanti kabar, dan Allah pewarta yang setia bagi
umatNya. Nabi-nabi dilahirkanNya sebagai penyampai pesan bagi zamanya, hingga
PutraNya yang kudus Tuhan Kita Yesus Kristus terutus membawa kabar indah
keselamatan bagi manusia. Begitulah sejak zaman mula-mula gereja terbentuk di
hari Pentakosta (Kisah Para Rasul 2:1-4), kabar baik itu terus bersampai ke
seluruh penjuru bumi.
Dan ini sebabnya, dikurun empat Abad lebih, pantai Singkil Sindulang
tak sekadar mengisahkan debur ombak,
cerita nelayan “Soma” (pukat)dampar milik juragan-juragan pribumi, atau seorang
Nyong Pranggang (lelaki remaja) yang pulas di samping lampu Kana menanti
datangnya waktu riuh teriakan; “Hela
haluang kamudi’’ dari kultur menjaring ikan di pesisir ini, diiringi makian
dan doa di tengah malam. Tak juga sekadar kisah-kisah para pekerja onderneming
dengan gaji pas-pasan di kebun-kebun kelapa yang membentang dari muara kali
Tondano hingga muara kali Bailang Tumumpa di masa penjajahan Belanda. Juga
bukan cuma tentang tari Katrili dan Volka peninggalan budaya Spanyol-Portugis
bagi masyarakat Borgo, dengan aroma keras bau Sopi, atau Cakalele yang rancak
ditarikan para lelaki dengan pedang sambil melototkan mata seramnya.
Singkil Sindulang adalah sebuah pesisir dalam peta pertumbuhan iman
umat-umat pilihan Allah di Utara Manado bahkan di timur Nusantara. Empat abad
perang dan kolonialisme yang tak hanya menelan banyak korban jiwa, tapi juga
menjumpakan masyarakat di sini dengan ke-Kristen-an.
Bila mensitir kitab Ulangan 7:6, maka tak berlebihan bila kawasan
pesisir dari Tanah Minahasa ini disebut “Israel
diaspora” mula-mula di Sulawesi Utara. Israel
diaspora adalah sebuah istilah bagi umat
Allah yang berada di luar teritorial negara Israel. Bila kitab Perjanjian Lama
menegaskan dimana Allah sendiri yang memilih umatNya, maka di kurun empat abad
lampau itu, dari sisi teologis kita bisa menyimpulkan dimana Allah sendiri juga
yang memilih umatNya mula-mula di kawasan pesisir ini hingga menjadi
jemaat-jemaatNya. Para nelayan, petani,
pekerja kasar dan tukang, juga raja-raja menjadi hamba-bambaNya yang setia
membangun aras-aras pelayanan melintasi abad dan kurun waktu hingga menjadi
Gereja hari ini. (Yesaya 41:8,9; 43:1).
Maka adalah sebuah senarai yang menarik dan penuh kejutan bila
menilisik dan merefleksi pertumbuhan dan perkembangan jemaat-jemaat di teritorial
pelayanan GMIM Manado Utara bila diurai dari masa lampau itu, yang kemudian
membentuk aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini.
Dari manakah benih awal kekristenan yang menjadi pohon pelayan di
kawasan ini? Siapakah yang menebar Injil mula-mula hingga terjadi perjumpaan
yang mesra antara manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus di pesisir ‘Tanah Pengharapan’
ini? Siapakah mereka yang terberkati menjadi Jemaat pertama? Seperti apakah
perkembangan selanjutnya hingga kita hari ini menyaksikan betapa indahnya taman
pelayanan di kawasan pesisir ini. Bagaimanakah Tuhan membentuk kelokan dan
tikungan aliran sejarah pelayanan jemaat-jemaatNya?
Rentetan pertanyaan sarat makna di atas tak mungkin terjawab bila kita tak mengurai benang merah sejarah pelayanan
dari kurun empat abad lampau.
Bagaimanakah rentetan peristiwa sejak empat abad lampau itu? Semuanya
bermula di sini, ketika 1500 orang rakyat bersama Raja Manado Kinalang Damopolii
dan Raja Siau Posuma
menerima sakramen baptisan dari seorang Peter Jesuit Diego De Magelhaes di
tahun 1563. Bapatisan itu dilakukan di muara kali Tondano (saat ini disebut
Kali Jengki), atau tepatnya di tepi pantai Sindulang.
Dari beberapa literatur, peristiwa baptisan oleh Peter Diego De
Magelhaes tersebut ditegaskan sebagai awal mula perjumpaan masyarakat alifuru dan para penganut animisme
yang mendiami kawasan pesisir ini dengan kabar baik dari Injil Kristus yang
datang bersama kapal-kapal dagang Spanyol dan Portugis yang mencari rempah dan
kebutuhan makanan lainnya bagi kebutuhan pasar-pasar Eropa.
Dari momentum sakramen baptisan itulah jemaat Kristen pertama terbentuk di
pesisir Manado Utara, dan terus berkembang melintasi empat abad (1563-2012)
hingga saat ini.
Bila ditelisik dari aspek teologis, peristiwa baptisan pertama oleh
Diego De Magelhaes di atas tak sekadar bermakna historis tapi juga teologis
sebagaimana diamanatkan Efesus 1:3-14, dimana Tuhan Allah, Bapa dalam Yesus
Kristus, yang oleh Roh-Nya yang kudus telah memilih, memberkati, mengutus dan
menyertai Gereja-Nya.
Bagaimana harus bermula di sini? Pesisir Manado Utara dan muara kali
Tondano ketika itu dapat dimetaforkan sebagai pintu menuju “Tanah Pengharapan”
yang menjadi salah satu titik penting sekaligus Bandar pertemuan orang-orang
dari berbagai suku dan bangsa untuk mencari pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari, dan “surga” bagi para pemburu harta dari Cina dan Eropa yang
datang bersama kisah-kisah perang dan penaklukan. Di tengah keramaian itulah
seakan Yesus datang menemui umatNya dan membangun gerejaNya. Kehidupan alifuru
dan kepercayaan animisme masyarakat harus dicerahkan menuju pemahaman yang utuh
tentang pengharapan dan keselamatan sejati dalam Yesus Kristus Tuhan.
Mesionaris
D. Brilman dalam bukunya yang berjudul “ Onze Zendingsvelden, De Zending op
Sangi-en Talaud-eilanden” , membenarkan
adanya effektuasi yang luar biasa dalam
kehidupan iman jemaat dan masyarakat di lingkungannya sesudah 14 hari Peter
Diego De Magelhaes membaptis 1500 orang jemaat yang pertama sekaligus bersama 2
orang Raja yaitu Raja Manado dan Raja Siau. Kesaksian yang sama juga ditulis beberapa literatur
antara lain karangan dr. Godee
Molsbergen dan Wessels, Schwengke, Peter Muskens, dan buku dari Dr. Muller
Kruger, seorang dosen yang pernah mengajar di sekolah tinggi Theologia Jakarta.
John
Rahasia, sejarawan dan penulis buku Tagaroalogi dalam ceramahnya di gereja Patmos
Bunaken tahun 1980, sebagai mana dikutip sejarawan Sem Narande, menjelaskan , 5000 anggota jemaat yang
ditemukan Ds. Werndly di tahun 1707 di Manado adalah produk dari penginjilan
masa Portugis .
“Kita
mendapatkan data, bahwa pada tahun 1563, Peter Diego De Magelhaes datang dari
Ternate. Ia dijemput oleh Raja Manado waktu itu, Kinalang Damopolii dan seorang
Raja dari Siau yaitu Raja Posuma bersama 1500 orang rakyat. Raja POSUMA sendiri
adalah putra dari Raja Lokongbanua yaitu raja pertama di Siau. Kedua Raja
Manado dan Siau serta 1500 orang minta kepada Peter Diego De Magelhaes dari
gereja Roma Katolik, zaman Portugis; untuk dibaptis!” (Valdu La
Paskah, Narande Sem, 1980, 333).
Sebelum
kedatangan Ds. WERNDLY tahun 1707, Ds. MONTANES sebagai pendeta dari NZG
pertama yang datang ke kawasan ini menemukan
segolongan orang yang merupakan Jemaat Kristen di pesisir Manado di tahun 1675.
Hal ini menegaskan dimana lebih dari dua
setengah abad sebelum GMIM lahir di tahun 1934, sudah ada jemaat kristen di
Manado Utara.
Menurut
catatan Sem Narande, proses kehidupan kekristenan sudah berjalan. Bukan baru
mulai. Bukan belum berwadah apalagi berlembaga. Bukan belum berbentuk dan
berwujud. Proses kehidupan kekristenan di wilayah Manado Utara sudah berjalan
lebih jauh ke depan dan jauh lebih lama dalam kristalisasi penginjilan sebagaimana
almanak kelahiran organisasi GMIM.
Catatan
sejarah jemaat-jemaat GMIM di kawasan Wilayah Manado Utara II yang saat ini berjumlah 7 jemaat, dan juga
pada umumnya sejarah seluruh jemaat di kawasan Manado Utara hingga pulau-pulau
sekitarnya menegaskan hubungan yang erat
cikal bakal kehidupan berjemaatnya itu dengan
peristiwa pembaptisan Peter Diego De
Magelhaes di tahun 1563. Alur sejarah kekristenan di kawasan pesisir Manado ini
mungkin akan berbeda bila dibanding dengan Ikwal kekristen di pedalaman
Minahasa yang diperkirakan baru teretas pada permulaan abad ke XIX, yang ditandai
kedatangan dua pendeta dari Gereja Protestan Belanda Ridel dan Schwarts di
tahun 1831.
Dalam
catatan sejarah jemaat GMIM Nazaret Tuminting yang resmi berdiri pada 17 Maret
1933 atau 1 tahun lebih tua dari usia GMIM, dipaparkan dimana gereja itu tumbuh dari sebuah
organisasi kristiani yang bernama “Hosana Ambang Susah” yang didirikan di kisaran
tahun 1850 oleh para pendatang dari Sangihe Talaud yang beragama Kristen.
Kita
melihat sebuah arus bolak-balik perjalanan injil Kristus pasca pembantisan Raja
Posuma dari Siau di Pantai Sindulang, yang kemudian dalam waktu yang tidak
terlalu lama memicu perkembangan jumlah umat Kristen di Siau menjadi 25.000 orang.
Serta atas bantuan raja Posuma pada 9 Oktober 1568 Peter Makarenas membaptis
10.000 orang di Kalongan, Sangihe. Benih kekristenan itu juga menyebar ke
Talaud yang ketika itu kawasan pulau-pulau
Talaud merupakan daerah-daerah yang berafiliasi dengan kerajaan Siau dan
kerajaan-kerajaan Sangihe. Perkembangan yang pesat dalam kehidupan kekristenan
di Sangihe Talaud dari buah kerja para missionary Katolik itu, dalam kurun
waktu berikutnya menjadi akar yang kuat dalam pertumbuhan jemaat-jemaat di kawasan
diaspora Manado Utara.
Kembali ke Kerukunan Hosana Ambang Susah yang
didirikan orang-orang Sangihe Talaud itu, awalnya bertujuan melayani
peristiwa-peristiwa kematian, kemudian terorganiser menjadi kelompok ibadah
hari Minggu. Dari kerukunan itulah 20 Kepala Kekuarga yang
khususnya mendiami kawasan Tuminting merentas cikal bakal berdirinya jemaat di
tahun 1916, diorganiser oleh perintis
jemaat yang bernama Paulus Kawangung, untuk melakukan ibadah Minggu secara
reguler. Sebelum dibangunnya rumah
ibadah yang tetap pada 1935, kegiatan peribadatan dilakukan dari rumah ke rumah.
Untuk pelayanan sakramen masih dilakukan di Gereja Pusat Paroki Singkil
Sindulang. (Nazaret, Sejarah Jemaat
Tuminting, 1999,10).
Bila
melihat perkembangan jemaat Nazaret Tumiting saat ini kita langsung
dipertemukan dengan kenyataan betapa dasyatnya campur tangan Tuhan dalam kerja
penyebaran Injil dan pembangunan Jemaat-Jemaat. Dari cikal bakal 20 keluarga di
tahun 1916, jemaat Nazaret hari ini telah memiliki beberapa jemaat pemekaran
seperti Jemaat Torsina Tumumpa, jemaat
Getsemani Sumompo, Jemaat Bukit Zaitun Sumompo, Jemaat Tunggul Isai
Tuminting, Jemaat Gunung Hermon Tuminting. Selain telah mengalami pemekaran
menjadi beberapa jemaat, Nazaret saat ini terdiri dari 25 kolom dengan sekitar 800 kepala keluarga sebagai
anggota jemaat.
Sebelum
Jemaat Nazaret Tuminting terbentuk di tahun 1933, orang-orang di kawasan tepi Ordeming Bailang juga telah membetuk
sebuah jemaat yang permanen yang saat ini dinamakan Jemaat GMIM Sion Bailang,
yang di pimpin oleh guru jemaat ketika itu Matheos Kasiaha.
Sementara
Gereja Bethanie Singkil Sindulang yang teritorial jemaatnya adalah lokasi dari
peristiwa pembaptisan di tahun 1563 oleh Peter Diedo De Magelhaes, akar kekristenan awal jemaat ini
sudah pasti dari peristiwa Baptisan pertama itu. Menurut catatan Sem Narande
dalam bukunya Valdu La Paskah, peristiwa pembabtisan oleh Peter Diedo De
Magelhaes tak saja menjadi akar
perkembangan kekristenan di Manado Utara, justru menjadi tonggak sejarah
perjalanan Injil Kristus di Sulawesi Utara.
Bangunan
pertamanya Gereja Singkil Sindulang
berdiri di tahun 1903 masa pendeta Hendrik Sinaulan. Gereja itu menjadi salah satu pusat Paroki pelayanan yang
mewilayahi kawasan Manado Utara, dari 3 paroki di distrik (Rayon) Manado, sejak berdirinya Gereja
Protestan Belanda di tanah Minahasa.
Di
kawasan daerah suku Bantik, di kurun waktu yang hampir bersamaan dengan gereja
Singkil Sindulang, telah berdiri Jemaat Protestan Bengkol. Penempatan tenaga pendeta
ke Jemaat Bengkol oleh Sinode GMIM sudah berlangsung sejak tahun 1935, atau 1
tahun setelah GMIM bersinode.
Bila
muncul pertanyaan, siapa pembawa proses kekristenan itu di Manado Utara? Jawabannya,
ialah Allah sendiri. Karena, meski pekerjaan
misi dan pelayanan Peter Diego De Magelhaes dilakukan dengan tatacara dan
dogma Gereja Roma Katolik masa
Portugis, kedua orang Raja dan 1500
orang rakyat bukan dibaptis atas nama gereja Roma Katolik, tetapi dalam nama
Bapa, dan Anak, dan Roh Kudus. Tidak ada kalimat terputus dalam Firman antara
saat pembaptisan pertama dari Peter Diego De Magelhaes dengan gereja dan jemaat
GMIM di kawasan Manado Utara saat ini, atau dengan gereja dan jemaat GMIM
lainnya atau gereja dan jemaat Protestan lainnya di seluruh Sulawesi Utara.
Buah iman
yang dipetik oleh gereja dan jemaat GMIM di Manado Utara adalah tetap
benih-benih Firman itu juga ditaburkan dan berakar selama 439 tahun sebagai
kabar baik dari pesisir ini.
2.
Masyarakat, Tradisi dan Kepercayaan
a.
Masyarakat
Bau
kemenyan, goraka, Kinsule (Bataka), dan bunga patuku (melati) dari
upacara-upacara penyembahan purba masyarakat Alifuru dan para penganut animisme
di kawasan ini, saat ini tak lagi mampu
mengalahkan berbagai wangi parfum produk modern seperti Estelouder, Axe dengan
iklan malaikat jatuh di televisi itu, atau bau makanan dari jejeran restaurant
di pusat kota Manado saat ini. Mantra-mantra magis telah menjadi sastra dalam
kearifan lokal yang mulai setara dengan keindahan penulisan status dalam jejaring social internet seperti facebook
dan twitter. Opoisme telah ditafsir sebagai jalan menuju perjumpaan dengan
Tuhan dalam pandangan gereja Samawi. Tradisi masyarakat komunal seperti Mapalus
telah berganti individualisme, eksklusifisme yang lengkap dengan assesoris
berhala baru materialisme dan hedonism. Mall-mall dan pusat perbenlanjaan lain
telah menghisap dan membentuk perangai baru dalam tradisi masyarakat kawasan
ini, saat ini. Pandangan-pandangan kesederhanaan hidup telah menumui ajalnya
dalam kurun waktu empat abad sejarah gereja di sini. Dan ini menjadi tantangan
dan pergumulan gereja kini dan di masa depan.
Banyak
yang telah berubah dan mengalami kebaruan dalam kurun waktu empat abad dari
awal mula kekristenan di pesisir ini, hingga masa gereja saat ini. Meski
praktek syamanisme masih saja menjadi alternatif pilihan segelintir orang dari
masyarakat suku-suku dalam hal
pengobatan dan sebagai fetis menuju raihan peruntungan dalam bidang ekonomi. Dalam
kenyataan-kenyataan inilah aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II
berkembang.
Teritorial
pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara II saat ini terdiri dari 7 jemaat,
masing-masing; Jemaat Petra Karangria, sebagai Pusat Wilayah. Jemaat ini
terdiri dari 21 kolom. Terletak di tepi pantai teluk Manado. Kawasan pantai itu
dulunya adalah area penangkapan ikan yang menggunakan pukat dampar (Soma).
Sebuah kultur perikanan tradisional masyarakat pesisir Manado yang telah hidup
berabad-abad sebagai tuas ekonomi masyarakat nelayan tradisional yang kini
tergerus pasca pemerintah Kota Manado menggelontorkan kebijakan pembangunan
boulevard sepanjang pesisir Manado. Pantai yang lebar dengan hamparan pasir
yang indah kini lenyap bersama lenyapnya mata pencaharian para nelayan
tradisional. Teritorial pelayanan jemaat Petra Karangria di sebelah selatan
langsung berbatasan dengan Jemaat GMIM Sindulang yang merupakan batas teritorial
wilayah Manado Utara I, di Utara berbatasan dengan Jemaat Torsina Tumumpa yang
merupakan teritorial pelayanan Manado Utara III. Sebelah barat adalah perairan teluk Manado, sedangkan di
sebelah timur berbatasan dengan jemaat Nazaret Tuminting yang merupakan salah
satu jemaat di Wilayah Manado Utara II. Area
pelayanan Jemaat Petra meliputi seluruh wilayah kelurahan Karangria, kecamatan
Tuminting.
Berbeda
dengan jemaat Petra Karangria sebagai pusat Wilayah Manado Utara II yang
terletas di tepi pantai, sementara Jemaat anggota Wilayah Manado Utara II
lainnya yang sambung menyambung adalah Jemaat Nazaret Tuminting dengan 25 kolom, Jemaat Tunggul Isai Tuminting, Jemaat Gunung
Hermon Tuminting, Jemaat Getsemani
Sumompo dengan 27 kolom, Jemaat Bukit
Zaitun Sumompo, Jemaat Firdaus Mayondi. 6 jemaat ini terletak di area perbukitan di
sekitar pesisir pantai Manado Utara. Bagian selatan berbatasan dengan Jemaat
GMIM Jarden Kampung Islam yang merupakan anggota wilayah Manado Utara I, dan di
Utara berbatasan dengan Jemaat GMIM Ararat sebagai anggota Wilayah Manado Pandu
Tumpa (Mapatu). Sebelah Barat berbatasan dengan Wilayah Manado Utara III, dan
sebelah Timur berbatasan dengan Wilayah Mawako.
Tujuh
Jemaat anggota Wilayah ini berada di 4 kelurahan, masing-masing; 1 Jemaat di
kelurahan Karangria, 3 jemaat di Kelurahan Tuminting, 2 jemaat di kelurahan
Sumompo, 1 Jemaat di kelurahan Singkil, atau berada di 2 wilayah Kecamatan
yaitu 6 Jemaat berada di wilayah kecamatan Tuminting, dan 1 jemaat di Kecamatan
Singkil.
Mayoritas
anggota jemaat di 7 jemaat ini adalah masyarakat asal etnik Sangihe Talaud.
Kemudian disusul etnik Minahasa, Tionghoa,
dan etnik campuran lainnya. Mata pencaharian mayoritas masyarakat adalah
pekerja kasar berupa buruh dan tukang, Pegawai pemerintah dan swasta, petani,
pedagang, pengusaha kecil dan menengah.
Dengan
mencermati keadaan masyarakat di teritorial Wilayah saat ini, lantas muncul
pertanyaan yang lebih dalam dan menggelitik, bagaimanakah perkembangan
masyarakat di kawasan ini sebelumnya? Dan bagaimanakah adat istiadat dan
kepercayaan mereka?
Tentang
masa lalu kawasan ini, sebuah artikel yang diposkan uBlog berjudul “Manado
Dalam Peta dunia” memaparkan betapa pentingnya kedudukan pesisir Utara Manado
dan muara Kali Tondado di pantai Sindulang sejak abad XVI. Kapal-kapal Spanyol dan Portugis memasuki
kawasan ini sejak tahun 1521, dalam perjalanan dagang sekaligus penguasaan
wilayah sentra-sentra ekonomi.
Musafir Barat
itu awalnya datang untuk kepentingan perdagangan barter berupa beras,
dammar, ikan, garam, dan hasil hutan
lainnya, tapi kemudian memacak kekuasaan di daerah yang baru mereka tumukan
ini.
Mereka mengambarkan penduduk kawasan ini
adalah kaum “alifuru’ dari pedalaman Minahasa yang tanahnya subur dan pandai
bercocok tanam, serta orang-orang dari kepulauan Singihe Talaud yang animis,
dan pedagang Cina yang telah membaur dan
berasimilasi dengan masyarakat setempat.
Sebuah
penegasan tentang pentingnya kedudukan dan pengaruh kawasan ini dalam percaturan ekonomi dunia
waktu itu, dilakukan oleh seorang ahli peta dunia Nicolas Desliens pada tahun 1541
yang mencantumkan nama Manado dalam peta dunia. Ia mengambarkan masyarakat yang mendiami pesisir Manado yang pluralistik
selain para pribumi dari Minahasa dan Sangihe Talaud, orang-orang Ternate, juga terjadi asimilasi dengan para pendatang
hingga ditemukan selain orang-orang Cina
dan keturunananya, juga masyarakat turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.
Manado
dengan kedudukan Bandar di Pantai Sindulang disebut sebagai pusat niaga bagi
pedagang Cina yang memasarkan Kopi ke daratan Cina. Mata pencaharian penduduk
setempat ketika itu mayoritas adalah
bertani dan nelayan.
Sultan
Hairun dari kesultanan Ternate ketika itu telah mengklaim dimana Manado adalah
fazal ekonomi kesultanannya sejak lama bersama-sama dengan beberapa kerajaan di
Sangihe Talaud, karena berlimpahnya kekayaan hasil bumi daerah ini.
Sebelum
masuknya Spanyol dan Portugis, gelombang urbanisasi kekawasan ini
diperkirakan cukup pesat dan intensif
sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu terutama pada masa kerajaan Majapahit 1364
(Nazaret, Sejarah Jemaat Tuminting, 1999,11). Keadaan penduduk terus berkembang
pada abad-abad berikutnya sebagai dampak dari kian ramainya aktivitas
perdangan di Manado.
Menurut
catatan N. Graafland, gelombang urbanisasi besar-besaran orang-orang Sangihe
Talaud ke kawasan kewedanaan Manado terjadi hingga awal abad XIX. Perahu Kora-kora dan Tumbilung yang
berasal dari kepulauan Sangihe Talaud terlihat datang dan pergi sepanjang waktu
dan menambat di muara sungai Manado (Muara Kali Tondano). Ada yang juga
berlabuh di dermaga utama kewedanaan Manado yang selesai dibangun tahun 1859 (
N. Graafland, 1991,16).
b.
Tradisi dan Kepercayaan
Kedatangan bangsa asing ke kawasan
ini dimasa lalu telah mengikwali
terjadinya alkulturasi begitu dasyat dalam sistem nilai budaya dan kepercayaan
orang-orang Minahasa dan Sangihe Talaud yang mayoritas mendiami pesisir ini.
Telah terpapar dalam senarai awal
dimana sebelum masuknya
pandangan-pandangan agama semitik (Abrahamic Religion), Kristen dan
Islam, masyarakat di sini digambarkan sebagai golongan orang-orang alifuru yang
hidup dalam kepercayaan animisme yang melakukan praktek-prakten syamanisme. Setiap
ladang, pohonohon yang rimbun berbuah lebat, laut yang berlimpah ikan, semuanya
mengisahkan cerita magi masyarakatnya. Kemiskinan, kemelaratan, bencana dan
malapetakan adalah tuaian dari benih dosa, kelalaian dan kealpaan. Dosa dan
kealpaan itu harus disucikan lewat upacara ritual magi.
Kepercayaan masyarakat yang telah
berlangsung dalam kurun ribuan tahun sebelum persentuhan dengan kekristenan itu
bahkan hingga kini relatif tetap dilangsungkan baik di Minahasa dan di Sangihe
Talaud.
Para missionery Zendling Inggeris
Codrington menyebut kepercayaan masyarakat itu sebagai budaya magi dari
kepercayaan “Mana” (bahasa Melanesia untuk menyatakan suatu tenaga sakti penuh
rahasia). Masyarakat purba (primitip) dan hingga kini masih meyakini adanya tenaga mekanis yang sakti dan rahasia
yang berada dalam seluruh alam, sesuatu yang bisa mengerjakan atau menimbulkan
kebahagiaan maupun pemusnahan. Oleh karena keyakinan ini, segala aspek pikiran
dan tindakan didasarkan pada penyatuan kehendak manusia dengan tenaga sakti
dalam alam ini.
Lebih jauh membahas tradisi dan kepercayaan masyarakat
yang mendiami kawasan ini tak lepas dari asal usul mereka. Seperti juga orang-orang
Sangihe Talaud, orang Minahasa berasal
dari utara. Bertalian erat dengan Mongolia, Tiongkok, dan Jepang. Hal itu
didasarkan pada analisis antropologis seperti ciri-ciri fisik, gaya arsitektur,
senjata tradisional, pakaian, sistim religi, serta bahasa.
A.L.C. Beekman, ahli ilmu bumi ini berpendapat bahwa secara antropologis warna
kulit orang Minahasa lebih terang dari bangsa Melayu lainnya, bermata hitam dan
coklat serta berambut hitam lurus. Di sudut dalam matanya terdapat apa yang
disebutnya Mongolschopil atau lipit Mongol yang menjadikan mereka
kelihatan seperti orang Jepang.
F.S.
Watuseke, seorang peneliti
sekaligus budayawan Minahasa berpendapat bahwa selain dilihat dari ciri-ciri
fisik, jika menelisik gaya arsitek bangunan yaitu rumah panggung bertangga,
senjata tradisional [tombak, parang, dan perisai], pakaian dari kulit kayu,
serta penghormatan terhadap arwah para leluhur, maka semua ini memiliki
kesamaan dengan suku-suku Indo-Mongoloid di Tiongkok Selatan, teristimewa di
propinsi Yunan dan Tibet Timur, yang juga merupakan nenek moyang suku-suku
Thai, Vietnam, dan Filipina.
Pdt. Tendean seorang ahli aksara Cina dan Mongol Kuno. Pada bulan Mei
1997, ia pernah berkunjung ke Watu Pinawetengan. Dari segi bahasa, ia meneliti
dan menemukan satu coretan kuno yaitu ”Min
nan tou” Olehnya, dalam bahasa Mongol Kuno, coretan ini memiliki arti
’Min’ artinya Raja yang bisa jadi menunjuk raja Ming, ’Nan’ artinya Pulau, dan
’Tou’ artinya Manusia atau Orang. Jadi ”MIN
NAN TOU” artinya ”Orang turunan raja Ming dari pulau itu.” Pendapat ini
diperkuat oleh C. Manoppo,
seorang diplomat yang lama bertugas di Mongolia. Ia mengatakan bahwa baik nama
marga mapun kepercayaan dan unsur-unsur budaya Minahasa dan Mongolia keduanya
memiliki banyak kemiripan, ia mencontohkan misalnya marga Sondakh, Sandag dan
Tendean ada juga di Mongolia.
Mengungkap
konsep metafisis abstrak masyarakat purba dapat ditelisik melalui
simbol, mitos, ritus, syair, sebab dengan semua cara itu pengungkapan mereka
akan hal itu. Syair doa agama asli orang Minahasa seperti dicatat J.G.F Riedel tahun 1870, pernah diteliti oleh J.
Hikson tahun 1889. Berdasarkan syair doa dan nyanyian agama asli Orang
Minahasa menurut penelitian tersebut, Tuhan bagi orang (tou) Minahasa
pra-Kristen disebut Empung. Tuhan atau Empung ini diatributkan
secara superlatif yaitu Empung Wailan Wangko artinya Tuhan Maha Mulia
dan Besar, Empung Renga-Rengan artinya Tuhan Maha Abadi/ Asal Keturunan.
Corak superlatif-Nya sebagai Satu Yang Maha mengkarakterkan sifat
monoteistiknya karena itu eksistensi diri-Nya adalah
kemahaan-Nya, sekaligus kemahaan-Nya adalah esensi-Nya. Konsekwensinya, Ia
dipahami dapat mempresentasikan diri-Nya dalam corak antroposentrik yaitu
makan-minum seperti manusia sekaligus men-subordinasi-kan diri-Nya kepada si
Lokon telu katua’an.
N. Graafland, awalnya
berpandangan bahwa, ciri monotheistik ini dipengaruhi oleh kekristenan.
Tapi setelah ia mempelajari secara lebih mendalam cara berdoa dan isi doa-doa
asli orang Minahasa di berbagai tempat yang ia kunjungi, ia berkesimpulan bahwa
orang Minahasa sebelum kedatangan kekristenan sudah mengenal satu nama. Dia
menyebutnya ”aku akan ada, dan aku ada” [Ik zal zijn, die ik zijn zal].
Kruyt dan Schwarz mengatakan bahwa sementara mereka menyembah banyak dewa,
ada satu nama yang sebenarnya bukan nama dalam arti yang biasa, yang mereka
sebut “Empung Wailan Wangko”. Yang di bagian selatan disebut Si ni
mema’ in tana [Yang membuat bumi] atau Si opo ni mema’in tana [dalam
bentuk tunggal] yang juga mereka sembah. Jadi bercorak henoteistik.
J. C. Neurdenberg, bertolak dari teori evolusionistik, ia mengatakan bahwa
awal dari penyembahan ilah manusia Minahasa bersifat monotheistik, mereka
mengakui adanya Satu Yang Tertinggi [Si Empung], kemudian
berangsur-angsur menjadi ‘polytheistik’ tapi bukan polydemonistik [banyak
Iblis].
Opo
bagi orang
Minahasa adalah leluhur tapi tidak semua leluhur
adalah Opo. Terminolgi Opo bersinggungan erat dengan persekutuan
keluarga serta keturunan. Karena itu, ia diberi isi dan arti menurut fungsi,
peran, dan tanggungjawab sang bapak sebagai penunjuk jalan, pemelihara,
penjaga, pelindung, penolong, pembela, pelaku dan pemberi teladan hidup
sekaligus simbol dari moral bapak, moral pemimpin yang menuntun dan mengarahkan
manusia pada kehidupan yang sejahtera di dunia dan di alam berikutnya. Karena
itu, ia bersifat spiritual. Sesuai hakekatnya itu, mereka ia
dihargai, dihormati sebagaimana pada waktu mereka masih hidup, karena mati
dipandang sebagai berpindah tempat saja. Sehingga peran dan fungsi-fungsi, tanggung jawab dan
wewenang, sifat-sifat dan kedudukan/status dan derajat mereka tetap diakui
melekat pada mereka. Karenanya Tou Minahasa tetap berkorelasi dengannya
di dalam seluruh segi kehidupannya. Dalam Zazanian ni Karema disebutkan ”Niaku
tumao kariamio” ’aku akan hidup bersamamu.’ Namun tetap diingat bahwa baik
esensi maupun eksistensinya dipahami bersifat subordinatif dari Empung
Wailan Wangko.
Kematian dipandang sebagai pindah tempat saja dan karena
itu kehidupan tetap berlanjut. Kehidupan sesudah kematian dilihat sebagai
tempat yang penuh dengan kesempurnaan, keindahan dan kemewahan, terlepas dari
segala kesulitan. Tempat tujuan mereka disebut Kasendukan. Mereka yang
layak ke sana adalah mereka yang selama hidupnya memenuhi tuntutan dan ajaran
para Opo. Sebaliknya mereka yang hidup tidak taat, mereka tetap berada di bumi
dan berkelana dan kadangkala jiwa mereka dipahami berdiam dalam satu tempat
tertentu dan menakut-nakuti orang yang masih hidup, kadangkala mereka masuk
dalam tubuh binatang tertentu seperti babi atau ular atau juga pergi ke bawah
bumi tapi bukan daam arti reinkarnasi atau dilahirkan kembali.
Salah
satu bentuk ritual orang Minahasa adalah Poso. Poso adalah ritual
perdamaian antara manusia dengan Opo yang dimediasi oleh seorang
Wailan. Poso terjadi ketika manusia bersalah melanggar pantangan
atau larangan yang diberikan oleh Opo. Orang yang melanggar pantangan
atau larangan dari Opo itu biasanya akan menderita sakit, namun sakitnya
tidak dapat dideteksi oleh orang biasanya bahkan pada zaman sekarang oleh ahli
medis sekalipun. Maka untuk dapat mengetahui kejadian sebenarnya sebagai
penyebab dari sakitnya, seseorang dapat meminta tolong seorang Wailan. Melaluinya
si sakit dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh Opo, dan akhirnya
ketika diketahui apa yang dikehendaki oleh si Opo dan diketahui pula
secara pasti apa kesalahannya terhadap si Opo itu maka diadakan
perdamaian antara manusia dan Opo melalui Wailan, si sakit
memenuhi apa yang diminta dari si Opo dan penyakitnya sembuh.
Relasi manusia dengan alam semesta, dipahami dalam konsep
bahwa alam semesta sebagai tempat tinggal Opo-Opo yang dihargai oleh
manusia. Penghargaan terhadap alam adalah
penghargaan pula terhadap pribadi Opo-Opo itu. Misalnya sebuah pohon
besar, hutan, atau binatang tertentu tidak akan diganggu gugat kelestariannya
sejauh mereka itu dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Maka, musnahnya mereka berarti musnah pula perjumpaan
simbolik antara manusia dan para leluhur.
Paham yang sifatnya teleologis-paradoksal itu, seperti
dijelaskan di atas, mendapatkan implikasi kristianinya yaitu penjelasan paham
monoteistik tentang Tuhan Yesus Kristus yang adalah Allah dan pada konsep Empung
Wailan Wangko sebagai ’Satu Yang Maha.’ Konsep inilah yang kemudian secara
inkulturatif diberi makna kristiani yaitu Allah sebagai tujuan hidup manusia.
Maka untuk mencapainya, Tou Minahasa kristen memerlukan peran eksternal
yaitu nilai-nilai kekristenan dan terutama dalam diri Kristus sendiri sebagai
Allah. Opo-Opo dapat disejajarkan dengan para kudus yang memiliki
kwalitas moral yang baik karena mereka hidup sesuai dengan kehendak Allah,
sebagaimana juga Opo-opo yang menjadi ideal virtue bagi Tou
karena mengikuti kehendak Empung Wailan Wangko. Mereka layak dihormati
karena menampakkan sifat-sifat Allah namun mereka bukan Allah.
Menganai tradisi penguburan
menggunakan waruga di Minahasa mulai ditinggalkan pada sekitar pertengahan abad
ke-19 ditandai dengan munculnya sistem penguburan dalam tanah yang
diperkenalkan oleh bangsa Belanda. Perubahan ini terjadi bersamaan dengan
diperkenalkan dan semakin kuatnya agama Kristen di Minahasa. Namun, harus
dicatat bahwa sampai menjelang berakhirnya kepercayaan terhadap roh leluhur dan
makin kuatnya penganut agama Kristen, waruga masih tetap digunakan. Pada
tahapan ini, penggunaan waruga bukan lagi dimaksudkan sebagai bentuk
pengkultusan terhadap roh para arwah leluhur/nenek moyang, tetapi penggunaan
waruga pada saat itu lebih merupakan sebagai bentuk apresiasi orang Minahasa
terhadap budaya lamanya.
Dari proses perubahan yang telah dikemukakan di bagian terdahulu,
jelas bahwa kepentingan missionaris untuk menyebarkan pesan Injil di daerah
Minahasa merupakan faktor utama penyebab hilangnya tradisi penguburan
menggunakan waruga. Cara yang dipakai untuk melakukan penginjilan kepada
masyarakat Minahasa memang dilakukan secara tidak langsung. Penyebaran Injil
dilakukan melalui bidang pendidikan dan kesehatan. Missionaris mengajarkan
ketrampilan bertukang, menjahit, dan jenis ketrampilan praktis lain yang sangat
dirasakan kebutuhannya oleh masyarakat ketika itu. Di samping itu, missionaris
juga mengajar anak-anak Minahasa untuk mengerti membaca dan menulis. Peserta
didik banyak yang kemudian tinggal di tempat missionaris untuk dididik, bahkan
diberi uang saku dan pakaian. Melalui cara-cara seperti itu, agama Kristen
mulai disebarkan dan ditanamkan kepada generasi muda Minahasa. Dengan demikian,
ketika generasi tua semakin kurang perannya dalam masyarakat, dan generasi muda
yang telah di-kristen-kan menjadi berperan, maka agama Kristen pun menjadi
lebih dominan dibanding dengan kepercayaan asli Minahasa. Sebagai akibatnya,
penguburan dalam waruga juga makin lama tidak lagi digunakan.
Selain itu, daerah Minahasa yang sering kali dilanda wabah penyakit
menjadi peluang yang baik bagi para missionaris untuk memasukkan agama Kristen,
melalui bidang kesehatan. Para missionaris dari NZG memperkenalkan pengobatan
modern, di samping pemahaman akan lingkungan yang bersih. Pengobatan yang
selama ini dilakukan secara tradisional, disertai dengan ritual-ritual
penyembuhan yang dipimpin oleh seorang walian, perlahan-lahan mulai
ditinggalkan dan beralih ke pengobatan modern, karena tingkat keberhasilan
penyembuhannya yang tinggi. Melalui cara seperti ini, kepercayaan terhadap
walian menjadi berkurang, dan beralih menuruti pesan-pesan yang disampaikan
oleh missionaris terhadap mereka.
Perubahan unsur budaya Minahasa juga terwujud dalam bentuk perubahan
tradisi penguburan. Tradisi penguburan menggunakan waruga yang dilatarbelakangi
kepercayaan Alifuru lambat laun berubah dan beralih ke tradisi penguburan dalam
tanah yang dilatarbelakangi konsep kepercayaan dalam agama Kristen. Perubahan
seperti itu memang tidak terjadi seketika, melainkan secara bertahap. Pada awal
masuk dan berkembangnya agama Kristen, waruga masih digunakan. Penguburan
dengan waruga ditinggalkan sama sekali pada awal abad ke-20.
Proses perubahan bertahap seperti itu tercermin dari perubahan pola
hias waruga menjelang masa akhir penggunaannya. Hiasan-hiasan motif manusia
pada waruga tradisional yang dibuat pada masa sebelum kedatangan pengaruh Eropa
cenderung dihias dengan motif-motif yang mengandung makna magis, termasuk motif
manusia kangkang dengan penonjolan genitalia. Pada masa peralihan atau awal masuknya
bangsa Eropa (Spanyol, Portugis, dan Belanda), waruga dihias dengan motif
manusia juga tetapi tidak lagi ditonjolkan genitalianya. Motif manusia
seringkali digambarkan dengan menggunakan penutup genitalia sederhana atau
ditutup daun-daunan. Pada tahap berikutnya, ketika pengaruh Eropa makin kuat,
waruga dihias dengan motif manusia dengan pakaian Eropa. Sementara itu,
perkembangan akhir penguburan dengan waruga terjadi ketika pengaruh agama
Kristen semakin kuat, dan tradisi tulisan menjadi bagian dari pengetahuan baru
masyarakat Minahasa. Tradisi tulisan ini juga menghiasi kubur waruga. Waruga
dipahat dengan tulisan nama, waktu kelahiran dan waktu kematian orang yang
meninggal. Nama-nama itu menunjukkan bahwa orang yang meninggal telah beragama
Kristen. Karena itu, dapat ditunjukkan bahwa perubahan kepercayaan orang
Minahasa dari kepercayaan Alifuru ke agama Kristen tercermin pula dalam budaya
materinya, baik itu berupa perubahan pola hias waruga, maupun perubahan dari
tradisi penguburan menggunakan waruga ke tradisi penguburan dalam tanah.
Sementara, masyarakat Sangihe Talaud di kawasan pesisir ini, seperti
juga masyarakat di tempat asal mereka sejak masa purba meyakini pentingnya
persekutuan antara kehidupan manusia dengan kuatan alam semesta. Dari
persekutuan itulah kemudian diambil kesimpulan dalam aspek berpikir dan
bertindak dalam kehidupan keseharian.
Kekuatan semesta itu berasal dari para Opo (roh orang suci atau
orang perkasa yang telah mati), Ompung (roh dewa-dewi lautan) atau
Taghaloang (Tagaroa), Ingang (peri-peri), Ghenggonalangi (Sang
Maha Kekuatan pencipta semesta= Tuhan dalam pengertian agama-agama semitik),
serta roh-roh penyebab petaka, diantaranya : Pehang, Mongang, Lahoe, Kabanasa,
Setang, Ratoen Setang. Sedang roh-roh yang bersifat baik seperti : Saritana,
Ading dan Ghenggona.
Dalam pelaksanaannya di masa kini ritual-ritual
itu sudah dipengaruhi oleh berbagai ajaran etika agama-agama semitik terutama
ajaran trinitas Kristen yang sudah berpengaruh sejak abad ke XVI dengan
masuknya bangsa Eropa 1524 yang ditandai dengan berlabuhnya perahu para pelaut
Spanyol di daratan ini.
Pangaruh ajaran Kristen dalam syair
Sasambo dalam tradisi Sangihe sebagai misal dapat terlihat sebagai contoh pada
sebuah lagung Kakumbaeda yang judulnya “ Mesubah” (menyembah)yang dalam satu
lariknya mengatakan : Ia mesubah su Ghenggona Ruata Amang Kasuluang (aku
bersujud kepada Allah Bapa pencipta semesta). Bagian dari larik ini
mengambarkan bahwa Kakumbaeda (syair pengantar tidur anak) ini sudah berisikan
ajaran Kekristenan, atau terjadinya singkretisme budaya. Syair Mesubah dalam
jenis lagung Kakumbaede ini lengkapnya mengisahkan ikwal mula terciptanya
kepulauan Sangihe Talaud yang berasal dari percikan keringat Malaikat yang
kasihan dan ibah melihat Wawu, seorang peremuan, dengan perahunya yang tersesat
di tengah samudera. Dari keringat malaikat itulah pulau-pulau Sangihe Talaud
tercipta. Mengapa singkretisme? Ini disebabkan, meski Sasambo telah dirasuki
ajaran kekristenan seperti masuknya pengertian Tuhan dari perpektif agama
Samawi, tapi pengaruh itu tidak mengubah keyakinan dasar akan kepercayaan
pra-animisme atau yang lebih tepat disebut sebagai dinamisme masa matriachat
dalam Sasambo.
Pengaruh (alkulturasi) ajaran agama-agama-agama semitik seperti
ajaran Islam sangat banyak ditemua pada Sasambo Lagung Sesonda. Hampir semua
lagung Sesonda dikunci dengan larik: Bismillah Bisah. Atau pada larik
yang lain digunakan kata : Kum Paya Kum atau ual pata ual.
Namun bagaimanapun terjadi proses
alkulturasi dengan ajaran-ajaran semitik, Sasambo tetap merupakan ritual yang
dimaksudkan untuk suatu upaya pelibatan kekuatan-kekuatan rahasia dalam alam
untuk menghidarkan manusia dari bencana dan malapetaka yang disebabkan oleh
roh-roh yang murka, atau membujuk roh-roh mekanis dalam alam untuk mendatangkan
kebahagiaan bagi manusia.
Masyarakat Sangihe Talaud meski telah
mengalami alkulturasi dalam peri budayanya, tapi tetap memelihara sistem nilai
yang jelas dari budaya aslinya. Kultur Sasahara (kultur laut) dan Sasalili
(kultur darat) yang menjadi jantung dari peri kehidupan keseharian masyarakat
terus terpelihara sebagai sistem nilai yang agung hingga hari ini. Dalam budaya sasahara misalnya : kita diajarkan
untuk tidak menggaruk belanga nasi sampai mengeluarkan bunyi, karena nantinya,
tanaman kita di kebun akan dimakan hama. Padahal, ajaran ini bermakna sifat
menggaruk belanga nasi sampai kedengaran itu kurang sopan jika di dengar tamu
atau tetangga. Atau jangan membiarkan kulit kelapa muda yang setelah kita ambil
dagingnya terbuka begitu saja menghadap ke atas, karena jika sisa daging di
kulit kelapa muda itu dimakan binatang, kita akan sakit. Padahal, larangan itu
dimaksud agar kulit kelapa muda itu harus ditutup menghadap tanah agar jika
datang hujan air tidak tergenang di dalamnya dan menjadi tempat berkembang biak
nyamuk yang kemudian menebar penyakit bagi manusia.
Di laut, dilarang membuang sampah
sembarangan atau mengeluarkan kata-kata sembarangan, karena akan menimbulkan
kemarahan Ompung (dewa Laut). Padahal, ajaran ini mengisyaratkan ajaran
pelestarian alam dan ketenangan dalam pelayaran. Lewat syair-syair Sasambo semua hal ikwal
perikehidupan itu diajarkan.
Namun demikian, banyak orang Sangihe
Talaud saat ini mulai meninggalkan ajaran-ajaran ritual itu karena dianggap berbenturan dengan
ajaran Samawi. Sementara di pihak lain, meski orang Sangihe Talaud sudah hidup dalam keyakinan semitik, dalam
kesehariannya mereka tidak bisa meninggalkan kepercayaan lama yang telah
mengakar dan terbukti ke-ada-annya. Hal ini dapat dibuktikan: Kalau ada bunyi
cecak di depan pintu, orang Sangihe Talaud sangat yakin akan segera ada tamu. Kalau waktu
keluar rumah kemudian cecak berbunyi, maka yang akan keluar rumah membatalkan
niatannya keluar untuk sementara waktu, sebab suara cecak itu diyakini sebagai
peringatan roh dalam alam akan adanya bahaya yang menanti di luar rumah. Maka
upaya menunda perjalanan itu sebagai tindakan menghidar malapetaka itu. Orang Sangihe Talaud sangat senang menanam bunga di depan rumah
karena sari bunga itu menjadi minuman para peri. Dan peri-peri itu akan
menganugerahkan ketentraman dan berkat bagi rumah yang dimaksud. Bagi
kebanyakan orang Sangihe Talaud saat ini, ajaran-ajaran budaya itu tak mungkin
ditinggalkan karena sudah menjadi identitas manusia Sangihe Talaud.
3.
Kekristenan Menuju GMIM 1934
Perjalanan
“sido” Tuhan telah sampai dengan gemilang di pesisir ini. Jazirah-jazirah yang
dulu gelap dalam kultur alifuru dan kepercayaan animism itu kini berada dalam
terang Kristus. Kabar baik dan benih
kekristenan telah tumbuh dalam kurun empat abad, menjadi aras pelayanan Wilayah GMIM dengan
jemaat-jemaatnya yang dewasa dan sistim organisasi yang pas zaman.
GMIM saat ini adalah gereja dengan 1.000.000
lebih anggota jemaat. Merupakan denominasi terbesar dari organisasi gereja di
Indonesia Timur, sekaligus terbesar kedua di Indonesia, setelah Gereja Batak.
Sejuta jemaat itu tersebar dalam 103 aras pelayanan wilayah, yang dimana salah
satu aras pelayanan wilayahnya adalah Wilayah Manado Utara II. Dengan 886
gedung gereja yang tersebar di tanah Minahasa, Manado, dan Bitung. Sebuah
bilangan kuantitas yang sangat fantastis bila ditilik dari cikal bakal
terbentuknya organisasi gereja ini.
Dalam kurun empat abad lebih, sebagaimana diisyaratkan Matius 5:13-16,
dimana umat mula-mula telah menjadi garam dan terang dunia, menjadi saksi-saksi
bagi terbentuknya persekutuan yang besar dalam Kristus Yesus Tuhan (Kisah para
Rasul 1:8).
Maka
adalah bijaksana bila menoleh sejenak kekurun awal untuk menelusuri titik-titik
penting dari alur menuju terbentuknya GMIM di tahun 1934, sebagai upaya
mendudukan posisi sejarah pelayanan Manado Utara hingga terbentuknya aras
pelayanan Wilayah Manado Utara II saat ini. Dari 1500 orang dan 2 orang raja sebagai jemaat
mula-mula di tahun 1563 yang mengalami pembaptisan oleh Peter Diego De
Magelhaes, di Pantai Singkil Sindulang, yang kini berkembang menjadi gereja
sejuta umat di permulaan millenium ke II tahun 2012.
Dari
sinilah setidaknya terekam dimana pertumbuhan dan perkembangan aras pelayanan Wilayah Manado Utara II saat
ini telah melewati 6 fase penting: Pertama, perjumpaan pertama masyarakat
pesisir ini dengan kekristenan yang dimulai dari peristiwa pembaptisan oleh Peter
Diego De Magelhaes dari gereja katolik Roma. Kedua, masuknya misi protestan
Belanda, yang ditandai kedatangan Pendeta Ds. Montanes dari Nederlandsche Zending Genoodschaap (NZG)
pada 1675 di Manado, pasca pelarangan penyebaran agama Katolik di daerah
jajahan Hindia Belanda 1602-1800. Maka
terjadi peralihan dari pelayanan misi katolik ke misi protestan. Ketiga,
pelayanan dari pendeta-pendeta
lulusan Stovil Tomohon, sejak kedatangan
pendeta Riedel dan Schwarts di tahun 1831 , yang menjadi pendorong kuat
terbentuknya GMIM di tahun 1934. Keempat, pelayanan masa Paroki Singkil
Sindulang. Kelima, dari Paroki berubah menjadi aras pelayanan Wilayah Manado
Utara. Keenam, pelayanan Wilayah Manado Utara di mekarkan menjadi wilayah
Manado Utara I dan Wilayah Manado Utara II di tahun 1982.
Dari fase
pertumbuhan dan perkembangan pelayanan menuju aras pelayanan Wilayah Manado
Utara II di atas, tampak dua momentum penting dikurun awal yang perlu digaris
bawahi yakni: periode peralihan dari pelayanan Katolik ke Protestan, dan
peralihan dari pelayanan misi NZG ke GMIM.
Untuk
memahami fase-fase di atas perlu dilihat anasir sejarah dimana sebelum GMIM lahir di tahun 1934;
sudah ada akarnya di Eropa Nederlandsche
Zending Genoodschaap (NZG) di tahun 1787. NZG merupakan perut kandungan
dari embrio GMIM. Tetapi sebelum itu sudah ada VOC Kerk dimulai 1602. Sekitar 73
tahun sesudah terbentuknya VOC Kerk, tiba di sini pendeta NZG yang pertama yang
dikirimkannya kemari bernama Ds. Montanes.
Setibanya
di Manado Ds. Montanes sebagai pendeta gereja Protestan Belanda pertama sudah
menemukan segolongan orang kristen sebagai jemaat di tahun 1675. Jadi lebih
dari dua setengah abad sebelum GMIM lahir, sudah ada jemaat kristen di Manado. Ini
sebabnya akar pelayanan kekristenan di aras pelayanan GMIM Wilayah Manado Utara
II tak mungkin lepas dari momentum pertemuan pertama orang-orang di pesisir ini
dengan kekristenan yang di bawah oleh misioneri Katolik Peter Diego De Magelhaes yang ditandai dengan
pembaptisan pertama di pantai Sindulang tahun 1563.
Sesudah pembaptisan
di Sindulang, pembaptisan-pembaptisan selanjutnya baru diadakan setelah pendeta
KAM yang dijuluki dengan nama Apostel Der Malukken (Rasul dari Maluku) datang
di Manado pada tahun 1817.
Sementara
Gereja-gereja di pesisir lainnya sesudah Manado, baru berkembang dari tahun
1711 sampai 1821 yaitu yang dimulai dari Likupang. Pada tahun 1711 jemaat di
Likupang berdiri dan merupakan jemaat yang pertama-tama di Minahasa jika diletakkan di dalam pembagian
daerah secara administratifnya sekarang ini. Dari situ barulah penginjilan
berkembang di Tanawangko, dan ke Kema. Pekabar-pekabar injil di Manado dan
Tanawangko yaitu Muller yang meninggal pada tahun 1826, sedangkan Lammers
meninggal di Kema pada tahun 1824.
Wilayah
pegunungan dan pedalaman Minahasa baru
menyusul kemudian yaitu setelah dua missionaris Jerman yang dididik Belanda yaitu Riedel dan Schwarts
dikirim NZG ke Minahasa pada 12 Juni tahun 1831, yaitu 268 tahun sesudah baptisan di Sindulang.
Pendeta J.F. Riedel bertugas di Tondano
dan J.G. Schwarts di Langowan. Lima tahun kemudian di tahun 1836
penginjilan tiba di Amurang, tahun 1838 di Tomohon, 1848 di Air Madidi, 1849 di
Kumelembuai, 1861 di Sonder. Dari Sonder
penginjilan tiba di Ratahan yaitu pada tahun 1862.
Dari fakta-fakta historis di atas, jika
kita menoleh sejarah Gereja dan Jemaat pertama di Sulawesi Utara terlihat suatu
mata rantai pengabaran Injil Tuhan dimulai sejak Peter Diego De Magelhaes dalam
kurun 371 tahun (mendekati 4 abad) menuju
GMIM terbentuk.
Beberapa momentum politik telah
memutuskan mata rantai itu di dalam kurun waktu yang cukup panjang dilihat dari
segi penyebaran Injil dari Gereja Roma Katolik jika dijadikan tahun Diego de
Magelhaes di Sindulang Manado sebagai tahun titik berangkat pelayanan
kerohanian di Manado Utara dan untuk Sulawesi Utara pada umumnya.
Momentum-momentum politik itu boleh
dikaji dari keputusan-keputusan historis yang telah dilakukan oleh Belanda
disatu pihak dengan Spanyol dilain pihak mengenai “Pembagian daerah kekuasaan dan daerah
jajahan yang sekaligus merupakan daerah penyebaran agama”. “Yang berkuasa di daerah itu adalah yang
punya agama untuk daerah itu”.
Menurut telaah Sem Narande, jika
keputusan-keputusan itu ditempatkan di dalam kerangka sejarah penyebaran Injil
oleh Gereja Roma Katolik di Sulawesi Utara barangkali lebih jelas. Terutama bila makna dari akibat keputusan-keputusan
tersebut dilihat dari suatu historis itu tercipta di atas Battle ground kerajaan
Siau ketika Belanda dengan sekutu-sekutunya serta sekaligus dengan memperalat
Sultan Ternate yang dinamakan Koning Amsterdam oleh Belanda, mengepung dan menyerang
Raja Siau Fransiscus Xaverrius Batahe (Batahi) dalam suatu perang yang diumumkan
kepada Raja Batahi.
Imam-imam penginjil Katolik
(Missionaris-missionaris Katolik) memasuki perairan Sulawesi Utara dan Maluku
Utara sejak tahun 1511 dan 1522 berada dalam expedisi Potugal dan Spanyol.
Diego de Magelhaes sendiri yang membaptis Raja Siau ke-II yaitu Posuma (Posuma
adalah putera dari Lokombanua, Raja Siau pertama), mengikuti expedisi Panglima
Portugis Heurique de Sa yang membawa 2 kapal. Batahi adalah keturunan dari Raja
Posuma. (sedikit catatan : Lokombanua 1510 -1550 ; 2) Posuma 1550-1596 ; 3)
Pontomuisang 1596-1632 ; 4) Winsulangi 1632-1670 ; 5) Batahi 1670-1696 ; 6)
Raramenusa 1696-1726 ; 7)Lohintsundali 1726-1752 ; 8) Ismael Jacobus 1752-1796
; 9) B. Jacobus 1796-1799 ; 10) Eugenos
Jacobus 1799-1822 ; Raja Siau ke VI sampai dengan ke X adalah raja-raja Siau
yang beragama Kristen Protestan).
Kekalahan Batahi terhadap kolonial
Belanda dengan sekutu-sekutunya sekaligus merupakan akhir misi Katolik bukan saja
di Siau tetapi juga di sekitarnya dan sebaliknya merupakan titik awal dari Zending
Kristen Protestan.
Pada 9 November 1677, Batahi menanda-tangani perjanjian
dengan Belanda di bawah tekanan sebagai pihak yang dikalahkan, dimana 3
orang Peter Yesuit ikut ditahan di Ternate.
Mereka tidak dengan segera dikirim pulang ke basis mereka di Manila, baru
sesudah itu di bawa lagi ke Betawi, sekarang Jakarta.
Raja Batahi adalah Raja Siau yang memeluk agama Katolik dan
penggantinya Raja Raramenusa adalah Raja Siau pertama yang memeluk agama
Kristen Protestan. Semua itu merupakan kondisi yang dilahirkan oleh battle
ground perang Batahi.
Pada zaman VOC (Kompeni Hindia
Belanda) sama sekali tidak diperkenankan penyebaran misi Katolik. Pelarangan
penyebaran misi Katolik itu berlangsung dari tahun 1602 sampai tahun 1800. Nanti
di zaman Gub Jen (Gubernur Jendral, Daendels, sesudah VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie) dibubarkan
pada tahun1800, maka barulah diluaskan agama-agama lain masuk Indonesia. Hal
ini disebabkan oleh tampil semboyan yang terkenal dalam sejarah demokrasi di
dunia : “Egalite, Eraternite, Leberte “
dari Revolusi Perancis.
Keputusan pelarangan agama Katolik
oleh Belanda itu telah memutuskan mata rantai pelayanan Katolik selama 198
tahun tidak saja di Sulawesi Utara, tapi di seluruh daerah jajahan Belanda.
Pasca pencabutan pelarangan, misi katolik baru tiba kembali di Sulawesi Utara
pada tahun 1868, ditandai dengan kedatangan Imam Katolik Peter Y De Vries S.J.
Baru pada 35 tahun kemudian (1903)disusul
APF. Van Velsen bertugas ke Woloan, Y.Ouel bertugas di Manado, dan Yang
ditugaskan ke Tomohon Peter P Wintjes.
Dari anasir sebelumnya, terpapar
kenyataan dimana ada empat jemaat di Wilayah Manado Utara yang telah berbentuk sebelum
GMIM lahir di tahun 1934 yakni
Jemaat Betanie Singkil Sindulang, Jemaat
Bengkol, Jemaat Sion Bailang, dan Jemaat Nazaret Tuminting. Empat jemaat ini
pada tahun 1934 ikut mengirim utusannya pada peneguhan pendirian GMIM,
sekaligus melebur sebagai gereja di bawah Sinode GMIM.
GMIM dilahirkan dari keputusan Raja Wilhelm
I dan diresmikan sebagai Sinode pada 30 September tahun 1934. Kelahirannya
berasal dari satu wadah yang lebih besar dari Gereja Protestan atau De Indische
Staats kerk; pelanjut dari VOC Kerk (Gereja kompeni Hindia Belanda), yang
dimulai ditahun 1602 melalui Octrooi. Dalam kerangka itu ada satu instruksi
khusus dari Gubernur Jenderal Pieter Both bahwa VOC harus menyebarkan injil.
VOC Kerk berlangsung dari tahun 1602 sampai 1800. Raja Wilhelm I membentuk
Indische Staats Kerk (Gereja Protestan) pada tahun 1800, dan tiba disini 134
tahun kemudian yaitu tahun 1934 dilebur menjadi GMIM. Kendati begitu GMIM
sendiri bukanlah ciptaan khas dari Gereja Protestan atau Indische Staats Kerk
tetapi adalah ciptaan dari Nederlansche Zending Genoodschaap yang dibentuk di
Eropa dan mengirimkan pendeta pertama kemari yakni DS Montanes.
Sungguh
mencengangkan bila kita merefleksi angka-angka statistik dari rentetan
peristiwa menuju terbentuknya gereja Tuhan yang Esa dan Injili di tanah
Minahasa ini sebagai karya penyelamatan dan pemenangan umat dalam Kristus Yesus
Juru Selamat dunia (Efesus 2:19-22).
Bila ditilik dari perisitwa
pembaptisan pertama di Tahun 1563 oleh Diego de Magelhaes di pantai Sindulang
Manado, maka kita melihat jemaat Tuhan mula-mula baru berjumlah 1500 orang
ditambah dengan 2 orang raja yakni Raja
Manado Kinalang Damapolii dan raja Siau Posuma. Dalam masa pemerintahan Raja
Posuma 1550-1596, di Siau umat Kristen sudah mencapai 25.000 orang, sementara
di Kalongan Sangihe 10.000 orang. Khusus untuk Manado di tahun 1707, tercatat
ada 5.000
anggota jemaat sebagaimana ditemukan Ds. Werndly.
Pada
tahun 1880 atau 54 tahun sebelum GMIM resmi berdiri dan bersinode jumlah orang
Kristen di Manado dan Minahasa telah berkembang menjadi 80.000 orang. Lalu pada 1980 atau di kurun 46 tahun sejak
GMIM bersinode anggota jemaat GMIM telah
mencapai 650.000 orang lebih, Jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 150.000 KK,
menyebar dalam 40 Wilayah, terbagi dalam
540 Jemaat.
Pada
tahun 2012, atau menjelang usia ke 79 tahun GMIM berdiri dan bersinode, anggota
jemaat dari organisasi gereja kedua terbesar di Indonesia ini telah mencapai
lebih dari 1.000.000 orang. Anggota jemaat tersebut tersebar dalam 9366 kolom
dengan 886 gedung gereja. Jumlah aras pelayanan Wilayah sebanyak 103 Wilayah.
Jumlah Kepala keluarga 212.516 KK. Dilayani oleh 493 orang pendeta laki-laki
dan 1.015 pendeta Perempuan, Guru Agama laki-laki 77 orang, Guru Agama Perempuan 248 orang,
serta 13.796 orang Penatua dan 9.366 orang Syamas. GMIM mengelola banyak lembaga sosial
seperti Taman Kanak-kanak (332), Sekolah Dasar (364), Sekolah Menengah Pertama
(64), SMA (20), sekolah kejuruan (6), sebuah universitas dengan antara lain
adanya fakultas teologi, sekolah untuk penyandang cacat (2), rumah yatim-piatu
(2), pusat pelatihan (2), dan rumah sakit.
Kepimpinan GMIM dijalankan oleh Badan Pekerja Sinode yang dipimpin
oleh seorang ketua. Ketua Sinode GMIM sejak berdirinya:
1. Dr. E.A.A.
de Vreede (1934–1935)
- Ds. C.D. Buenk (1935–1937)
- Ds. H.H. Van Herwerden (1937–1941)
- Ds. J.P. Locher (1941–1942)
- Ds. A.Z.R. Wenas (1942–1952)
- Ds. M. Sondakh (1951–1954)
- Ds. A.Z.R. Wenas (1955–1968)
- Ds. R.M. Luntungan (1968–1979)
- Pdt. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1979–1990)
- Pdt. K.H. Rondo , MTh (1990–1995)
- Prof. Prof. Dr. W.A. Roeroe (1995–2000)
- Pdt. Dr. A.F. Parengkuan (2000 – 2004)
- Pdt. Dr. A.O. Supit, STM (2005–2009)
(bersambung ke bagian 3)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar