--dari sebuah pasar—
serbuk terakhir menguar
dari deretan pohon akasia itu
jatuh di tapal batas
terjauh, ufukufuk baru sebuah subuh
membangkitkan lagi magma liar lelaki, menapis fitrah diri
lama terbaring di bawah
reruntuhan abad
menjelma pasar ini
sejak dulu sebuah pagar
melingkar tanah beberapa depa
jadi ruang buntu bagi makrifat
tumbuh
angkasa pecah kembar
dalam imaji banal ke banal
atas nama sejarah pelacur
menjinakkan malam
masih tersisa dalam pesta
para pemabuk
menyulap area sebuah
taman seakan tepi sebuah saman
dengan wajahwajah tirusnya
yang gamang
lumrah. selalu ada orang
datang
dari berbagai udik dan arus
menakik hidup di sebuah
pasar juga stasiun
dengan beringas mereka menyerbu,
menyetubihi kotakota
bagai bayang orangorang
merdeka, membangun tendatenda
mendagangi tubuh ibu
yang telah membuat mereka manusia
lelaki itu marah. tapi
siapa ia?
lolongnya menyemburkan
aroma darah
semua berlari ke
arah berbeda
hanyut tergulung residu
lahar saman
alpa menulis angka di
titik nol kota
tapi bermimpi maju tanpa
sebuah peta
malam berhujan dengan
beribu cahaya kunangkunang
menyeduh semua yang
patut dikenang di jazirah laut
dipenuhi gemuruh mimpi
dan angan
lihatlah: ia tak
benarbenar tenggelam. Blengko ya Blengko
lelaki memasang bulu manguni di kepala. itu ia!
menempah darah dan besi ke
udara. peperangan belum berakhir
di ujung belatinya
gesit ia menikam tubuh
bayangbayang tak bermakna
membuangnya ke selokan.
pelacurpelacur mengeluelukan
darah hangat di sekujur
tubuhnya
terpesona kewibawaan
tersisa
kekasihnya meludahi
halhal mewah
yang berbuah anak haram
jadah
“aku lahir dalam kisah moyang
di sini berabad melawan
perompak
kendati harapan tak
membawa ke manamana
aku tak meratap, tak
menyalahi siapasiapa
terus berjagajaga.
tujuan bersama jangan sampai terhina”
gurunya
peto syarif, malin basa
benteng
tak harus dari baja
dengan
tanah ia bisa membuat rumah
begitu
ia tiba
udara
gemeretak di gigi malam
takjub
pada jubah juga getaran nafasnya
tancitanci kebal ada di muka
anakanak
pesamudera telah tiba
anoaanoa
usai mengasah taringnya
--semua
butuh roman agung dari cahaya matanya
lelaki
yang membukakan pintupintu amarah--
ternyata orangorang hanya
merangkak menyelusupi
tubuh saman memantul
beragam pertanyaan
sebuah patung
mengekalkan geram di pangkal pedang
ke tengah hutan bangunan
tumbuh menjerat nafas
semua yang lalu lalang
memenuhi emperemper
gagap menyingkap makna
percakapan. juga nelangsa
-dari mana kita datang,
kemana kita pergi—
yang baru dibarukan, tapi
tak bertemu
liang kegembiraan
hanya bau coran semen,
papan iklan
menawarkan ruparupa
kepedihan
dari sini sebuah diskusi
dimulai
dari perhimpunan kaum
peminum kopi
merekareka mimpi dari
terali ke terali
tapi hanya ada jalan
buntu menuju ruang buntu
--mimpi dan angan tak
lagi punya harga dan saman--
ada sekadar mengganti
gaun menutupi gaduh hati
kebanggan palsu kekuatan
ekonomi
sepenuhnya menyemai
buahbuah celaka
Blengko melawan
kota dibersihkan dari
tipu muslihat
yang beranak pinak
kesemerawutan
hanya sekali kebas, atapatap
runtuh
loronglorong terbuka
jalan raya sejarah
tibatiba menjelma
orangorang seketika
menemukan lelaki
paling pantas di puja
Blengko lupa musuh sesungguhnya
seorang kawan
ia ditikam dari belakang,
tepat menembus jantungnya
tubuhtubuh sejarahnya
tumbang ke dalam kabut
penuh perangkap
“di sini cahaya menegak,
perbatasan baru telah tersibak
esok aku mau jadi
seorang permesta,” tulis orangorang
mengerti makna
kebanggaan atas kematian
yang tak kuasa membuat
ia menyerah, kucuali niscaya
di bawah prasasti 45, sebuah
pasar, sebuah stasiun
orangorang datang pergi mendagangi
kemuliaan diri
dengan harga paling
murah dan miris
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar