DRAMA
MUSEUM
Karya:
Iverdixon Tinungki
(DILARANG DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG)
BAGIAN I: PEMBUKA
Di sudut kanan panggung, ada meja kayu, sebuah mesin ketik
terletak di atasnya, dan sebuah lampu meja yang posisinya agak tinggi. Saat
lampu meja itu menyala, tampaklah di sana Kantata, seorang penyair sedang menulis
puisi di mesin ketik. Suara bunyi mesin ketik terdengar beratalu-talu. Di
tengah panggung ada stage level yang cukup lebar. Di samping kanan stage ada
tiang gantungan yang cukup tinggi. di depan kiri stage ada sebuah samurai yang
tersandar di tempatnya. Itulah dunia imajinasi sang penyair. Samudera, seorang
perempuan, korban perkosaan tampak di sana. Ia dalam puisi (monolog) yang
sedang ditulis sang penyair.
KANTATA: ***
(berpikir
keras, lalu mengetik)
seperti malam yang kehilangan matanya.
SAMUDERA:
***
(monolog)
ketika kuteriakkan berjuta lapar, keringat para lelaki itu
meleleh tanpa sebab dan aku adalah satu dari sekian
banyak betina yang meronta di dalam kuilnya
meleleh tanpa sebab dan aku adalah satu dari sekian
banyak betina yang meronta di dalam kuilnya
KANTATA: ***
seperti barisan hantu malam yang patuh menggali
kuburnya sendiri.
kuburnya sendiri.
SAMUDERA:
***
(monolog)
aku bersimpuh di hadapannya
seperti anjing yang memohon keadilan
lewat air liur yang bercucuran
seperti anjing yang memohon keadilan
lewat air liur yang bercucuran
PENYAIR bersenandung. Lagunya terdengar getir.
SAMUDERA:
***
(monolog)
tapi para lelaki itu merampas ketidakberdayaanku
seiris demi seiris dan melemparkannya bagai seonggok
daging yang diserbu segerombolan serigala liar
seiris demi seiris dan melemparkannya bagai seonggok
daging yang diserbu segerombolan serigala liar
sejuta kebisuan menggulung batinku tenggelam
ke dasar telaga. dan menjadikannya sebait gending luka
yang tak terjemahkan sepanjang abad karena gelombang
laut yang membentur-bentur tubuhku adalah wajah-wajah
beringas yang menikam jiwa para betina sesaat sebelum
mereka mencampak tubuhnya
ke dasar telaga. dan menjadikannya sebait gending luka
yang tak terjemahkan sepanjang abad karena gelombang
laut yang membentur-bentur tubuhku adalah wajah-wajah
beringas yang menikam jiwa para betina sesaat sebelum
mereka mencampak tubuhnya
KANTATA: ***
sungguh. tidakkah sesal membangunkannya, ketika Tuhan
tengah terbaring menangisi keperawanannya yang hilang?
tengah terbaring menangisi keperawanannya yang hilang?
SAMUDERA:
***
(monolog)
kemarilah lelaki!
KANTATA bersenandung lagi. Lagunya terdengar kian pedih.
Samudera menarik tali yang menggantung sebuah boneka simbol laki-laki
ke atas tiang gantungan
SAMUDERA: ***
(monolog)
menarilah di dalam kamarku seperti banci tikus yang telanjang
agar dapat kuinjak ekormu sebelum kucabut jantungmu
agar dapat kuinjak ekormu sebelum kucabut jantungmu
dan kugantung bangkai harammu sebagai
puncak tontonan murkaku yang tersembunyi
(Mengambil samurai, lalu menebas boneka simbol laki-laki itu)
Lampu stage padam.
(Penyair menarik kertas yang baru diketiknya dari mesin ketik)
PENYAIR:
Puisi ini kutulis untuk Yuyun, gadis yang mati muda, karena
diperkosa dengan cara paling kejam, brutal dan sadis. Betapa biadab kalian!
(Penyair melemparkan lembaran-lembaran puisi ke langit. Lampu meja
padam. Suasana jadi hening)
BAGIAN II : RUANG
MUSEUM.
Sosok patung Samudera terbujur di atas stage
panggung tengah. Di bagian kanan panggung Patung Kantata duduk di sebuah kursi di
belakang meja mesin ketik dengan wajah yang muram. Di dekat stage bagian kiri berdiri
patung seorang petani bernama Lakon. Di kiri panggung sebuah patung penguasa berwajah
seram duduk menghadap sebuah meja seperti sedang menuliskan sesuatu pada
selembar kertas.
Adegan dimulai dari suasana panggung
masih gelap. Bunyi mesin ketik memecahkan suasana hening. Bunyi mesin ketik itu
kemudian berkembang menjadi bunyi suara-suara horror yang tumpang tindi.
Ditengah keributan horror itu terdengar teriakan seperti membentak dari sosok
Penguasa.
PENGUASA: (OS)
Diam! Berhentilah! Jangan
bicara lagi!
Susana kembali hening.
Lampu menyala.
Tampaklah di ruangan museum itu
terpajang patung-patung manusia dalam pose masing-masing.
Patung KANTATA kemudian bergerak dan
mulai mengetik.
LAKON:
Namaku Lakon. Ini waktu ke 310980 jam sejak aku
terkurung di ruangan museum ini, atau sama dengan 25915 hari, 852 bulan, 71
tahun sejak aku dipajang sebagai patung! Ya, sebagai patung!
Patung Penguasa tiba-tiba berdiri memandang ke arah
Kantata.
PENGUASA:
Hentikan suara mesin ketikmu itu! Aku sudah muak!
KANTATA:
Apakah kau dapat menghentikan sejarah?
PENGUASA:
Aku tak dapat menghentikannya. Tapi ingat, kata-kata
adalah peluru, kata-kata adalah senjata. Kata-kata adalah pedang yang memiliki
seribu mata. Ia bisa menghujam kemana saja.
Patung Pengusa duduk lagi. Kantata kembali mengetik.
LAKON:
Ia bisa menghujam ke mana saja. (sejenak memandang kosong ke
depan, kemudian menurunkan pacul dari pundaknya) Ya…menghujam kemana
saja. Itu sebabnya hari ini, sungguh pahit. Pahit…pahit, dan pahit nasibku. Seharusnya, sejak matahari pagi bersemi di
jalan pegangsaan pada 17 Agustus yang mengharukan itu, aku bisa menggunakan
cangkulku mengolah tanah airku. Lalu aku bisa memandang bukit-bukit mengemilau
oleh subur kebun. Lalu ada waktu aku memanen. Ada waktu aku menikmati hasil
kerja kerasku. Ada waktu aku berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Ada
waktu aku bersedakah kepada para Yatim yang merana.
(terdengar suara keributan seperti unjuk rasa di
kejauhan dan berakhir dengan bunyi tembakan)
SAMUDERA:
Suara-suara itu lagi. Teriakan itu lagi. Tembakan itu
lagi. Entah kapan berhenti. Mengapa kalian tak pernah berhenti membangunkan
aku?.
Andai aku bisa berkata-kata
Andai aku bisa memaki
Andai aku bisa mengungkap kesaksian
Biarkan aku mengatakan; yang paling luka itu samudera
Yang paling luka itu perempuan.
Berapa kali lagi akan kau tancapkan pisaumu
Berapa kali lagi akan kau sayatkan tajamnya
ke rahimku yang sudah terluka ini.
LAKON:
Itulah lakon dari sebuah bangsa yang sakit.
Kantata berhenti mengetik. Suasana hening.
LAKON:
(Berjalan mendekati Kantata)
Bernyanyilah Kantata. Nyanyikan lagu yang paling
kusuka di pagi seperti ini.
(Kantata Menyanyi).
KANTATA:
(Lagu
Kantata: Dari yakinku teguh, hati ihklasku penuh, akan karuniaMu…)
LAKON:
(Diiringi lagu Kantata) Aku lakon. Diiringi
lagu indah seperti ini harusnya aku pergi ke dapur membuat segelas kopi. (berjalan
ke arah sudut kanan depan panggung, lalu dengan pantomime menyeduh segelas
kopi, dan kemudian menyeruputnya dengan nikmat). Sambil menikmati kopi, harusnya aku melongok lewat jendela. Di
sana…aku melihat anak-anak berseragam dengan riang berjalan menuju sekolah. Anak-anak
itu akan menambang ilmu sebanyak-banyaknya agar suatu ketika mereka akan
kembali dengan penuh semangat, dengan penuh daya kreatifitas membangun tanah
air. (duduk
di sebuah kursi lalu memainkan monolog) Tapi apa yang terjadi padaku.
Di suatu pagi aku mendengar bunyi lars sepatu berderap menuju rumahku. Dan
tiba-tiba pintu rumahku didobrak. (Lakon terlontar ke belakang dan jatuh
terguling. Ia kesakitan).
“Kau kami tangkap,” ujar mereka sambil menodongkan laras senapan ke arahku. Dari
beberapa arah datang pukalan dan tendangan diarahkan ke tubuhku. (Lakon
menjerit-jerit kesakitan. Ia mencoba menangkis berbagi bukulan yang menghujamnya
tapi tak mampu. Memandang kesakitan lakon, Penguasa tampak ikut kesakitan dan
merasa bersalah, ia beringsut dari tempat duduknya lalu naik ke atas meja
seperti orang yang menanggung beban berat dalam hatinya).
PENGUASA:
(Berusaha mangkir dari rasa bersalahnya dengar gusar
dan gemetar) Aku tak
bersalah. Aku tak bersalah atas apa yang kau alami. Aku tak bersalah!
LAKON:
(ke
penguasa)
Aku tak bersalah!
Pernyataan semacam itu juga kukatakan pada mereka.
“Diam!” bentak mereka. Lalu aku diseret keluar seperti binatang. Aku dilontar
seperti sesuatu yang tak berharga ke atas sebuah bak mobil. Aku dilempar seakan
binatang. Aku bagun, tubuhku terasa nyeri di mana-mana. Di sekelilingku banyak
orang sepertiku sedang menangis dan
menahan sakit yang mendera tubuh mereka.
PENGUASA:
Sumpah. Aku tidak berada di belakang rencana penangkapan
kalian itu. Sumpah! Bukan aku. Bukan…Bukan aku. 310980 kali kau menatapku.
Sebanyak itu kau menusukku dengan panah-panah runcing perasaan bersalah. 310980
pagi kau selalu membangunkanku dengan perasaan tak tenang. Sumpah! Bukan aku!
LAKON:
Dan aku dikurung di sini. Di sebuah museum. Di sebuah
tempat dimana anak-anak bangsa ini datang memandangku dengan bingung. Sebuah
sejarah usang, leceh, ditempelkan ke wajahku, dan cibiran mereka menghujam
hatiku. Aku dan cangkulku adalah sebuah stigma kejahatan. Subuah tuduhan atas
kejahatan yang benar-benar tak kumengerti, dan tak pernah kulakukan.
PENGUASA:
Demi Tuhan, berhentilah kalian bicara. Tragedy itu
bukan kesalahanku. Bagaimana mungkin aku merancang gerakan penggorokkan leher
rakyatku sendiri. Jangan ditimpahkan kesalahan itu padaku.
LAKON:
Di suatu hari yang menggetarkan,kau tahu aku ikut menggenggam bambu runcing. Aku
berlari paling depan menyerbu tangsi musuh. Semua itu kulakukan agar tanah
airku merdeka dan merdeka. Dan memang merdeka! Tapi merdeka ini bukan untukku,
bukan untuk rakyat kecil sepertiku. Kemerdekaan ternyata hanya untuk mereka
yang…(Patung
bermuka seram bernama Penguasa menggebrak meja dengam amarah)
PENGUASA:
Diam! Lagi-lagi akan kau katakan; merdeka hanya untuk
mereka yang duduk di belakang meja sepertiku! Sudah 310980 kali kau ucapkan itu.
Sejak pertama kali kau terpajang di ruangan ini terus kau katakan kalimat itu
tanpa henti.
LAKON:
Kau tak dapat menghentikan sejarah. Lihatlah bangunan
museum ini. Lihatlah ruangan ini. Ini adalah tempat kita. Kita adalah sejarah. (menujuk ke Samudera) Lihat
perempuan itu. Ia samudera, ia ibu, ia lambang gadis-gadis kita yang terus
diperkosa. (menunjuk Kantata) Kau lihat dia, dia Kantata, dia seniman, dia
kebudayaan, dia suara jernih dari nilai luhur bangsa kita. Semua terpajang di
sini sebagai sejarah. Dalam ruangan ini kau dipatungkan sebagai yang mulia penguasa,
ya penguasa yang terhormat. Kepadamu semua pengunjung datang memberi
penghormatan. Sementara aku, dia dan dia dipatungkan sebagai lambang leceh,
pemberontak, si hina, si durhaka.
PENGUASA:
Itu sudah nasib. Sudah takdir. Aku tak punya hubungan
dengan semua aib itu.
LAKON:
25915 hari, 852 bulan, 71 tahun hanya itu kata-kata
penguasa. Ya…kata-kata yang selalu diucapkan penguasa. Kata-kata berkelit
paling mahir untuk melindungi diri dan kekuasaannya. Kerja-kerja dan kerja itu himbau kalian
kepada rakyat. Padahal semua lahan pekerjaan telah kau gadaikan kepada
kapitalis, yang sesungguhnya kau tahu betul merekalah yang paling depan
menguras jerih lelah rakyat kita dengan upah rendah. (Menujuk ke Kantata) Sementara dia,
orang yang memberi negeri ini nyawa lewat kata-kata, lewat nada. Lihatlah ia
terpatung seperti sesuatu yang tak bermakna, tak berharga.
KANTATA mengetik lagi dengan serius.
Samudera bangkit dan berjalan ke depan panggung
SAMUDERA:
(suara nampak lirih dan lembut)
Apa yang salah dengan bangsa ini? Bila aku sekolah,
karena aku ingin jadi cerdas. Aku tak ingin jadi orang bodoh. aku ingin otakku
berisi pengetahuan sehingga pada suatu saat aku bisa membawa keluar kehidupan
keluargaku yang terhimpit kemiskinan. Aku bisa bekerja, aku bisa berbakti untuk
bangsa dan Negara. Sebut saja namaku Yuyun, Rina, Bunga, Mita atau Marsinah.
Sebut saja, yang pasti aku perempuan, aku ibu, aku samudera kasih sayang. Tapi
mengapa samudera kasih sayang itu kalian perkosa, kalian tindas, kalian
intimidasi, kalian bunuh. Apa yang salah dengan bangsa ini?
PENGUASA:
Apakah itu juga kesalahanku? Apakah kejahatan semacam
itu juga harus ditimpahkan padaku. Apa hubunganku dengan kelakuan bejat para
pemerkosa itu?
SAMUDERA, mengeluarkan bendera Merah Putih kecil dari
sakunya.
SAMUDERA:
Sejak kecil aku suka bermain dengan bendera ini,
apalagi kalau pada waktu peringatan kemerdekaan. (bermain dengan bendera sambil
berlari-lari kecil) Aku suka sekali mengibarkan bendera ini dengan
berlari-lari sambil menyeru: merdeka…merdeka…merdeka.
Tapi merdeka ternyata hanya sebuah kata. Merdeka hanya
huruf-huruf yang disusun dengan apik lalu disimpan ke dalam saku kekuasaan.
Sungguh menyedihkan nasibku.
PENGUASA:
(MEMBENTAK DENGAN KERAS KE KANTATA)
Hentikan! Hentikan bunyi mesin ketikmu itu. Telingaku
sudah tak tahan lagi didera setiap kata yang kau tuliskan.
KANTATA:
Yang kupunya hanya kata-kata. Kau tak bisa
menghentikan kata-kata.
(KANTATA mengetik dengan lebih bersemangat)
PENGUASA:
Hentikan…Hantikan suara-suara itu.
(PENGUASA
menjadi histeris mendengar bunyi mesin ketik yang kemudian berubah menjadi
suara horror dari suara semua penghuni museum. Ia mengambil sebatang kayu dan
memukul mesin ketik KANTATA hingga hancur)
(Setelah
mesin ketik hancur, suasana menjadi hening)
(lampu
padam)
BAGIAN III:
RUANG MUSEUM
Dalam
suasana gelap terdengar bunyi mesin ketik.
Kemudian
lampu menyala. Tampak di sana seorang pencuri sedang mengetik. Sementara di
sekitarnya nampak patung-patung usang Petani, Penguasa, Kantata, Samudera dalam
berbagai pose.
PENCURI:
Apa yang dapat dicuri dari ruangan ini, selain mesik
ketik tua rombeng ini. Mesin ketik ini konon yang dipakai pertama kali menulis
sejarah kemerdekan bangsaku. Tapi apa iya, jasa mesin ketik ini punya harga di
pasar masa kini. (mondar-mandir dalam ruangan memperhatikan segala sesuatu) Jangankan
mesin ketik tua ini, sedangkan pahlawan tak lagi punya harga. Sial! Sebagai
pencuri professional, aku akan kehilangan keprofesionalanku bila mencuri
sesuatu dari museum seperti ini. Bagimana bisa sebuah museum bangsa sebesar ini
hanya berisi, mesin ketik tua, kertas-kertas usang, patung-patung berekspresi
hina seperti ini. Mengapa bangsa sebesar ini tak punya pahlawan, ya patung
seorang pahlawan yang mendapatkan penghargaan bintang belian karena
jasa-jasanya. Pencuri professional
seperti aku, harusnya mencuri berlian, bukan mencuri mesin ketik rusak itu. (mendekati patung petani) petani
yang dimuseumkan. (tiba-tiba tertawa) bangsa yang kultur pertaniannya telah mati.
(mendekati
Kantata) patung ini seperti seorang seniman tradisional, barangkali
penyair, penulis, musikus dan sebagainya dan sebagainya. Bangsa ini telah
dicekoki seni budaya asing. Seni tradisinya dimuseumkan. Bukankah bangsa tanpa
seni budayanya, setara dengan bangsa tanpa nyawa? (tertawa) Bangsa yang
aneh! (mendekati Samudera) aku pernah melihat sosok perempuan ini di
Koran-koran. Ia perempuan korban perkosaan. Bangsa ini telah menjadi lahan
subur kejahatan. Kemiskinan dan kematian budaya adalah akar dari kejahatan
semacam ini. (mendekati penguasa) Nah
ini dia biangkeladinya. Penguasa yang semasa berkuasa menindas dan membunuh
daya hidup rakyatnya, mengabaikan tradisi dan budaya bangsanya. Penguasa yang
lupa bahwa manusia adalah makhluk cultural. Penguasa yang lupa bahwa kekuasaan
adalah jubah api, yang bila dikenakan dengan congkak dan sombong, ia akan
hangus oleh jubah api kekuasaannya sendiri.
Mengapa pematung membuat pose penguasa jahat seperti
ini tampak berwibawa, terhormat.
(pencuri kemudian mengganti pose patung penguasa, ia
mengantung pengusa di tiang gantung) Nah posemu cocok seperti ini! (tiba-tiba pencuri dikejutkan bunyi mesin
ketik. Ia menoleh, tampak di sana Kantata sedang mengetik)
PENCURI:
Ternyata kau sesuatu yang hidup. Tak kusangka.
KANTATA:
Sejarah tak pernah mati.
PENCURI:
Apa yang kau tulis?
KANTATA:
Sejarah seorang koruptor. Pencuri professional yang
membuat bangsa ini terpuruk.
PENCURI:
Jadi kau menulis tentang aku?
KANTATA:
Ya.
PENCURI:
Tidak. Jangan…jangan kau tulis tentang aku. Aku akan
merasa terhina.
KANTATA:
Karena keterhinaanmu hingga kau dipatungkan dalam
ruangan ini.
PENCURI:
Jadi aku ini juga termasuk sebuah patung?
KANTATA:
Ya!
(Pencuri menjerit kaget, ia berusaha mengambil sebuah
batang kayu untuk meremukkan mesin ketik itu, tapi ia tercekat dan membeku jadi patung)
TAMAT.
Manado, Juli
2016
Iverdixon
Tinungki HP 085343976992
DILARANG
DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar