Rabu, 03 April 2013

ANTOLOGI PUISI KLIKITONG IVERDIXON TINUNGKI (BAGIAN I)


ANTOLOGI PUISI
KLIKITONG
IVERDIXON TINUNGKI


MIANGAS
leluhur ketapang tak lupa pada Lorca
mengajar pelautnya nyanyian malam
“Los Cuatro Muleros dan Sevillanas”

sebuah monumen beton terpacak mengubur Pardao
begitu Miangas tak lupa cantiknya dimasa Las Palmas
meranggas, tak lebih sebuah pulau tapal batas

dulu kadetkadet kapal layar Spanyol adalah penari                                                           
di tengah api dinyalakan udara pasifik
rancak Vihuela De Mano dipetik semarak ombak
menyeruh seruanseruan Paradiso yang agung

pulau karang ini tak sekadar sarang gurita
cangkang siput purba dan Lumaromban
tidur di atas mite samudera khatulistiwa
tapi surga buat letih pengelana laut penjejak benua

kini barisan tambur menggerendam dek kapal
dalam kisahkisah arung menggetarkan telah karam
lisut di atas sebuah tapal menimbun sejarah pulau
kecuali kisah buram dipancarkan suar
letih meniti  makna dini hari


rimbun ketapang tak lain rimbun kemelaratan
sebuah bendera berkibar di atas kuburan
di atas rumahrumah gubuk beratap tangisan
tersuruk dalam senja mengelisahi malam rentah bernanah
di wajah anak pulau meratapi nasib dan lautnya
mengemuruhkan mirisnya warna kemiskinan

*) Lumaromban: Gurita raksasa dalam cerita Rakyat Talaud.
*) Pardao: Monumen Spanyol di Miangas.
*) Lorca: Federico GarcĂ­a Lorca, Komponis Spanyol.
*) Paradiso: (Surga) Sebutan pelaut Spanyol untuk kepulauan Talaud.

OMBAK AMBORA
Perjalanan bersama Rimata Narande

melintasi Ambora, ombak adalah buku
barisan halaman luas dan tebal
oleh kisah arus
juga perang besar di pulaupulau itu

puisipuisi memucuk di keningnya
membuih seperti bijibiji asin
mata gadis berbaris menghampar seperti pasir
ia di sana menati  ziarah pesamudera
setia menghidu bau sesaji di pucuk matanya

ia gelisah. laut ini menempah segala ke dadanya
tak saja ombak, juga kesunyian abadi di kedalaman biru hati

pen perahu dari kayu pasa, lunas batang tua dari rimba mantra
bau melati bumi arangkaa; dekaplah katamu, laut itu kekasih

wahai. berapa surut, berapa pasang buat aku mengayuh
hingga tiba di tawamu sebening angkuh laut ini

karangkarang menjalari gunung
menebing di dinding langit hatiku
ke mana perahu mengarah
selalu tiba di padang air yang marah

deretan gadisgadis penari, gerendam tamburtambur
o…kapan pesta ombak ini berhenti memukul

melintasi ambora, melintasi mata hiu
surga sedekat taringnya
mengendap di kedalaman biru, menggelegak di hatiku
hingga yang oleng bukan perahu, tapi kelakianku

sebegitu jauh pelayaran, akhirnya aku tiba pada syairsyair mantra
memenangkan laga tak sekadar kita perkasa
tapi keberanian menerima kematian, seperti pelukan kekasih
kiat erat dekapannya, kian terasa indahnya tikamannya

*) Ambora: kawasan laut yang selalu berombak sepanjang musim, di pesisir Geme-Arangkaa, Talaud
*) Arangka: sebuah desa yang terbakar dalam perang Larenggam dan Belanda. Di desa ini ada goa tengkorak para pemberani yang semuanya gugur dalam perang terakhir yang dasyat itu.


DALAM KLIKITONG
dalam klikitong kutemukan pulau
telah lama terkubur
darah lelaki mengalir bagai arus
memecah di mata samudera
 terus mendekap ombak tua
di pesisir itu

ombak tua itu mendebur seluas ingatan
bagaimana batangbatang sejarah menegak
di tengah bunyi berdejakdejak

semacam derap dayung
selalu pulang dengan kisah kemenangan

tapi yang tersisa di pulau ini
hanya kisah lusuh kerajaan masa lalu
tentang kemaharaan pala kejayaan korakora
kini bernanah di atas bendera kemerdekaan palsu

tak hanya lelaki
perempuan pun menari
menari di tengah irama langit berkelindan ini
seperti lava terlontar ke atas barisbaris sajak
melahirkan api

lalu, kemana para lelaki pemberani
di tengah harga diri tergadai seharga anak babi

bila bunyi klikitong ini kian merancak
bukankah jantung leluhur api di kepundan pulau
memuncak membariskan ledakanledakan
sebagai ingatan perang sesungguhnya belum berakhir

dan harus dimulai
buat meraih kemerdekaan sejati

*) Klikitong: musik tradisonal warisan tradisi dari masa Kerajaan Siau.


SEPETAK LADANG DI MATA PETANI
(perjalanan ke Geme)
langit memintal warna kemuning biji padi
di sepetak ladang, di sepetak mata petani

entah berapa abad petani mencangkul bau belukar
cericit burung dan getir biru yang boyak moyak di wajahnya

sebelum atau sesudah petak ladang  ini bisa disemai, dipanen
tak saja tanah,  juga darah di nadinya menanak doa

tapi petani hanya sepotang kata
dalam ucapan ringan orangorang di balik samudera
berjarak langit bumi tanpa tangga
apalagi jendela. kecuali desis ular mengintai nafasnya

di petak hatinya tanah dan laut tak lebih ruang cahaya lentera kecil
dengan pedalaman malam dihuni burungburung risau

di sini, setiap kali suaranya tergelincir
di batu saman penuh lumut
dihisap lintalinta yang gemuk
oleh darah pulau yang selalu parau
untuk sekadar bergemuruh

ketika kicau burung menghiburnya di atas mayang patah
senja meringkus semua mimpi pecahpecah itu
petani kembali menanami ladangnya
dengan bijibiji air matanya sendiri



KALAWIREN
bau danau
di atas barisan kebun terong
mengabadikan minahasa

bukitbukit ini berkisah
betapa megah dan dramatis
ketika Injil tiba di sebuah pagi
seperti lelaki memanteli kekasih

di sepemandangan mata
lembah ladang jagung
daunnya menari
dalam gerak keke
melintasi pematang
kulitnya putih seperti kenari
mengapung di segelas kopi

di sini Tuhan dan perempuan
adalah bait mazmur desa subur
lelakilelaki berkeringat dengan bajak dan pacul
berabad menanam cinta seluas danau

lihatlah!
asap membumbung di tumpukan jerami
menyanyikan gerisik gerabah
bunyi yang sama diolah doa petani
dalam pesta sawah mengurai koreografi penari

Tuhan mungkin selalu ke sini
menyambangi kekasih
penat dan sendiri

*). Kalawiren: sebuah desa yang tanahnya subur di tepi danau Tondano. Bagian dari wilayah missionary mula-mula di pedalaman Minahasa.
*) Keke: sapaan untuk wanita Minahasa. Wanita Minahasa punya tradisi tari untuk pembukaan ladang atau sawah dan masa panen. Semacam ritual doa dan pemujaan kepada sang Ilahi.

KETIKA TUHAN MENSAJAKKAN BOALEMO

(Buat DS)

kupandang  pantai Bolihutuo
Tuhan mensajakkan indahnya Boalemo
ibarat mutiara teluk Tomini
diasah elok gulungan ombak
datang Ia membasu tapak hidup
juga pesan pada setiap tarikan nafasmu

hamparan masir
tepi pesisir pasir putih itu
seakan sajadah muadzin mengumandangkan adzan
di sana pintupintu langit dibuka
bagi doa diistijabah-mu
alam dan dikau dipanggilNya berdzikir, bersuci
agar lembaran tahun yang pergi
menjadi catatan surga tiada tepi

bila ada ketika kau berbasuh di gerisik air Ayuhulalo
resapi nikmatNya menuruni gunung sejarah tua Sultan Hurudji
hingga tiba di saman dan usiamu kini
dimana hidup serupa arungan waktu
terus bergerak ke muka seperkasa Jarangga

hingga Jarangga yang berlayar pun
punya ketika berlabuh


*). Bolihutuo: kawasan pantai yang indah di Boalemo.
*). Ayuhulalo: Air Terjun di Boalemo
*). Jarangga: Perahu besar
*).  Sultan Hurudji: raja pertama Boalemo. Nama lengkapnya Raja Hurudji Bin Idrus Andi Mappanyuki




BATU HAKI

berlayar ke utara
mendaki sasahara
ketemukan ombak
tebing  batu
sebilah bara

perahu naga
berlayar di masa lalu
melabuhi masa kini
menjumpai pedang itu
dan medan perang yang sama

laut selalu mengasah ketajaman
naluri manusia pulau sejak dulu
seperti batu bersusun tak luluh pada gemuruh
taufan abad
juga sejarah arusnya

di sini hitam bukan mati
kendati pertarungan hidup
tajam seperti belati

*) Sasahara: Budaya Bahari  Nusa utara
*) Bara: pedang perang
*) Batu Haki: Tebing dari susunan batu hitam yang keras


ANTARA SOMBA OPU DAN ULU

pada sebuah masa
badik dan bara sama terancung
seperti pinisi dan kora si kembar gagah
menakluki samudera maknamakna

aku masih memikirkan kelincahan paraga
lentik pakarena
ketika lintalinta  di liang parit
telah lama gemuk oleh darah laut kita

dari saman ke saman
samudera menabuh keberanian
tapi sejarah ditulis kini
menyobek laut hingga mantramantra
menjadi renta, tiang layar patah
diterjang titahtitah penguasa

antara Somba Opu dan Ulu
ku asah rinduku
hingga ketajaman ini meruncing
dalam badik bara
buat sebuah laga
di arena negara sebenarnya


SUATU KETIKA DI ULU

kali tawar itu  mengalir di matamu
bersama bau keringat tergelincir ke laut
mengendap jadi lumut
mengeruh asin ombakmu

aku melihat kebun pala tak bernama
pada pinggang gunung bergetar
orangorang pucat di dermaga
lelakilelaki melepas asap rokoknya
jadi gumpalan mega
menambahkan biji banjir
turun mengilas
semua doa di tepi langitnya

di sana seketika aku memandang
pedagangpedagang asing mengusai kota
telah lama mereka seperti kepompong
menjelma kupu
terbang indah ke segala pelosok nilai
dihisapnya jadi remah

kau menggeliat laiknya belatung
di antara bau bacin keringat amis

ketika Karangetang menggelegar muntah
api amarah itu mengapa kau simpan di saku celana
lalu berbaris seperti serdadu kala perang
menuju liang kematian
kau gali sebegitu tenang

ataukah di sini sejarah tak lagi dibaca
ketika dibengkokkan pun engkau mangut saja

saat aku berangkat meninggalkan kamar jagal
kulihat pulau setinggi seagung itu menggelepar
dalam jaring kering maknamakna
ditebar sebarisan setan

TELUK DAGHO

entah berapa saman
puteri itu mandi di sini
hingga lembah gunung
sewangi manuru

bakao air payou
kerikil cangkang siput
semua mensajakkan cahaya
buat teluk sewarna perak
dalam kitab sejarah
kedatuan Manganitu

Ini lembah selatan jazirah raja
tari benko mengacungkan pedang
saat laut menarikan perang Kora
dalam keberanian naga

ikan maha warna di hamparan karang
rambut gadisgadis menjuntai di kilatan pagi
kakikaki baja menderap di atas tanah merah
seakan mantra pananaru dilafalkan langit
buat pangeran siap bertarung

berapa panjang abad buat teluk ini kekal
naga di tanah runtuh
pedang emas selatan
pertapa tua pintareng
manuru bebalang
menanti polo mengayu bininta
seperti kisah tua
sejarah tak terkalahkan

*) Manuru: Bunga melati.
*) Bininta: Perahu perang.
*) Kora (Kora-kora): Perahu layar.


TELUK TAHUNA

bangau bergenerasi menjagai teluk
dalam susunan sajak rinduku padamu

sejak zaman kora beterbangan ia
mengabadikan kemegahan cekukan lembah Awu
di mana doa dan nafasmu bersimpuh

seakan leluhur mau kita punya kota
burungburung
buat cinta berumah langit berceloteh
pada kepak sayapnya

lalu kau menarikan hatimu
pada setiap lagu pantai dinyanyikan angin
hingga aku bisa menatap siuran hati
di peta langit matamu

Tatehe seperti juga Tatengkeng
dua teruna dari saman berbeda
tapi samasama merapalkan cinta
di atas teluk yang indah

kini gadisgadis masih menyanyikan perahu
menderap dayung menjemput rindu

ombak selatan di Apes menyemburkan kerikil
hiu purba dalam sajarah moyang merondai tanjung
dengan gigih

wahai teluk sajaksajakku
ini lariklarik nafasku sewarna celedoni laut
sampaikan cintaku pada gadis pulauku


PESISIR BALEHUMARA

tuanglah samudera ke dalam gelas hingga penuh
biar kusesap nyeri ampas sejarahku, juga sejarahmu

Balehumara dan bau bidadari turun dari perahu
dengan derap penari istana kembang melati
bibirnya ranum muram masa lalu

di depan, pulau Ruang mengapung. ada jejak pisau
darah hitam mengguris di kening laut tua itu

ketika sisa panoramic memapar sisi abadi dari ingatan
berkata:  di sini langit selalu  tenang menghapus merah senja
menidurkan pasir lelap diusap debur ombak
begitu nelayan belajar ikhlas itu bukan kalah

lalu menyembur harum Roa di asap panggang perapian
juga derak bunyi kayu bakar menjelma renung masa kini
bukankah api berkobar itu setua usia pesisir ini
jala dirajut dulu, kini masih ditebar hingga ke mimpimimpi

setidaknya kini antara luka pisau dan laut
kutemukan ruhku sendiri
menimang bulan sabar
membuka barisbaris cahaya.
sehari seinci
hingga purnama dulu
 menyatu di bulat purnama hari ini

*) Balehumara: Nama sebuah kampung di pesisir pulau Tagulandang. Dulu adalah pusat kerajaan Tagulandang.


BILA LAUT ITU IBU
ibu selalu bangun lebih pagi sebelum matahari
sebelum adzan subuh menggemah
sebelum Tuhan lebih dulu terjaga oleh doanya
kendati semalaman, aku menyusui semua kisah di lengannya

seperti perahu korakora tak takut pada ombak
ibu adalah  lunas dan tiang utama
kokoh kerena air mata

arus samudera tak membuatnya letih
sekali terpacak, kemudi harus diarah dengan cakap
dalam angin mati pun korakora harus bergerak pergi

“bila laut itu ibu, siapa anaknya?”

ombak nusa utara pecah di hatiku
laguannya mengikuti jiwaku
dalam cabikancabikan Klikitong
 menuruni gunung menuju pernikahan langit
dengan gemuruh laut dalam sajakku

“aku anakmu,” ujarku pada mata hati  tak kan beruban itu
abadabad tak membuat ia tua, karena uban tak membuat ia rabun
 pagi dan senjanya adalah gelombanggelombang abadi
menjemput korakora dalam barisan sajak ini berlayar kembali

*)Klikitong: Musik tradisional Sangihe dalam pesta syukur. (Siau).

BERPERAHU DARI PARA
jiwa pulau penuh dalam sope
racikan nenek moyang
di bait sajaksajak intan
seakan perahu dan laut
sepasang kekasih
pelayaran pun dimulai

aku mengangkut kekasih
matanya dena ombak tua
mengisah,
bentangan laut di depan
tak lain cinta sejatinya

pagi menyebar kabutnya
di teriakan tonase
mengarah kemudi lewati Lawesang
seakan masa depan penuh karang
tak saja nafas, hidup pun bergantung
pada haluan

puncak pulau kami tinggalkan
di sana beberapa bintang kursih berjaga
terangnya tak pernah hilang
mengelip di utara moyangmoyang
memandu perahu pergi dan pulang

*). sope: Jenis perahu sangihe
*).Tonase: pemimpin perahu
*).Lawesang: jalan perahu di antara karang


MEMINANG GADIS PULAU

kemboja tua
di puncak pulau
melepas semua wanginya
dikalungkan anak gadisnya
saat dipinang

setangkai terselip di rambutnya
memancar lima cahaya indah banua
indah dirinya dilangir moyang
hingga langit pun runtuh di matanya

kebaya dari tenunan, kofo
mendekap semua warna masa purba
juga samudera yang mencahayakan kini
itu warisan neneknya
budaya yang tahu persis
detakan nadi air laut
pada setiap musim
hingga cinta kini tiba
seperti waktu pasang mengganti surut
pada setiap lempengan cahaya bulan
dikeramatkan itu

seorang cucu gadisnya
akan membawa setengah dari belahan pulau
buat daratan di laut yang lain
meski kekasih menjemput ini
hanya seorang penyair
penafsir air mata
buat danau sejarah letih dahaga

pergilah, kata neneknya
kau akan jadi ibu
 buat seribu kata akan lahir
di ujung penanya

*). Banua: pulau tempat lahir
*). Kofo: kain tradisional Sangihe yang ditenun dari serat abaka (Hote).


TONASE SEKE

asin samudera
begitu darah Tonase
juga ombak,
juga arus itu

orang pulau adalah serdadu
kerena nasib tak henti mengadu

malam ketika kota tidur
dada Tonase berdebur
tangannya beranyun menyibak udara
 gelap pun runtuh
jutaan kunangkunang air
berbagi cahya ke langit tujuh

di lantai samudera
seke telah terhampar
Tonase menanti dengan beberapa lelaki
uraturat liat menyatukan kekuatan temali
tak penting berapa ikan tertangkap hari ini
kerena hidup peperangan itu sendiri

*).Tonase: pemimpin perahu
*). Seke: Alat penangkap ikan tradisional yang terbuat dari Janur dan pintalan tali ijuk dalam tradisi menangkap ikan di pulau Para, Sangihe

SENJA DI PANTAI RAINIS

Korakora dulu melepas sauh
di senja seperti ini lelakilelaki akan turun
mengisahkan benua lain
di balik kabut mata anak pesisir

seperti pasir
anakanak berhamburan ke laut
mengejar kisah perahu tiang tinggi
layar buncit oleh angin
riuh bandar, bauh arak
dan keperkasaan datu

dari saman ke saman selalu megah
semegah batang tiang korakora
melabuhi semenanjung
dan jazirahjazirah

bauh sejarah itu
masih mengental di senja
pada jejeran anak tangga menuju pasir
dalam deru ombak pecah
di batangbatang bakau
di batangbatang sanubari
*) Rainis: Sebuah kampung di pesisir Pulau Karakelang, Talaud.
*) Datu: Pemimpin adat. Orang yang punya kesaktian.

ZIARAH ARANGKAA

ke sini
ke bumi yang di atasnya
langit selalu perkasa
dengung nanaungan
erang mata gadis
menyimpan bara
belum seabad moyangnya
bersimbah darah

di liang hatinya
nenek menyanyikan lirik kukumbaeda
tanah merah menyimpan panas
keberanian Larenggam
terpahat tak saja dilantai bumi samuderanya
juga pada detak nafas
menolak tunduk pada belanda
kerena tunduk itu berhala

pesisir tropis dengan bau garam
menganyam Arangkaa
jadi bendera
kini kau kibar di atas api
memanggang seruluh isi kampung
bertuah seperti gemerincing pedang
di telinga semua benua

patung lelaki itu tegak berdiri
mengisi kesunyian utara yang tiri
kecuali perempuan tua
setia mengziarahi
senja menyimpan api

*) Nanaungan : Sejenis gong untuk upacara adat.
*)Kakumbaeda: Syair menidurkan anak yang berisi berbagai kisah.


ANTARA KALAMA KAHAKITANG

antara Kalama Kahakitang ombak itu abadi
seperti ibu setia menjahit kenangan
perjalanan perahu dari mimpi ke mimpi

di depan, Awu raksasa berdebu
di belakang, Karangetang gemuruh
berapa abad arus ini mewujud kitab
kini kubaca elokmu, sejarah enam kerajaan
dimana laut adalah guru
tak saja mengajar lumbalumba berburu
juga keberanian hiu pelautpelautmu

lalu di seratserat air laut ini
bukankah matahari selalu menggambar bininta
membui menderu dalam geriapan suara tambur
dari para pemukul mengantar pemberani bertempur

di sini aku bertemu kekasihku
melati yang disemai pulaupulau
dengan bau asin menggarami hatiku
kini menjelma perahu sajak
memuat semangat
dimana gelombang tak pernah rentah
mengasah dada kita setajam tumbak

*) Bininta: perahu perang.

BURUNGBURUNG LAUT

burungburung laut berumah di hati nelayan
menggegaskan dayung memburu geriapan ikan
tak pandang angin buritan atau haluan
berpacu itu kemenangan

berapa ekor kau bawa dalam kisah sejarah
bahari tak sekadar dentuman meriam
samudera taman hidup nan elok
itu sebabnya genghona meluaskannya
seluas hati yang selalu sulit ditebak
selain dicintai tanpa menghitung jerih lelah
 juga makna

di jejeran pulaupulau Tatoareng
senja lebih megah dari sinar lampu kota
puisi Tuhan melelehkan tinta emas dikuas sayap burung
menggambar nun selalu berada di ujung nafas kita

pucukpucuk pulau
berayun di pucukpucuk ombak
di atasnya burungburung lihai berkejaran
memuisikan irama lebih tua dari pengetahuan kita
tentang  laut menggelegak itu,  semangat

*) Genghona: Ilahi
*) Tatoareng: Nama kecamatan pulau-pulau yang berjejer di selatan Sangihe.


MENGENANG BATAHA SANTIAGO

ia tak kembali dengan peluru dan bara
meski yang memerah di dadaku bernama darah
kisah boleh lisut di saku sejarah
tapi siapa mampu membuat semangat jadi tua

seperti keyakinan ombak terus memukul tanjung ini
mengabar pesta samudera tak pernah usai
merayakan kemenangan Batumbakara
baunya seperti melati
menenggelamkan beberapa armada musuh
tenggelam di dadaku yang rindu kobaran api
di wajah purnama
yang merondai teluk dan tanjung ini
dalam kisah moyang ini

tiang kayu dan temali
menggantung keyakinan
telah terpancung koyak oleh abad
namun pemikul jasad tak pernah lupa
betapa gagahnya langit menempah dia
hingga jangankan musuh, bumi pun gentar
tak mampu menguburnya
bukan pula liang lahat tak berterima
tapi ia lebih mulia dibanding seribu belanda

di hutanhutan manganitu
aku masih mendengar cericit burung
syairsyair perahu melalap jiwa pesambo
merayapi laut di selasar rumah raja
usang oleh saman
tapi ia tetap sebuah kalam

*) Bataha Santiago: Raja Kerajaan Manganitu yang tak pernah menyerah berperang dengan Belanda hingga ia harus mati dihukum gantung.
*) Bara: Pedang perang Sangihe
*) Batumbakara: Benteng Perang Manganitu, dimana Santiago meraih kemenangan penuh dan menenggelamkan beberapa armada laut belanda.
*) Pesambo: Pelantun syair Sasambo (Sasambo: puisi purba sangihe).


DALAM MANTRA TABUKAN

bukankah sejak tercipta
bumi langit tak berkelamin
entah kapan saman aklamasikan ia ibu
kini kubaca elokmu

saat kuhidu harum baitbaitmu kutemukan pohon
melebatkan hutanhutan ditakbirkan sasambo
hujan pun turun berbau perempuan
menuliskan api punya vagina dan agamanya

Fatimah, ia perempuan dan ibu
berlaksa hulubalang menyusui magma gunung
bersumbu di rahimmu
sebelum samudera menemukan buasnya
di gelombang taring hiu
dan cinta berpusar di dadamu

ketika kau tuliskan pula namaku
di wajah bulan bisu itu
laut menjadi seribu penjuru
mesti kurengku dalam sekali kayuh

*) Sasambo: Sastra purba sangihe.
*) Hulubalang: Panglima perang.

MENDAKI PUNGGUNG KALAMA

mendaki ruang renung
surga itu setinggi apa

bila lebih tinggi punggung pulau ini
bagaimana aku mendakinya

di bawah langit megah
samudera memancarkan kemilau
citacita anak pulau
menghijau di pucuk bakao

Aku pun menghidu bau masa silam dan kini
Batubatu hitam kokoh menopang pulau ini
hamparan kebun nenas berbagi manis
terkecap lida segetir raung kecuraman dinding tebing

di sini seorang lelaki memanjat batang kelapa
seperti menaiki tangga rumah
mungkin bila ada tiang setinggi langit
dipanjatnya langit, biar pulau tak bermakna sempit

gubukbuguk kecil berdiri di antara semaksemak tajam
siapa sangka surga di sana adanya
beratap cahaya
tertangkap jaring nelayan
dalam kisah melautnya

Tuhan ternyata ada  tak saja di benuabenua

*). Kalama: Sebuah pulau di kecamatan Tatoareng, Kabupaten Sangihe.

KETIKA AKU DI PUNCAK SALURANG

puncakpuncak bukit menjulang ini
memacak menara resik sasamboku
beberapa irama datang menenun panji
perempuan dan bocah menganyam laguan sendiri

laguan itu memerahkan Rimpulaeng
di mana di sini setiap doa punya daun
                        setiap irama punya tarian
                        setiap ketukan punya jiwa

dari ritme ke ritme lengking sasambo mendaki
mendaki ketinggian Lampawanua di pucuk rimbah
di puncak hati penari perempuan agung membangunkan laut
menyambut langit turun menahbiskan moyang

ketika aku berdiri di puncak Salurang
mencari jejak naga dumalombang
yang mengantar sepasang kasatria pendiri kedatuan ini
di kejauhan, kelokan teluk memahat ekornya

di sasamboku kepalanya menegak dengan semburan api
lava yang ditulis penyair, diancungkan pemberani
pada setiap puisi dan mata pedang yang bergemerincing

tapi kita tak mungkin sekadar mengenang kesuburan
tanah harus di olah menjadi kebun
laut harus dikelola menjadi ikan
hingga yang resik pada gemuruh pulau, itu kemaharayaan

*) Rimpulaeng: Nama lain kerajaan Tabukan.
*) Lampawanua: Negeri di langit.
*) Dumalombang: Ular besar (Naga).



MANADO BOULEVARD

estudio brillante bau spanola
di sini dengan betis muda
wajah putih kemboja
menantang ia gairah fasifik yang liar

ketika bulan tak melupakan malamnya
aku menyusuri boulevard
menjinjing nada
disisahkan neck gitar
bisakah kukatakan;
“aku pencinta?”

langit seperti paha
melelehkan gerimis
dan bau asin
binar mata berkeliling
menanti cabikan tua
peperangan menyejarah
ketika kota ditisik
sebentuk jaring labalaba

di sini menaramenara tumbuh
memancarkan lampu abad
ombak fasifik yang kini
tak pernah pulas
terus mengguruh
dalam detakan detik di lenganku
selalu ingin
meraih ujung rambutmu

sambil berbisik:
“Cinta senantiasa matahari
tak mendustakan terangnya
pada warna mawar yang mekar di bibirmu”

ketika tiba pada ekstase hujan 
air mata mendekap malam berkelindan itu
serupa taman menyingkapkan kecantikannya
pada sebuah sajak menjelma sebila pedang

darah menetes di ujungnya
adalah darah bulan tertebas berkalikali
lalu rebah di kasur putih, tanpa raung
kecuali cabikan yang ihklas diterimanya
sebagai kecupan

MENTAWAI
di suatu hari yang muram
Umauma lantak bersama ratusan mayat
saat itu baru kubaca sejarah Sekerei menjagai laut Mentawai
airmatanya berhamburan ke udara seperti buibui tua di pucuk ombak

ini duka Sipora, Pagai dan Siberut dan dukaku
tsunami berbagi kisah manusia tetap saja manusia
Tuhan yang Itu, selalu rahasia. yang mulia
mengurai sejarah panjang Tua Pejat yang tua
di rinai airmata Mintaon'peta migrasi bangsabangsa

mari berbagi airmata di tanah duka ini
biar Mentawai kuat melafal Arat Sabulungan
syairsayir Taikaleleu di keharmonisan alam
dan nenek moyang  gagah tetap menguncupkan daun
buat puja Tai Kabagat Koat dan Tai Ka Manua
di jantung peradabannya

di sini,
pemburu membuat penatoan seperti matahari
dalam sakramen sikerei dan rimata, kerena lelaki mestilah lelaki
Ia berangkat dari Sipatiti hingga John Crisp menulis sajaksajak
ombak Poggy buat peselancar bertemu dunia
laut mendidih di sejarah moyang Mentawai

para lelaki dan primadona menari Turuk Uliat
meragakan gerak binatang alam
“uliat bilou, uliat manyang
turuk pok-pok, galagau”

mari menari
di gelombang pasang yang menghujam
biar Mentawai terus bergerak
dalam bebunyian syairsyair keindahannya


IRONI DARI TANAH HITAM

adikku, aku ingin berbagi sembab denganmu:
di sini lelaki dengan bahasa gerak tubuh Marokaahe menari
orang Marind, sejarah tua kapal uap di sungai Maro
mengusung gasing Izakod Bekai Izakod Kai
seperti resital indah kisah surga di tanah hitam

harusnya waktu berada dua jam di masa depan
di Wamena, dan mata cekung orang Dani.
rasanya mundur ribuan tahun
ke belakang membawa Jayawijaya Adikku......
di Obiah ada tempat acara purba bakar batu
seorang Onduwafi berdiri di puncak menara kayu
mengintai jauh di kesuraman Papua
ia berteriak memanggil para lelaki dengan panah dan tombak
melontarkan bebunyian ritmis dari mulutnya
mengekalkan sajaksajak langit dan tanah muram

pria berkoteka, pilamo di pintu gerbang
umma berjajar di sampingnya
perempuan dan anak-anak berdandan
melumuri tubuh dengan lumpur
menyanyikan lagu terdengar seperti masa lalu

kamupun akan tahu, di sini adikku...
Sang Onduwafi akan menyuruh dua orang pemuda
membawa seekor babi
pemanah tua menembakkan sebuah panah kayu
menusuk jantung buat alirkan darah ke udara
seperti suara nyanyian purba penduduk nan riuh
semakin keras dan cepat di nguikan babi merenggang ajal
sepasang pria dan wanita muncul
mereka berlarilari melepasan roh di tarian mistisnya


pernahkah kau baca hot plate purba
babi dan hipere terpanggang di atas tumpukan batu panas
ditahan tumpukan daun segar dan rerumputan basah
yang menutupi tungku tradisional

beginilah aku berbagi denganmu di senyap Papua:
Pepera seperti prasasti sunyi pusaka terlara

di sini engkau dapat menyaksikan Musamus
gundukan tanah rumah rayap yang tinggi
Kangguru, tikus pohon. Kasuari, Rusa
pada piguru usang riwayat penjarahan dan perusakan

lalu kau dengar adikku...
di Teluk Wondama, ribuan pengungsi banjir Wasior
apa yang mereka makan di ladang airmata itu
sungkawa gunung keramat
air turun dari tanah tersayat
mengirim ratusan jiwa sebagai pesan
di sini luka mengangahkan Papua
berdarah seperti babi yang tertikam anak panah

adikku, Papua adalah ironi
kemiskinan simiskin di atas tanah berlimpah ruah sumber daya alam
tambang emas dan tembaga terbesar di dunia
lapangan gas dan hutan biodiversitas, plasma nutfahnya luar biasa.
tapi Onduwafi yang berdiri di puncak menara kayu
berbagi airmatanya denganmu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar