DRAMA ROHANI
BENIH DARI
TANAH TUHAN
Naskah: Iverdixon Tinungki
(Diangkat
dari legenda padi di tanah Minahasa)
--DILARANG DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG--
Pemain dan Karakter:
1.
OPO
MAMARIMBING: Lelaki 60 Tahun. Tonaas atau Pemimpin Adat Minahasa. Ahli
Budaya Pasoringan (Kemampuan
pengartikan pesan yang disuarakan Burung Manguni.)
2.
BURUNG
MANGUNI: Jenis burung yang skral
dalam budaya Minahasa karena punya kemampuan membawa pesan dari dunia gaib,
atau memberikan tanda tertentu tentang hal baik dan buruk yang akan menimpa manusia
lewat bunyi suaranya.
3.
POPORUNDENG: Lelaki 50
tahun. Tetua di Desa.
4.
TURANDANG:
Lelaki 50 tahun. Tetua di Desa.
5.
RAPAR: Lelaki 50 tahun. Tetua di Desa.
6.
KEKE:
Perempuan 20 tahun. Gadis cantik kekasih Wuri.
7.
WURI: Lelaki 25 tahun. Seorang prajurit atau Waraney yang
terluka.
8.
ALO: Lelaki 13 tahun. Anak yang senang membaca
cerita budaya daerahnya.
9.
REUMANEN: Perempuan 18
Tahun. Kakak Alo. Pembaca puisi.
10. PENDETA:
50 tahun. Pimimpin umat Kristen di suatu tempat atau di suatu jemaat.
11. PARA WARANEY: Prajurit dalam budaya
suku bangsa minahasa.
12. ORANG-ORANG: Warga desa.
--LOGLINE--
Cerita
pertempuran antara Dotu Tumideng, Dotu Sio Kurur dan Para Waraney melawan
pasukan Dewi Padi Linkanwene dari khayangan, akhirnya sampai ke telinga para
penduduk desa di Minahasa. Kabar itu
disampaikan seekor Burung Manguni kepada Opo Mamarinding (Ahli dalam
mengartikan suara burung atau Pasoringan).
Pertempuran
itu dipicu keinginan Dotu Tumideng meminta benih padi yang hanya tumbuh di khayangan
untuk di tanam di bumi Minahasa. Keinginan Dotu Tumideng itu menimbulkan murka
Dewi Padi Linkanwene.
Mendengar
pertempuran itu warga desa menjadi khawatir, apalagi salah seorang Waraney dari
desa tersebut menjadi korban.
Namun
kemudian terdengar lagi kabar lewat Burung Manguni dimana Dotu Tumideng telah
menemukan tiga butir benih yang tak sengaja terselip di antara luka di tepak
kakinya akibat pertempuran itu. Kabar baik tersebut disambut gembira, dan
dipandang sebagai karunia Tuhan bagi tanah Minahasa (Negeri Malesung).
Padi
pun tumbuh subur, dan menjadikan Minahasa sebagai lumbung pangan yang terkenal
hingga ke berbagai penjuru dunia. Dan sejarah mencatat perompak dan kapal-kapal
kolonial memerangi Minahasa karena ingin mengusai lumbung pangan tersebut.
Sejarah
itulah yang kemudian dibaca seorang anak desa yang kemudian menjadi bahan
refleksi tentang cinta Tuhan kepada manusia masa kini.
BAGIAN I: PEMBUKA
PROLOG:
Sejak
masa moyang tua Karema,
Sembilan
penjuru Wanua Minahasa, adalah tanah anugerah.
Karunia
terindah Opo Empung, Tuhan pencipta segala yang ada.
Di
tanah ini, segala yang tumbuh di langit, seakan bisa tumbuh di sini.
Dari
pucuk-pucuk doa Karema
Terberkati
pula Toar-Lumimuut sebagai leluhur bangsa Minahasa.
Dari
sanalah sejarah negeri Malesung ini bermula.
Namun
sejarah tak pernah berjalan lurus.
Sejarah
selalu punya kelokan dan kecuramannya.
Tawa
dan kepedihannya.
Tiba-tiba Gemuruh Guntur, disusul sambaran
cahaya kilat. Dari suatu lembah terdengar seruan perang: I YAYAT U SANTI (Acung-Acungkanlah Pedangmu) oleh para WARANEY (Pemuda pemberani dan Prajurit Minahasa).
(Lampu
menyala)
Tampak pertempuran antara pasukan KHAYANGAN
LINGKANWENE melawan KELOMPOK WARANEY dan
KABASARAN yang dipimpin LELUHUR TUMIDENG
dan SIO KURUR di tepi hutan.
Beberapa saat, pertempuran kelihatan tidak
seimbang karena pasungan KHAYANGAN terlalu besar. Pasukan LELUHUR TUMIDENG dan
SIO KURUR akhirnya mundur.
(Lampu Redup lalu padam).
BAGIAN II: MASA LALU
(Lampu menyala)
Di atas sebuah bukit (stage samping kiri
panggung) seorang leluhur tua bernama OpoMamarimbing
(punya keahlian mengartikan suara burung) sedang melantunkan syair lagu LINGKANWENE (syair
padi) diiringi alat tetabuhan tambur. Lagu itu seperti membawanya berkelana ke
tempat yang jauh, ke dengeri padi di langit sana.
Di suatu dataran (kanan panggung) Beberapa orang lelaki dan perempuan sedang berkumpul
membuat api di sebuah tumpukan rumput. Asapnya tampak membubung tinggi.
Tiba-tiba di sebuah cabang pohon hinggaplah
seekor burung Manguni. Burung itu mengeluarkan suara beruntun seperti menjerit
diiringi gerakan kepala dan sayap yang gelisah.
OpoMamarimbing tiba-tiba berhenti bernyanyi
dan langsung berdiri mendengar suara burung itu. Sebagai orang yang bisa
mengartikan suara burung, wajah OpoMamarimbing nampak begitu risau.
OPO MAMARIMBING:
Cilaka!
Cilaka!
Buah
terlarang itu…
Buah
terlarang itu…
TOPORUNDENG:
Ada
apa Opo Mamarimbing?
Ada
bahaya apa?
Opo
Mamarimbing turun dari atas bukit, sementara orang-orang bergegas menuju ke
arahnya.
OPO MAMARIMBING:
Padi…
Padi
baru saja menyulut pertempuran.
Tangga
ke negeri khayangan telah patah.
ORANG-ORANG:
(khawatir)
Pata?
Burung
Manguni berpindah dan bertengger di cabang yang lain sambil mengeluarkan suara
jeritannya. Sementara Leluhur Tua mencoba mengartikan suara burung itu kepada
orang-orang.
OPO MAMARIMBING:
Ya.
Patah.
Tangga
itu telah dipotong hingga putus oleh Teterusan Sumanti dari kahayangan,
atas perintah Dewi Padi Linkanwene.
TURANDANG:
Mengapa
tangga itu dipotong Opo Mamarimbing?
Burung
Manganui mengeluarkan suara lagi.
OPO MAMARIMBING:
Agar
manusia bumi
tak
menyusup ke khayangan mencuri bibit padi.
TOPORUNDENG:
Siapa
yang menyusup,
dan bertempur di sana, Opo Mamarimbing?
Burung
Manguni tiba-tiba menyebutkan nama
dengan seuara jeritannya yang khas.
BURUNG MANGUNI:
Tumi’deng…Tumi’deng…
Kururrrr…Kururrr
(diikuti jeritan yang tidak jelas)
OPO MAMARIMBING:
Dotu
Tumideng dan pasukan Sio Kurur,
melawan pasukan Linkanwene dan Sumanti dari
khayangan.
TURANDANG:
Mengapa perang itu sampai terjadi?
Burung
manguni pindah bertengger di suatu tempat yang agak tinggi, lalu bicara dengan
suaranya yang khas seperti menyanyi dan sesekali menjerit.
BURUNG MANGUNI:
Dotu
Tumi’dengggg… naik kekhayangannnn…
dengan
maksud memohon kepada Dewi Padi Linkanweneee…
untuk
mendapatkan bibit padiiii, agar bisa bisa di tanam di bumiiii.
(lalu menjerit lagi dengan suara yang hanya
dimengerti Opo Mamarinding)
OPO MAMARIMBING:
(Mengartikan suara Burung Manguni)
Dotu
kita Tumideng di usir dari Khayangan oleh Dewi Padi Linkanwene.
Ia
dipukul sampai terluka. Ia melawan namun pasukan khayangan yang dipimpin
Sumanti
terlalu
kuat, Tumideng mundur ke bumi meminta bantuan Dotu Sio Kurur dan pasukan
Waraney.
Peperangan
dasyat pecah di tepi hutan dekat tangga ke khayangan. Namun karena pasukan
khayangan terlalu banyak, Dotu Tumideng dan Sio Kurur meminta para Waraney
mundur.
BURUNG MANGUNI:
(menyela)
Sumanti
memotong tanggaaaa…
Sumanti
memotong tanggaaaa…
OPO MAMARIMBING:
Itu
sebabnya Tetarusan Sumanti memotong tangga itu.
RAPAR:
Bencana!
Ini bencana Opo Mamarimbing!
Bencana
untuk kita semua.
KEKE:
Betul
itu Tua Rapar!
Lantas
bagaimana kita mendapatkan beras Opo Mamarimbing?
Selama
ini kita hanya bergantung pada beras milik dewi Lingkanwene
di
khayangan, yang kita tukar dengan telur
burung Maleo
dari
negeri Malesung ini.
OPO MAMARIMBING:
Berdoalah
kepada Opo Empung.
Karena
hanya Opo Empung Tuhan
yang
bisa membawa kita keluar dari masalah ini
Mendengar kata-kata Opo Mamarimbing,
orang-orang menjadi takut. Mereka kembali berkumpul memanjatkan doa di sekitar api memohon
perlindungan Tuhan. Sementara Burung Manguni terbang lagi ke luar.
ORANG-ORANG:
O
Opo Empung…
O
Opo Wananatase…
Lindungilah
kami.
Lindungilah
negeri kami.
Sementara
orang-orang berdoa, tak lama masuk beberapa Waraney menggotong seorang Waraney
lain yang terluka parah. Orang-orang pun jadi gaduh melihat kejadian itu.
mereka tampak prihatin. Keke tiba-tiba menjerit setelah melihat Waraney yang
terluka itu ternyata kekasihnya yang bernama Wuri.
KEKE:
Wuri…apa
yang terjadi. Kenapa engkau Wuri?
(Menangis terseduh)
SEORANG WARANEY:
(Memberi penjelasan)
Wuri
terluka dalam pertempuran bersama Dotu Tumideng. Ia maju
Dengan
berani ke depan menghadang pasukan Khayangan.
OPO MAMARIMBING:
Wuri
telah membuktikan keberanian anak Tanah Malesung ini.
Keke,
jangan terlalu bersedih, kau harus bangga punya kekasih
yang
berjiwa satria seperti Wuri.
KEKE:
(Sedih)
Tapi
Wuri terluka sebegini parah Opo Mamarimbing!
Kasihan
dia, kasihan Wuri!
OPO MAMARIMBING:
Dalam
perang hanya ada dua hal Keke:
yang
kalah menjadi abu, yang menang menjadi arang.
Maka
dalam hidup ini sesungguhnya, tak ada yang lebih berharga selain damai.
Siapa
yang menyayangi kehidupan, haruslah menyayangi perdamaian.
Hal
inilah yang dikehendaki Tuhan atas manusia.
Antarlah
kekasihmu ke rumah Keke, carilah tabib untuknya.
Keke
dan para Waraney serta beberapa orang yang lain ikut keluar membawa Wuri.
Sementara yang tertinggal Opo Mamarimbing, Rapar, Toporundeng dan Turandang.
RAPAR :
Aku
tidak habis pikir,
mengapa
Datu Tumideng sampai pergi ke khayangan.
Hanya
karena benih padi,
bumi
dan langit bisa seretak ini.
TURANDANG:
Persoalannya,
mengapa khayangan tak mau berbagi.
Padahal,
itu hanya segerkah benih Padi.
Bukankah
padi adalah benih dari tanah Tuhan
yang
dikaruniakan untuk kehidupan semua makhluk.
Mengapa
hanya khayangan yang menguasainya?
Bukankah
padi juga bisa tumbuh di tanah Minahasa yang terberkati ini.
OPO MAMARIMBING:
Makanan
dan harta selalu meruncingkan peperangan.
Kekuasaan
dan harga diri ditegakkan sebagai senjata.
Dengan
apa kita menautkan kedamaian yang retak ini.
Tapi
sudalah Bila Opo Empung Tuhan berkenan,
pasti
ada jalan lain untuk mendapatkan bibit padi yang kita impikan.
Tiba-tiba
masuk lagi Burung Manguni dan hinggap di sebuah cabang pohon sambil
mengeluarkan suaranya yang khas seperti menceritakan sesuatu.
TOPORUNDENG:
Apa
yang dikatakan burung Manguni Makasiouw itu Opo Mamarimbing?
OPO MAMARIMBING:
Burung
ini mengatakan, dari luka di kaki Dotu Tumideng,
telah
ditemukan tiga butir padi yang terselip di sana.
Tiga
butir padi itu telah disamai di sebidang tanahMalesung ini.
TOPORUNDENG:
Moga
bibit padi itu akan tumbuh dengan baik. Opo Mamarimbing!
OPO MAMARIMBING:
Jalan
menuju berkat, terkadang harus ditempu lewat
perjuangan
yang sulit. Di ujung derita dan air mata justru
kabar
baik itu berada. Terima kasih Opo Empung
Tuhan pengasih.
Engkaulah
Juru Selamat bagi bumi.
Lampu redup lalu padam.
BAGIAN III: MASA KINI
NARASI:
Dari
tiga butir benih padi yang terselip di luka Dotu Mamarimbing,
sejak
itulah ladang-ladang di tanah Minahasa dipenuhi padi.
Bibit
di semai, sawah di bajak, padi tumbuh seakan pemandangan
berkah
yang kemilau mengisi sembilan penjuru mata angin Tanah Melesung.
Moyang
yang gembira, generasi baru tumbuh bertabur tawa.
Padi
dirayakan sebagai kurnia. Bunyi gadah para penebah bertalu
melepas
butir beras dari sekamnya. Perempuan-perempuan menapisnya
dengan
gembira. Lumbung-lumbung penuh.
Namun
sejarah punya liku yang baru.
Para
perompak silih berganti
menyerang
negeri Malesung ini untuk menjarah lumbung-lumbung padi.
Kapal-kapal
kolonial berlabuh,
memerangi Minahasa karena tanah ini
dipandang
sebagai lumbung logistik yang penting.
Perang
demi perang menghibahkan air mata,
luka,
kesedihan, dan kehilangan di atas
sejarah
padi negeri ini.
(Lampu menyala)
(Seiring narasi, di panggung tampak
teaterisasi kejadian demi kejadian, babakan demi babakan dari catatan sejarah
itu: 1. Masyarakat yang riang menikmati hasil kebun padi. 2. Serangan para
perompak. 3. Kemelut perang dengan bangsa-bangsa kolonial seperti Spanyol,
Portugis dan Belanda.)
(Lampu Padam)
BAGIAN IV:
EPILOG
(Lampu
menyala)
Di atas sebuah bukit (stage samping kiri
panggung) seorang Anak bernama Alo sedang melantunkan syair lagu LINGKANWENE (syair
padi) diiringi alat tetabuhan tambur. Lagu itu dimainkannya dengan riang.
Sementara kakanya Reumanen sedang membacakan puisi.
PUISI REUMANEN:
jangan
tautkan lagi ketakutan
pada
bangau, pada burung
pada sejarah yang menganyam tarian riang
pada sejarah yang menganyam tarian riang
di
wajah ladang, di wajah persawahan
jangan biarkan mereka terbang ke liang kepedihan
ke liang kusunyian, ke liang kecemasan
dengan tulang sayap yang retak
di
tepi parit, alangalang berkibar
ritus
musim mengalir
aku
ingin berlari menikmati petak-petak impian ini
dalam budaya yang mensyukuri bebiji
terus tumbuh berdenyut di esokku nanti
dalam budaya yang mensyukuri bebiji
terus tumbuh berdenyut di esokku nanti
Di suatu dataran (kanan panggung) Seorang Pendeta sedang
menatap ke arah Alo dan Reumanen dengan kagum. Berapa saat kemudian Pendeta
memanggil Alo dan Reumanen.
PENDETA:
Alo!
Reumanen!
ALO DAN REUMANEN:
Ya.
Pendeta!
PENDETA:
Turunlah
ke sini!
ALO:
Baik
Pendeta!
Alo dan Reumanen turun mendekati
Pendeta.
ALO:
Ada
apa Pendeta!
PENDETA:
Dari
mana kalian belajar syair yang dinyanyikan dan dibacakan tadi?
ALO:
Dari
buku sejarah padi di tanah Minahasa Pak Pendeta.
PENDETA:
Apa
yang dikatan dalam buku itu?
REUMANEN:
Padi
adalah benih dari tanah Tuhan.
Dikaruniakan
untuk memenuhi kebutuhan kehidupan manusia.
PENDETA:
Bagus
Alo, bagus Reumanen.
Kalian
telah membaca cerita kebaikan Tuhan bagi manusia lewat kisah padi.
Tapi,
jangan lupa baca Alkitab juga.
Karena
lewat Firman Tuhan di Alkitab,
kalian
akan tahu betapa Tuhan sangat mengasihi manusia,
sehingga
Ia mengaruniakan AnakNya yang tunggal
yaitu
Yesus Kristus Tuhan
sebagai
Juru Selamat Manusia.
Lampu meredup kemudian padam.
Tamat.
Manado, 17 Novermber 2016
Iverdixon Tinungki. Hp. 085343976992
--DILARANG DIPENTASKAN TANPA SEIZIN PENGARANG--
Tidak ada komentar:
Posting Komentar