“KLIKITONG”,
kumpulan puisi IverdixonTinungki (Teras Budaya, Jakarta,2013), memuat 133
puisi. Rinciannya, bagai berikut: 17 puisi ditulis tahun2005; 2 di tahun 2006;
6 tahun 2008, 9 tahun 2009, 27 tahun 2010, 21 tahun 2011,20 tahun 2012, 29
tahun 2013; plus 2 puisi tidak ditulis tahun ciptanya, yaitu“Renungan Pesisir”
serta “Malam Akhir Tahun di Ulu”.
Rincian
itu bagi saya perlu, setidaknya karena dua hal. Pertama, usai membaca semua
puisi di “Klikitong” (hadiah RemmyNovaris DM, 24 Agustus 2013), yang tinggal di
ingatan saya adalah lanskap lautan, lanskap kultur, sejarah dan kehidupan anak
negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi. Saya merasa kian dekat dengan mereka
selaku saudara sebangsa. Karena itu, kedua, saya jadi tergoda mengetahui:sejak
bila kiranya Iverdixon Tinungki menggumuli tema-tema itu (dalam kumpulanini
tentunya). Sebab di biodatanya saya baca, walau lahir dari orang tua berdarah
Sangihe Talaud, dua dari pulau-pulau di areal tapal batas RI itu,domisili serta
aktivitas penyair ini di Manado –kota yang di satu larik puisinya bertahun
cipta 2005 dia sebut, sudah “empatpuluhdua tahun aku melihatnya”.
Namun,
puisi tentu adalah puisi. Ia tak reportase, tak news, tak laporan ilmiah, apalagi
iklan pun rayuan indah kampanye di spanduk. Puisi produk sastra, yang datang ke
kita lewat bahasa figuratif,kiasan, atau majas. Jadi, bila saya bisa akrab
dengan puisi-puisi berlanskap lautan, lanskap kultur, sejarah, serta kehidupan
anak negeri di pulau-pulau utaraSulawesi itu, pertama-tama tentulah karena
berbagai peralatan bahasa puisi yang digunakan atau dieksplorasi si penyair:
metafora, diksi,rima, ritme, enjambemen, dan lainnya itu. Dengan adonan
peralatan bahasa puisi itulah pengetahuan terhadap objek (suatu hal yang
penting pula dimiliki penyair) dikemas,sehingga memberi imej yang berdaya
sentuh kuat melahirkan impresi.
Dan,
saya tangkap upaya Iverdixon mengeksplorasibahasa puisi itu. Saya lihat, misal,
bagaimana kata berubah jinak di tangannya –memadusatu diksi dengan yang lain
lalu hadir rima dan ritme, menjelma metafora jitu-mengena.Seperti ini
contohnya:
antara Kalama Kahakitang
yang abadi hanya ombak
seperti ibu setia menjahit kenangan
perjalanan perahu dari mimpi ke
kenyataan
(bait I puisi “Antara Kalama
Kahakitang”)
Atau ini:
samudera seperti rambutmu
lebati kibaran cinta
perahuperahu hanyut
karam di pesisir matamu
(bait II puisi “Renungan Pesisir”)
Dengan
“pukau” bahasa itulah saya telusuri yang tadi ingin saya ketahui. Dan, jumpa
jawabnya. Tapi sebelumnya saya mau main-main statistik lagi. Begini. Jika
puisi-puisi dalam “Klikitong” (menurut penyair, ini jenis musik tradisional
sejak masa Kerajaan Siau) bertahun cipta rentang waktu 2005-2013 (tanpa 2007),
plus 2 puisi tanpa tahun penciptaan, maka puisi yang ditulis tahun 2005-2009
saya sebut sajalah periode lama, dan yang bertahun cipta 2010-2013 periode
baru/relatif baru. Masing-masing periode memiliki masa4 tahun. Periode
baru/relatif baru 97 puisi kontribusinya pada antologi “Klikitong”.Periode
lama, 34 puisi.
Periode
baru/relatif baru, bukan saja kontributor besar, akan tetapi juga lebih dominan
(hampir 90 persen)menampilkan lanskap laut, lanskap kultur, sejarah serta
kehidupan anak negeridi pulau-pulau terujung utara Sulawesi itu.Berikut 2 puisi
pada awal serta pada akhir periode baru/relatif baru itu, sebagaicontoh:
MIANGAS
leluhur ketapang tak lupa pada
Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros” dan
“Sevillanas”
sebuah monumen beton terpacak
menguburPardao
begitu Miangas ingat cantiknya
dimasa Las Palmas
kini meranggas, tak lebih sebuah
pulautapal batas
dulu kadetkadet kapal layar Spanyol
adalahpenari
di tengah api dinyalakan udara
pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik
semarakombak
menyeru seruanseruan Paradiso yang
agung
pulau karang ini tak sekadar sarang
gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera
khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana
lautpenjejak benua
kini barisan tambur menggerendam dek
kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan
telahkaram
lisut di atas sebuah tapal menimbun
sejarahpulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti makna dini hari
rimbun ketapang tak lain rimbun
kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas
kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap
tangisan
tersuruk senja menggelisahi malam
rentahbernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib
lautnya
gemuruhkan mirisnya warna kemiskinan
(2010)
LAUT ADALAH DIRIKU
(sebuah perjalanan pulang
dari Pulau Biaro)
masih seperti sediakala
laut adalah jendela
membiarkan malam
menyempurnakan kegelapan
di tengah kegelapan
kutemukan bayang diriku
didekapnya dalam gelombang
aku tak kehilangan asinnya
masih seperti sediakala
laut adalah hati
membiarkan cahaya
di bingkai dini hari
dalam cahaya
kutemukan hatiku
ia menuntunku
bertemu masa lalu
andai masa lalu itu manis
getir hari ini sempurna kusesap
bersama butiran garam
mengalas perjalanan terus ke depan
masih seperti sediakala
laut adalah diriku
rahasia yang dalam kau benam
dimana antara arus dan gelombang
yang pecah adalah
maknamakna ketenangan dan geram
(2013)
Bagaimana
dengan puisi-puisi pada periode yang saya sebut periode lama? Di periode ini
tak banyak dijumpai puisi berlanskap lautan, lanskap kultur, sejarah dan kehidupan
anak negeri di pulau-pulau terujung Sulawesi; lebih banyak tema pencarian diri,
cinta, perjalanan, kehidupan Kota Manado, dan sebagainya. Tetapi, isyaratke
arah itu sudah terlihat. Pada 17 puisi yang ditulis Iverdixon pada tahun2005,
umpamanya, meski tak satupun yang titik tekannya pada lanskap lautan,
kultur,sejarah, serta kehidupan anak negeri di pulau-pulau terujung utara
Sulawesi itu,namun energi asosiatif diksi dengan citraan laut mulai muncul atau
dihadirkan. Contoh:
aku selalu tak menghafal tanggal dan
hariitu
kecuali isyarat laut di balik
jendelatentang rahasia
bahwa kita senantiasa punya saat
melayariwaktu
(bait I puisi “Sebuah Lagu Hampir
Kulupa”)
Juga ini:
di Valendam Pauli kau mencari laut
buat bertemu pesan dalam angin
meski kau tahu penyair tak memiliki
kata
ia menulis suara hatinya di dahan
kenangan
sajaknya perahuperahu indah
mengapung
membawa pergi hatimu
di bayangan celedony negeri bawah
air
di lantai samudera itu sepotong hati
retak
tak bisa direkatkan kerinduan
(bait I dan II puisi “Di Bawah
Valendam danPauli”)
Apa
yang saya sebut isyarat, atau letupan-letupan itu (frasa “isyarat laut”,
“melayari”, “perahuperahu”, “mengapung”, “lantaisamudera”, seperti di dua puisi
yang dikutip di atas), kemudian mengental, atau menemukan bentuknya di puisi
“Pesisir Balehumara” yang bertahun cipta 2009 –yakni akhir dari periode yang
saya sebut lama tadi. Seperti ini:
tuanglah samudera ke dalam gelas
hinggapenuh
biar kusesap nyeri ampas sejarahku,
jugasejarahmu
di Balehumara bau bidadari turun
dariperahu
dengan derap penari istana kembang
melati
bibirnya ranum muramkan masa lalu
di depan, pulau Ruang mengapung. ada
jejakpisau
darah hitam mengguris di kening laut
tuaitu
ketika sisa panoramik memapar sisi
abadidari ingatan
berkata: di sini langit selalu
tenangmenghapus merah senja
menidurkan pasir lelap diusap debur
ombak
begitu nelayan belajar ikhlas itu
bukankalah
lalu menyembur harum Roa di asap
panggangperapian
juga derak bunyi kayu bakar menjelma
renungmasa kini
bukankah api berkobar itu setua
usiapesisir ini
jala dirajut dulu, kini masih
ditebarhingga ke mimpimimpi
setidaknya kini antara luka pisau
dan laut
kutemukan ruhku sendiri
menimang bulan sabar
membuka barisbaris cahaya
sehari seinci
hingga purnama dulu
menyatu di bulat purnama hari ini
(2009)
Dengan
begitu terjawab sudah apa yang ingin saya ketahui: sejak kapan kiranya
puisi-puisi bertema lanskap lautan, lanskap kultur, sejarah, serta kehidupan
anak negeri di pulau-pulau terujung utara Sulawesi, digarap Iverdixon. Dalam kumpulan
“Klikitong”hal itu mulai berproses dalam puisi yang dia tulis tahun 2005
(periode lama), dan terus mengental, lantas kian subur dalam puisi-puisi yang
dia tulis pada periode baru/relatif baru (2010-2013).
Apa
pula kiranya yang dapat dijelaskan dari semua itu? Hemat saya, meski Iverdixon
Tinungki berdomisili (bahkan mungkin lahir, atau sejak kecil) di Manado, namun
gen anak pulau terujung utara Sulawesi yang berasal dari orang tua/moyangnya,
tak henti mengembara dalam dirinya. Namun gen itu tentu saja tak bekerja
sendiri, tak bergerak sendirian. Melainkan juga, ditopang oleh aktivitas fisik
ke pulau-pulau yang jauh itu. Dan, tidakkalah penting: pengetahuan historis,
kultur, kehidupan, serta situasi-kondisi ekonomi masyarakat di pulau-pulau
tapal batas Negara Republik Indonesia itu –bagai terlihat dipuisi-puisi dalam
kumpulan ini. Semua itu berkelindan dalam diri IverdixonTinungki, tidak henti
bergerak, mencari, dan dengan eksplorasi peralatan bahasa puisi kemudian sampai
kepada khalayak –dan bagi saya juga menggugah, menghangatkan rasa kebangsaan.
(Eh,
sampai di sini saya jadi merenung. Jika saja mereka yang kini menjadi pemimpin
negeri ini mengenali negeri ini sampai jauh,ke sudut-sudutnya yang terpencil,
seperti Sukarno-Hatta-Sjahrir dkk tempodoeloe, pikiran-pikiran ganjil tentu tak
acap nongol di kepala saya: ini Republik Indonesia,atau Republik
Jakarta/Jabodetabek, sih? Kok pemimpinnya berkeliaran di Jakarta, Jabodetabek,
atau paling banter di Jawa dan Bali melulu? Dan kalau bicara, mereka aduk-aduk
pula bahasa persatuan dengan “besikli”, “sofar”, “baipon”,
“totalli”,“dairek-negosiasien”… puih!)
Tulisan ini saya akhiri dengan
catatan: bahwa salah ketik/cetak dalam “Klikitong”, di cetakan berikut penting
dibenahi.Sajak/puisi bertumpu pada kata. Salah menulis kata, tak hanya bikin
bingung, bisa pula keliru memaknai. Di satu larik puisi “Gelembung-gelembung
Air”, ada: “bilakau tak kuasa rabah getaran hati melemah”, apakah yang
dimaksud: “bila kau tak kuasa raba getaran hati melemah”? Pada larik puisi
“Manado Underground”,begini: “yang kaya kian kaya, yang miskin kian papah”
–maksudnya, papah = papa = sengsara, melarat, miskin;ataukah papah =
berjalan dengan dibantu orang lain macam kakek/nenek renta?Tentu ada lagi yang
lain, namun saya cukupkan dengan dua contoh itu. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar