Oleh: Iverdixon Tinungki
Nietzsche,
sang filsuf eksistensialis pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk
natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk
definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus
terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini
dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan
dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah
terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia. Inilah
pembeda khas manusia dari binatang. Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang
tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan
kebudayaan-kebudayaan.
Dalam
konteks inilah lima abad kerajaan Siau (1510) dan Kerajaan Tagulandang (1570)
harusnya menjadi isu menarik dalam berbagai diskusi kebudayaan dan sejarah
orang-orang Sitaro masa kini. Getirnya, isu kebudayaan dan sejarah hampir
menjadi isu marjinal di Kabupaten Sitaro pasca daerah kepulauan ini terbentuk
menjadi daerah otonom. Padahal proyek modernitas sebuah daerah tak bisa lepas
titik tumpuannya pada referensi kultural dan historiografi hidup masyarakatnya.
Orang-orang Sitaro masa kini cenderung teralienasi dari sejarah dan kebudayaan
lokalnya sendiri. Lantas bagaimana orang Sitaro menginklinasikan arah
pembangunan daerah kepulauan itu tanpa horizon pinjakan sejarah dan budaya yang
kokoh. Siapa orang Sitaro? Bagaimana spiritisme hidup orang Sitaro? Bagaimana perilaku
dan moralitas orang Sitaro? Seperti apa local wisdom Sitaro? Rentetan
pertanyaan di atas semestinya menjadi kegelisahan yang patut mendapatkan
jawaban segera sebagai landasan pijak bagi perumusan kebijakan pembangunan daerah
itu.
Sejarah dan kebudayaan
daerah bagi orang Sitaro masa kini harus menjadi akar yang kokoh dalam
pembentukan karakter dan jatidiri menuju
teraihnya kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan itu. Kenyataannya, terpuruk
menjadi sekadar tradisi memuja makam-makam keramat. Di satu sisi kita
mengagung-agungkan nilai-nilai sejarah budaya dan kesenian tradisional sebagai
aset kebudayaan daerah yang terwaris dari sejarah panjang kehidupan orang-orang
sejak masa lalu. Di lain kenyataan, eksistensi kehidupan kebudayaan daerah sudah
layu. Nyaris mati atau tidak terpakai lagi dalam kehidupan masyarakat kita.
Kenyataan pahit itu makin didukung pengaruh globalisasi dan sikap generasi masa
kini yang makin rapuh menerima arus
kebudayaan asing dengan jalan telan mentah.
Sejarah
dan kebudayaan daerah yang sebenarnya tempat orang Sitaro dilahirkan,
dipelesetkan dalam sinisme mistifikasi tak patut: “kebudayaan daerahku
ketinggalan zaman.” Sebuah stigma anakronistik terhadap kebudayaan daerah
sendiri. Yang terjadi selanjutnya, kebanyakan orang mulai menelantarkan
nilai-nilai luhur sejarah dan budayanya. Di sini, nilai-nilai sejarah dan budaya
daerah yang mengedepankan berbagai nuansa filosofis (kebijaksanaan) hidup
terabaikan. Sikap yang merendahkan sejarah dan kebudayaan daerah/tradisional tampak
sebagai sebuah ironi. Hal ini tampak
dalam ketakacuhan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Sering muncul penilaian
miring dalam kemasan komentar sarkastik yang merendahkan kebudayaan daerah.
Ketika orang tua menasihati anak-anaknya dengan petuah-petuah leluhur, banyak
kali anak-anak menolaknya dan mengatakan kuno, gak gaul, dan out of date.
Tradisi-tradisi warisan masa lampau di Sitaro bahkan di Nusa Utara hanya
dijadikan sebagai sebuah artefak, menjadi pajangan museum untuk sekedar
bernostalgia tanpa relevansi dengan kehidupan generasi saat ini. Muncul juga
olok-olokkan ”Dunia Timur itu inferior dan irasional. Dunia barat lebih
rasional dan superior. Maka, alangkah lebih baik berkiblat ke dunia barat”
Sebuah
kutipan menarik dari gagasan apologetis Levi-Strauss mengedepankan: “kebudayaan
tradisional adalah khazanah kebijaksanaan dan patokan etis bagi umat manusia
dewasa ini.” Untuk tidak menjadikannya sebuah ironi dan lelucon, tapi
bagaimana memulai sikap menghargai, menggali, menemukan, dan manaruh respek
yang tinggi terhadap aneka khazanah sejarah dan kebudayaan lokal kita yang
terangkum dalam serentetan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di masa lalu, religi,
mitos, bahasa, seni, sastra, dan teknik yang berurat akar di jazirah negeri
kepulauan ini.
Kembali
mereferensi sejarah dan kebudayaan daerah adalah sebuah imperatif-persuasif
aktual generasi Sitaro masa kini. Sejarah dan kebudayaan daerah dimaksud melingkupi
segala tradisi konstruktif (local wisdom) yang dihayati oleh para pendahulu
demi perkembangan kemanusiaan dan kemajuan peradaban, diantaranya: budaya Laut “Sasahara”,
budaya Darat “Sasalili, heroisme patriotik dan nasionalisme masa
kerajaan-kerajaan hingga ke masa perjuangan kermerdekaan Indonesia. Tanpa
tradisi, menyitir Rendra, “pergaulan bersama terkacaukan dan kehidupan manusia
biadab.” Berakar dalam kebudayaan sendiri bukanlah dimaksud untuk membentengi
diri dari benturan budaya Barat yang kian mengglobal, tetapi sebuah upaya
penyeimbangan demi sebuah filter bagi kebijaksanaan hidup.
Sejarah
panjang yang terentang selama 5 abad di Sitaro itu tak saja meninggalkan jejak
artefak historis, juga mewariskan mentafak nilai yang dapat diinklinasikan dalam
strategi pembangunan daerah yang belum lama mengalami pemekaran menjadi
kabupaten ini. Masyarakat di daerah ini
tentu mengimpikan suatu raihan peruntungan dan capaian-capaian kesejahteraannya,
baik dari sisi social kultural, ekonomi, politik, dan keamanan, dimana hal
tersebut tak mungkin terwujud tanpa desain kebudayaan yang mereferensi masa
lalu sebagai akar karakter dan jati diri masyarakat.
Tak
hanya di Sitaro, di Indonesia pada
umunya, polemik kebudayaan semacam ini
sudah bergema lama dalam dinamika
politik pencarian akar kebangsaan Indonesia. Salah satu polemik serius mengenai
disain kebudayaan pernah muncul dari suatu perdebatan sengit antara Sutan
Takdir Alisyahbana, dengan rivalnya (Ki Hadjar Dewantara). STA yang
menganjurkan modernitas di Indonesia perlu belajar dari Barat saat itu mendapat
tantangan keras dari Ki Hadjar yang menganjurkan masa lalu bangsa Indonesia
tidak dilupakan sebagai referensi kultural di masa kini. Maka membentuk Sitaro
seperti juga membentuk Indonesia dalam konteks saat ini masihlah perlu dilihat
sebagai, dalam bahasa Jurgen Habermas tentang proyek modernitas, “an unfinished
project”. Kecenderungan seperti ini setidaknya juga harus nampak dalam diskusi
mengenai eksistensi orang Sitaro dan pembangunan Sitaro saat ini.
Salah
satu persoalan yang saat ini terus menjadi perdebatan serius adalah
kecenderungan antara menjalankan “unifikasi” kultural dan kecenderungan
multikultural. Lepas bahwa unifikasi kultural tidak setelanjang seperti
kebijakan “diskriminasi”—untuk mengukuhkan eksistensi budaya tertentu.
Sebagaimana kita ketahui, wacana globalisasi tidak saja membuka kemungkinan
orang untuk menerima perbedaan kultural, namun kecenderungan Barat yang
monokultural juga inheren dalam proyek globalisasi. Itulah sebabnya, dalam
tesis Benjamin Barber, praktik globalisasi yang saat ini memunculkan
homogenisasi budaya Barat secara bersamaan akan memunculkan musuh utamanya:
glokalisasi.
Di
negara Barat sendiri kecenderungan negara bangsa yang mendorong kearah
unifikasi kultural nampaknya sudah dilawan keras oleh mahzab Multikulturalisme.
Politik kewargaan di dalam satuan negara bangsa gagal mengakomodasi
keanekaragaman warga dengan latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda. Dengan
menempatkan posisi kebangsaan berada dalam jangkar politik negara, seluruh
warga negara diikat ke dalam nasionalitas kebangsaan yang seragam. Karena di
dalam gagasan negara bangsa (nation state) ikatan politik secara bersama-sama
juga patut dianggap sebagai upaya untuk mengikat warga negara ke dalam satuan
budaya atau identitas national tertentu yang disemangati modernitas dengan
individualisme liberalnya. Dengan begitu negara bangsa nampak mirip sebagaimana
diutarakan Gellner, bahwa ia hampir menyerupai suatu wadah baru, yang dengannya
secara otomatis akan melengserkan seluruh artefak masa lalu secara radikal.
Gerak pendulum semacam ini tentu saja diakui sangat linear, dengan mengajukan
asumsi bahwa ide-ide baru invidualisme liberal ini dengan sendirinya akan
berkembang bersamaan dengan proses industrialisasi yang hampir tidak dapat
ditolak oleh semua bangsa di dunia.
Di
tengah benturan peradaban seperti ini bagaimana menempatkan sistem ke-Sitaro-an
dalam konteks pergumulan seperti ini? Disain kebudayaan seperti apakah yang
mesti kita rakit sejak dini untuk pada satu sisi mempertahankan eksistensi budaya
masyarakat Sitaro namun pada sisi lain dapat terus menciptakan kebhinnekaan
sebagaimana telah dianggap sebagai ciri budaya di Nusantara?
Persoalan
ini telah rumit ketika masa pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak memberikan
dorongan untuk mengangkat persoalan ini. Pemerintahan Pasca Orde baru pun lebih
banyak disibukkan oleh usaha membangun sistem yang banyak mempertahankan status
quo. Dan kondisi ini terus berlangsung hingga saat ini baik dari tingkat pusat
hingga ke daerah-daerah Kabupaten Kota.
Forum Seminar Kebudayaan ini akan mencoba membahas problematika di atas.
Diharapkan peserta seminar akan mendapatkan provokasi pikiran baru untuk:
• Mendiskusikan kembali hubungan antara kebudayaan dengan ide ke-Sitaro- an sebagai “an unfinished project”
• Mendiskusikan kembali hubungan antara kebudayaan dengan ide ke-Sitaro- an sebagai “an unfinished project”
• Melihat hubungan antara Sejarah, kebudayaan dan kekuasaan yang saat ini tengah dibangun oleh modal (ekonomi, pengusaha), negara, dan kelompok-kelompok sipil di Sitaro.
• Merefleksikan situasi kontemporer, baik pada level mikro maupun makro, konstelasi antara pemerintah daerah, kapital dan geliat-geliat rakyat di tingkat akar rumput sebagai agen dinamisator kebudayaan.
VISI :
Seminar Budaya ini mempunyai visi
terwujudnya ketahanan nilai-nilai sejarah dan budaya lokal, dalam upaya
memperkuat karakter dan jadidiri bangsa menuju kesejahteraan masyarakat.
- Meningkatkan pemahaman masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya.
- Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya sehingga memiliki ketahanan terhadap pengaruh budaya global yang bersifat negatif.
- Meningkatkan penggalian, pengembangan, dan pelestarian karya budaya lokal.
- Meningkatkan kemampuan pengelolaan karya budaya lokal dalam rangka pelestarian, pengembangan, perlindungan maupun pemanfaatannya.
- Peningkatan pembangunan karakter dan jatidiri orang Sitaro.
- Pelestarian sejarah dan nilai tradisional.
- Perlindungan masyarakat adat.
- Pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi serta ker-jasama dengan instansi/lembaga terkait guna pengembangan apresiasi kesejarahan dan nilai budaya.
- Pengembangan sistem dan pengelolaan data dan informasi, melalui pembuatan database dan website tentang kesejarahan dan budaya Sitaro.
- Meningkatkan pengelolaaan karya budaya lokal, terutama yang bersifat intangible.
- Meningkatkan pemahaman dan aspirasi masyarakat tentang nilai sejarah dan budaya local.
- Meningkatkan kerjasama dengan stakeholder di wilayah Sitaro dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan nilai sejarah dan budaya.
mohon, sangihe tetap dipertahankan menjadi bagian utuh dari awal sejarah jangan dipisahkan.
BalasHapus