pada suatu sore ketika bayangbayang bergentayangan
di pinggir laut berpagar, nelayan menjaring mayat
katakata
berlendir, dari pikiran tua digenangi dahak
tertatih menepis ajal, tak mau mati
kendati nafas tinggal sejengkal
berlapis petuah renta menyaru bagai khotbah
dipasangi lampu seakan surga tinggal sedepa
pada setiap ucapannya
ulah siapa bila bayangbayang itu tersengat di kanal
kau memaksa kami bertanya: mana tanah buat mayatku
dari ujung ke ujung hujan jatuh
membawa lumpur pasar, lumpur saman
nyawanyawa yang sasar
kota ini sebegitu gempar
celotehmu yang menampar
antara laut dan pasir
batas kita menjadi samar untuk dikenang
kami dan kamu sekadar sesuatu
semacam cahaya bulan kehilangan tubuh
terperangkap di dedaunan lagi gugur
kau datang dengan serine juga bebunyi tumpahan batu
pesisir tumbuh jadi tugu garam tempat ngilu
bersarang
melintasi pecinaan aku mengaduk samudera
kau buang. menggema tangisan burungburung
jatuh ke dalam jurang
di sana kau kubur pula tangisanku pada bagian
paling dalam
apakah juga kau merasa matahari seolah menetas jadi
ngengat
dalam kuasa kau tumpah di jalananjalanan ini
seolah semua tak lagi memiliki tubuh, memiliki diri.
digerogoti
tinggal bayang limbung mengejar tumpangan
mencari liang di sisi pulau sesungguhnya pun sedang
kau jagal
sejarah selalu kehilangan akar di lengan ibu yang
gemetar
hari ini disuapkan ke mulut anakanak adalah butirbutir
amarah
seperti
pohon, pulau dan laut kau kapak
jadi istana arang buat mimpimimpimu menebar ilalang
dan kami telah membuat perhitungan
membuangmu tengah rawa dimana untuk dikenang pun
kau telah kehilangan nyawa
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar