PUISI-PUISI KARYA IVERDIXON TINUNGKI
DE VLIEGENDE ZWAAN
de vliegende zwaan
silam yang hilang
ratusan tahun yang dilupakan
kapal itu dulu menyinggahi pulaupulau
mengangkut orangorang
jadi kuli. jadi kuli
sebuah kota berdiri di tanahtanah kami
tak peduli kemalangan tumbuh lebih keji
dan orangorang burger jadi serdadu
menanami bibit hantu di syawat kekuasaan baru
di laut, sore masih saja gundah
seakan padtbrugge di sana
menagih kemalangankemalangan
di jalanjalan kini, di jalanjalan yang kudapati
membawa arah ke liang pilu lebih perih
di sepanjang boulevard
kota dengan baunya yang khas itu
meramu rancun yang keras
dan orangorang menelannya hingga ampas
di bawah muslihat dan laras senjata
tepat terarah ke biji mata
2014
TIKUNG KIAWA
(Buat sahabatku Adi Putong)
kita akan mengenang rumah burungburung pematik buih
bentang huma petani yang bernyanyi
kakikaki pancuran mendandani lembah dengan gambaran hutan
menawar gunda pada jarijarinya yang tiada letih
seperti sahabat tak berhitung dengan lupa
alam senantiasa sabar merapikan pucukpucuk pohon
saat kita menoleh ke
tingkaptingkap kebun sayur, petakpetak sawah
ia mengilhami kabut mendenyutkan getarannya
melontar takdir terpenjara dalam hidup tinggal sedepa
di sini menitmenit digenangi cahaya hidup baru
dan burungburung itu berterbangan hingga ke hulu dada
seakan gelas kaca tibatiba pecah dalam hati
mendekap kita dengan cuaca dan gema
dan bibit ingatan ditaburkannya tumbuh pada getar sukma
mengolah embun dan air mata di seutas nafas setiap kali menetas
sejenak kita tertawan oleh keindahan lembah, embusan air
bidang tanah mengenapkan seberapa dalam tawaang menikamnya
kita pun ikut merasa ada batas pada langkah, ada tepi di balik nafas
lalu kita merasa beruntung bersua tikung ini
sebelum meluncur lebih jauh ke lipatan diri
yang rahasia, yang tersembunyi
2014
DI KEBUN REMPA KAMANGA
engkau yang kembali meretaskan kemilau waktu
melontarku ke inti getar cemara
petakpetak kebun dan pijar lampu di tiangtiang beku
mencahayai jejer ingatan antara hatiku dan deret keningmu
engkau kembali membawaku pemandangan luas
hamparan rempa, telagatelaga bening
aster yang merekahi pematang
gelisah sepasang burung bercinta
menyelami dasardasar genta pada tatap tibatiba bertalu
padahal bumi sudah senja, suara para pembajak kian sayup
menghilang di tikung huma
di atas bau tanah subur mengkilap oleh tanaman
sesungguhnya kita tak bisa menampik jarijari kabut
memandu sesak hati ke sudutsudutnya yang sendu
lalu segalanya menjadi begitu gigil bersisihan
mendekap apa dulu pernah hilang
aku mendongak ke langit, ke mahligai ketenangan
cahaya prisma agung dan bularbular warna kesunyian
mengekalkan perjalananku menapaki menitmenit menunggu
masih saja di matamu
2014
SUATU PETANG DI WANUA
TOMPASO
ada derap kuda berpacu dan iringiringan burung
menjamu rinduku pada tanahtanah ladang
memberiku pemandangan hamparan jagung
sayang kamu tak bersamaku
kembali meneraskan petang di sheltershelter
di jejeran rumahrumah tradisi
dataran awan melatari pemandangan para petani
setia membajak tanahtanahnya
dan penduduk lain menempa hidupnya di humahuma
dengan labulabu merambat di permukaan gembur tanah
di sini, gadisgadis manis masih saja melintasi
pematang indah dalam bunyi empasan air
seperti luhur matamu
berpuluh tahun mengisi pijar kaliandra di talikuran
dan saat kita menghitung julaijulai kecubung putih
menggantung di koluvial lembahlembah
o desadesa dengan udara menyajiku amsalamsal nafasmu
di liba, di sendangan
di atas tanahtanah kerap menampung hujan dan tangisan
tibatiba membawaku kenangan krisan merah mekar di tanganmu
2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar