Minggu, 17 Februari 2013

Orang Sitaro, Nilai Budaya dan Sejarahnya


Term of Reference (TOR)

Oleh:  Iverdixon Tinungki



Nietzsche, sang filsuf eksistensialis pernah berujar bahwa manusia bukanlah makhluk natural tapi kultural. Mengapa? Karena bagi Nietzsche, manusia bukanlah makhluk definitif, melainkan makluk yang belum terbentuk sehingga ia harus terus-menerus menciptakan dirinya dan dunianya. Proses penciptaan ini dituangkan dalam rupa-rupa dimensi. Selanjutnya, dimensi itu mendefinisikan dirinya sebagai “media” dan “simbol” tertentu. Dari apa yang dikreasikan itulah terpancar keluar hasrat “ekspresif” dan daya-daya “kognitif” manusia. Inilah pembeda khas manusia dari binatang. Sebagai makhluk budaya, tentu setiap orang tergelitik untuk bertanya tentang genealogi kultur, latar belakang kemunculan kebudayaan-kebudayaan.
Dalam konteks inilah lima abad kerajaan Siau (1510) dan Kerajaan Tagulandang (1570) harusnya menjadi isu menarik dalam berbagai diskusi kebudayaan dan sejarah orang-orang Sitaro masa kini. Getirnya, isu kebudayaan dan sejarah hampir menjadi isu marjinal di Kabupaten Sitaro pasca daerah kepulauan ini terbentuk menjadi daerah otonom. Padahal proyek modernitas sebuah daerah tak bisa lepas titik tumpuannya pada referensi kultural dan historiografi hidup masyarakatnya. Orang-orang Sitaro masa kini cenderung teralienasi dari sejarah dan kebudayaan lokalnya sendiri. Lantas bagaimana orang Sitaro menginklinasikan arah pembangunan daerah kepulauan itu tanpa horizon pinjakan sejarah dan budaya yang kokoh. Siapa orang Sitaro? Bagaimana spiritisme hidup orang Sitaro? Bagaimana perilaku dan moralitas orang Sitaro? Seperti apa local wisdom Sitaro? Rentetan pertanyaan di atas semestinya menjadi kegelisahan yang patut mendapatkan jawaban segera sebagai landasan pijak  bagi perumusan kebijakan pembangunan daerah itu.

Sejarah dan kebudayaan daerah bagi orang Sitaro masa kini   harus menjadi akar yang kokoh dalam pembentukan karakter dan jatidiri  menuju teraihnya kesejahteraan masyarakat daerah kepulauan itu. Kenyataannya, terpuruk menjadi sekadar tradisi memuja makam-makam keramat. Di satu sisi kita mengagung-agungkan nilai-nilai sejarah budaya dan kesenian tradisional sebagai aset kebudayaan daerah yang terwaris dari sejarah panjang kehidupan orang-orang sejak masa lalu. Di lain kenyataan, eksistensi kehidupan kebudayaan daerah sudah layu. Nyaris mati atau tidak terpakai lagi dalam kehidupan masyarakat kita. Kenyataan pahit itu makin didukung pengaruh globalisasi dan sikap generasi masa kini  yang makin rapuh menerima arus kebudayaan asing dengan jalan telan mentah.
Sejarah dan kebudayaan daerah yang sebenarnya tempat orang Sitaro dilahirkan, dipelesetkan dalam sinisme mistifikasi tak patut: “kebudayaan daerahku ketinggalan zaman.” Sebuah stigma anakronistik terhadap kebudayaan daerah sendiri. Yang terjadi selanjutnya, kebanyakan orang mulai menelantarkan nilai-nilai luhur sejarah dan budayanya. Di sini, nilai-nilai sejarah dan budaya daerah yang mengedepankan berbagai nuansa filosofis (kebijaksanaan) hidup terabaikan. Sikap yang merendahkan sejarah dan kebudayaan daerah/tradisional tampak sebagai sebuah ironi.  Hal ini tampak dalam ketakacuhan terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal. Sering muncul penilaian miring dalam kemasan komentar sarkastik yang merendahkan kebudayaan daerah. Ketika orang tua menasihati anak-anaknya dengan petuah-petuah leluhur, banyak kali anak-anak menolaknya dan mengatakan kuno, gak gaul, dan out of date. Tradisi-tradisi warisan masa lampau di Sitaro bahkan di Nusa Utara hanya dijadikan sebagai sebuah artefak, menjadi pajangan museum untuk sekedar bernostalgia tanpa relevansi dengan kehidupan generasi saat ini. Muncul juga olok-olokkan ”Dunia Timur itu inferior dan irasional. Dunia barat lebih rasional dan superior. Maka, alangkah lebih baik berkiblat ke dunia barat”
Sebuah kutipan menarik dari gagasan apologetis Levi-Strauss mengedepankan: “kebudayaan tradisional adalah khazanah kebijaksanaan dan patokan etis bagi umat manusia dewasa ini.”  Untuk tidak menjadikannya sebuah ironi dan lelucon, tapi bagaimana memulai sikap menghargai, menggali, menemukan, dan manaruh respek yang tinggi terhadap aneka khazanah sejarah dan kebudayaan lokal kita yang terangkum dalam serentetan sejarah panjang kerajaan-kerajaan di masa lalu, religi, mitos, bahasa, seni, sastra, dan teknik yang berurat akar di jazirah negeri kepulauan ini.
Kembali mereferensi sejarah dan kebudayaan daerah adalah sebuah imperatif-persuasif aktual generasi Sitaro masa kini. Sejarah dan kebudayaan daerah dimaksud melingkupi segala tradisi konstruktif (local wisdom) yang dihayati oleh para pendahulu demi perkembangan kemanusiaan dan kemajuan peradaban, diantaranya: budaya Laut “Sasahara”, budaya Darat “Sasalili, heroisme patriotik dan nasionalisme masa kerajaan-kerajaan hingga ke masa perjuangan kermerdekaan Indonesia. Tanpa tradisi, menyitir Rendra, “pergaulan bersama terkacaukan dan kehidupan manusia biadab.” Berakar dalam kebudayaan sendiri bukanlah dimaksud untuk membentengi diri dari benturan budaya Barat yang kian mengglobal, tetapi sebuah upaya penyeimbangan demi sebuah filter bagi kebijaksanaan hidup.
Sejarah panjang yang terentang selama 5 abad di Sitaro itu tak saja meninggalkan jejak artefak historis, juga mewariskan mentafak nilai yang dapat diinklinasikan dalam strategi pembangunan daerah yang belum lama mengalami pemekaran menjadi kabupaten ini.  Masyarakat di daerah ini tentu mengimpikan suatu raihan peruntungan dan capaian-capaian kesejahteraannya, baik dari sisi social kultural, ekonomi, politik, dan keamanan, dimana hal tersebut tak mungkin terwujud tanpa desain kebudayaan yang mereferensi masa lalu sebagai akar karakter dan jati diri masyarakat.

Tak hanya di Sitaro, di  Indonesia pada umunya,  polemik kebudayaan semacam ini sudah bergema lama dalam  dinamika politik pencarian akar kebangsaan Indonesia. Salah satu polemik serius mengenai disain kebudayaan pernah muncul dari suatu perdebatan sengit antara Sutan Takdir Alisyahbana, dengan rivalnya (Ki Hadjar Dewantara). STA yang menganjurkan modernitas di Indonesia perlu belajar dari Barat saat itu mendapat tantangan keras dari Ki Hadjar yang menganjurkan masa lalu bangsa Indonesia tidak dilupakan sebagai referensi kultural di masa kini. Maka membentuk Sitaro seperti juga membentuk Indonesia dalam konteks saat ini masihlah perlu dilihat sebagai, dalam bahasa Jurgen Habermas tentang proyek modernitas, “an unfinished project”. Kecenderungan seperti ini setidaknya juga harus nampak dalam diskusi mengenai eksistensi orang Sitaro dan pembangunan Sitaro saat ini.
Salah satu persoalan yang saat ini terus menjadi perdebatan serius adalah kecenderungan antara menjalankan “unifikasi” kultural dan kecenderungan multikultural. Lepas bahwa unifikasi kultural tidak setelanjang seperti kebijakan “diskriminasi”—untuk mengukuhkan eksistensi budaya tertentu. Sebagaimana kita ketahui, wacana globalisasi tidak saja membuka kemungkinan orang untuk menerima perbedaan kultural, namun kecenderungan Barat yang monokultural juga inheren dalam proyek globalisasi. Itulah sebabnya, dalam tesis Benjamin Barber, praktik globalisasi yang saat ini memunculkan homogenisasi budaya Barat secara bersamaan akan memunculkan musuh utamanya: glokalisasi.
Di negara Barat sendiri kecenderungan negara bangsa yang mendorong kearah unifikasi kultural nampaknya sudah dilawan keras oleh mahzab Multikulturalisme. Politik kewargaan di dalam satuan negara bangsa gagal mengakomodasi keanekaragaman warga dengan latar belakang kebangsaan yang berbeda-beda. Dengan menempatkan posisi kebangsaan berada dalam jangkar politik negara, seluruh warga negara diikat ke dalam nasionalitas kebangsaan yang seragam. Karena di dalam gagasan negara bangsa (nation state) ikatan politik secara bersama-sama juga patut dianggap sebagai upaya untuk mengikat warga negara ke dalam satuan budaya atau identitas national tertentu yang disemangati modernitas dengan individualisme liberalnya. Dengan begitu negara bangsa nampak mirip sebagaimana diutarakan Gellner, bahwa ia hampir menyerupai suatu wadah baru, yang dengannya secara otomatis akan melengserkan seluruh artefak masa lalu secara radikal. Gerak pendulum semacam ini tentu saja diakui sangat linear, dengan mengajukan asumsi bahwa ide-ide baru invidualisme liberal ini dengan sendirinya akan berkembang bersamaan dengan proses industrialisasi yang hampir tidak dapat ditolak oleh semua bangsa di dunia.

Di tengah benturan peradaban seperti ini bagaimana menempatkan sistem ke-Sitaro-an dalam konteks pergumulan seperti ini? Disain kebudayaan seperti apakah yang mesti kita rakit sejak dini untuk pada satu sisi mempertahankan eksistensi budaya masyarakat Sitaro namun pada sisi lain dapat terus menciptakan kebhinnekaan sebagaimana telah dianggap sebagai ciri budaya di Nusantara?
Persoalan ini telah rumit ketika masa pemerintahan Orde Baru sama sekali tidak memberikan dorongan untuk mengangkat persoalan ini. Pemerintahan Pasca Orde baru pun lebih banyak disibukkan oleh usaha membangun sistem yang banyak mempertahankan status quo. Dan kondisi ini terus berlangsung hingga saat ini baik dari tingkat pusat hingga ke daerah-daerah Kabupaten Kota.


Forum Seminar Kebudayaan ini  akan mencoba membahas problematika di atas. Diharapkan peserta seminar akan mendapatkan provokasi pikiran baru untuk:

• Mendiskusikan kembali hubungan antara kebudayaan dengan ide ke-Sitaro- an sebagai “an unfinished project”
                                                                                                         
• Melihat hubungan antara Sejarah, kebudayaan dan kekuasaan yang saat ini tengah dibangun oleh modal (ekonomi, pengusaha), negara, dan kelompok-kelompok sipil di Sitaro.

• Merefleksikan situasi kontemporer, baik pada level mikro maupun makro, konstelasi antara pemerintah daerah, kapital dan geliat-geliat rakyat di tingkat akar rumput sebagai agen dinamisator kebudayaan.


VISI :
Seminar Budaya ini mempunyai visi terwujudnya ketahanan nilai-nilai sejarah dan budaya lokal, dalam upaya memperkuat karakter dan jadidiri bangsa menuju kesejahteraan masyarakat.
  1. Meningkatkan pemahaman masyarakat dalam melestarikan nilai-nilai sejarah dan budaya.
  2. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya pelestarian nilai-nilai sejarah dan budaya sehingga memiliki ketahanan terhadap pengaruh budaya global yang bersifat negatif.
  3. Meningkatkan penggalian, pengembangan, dan pelestarian karya budaya lokal.
  4. Meningkatkan kemampuan pengelolaan karya budaya lokal dalam rangka pelestarian, pengembangan, perlindungan maupun pemanfaatannya.
  1. Peningkatan pembangunan karakter dan jatidiri orang Sitaro.
  2. Pelestarian sejarah dan nilai tradisional.
  3. Perlindungan masyarakat adat.
  4. Pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi serta ker-jasama dengan instansi/lembaga terkait guna pengembangan  apresiasi  kesejarahan dan nilai budaya.
  5. Pengembangan sistem dan pengelolaan data dan informasi, melalui pembuatan database dan website tentang kesejarahan dan budaya Sitaro.
  1. Meningkatkan pengelolaaan karya budaya lokal, terutama yang bersifat intangible.
  2. Meningkatkan pemahaman dan aspirasi masyarakat tentang nilai sejarah dan budaya local.
  3. Meningkatkan kerjasama dengan stakeholder di wilayah Sitaro dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan nilai sejarah dan budaya.

1 komentar:

  1. mohon, sangihe tetap dipertahankan menjadi bagian utuh dari awal sejarah jangan dipisahkan.

    BalasHapus