JOHNY RONDONUWU, penyair, sketser, pelukis, dan dosen
Seni Rupa IKIP Manado ini, lahir di desa Sarawet, Likupang, Kabupaten Minahasa
Utara, 16 Januari 1955. Dalam berkesenian ia tak saja melahirkan banyak karya,
tapi juga sejumlah murid yang dikemudian hari menjadi penyair dan pelukis
terkemuka di Sulawesi Utara. Ini sebabnya, Jonrond – begitu sapaan akrabnya – dipandang
sebagai salah satu dari sedikit pelopor kepenyairan modern di Sulawesi Utara
bersama penyair Husen Mulahele.
Lelaki
bertubuh tambun dan suka mengenakan topi ini menyelesaikan pendidikannya di
Sekolah Pendidikan Guru Kristen Kuranga, Tomohon pada 1973, dan melanjutkannya pada
jurusan Seni Rupa dan Kerajinan Fakultas Keguruan Sastra Seni IKIP Manado
(sekarang FBS Unima) hingga meraih gelar sarjana dan mengajar di almamaternya
itu. Sejak semasa kuliah, anak sulung dari keluarga Rondonuwu-Rawung ini
terbilang hidup penuh kegelisahan berkarya. Tidak ada sedikitpun waktu yang
terbuang percuma. kemanapun kakinya melangkah, sudah pasti pena, dan kertas
gambar ada bersamanya. Ia menulis puisi
dan membuat sketsa di mana saja, dan karya-karya itu kemudian ia hadiahkan
kepada siapa saja. Ini sebabnya karya puisi dan sketsanya banyak dikoleksi para
murid dan temannya.
Sejak
awal 1970-an, puisi-puisinya telah menghiasi halaman Koran dan Majalah baik
yang terbit di Manado dan di Jakarta. Namun banyak puisinya hilang begitu saja.
Untung sebundel puisinya masih bisa diselamatkan Arie Tulus muridnya. Beberapa
puisi lainnya sempat diterbitkan dalam sebuah buku antologi puisi “Bukit Kleak
Senja” pada 1981. Di organisasi kesenian, ia pengurus Badan Koordinasi Kesenian
Nasional Indonesia (BKKNI) dan Dewan Kesenian Sulawesi Utara. Juga Pembina
Teater Kompas, dan Teater Ungu.
Pada
1977 bersama beberapa rekannya, ia mendirikan SGM (Studi Group Manado).
Kelompok ini hingga tahun 1980-an di Sulawesi Utara terbilang cukup terkenal
dikalangan pekerja seni karena intens menggelar diskusi seni, pelatihan, pentas
dan festival teater, baca puisi, pameran
lukisan. Pada tahun 1978 disamping aktif kuliah dan mengajar, ia mendirikan
Sanggar Kuranga dengan program latihan dan bimbingan belajar melukis, menulis
puisi, dan bermain teater.
Sebagai
pelukis, ia senang menggarap obyek-obyek realis dan naturalis. Ia berkali-kali
pemeran di Jakarta dan beberapa kota di Indonesia. Sebagai penyair ia banyak
menulis puisi bertema kehidupan yang dilanda kesunyian dan kesedihan. Puisinya
yang paling terkenal berjudul “Simphoni Kematian” yang ditulisnya dengan begitu
indah dalam beberapa seri, yang menyiratkan cerita kehidupannya yang
seakan-akan dikejar-kejar kematian. Ia juga banyak menulis puisi bertema cinta
yang begitu pilu yang sarat irama patah hati. Dan ia memang lama membujang, dan
baru menikah pada usia tua sesaat menjelang kematiannya.
Sebelum menikah dan membangun rumah
dan sanggar lukisnya di tepi kali Malalayang, kehidupan penyair yang mahir
memainkan alat musik biola ini, dijalaninya disebuah gudang bengkel seni di
Fakultas tempat ia mengajar. Kamis 11 Agustus 2005, ditengah kegiatannya
mengikui paduan suara gerejanya di GMIM Malalayang I, tiba-tiba ia merasa lelah
dan pingsan hingga akhirnya menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum
Prof. Kandow Malalayang Manado. Kepergian penyair ini menyisakan duka mendalam
bagi dunia kesenian di Sulawesi utara. Tapi karyanya selalu abadi dikenang
banyak orang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar