Kamis, 29 September 2011

NEGERI- NEGERI ASING (Puisi Iverdixon Tinungki)


di Reinbeck hujan tak deras di rambutmu
ketika kau kibarkan kenangan kota kecil
tentang cinta menantimu
konsermu pasti indah di Pauli
stansa-stansa mengalir dalam lirik lantai pirus
santa santu mengabarku di rinai gerimis

CERITA DARI ST. MARIEN (Puisi Iverdixon Tinungki)


cerita sepotong doa St Marien
sebuah jejak melepuh di uap salju
rumput-rumput diam, beku
malam tanpa igau, luruh

“lalu ada yang memanggilmu dengan ucapan luka
jalanan tanpa tujuan, tanpa tuan
ia merapat mendekap
bongkah getir dalam air mata”

THE PRAYER (Video)

THE LORD’S PRAYER (Video)

HOMBANGU PEBIAHENG ( Video Lagu Sangihe)

IRO KASIANG (Video Lagu Sangihe)

SOMEWHERE (Puisi Iverdixon Tinungki & Video)

Aime aku tak percaya waktu adalah eraser
pagi ini aku dibangunkan "somewhere"
lagu yang selalu kau nyanyikan pada setiap natal untukku
anak kita menyanyikannya dengan suara malaikatnya

ia sudah besar, sudah bisa bernyanyi sepertimu
seperti engkau yang pernah berbagi surga
ia menyanyikan surga untukku

VIDEO KEINDAHAN YANG PUITIK

Rabu, 28 September 2011

VIDEO GUNUNG API DI BAWAH LAUT SANGIHE

MAJELIS BADUT BIRU PIRUS (Cerpen Iverdixon Tinungki))

Angela, bukan malaikat. Tapi, kecantikannya sempurna. Kulitnya putih natural. Layaknya kulit gadis-gadis tanah Minahasa. Sesungguhnya tak perlu bedak pemutih atau lulur. Sebab, kulitnya lebih putih dari semua bahan pemutih.
Suatu ketika, pada umur belasan tahun, Angela melintas di pematang sawa milik ayahnya yang baru di tanam, dan masih digenangi air. Bayangan betisnya tampak merayap seperti ikan leleh putih menyelam ke dasar sawah yang masih penuh lumpur. Pada ketika yang lain saat umurnya masih juga belasan tahun, Angela ikut lomba pancing di pinggir danau Tondano. Angin danau yang memainkan anak-anak rambut Angela, kadang-kadang mengebas kuat hingga rambut berwarna mayang jagung itu pias ke belakang, dan lesung pipinya terlihat seperti telaga kecil yang memancar eneka rona.

TUAN RESIDEN JELLESMA*) (Puisi Iverdixon Tinungki)

sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1677
di kirim ratu Belanda jadi hantu

sejak itu, negeriku dilanda banjir peperangan
seakan kutuk menjelma dongeng darah
penolak bala
hanyut dari Eropa
bersengketa karena rempah

PENYAIR DAN SANG CINTA (Puisi Iverdixon Tinungki)


telah kurekatkan tanah retak itu
buat jalanan kata sampai pada cinta, pesan hujan
kepada penyair yang gelisah merangkai rindunya
di sejumlah huruf dalam imajinya

telah kupendarkan cahaya di lorong itu
buat syair bertemu salam hangatnya pada cinta, pesan bulan
kepada buat penyair yang teriris nestapa
berterbangan di atas kuburan kenangannya

KOREOGRAFI BATIN 3 (Puisi Iverdixon Tinungki)


batinku menarikan aphorisma
dalam koreografi letih
pada senja memburam
di garis apokrifaku
pada sketsa arkaismu

aku tak punya apologia
untuk terus meraba detak jantungmu
granit hitam menyembunyikan bayang mawar
di labium cahaya
o...selamat jalan!

SENARAI CAHAYA (Puisi Iverdixon Tinungki)


berhenti berkidung bila ritme retak di hatimu
syair yang ingkar patahkan saja, untuk apa?

lalu buat apa kau jahit langit
bila sobeknya terlalu luas bagi tanganmu mengapit harap
sedang anak merpati mesti bertarung dengan cangkangnya
agar bisa menengok pagi yang tiba di ujung paruhnya

KOREOGRAFI BATIN 2 (Puisi Iverdixon Tinungki)

maukah engkau berumah di airmataku
hingga hujan tersenyum di atas ladang langit
yang dengan susah payah kita bajak
buat persemaian riang

meski surga membuat tissue seluas doa
maukah engkau tak mengucap sepatahkata
karena hati adalah makna yang punya tafsir sendiri
yang dibisikan Tuhan sebelum kita sendiri mengerti

DUNIA SELALU PUNYA SAYATAN PUNYA AIR MATA (Puisi Iverdixon Tinungki)


(Ode Sang Pahlawan Sofie Kornelia Pandean*)

Waktu mengulang tiga zaman dari jejak tua
menitmenit jam merindu dentum pukauku
Atas bedil dan gerai rambut mengibas kebranian
Weker tua tak rapuh memutar zaman dari dikau

Itu, merah putih berkibar, memanggil
Dari dunia yang selalu punya sayatan, punya air mata
Ketika sumpah setia dilafal menjadi bunyi gentah
Memanjang pada gurat tanah air dan sujud doa

MINAMATA MINAHASA (Puisi Iverdixon Tinungki)


Buyat oh buyat
Buyat oh buyat
Minahasa minamata
Minahasa minamata
e.. royor…
e…e… royor!
Celana color, pikiran kotor
Sana sini masuk kantor
Sambil bawah-bawah kopor
Selalu ngompor-ngopor
Minahasa jadi kotor
e… royor
e…e…royor!

Segalon mercury ditumpahkan
Segalon sianida ditumpahkan
Brur…tanah minahasa menggigil minamata
Minamata merasuk minahasa Brur
Ikan-ikan meloncat sakit
Gang-gang karang dan kehidupan blingsatan sakit
Minahasa sakit Brur…

Selasa, 27 September 2011

TAMAN BUNGA (Puisi Iverdixon Tinungki)


menomeno maki sembah

rahasia langit air murah
huabe delapan mata angin
menumpahkan minyak ke lautan, ombak menepi
dan gunung menurunkan klikitongnya

bergemuruhlah lembahlembah kedatuan siau
membangunkan ingangingan dan ompung
merasuki getaran tagonggong ditimpa nanaungan
melintasi jalan desa menuju taman bunga kerajaan

DARI PENYAIR BUAT CINDERELA (Puisi Iverdixon Tinungki & Instrumen)


banyak orang menyebut aku penyair. padahal aku tak punya
kata untuk meyakinkan dan mempertahakan dia. aku bertemu
dia dalam metafora tanpa kata. ia pun terlalu mulia bila kuperangkap
dalam imaji sebuah karya. hujan telah mengabadikan irama
kesedihannya dalam hatiku setiap kali ingin kuraih bayangnya
yang senantiasa lenyap seperti fatamorgana. tapi aku tak pernah
berhenti mencari dia di jalanan itu hingga pada sebuah etalase
di tepi mimpi. di sana moga aku bisa memeluknya
meski tak bisa memilikinya.

Senin, 26 September 2011

SAJAK-SAJAK PERI CAHAYA (Puisi Iverdixon Tinungki & Instrumen)


PERI CAHAYA (1)

tak lisut kenangan itu
seperti sayapsayap bercahaya
berkelana
di langit bisa saja ia bermuara

begitu bila kamu bertanya air
kemana kau pergi
ia hanya mengalir
mengikuti kecuraman bumi

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (5)



Tingkaru*)

aneh kelakuan binatang satu ini
mengangguk bijak setenang langit
seselidik buaya memancar aura kebuasan
lidah berliur selicik biludak

tapi bukan ia binatang berbahaya zaman hawa
seperti adam perawakannya lemah penuh sahaja
retakkan pohon tua rumahnya, sekadar serangga makananya
lucu ia ditanya segala, karena jawabnya mengangguk saja

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (4)


Ritus Toar Lumimuut *)

Opo Wananatase…

Laut utara berkisah Emung
berharum bunga sembilan penjuru
menguntum doa Karema 
di angkaangka keramat

senja naik senja turun
bulan naik bulan turun

e, royor…

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (3)


Watahi Maemuna*)
pucukpucuk api
nyalakan cinta puncak tinggi
tercurah lidalida lava membara
merengkuh laut menjadi kabut hujan
dahan-dahan pala
karangetang seperti paporong kemegahan
dalam hikayathikayat cinta kedatuan;

dan kora Tabukan bersinggah di siaw
dikawal bininta pasukan datuk
itu armada Delero sepulang menjemput Maemuna
putri Tabukan yang berubah telur
buat menolak tipuan cinta sultan Maluku

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (2)



Raja Katiandagho
dan Sultan Mangindano

semakin tinggi ilmu,
semakin tinggi kesaktian
sultan pun menantang uji kesatriaan

Sultan Anlik menculik Nanding permata Siaw
dan pangeran Pahawuateng
ia menantang kesaktian datukdatuk selatan
apakah laut sudah menjadi guru

tantangan bersambut betapapun mangindano bukan musuh
Raja Katiandagho  berangkat dengan kora Bitapapero
empat puluh dua pendayung membawa kebesaran Manganitu
bukan mengganyang perompak Sulu
tapi beradu kasatriaan di istana mindanaow

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (1)

1


Puisi Sejarah Nusa Utara

Iverdixon Tinungki


Aku Laut, Aku Ombak *)

taufan selat Basilan
mengantar mahkota enam kerajaan
bersusun tujuh abad
berbunga sastra ombak

sajaksajak hutan air, bau manuru
rambut perempuan di pangkal pedang
lunas perahu ditebang  laut penuh

api kubah langit
melontarkan berjutajuta panah hujan tropis
menembus serat kain keangkuhan
yang dikibarkibar orang di daratan

PADANG ILALANG CINTA (Puisi Iverdixon Tinungki & Instrumen)


Bumi berputar di matamu 107.218 km perjam
Dan cintaku menua di pendaran korneamu yang indah
Dimana Tuhan menyusun cinta seperti lapisan udara
Buat larik sajak penyair yang menuliskan rindunya

Lalu 4,6 milyar tahun pucukpucuk ilalang
menjalarkan akar manisnya di khatulistiwa
membuncitkan chimborazo seakan langit tak jauh
buat penyair memasang bintang dari pesan syairnya
bagi kekasih yang setia menanti salam itu di siuran angin

BUKAN (TAPI) PUISI (Puisi Iverdixon Tinungki)


Di tahun 1915 Albert Einstein mengatakan
Jagat Raya mengembang
Kosmolog pada ga percaya
14 tahun kemudian Edwin Huble yakin
galaksi di luar Bimasakti menjauh dari bumi


di observatorium California Mount Wilson mereka menghitung
semakin jauh suatu galaksi semakin cepat dia menjauh
Sebuah galaksi berjarak 10 milyar tahun cahaya
akan menjauh dengan laju 200.000 km/detik

GADIS MANADO (Puisi Iverdixon Tinungki)


Aku mencarimu di antara tumpukkan bangunan iitu
aime di mana kau sembunyikan nafasmu
jalan menikung laut tertimbun
di mana kau taru noktah yang dulu pada nada malam kita rindu
saat rambutmu keemasan di puncakpuncak syair Celine

aku telah menyusun sajak ini berkalikali, dan runtuh berkalikali
seakan waktu menjadi penat mengeja ritme Habanera
kakikaki kecil menghentak anggun dan liar

TELUK DAGHO (Puisi Iverdixon Tinungki)


berapa puteri yang mandi di sini
hingga lembah dan gunung berlapis menyimpan wangi

bakao air payou
kerikil cakang siput
mensajakkan cahaya
hingga teluk sewarna perak
dalam kitab kemaharayaan
kedatuan Manganitu

TELUK TAHUNA (Puisi Iverdixon Tinungki)


bangau itu telah bergenerasi menjagai teluk
seperti sajak rinduku padamu
sejak zaman kora beterbangan ia
mengabadikan kemegahan cekukan lembah Awu
di mana doa dan nafasmu bersimpuh

MENANTI MAHONI BERTUMBUH (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Seusai menanam sebatang mahoni, kulihat mata Dian digenangi air. “Kutitip diriku di pucuk mahoni ini kak Pra. Jika suatu ketika kau rindukan aku, datanglah ke mohoni ini dan aku akan menjumpaimu dalam kenangan,” ujar Dian lirih. Senja masih membentang seperti selembar kain emas di langit di atas kaki gunung Piapi ketika aku tak tahan lagi ingin memeluknya. “Aku selalu ingat pesanmu. Aku selalu ingat…Ingat dan takkan kulupa,” bisikku di telinganya. “Kukira kita telah menitipkan keabadian asmara kita di sini, semoga rasa asmara ini selalu di sini, dan memanggil rindu ke sini,” katanya lagi.

MEMBURU IMPIAN DI CEROCOK (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Beo. Aku belum pernah ke kota itu. Apakah di sana ada cerocok kapal karam, dengan gadis beraut sebening langit menantiku? Apakah cinta dapat berisyarat dari wilayah kegaiban mimpi? Ataukah memang benar kata Kahlil Gibran, bahwa cinta memiliki tenaga memanggil, dan seseorang tak berdaya kecuali luluh dan pasrah mengikuti panggilan cinta?

DI BAWAH GERIMIS KOTA BEO (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Aku masih berdiri di cerocok bekas kapal karam ketika gadis itu lewat di jalan sempit di hadapanku. Tubuhnya semampai dengan sinar kecantikan putri desa nan natur tanpa pernik. Tak ada Anyelir dan hiasan lain di kenakannya. Tapi…oh Tuhan…dari debu apa Kau ciptakan keindahan di wajah perempuan itu? Sesaat ia menoleh kearahku. Tatapan itu secepatnya memberi degupan indah. Dari celah-celah daun Ketapang aku masih melihat rambutnya dikebas-kebaskan angin yang membawa gerimis, dan sekali ia menoleh ke arahku, kemudian berlalu.

GUNDE *) (Puisi Iverdixon Tinungki)


gemerisik berbisik bayu wewangian lima perawan
gemulai sambutan bagi tamo kerajaan
lambang kehormatan tak habishabisnya
agar negeri aman dari kutuk dan kekhilafan

gemerisik berbisik bayu wewangian tujuh perawan
gemulai sambutan bagi pengantin suci pualam
lambang kehormatan tak habis-habisnya
agar turunan terbekahi kearifan dan kecakapan

TALAUD *) (Puisi Iverdixon Tinungki)

 
puncak piapi menyimpan rahasia hutan
magma gunung telah lama mati tertimbun humus
melecutkan pucuk kayu hitam dan besi menjejar langit
dalam barisan pohon, batang rotan dan semak pakis
bertempur seperti serdadu kelembaban
mengalahkan angin kering melayukan urat

MAMA O EMAK (Puisi Iverdixon Tinungki & Video)

Di sayuran yang kau masak langit menjadi tinggi dan luas
Meski tak kujangkau tapi hatiku melihatnya . bahwa Tuhan di sana
Memainkan harmonika pada senyum dan cemberut kau bagi setiap pagi
Pun ketika aku mengaso, orkestraNya di nafasmu. Kau mendoakan esokku

Sanggar Kreatif (5)

Sanggar Kreatif (4)

Sanggar Kreatif (3)

Sanggar Kreatif (2)

Sanggar Kreatif (1)

EMPAT WAYER (Puisi Iverdixon Tinungki)

hidup sepanjang lagu melerai letih sunyi
sepanjang doa diri melepas beku hati
bertukar pandang langit tiada berbatas
menghentak dalam rentak nyanyian bebas

mari menari, menari mari menari
mari menyanyi, menyanyi mari menyanyi
langka sama berpasangpasangan
melepas beban digantang badan

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (9)


BAGIAN : X


Kesaksian Keempat
(27)
Meria Arestina, wanita cantik itu tak lagi segairah dulu. Aku masih ingat kenangan-kenangan manis dan keindahan yang terpancar dari wajah istriku itu saat kami di Cotabato.  Nyonya Argava pun memujinya, sebelum wanita itu kemudian menjadi besannya. 

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (8)


BAGIAN : VIII

Kesaksian Kedua


(22)
            Di lapangan Naha, langit begitu terik. Kami serupa Romusha. Selalu demikian setiap harinya. Sejak subu hingga pukul lima petang kami bekerja.  Bekerja tanpa kebanggan. Kecuali penghinaan dan tekanan fisik. Beberapa orang telah menyelinap ke rerindangan pohon-pohon di pinggir lapangan. Panas begitu menyengat. Sejak bekerja di sini, kulitku kian melebam. Tapi untuk apa memikirkan kulit? Sejenak aku menyelinap ke rerindang pohon Nangka, tak jauh dari timbunan balok-balok kayu Linggua. Rasa sejuk langsung menyerangku. Rasa teduh memang menjadi mahal di sini, di lapangan penghukuman ini.
Sejak pagi tadi, kami bekerja menyelesaikan fasilitas gudang bandar udara itu. Sasinduan masih asyik dengan pikulan baloknya. Ia tertatih melintas ke tepi lapangan tempat penimbunan kayu yang siap digunakan. Tak ada bunyi burung, meski kawasan ini terbilang masih belantara. Di langit beberapa ekor elang yang kepanasan hanya sesekali keluar dari rerimbunan pohon Kenari hutan.

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (7)


BAGIAN : VI

September 1974

Dendam Yang Mulai Berdaun

(18)
Empat bulan kemudian.
Di Ganalo, hari itu aku menyempatkan diri mampir di rumah sahabatku Nixon Andere.  Lelaki itu beberapa kali datang ke rumahku di Cotabato, ketika aku masih bekerja di sana. Aku memang sempat menolong dia membuka jaringan perdagangan dengan beberapa kawan di Filipina. Akhir-akhir ini aku tahu usahanya sedikit merosot. Tetapi ketika aku dalam belitan kesulitan seperti sekarang ini Nixon Andere tak pernah lupa menolongku.

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (6)


“Kau mau membunuh seseorang?”
“Penghianat perjuangan itu harus diakhiri,” katanya dengan suara cukup bergetar. Kuserahkan senjataku padanya. “Aku minta kau hati-hati. Apalagi kakimu yang pincang itu,” pesanku.
Setelah agak dekat, ternyata lampu itu dari sebuah gubuk yang tidak begitu besar. Kira-kira lima puluh meter dari gubuk itu, ia memintah kami berhenti. “Kalian berjaga-jaga di sini saja,” katanya.
Dengan kakinya yang terseok ia terlihat mengendap-endap mendekati gubuk itu. Beberapa saat kemudian, terdengar letusan senjata dua kali menggetarkan pagi yang mulai membuka dirinya itu.
Lelaki tua kembali kulihat berjalan menuju kami. Setelah sampai, “tugasku sudah usai,” katanya.
“”Mengapa dua kali menembak?” tanyaku.
“Ia dan kekasih gelapnya yang juga kaki tangannya,” kata pak tua.
Setelah mengembalikan senjataku, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (5)


BAGIAN : IV

1973

(Upung-upung baroa
angile u wae
wae I pa ura
I pandamu gati
Sio roto we
Tuarinu edoi we
Bulan wajahnya muram
Sinarnya membersit di gemawan
Bergerak
Dan bergegas
Entah
Ke mana)

(12)
            Southern California, sebagaimana negeri-negeri lain di Amerika, telah menjadi negeri impian. Adidaya yang dirakit dari suatu exodus para migram Eropa baik sebelum dan sesudah perang Napoleon pada tahun 1815. Aku membaca semua itu dari buku kiriman Yulin kepada Herkanus adiknya. Kini sepenggal hati kami tersimpan di sana, menjadi muara kerinduan keluarga.

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (4)


“Ia selalu ada dengan kita. Kalau tidak, kita sudah mati!” tegasku.
Ini perjalanan lintas negara ilegal. Memang, selama ini, warga kampung kami untuk ke Filipina tidak membutuhkan persuratan apa-apa. Atau lebih tepat disebut mengabaikan tatakrama lintas negara. Alasannya, di negeri ini, segala sesuatu begitu terpusat di Jakarta. Dan untuk mengurus surat apapun, kami selalu dihadapkan oleh birokrasi pemerintah yang korup. Jadi, untuk apa sebuah surat, jika kita harus mendapatkannya dengan jalan kejahatan seperti itu. Jika pelayaran ini juga bermakna pelanggaran pada hukum bernegara, maka untuk mendapatkan surat legal pun merupakan kejahatan yang sama.

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (3)



Kelapa di hutan Karakelang hingga ke pulau-pulau sekitar menjadi gundul. Jika dipandang di waktu bulan purnama tampak seperti hantu Kabanasa dengan bulu-bulu kasar di kepalanya yang menjulang tinggi. Keadaan ini membuat orang-orang makin resah.  Orang-orang mendesak Datu Mbanua menggelar Sawakka. Tapi tradisi profan magi itu sudah lama tak di gelar di kepulauan ini. Para misionery pada awal abad 19 menuding tradisi itu sebagai kekafiran.  Kalangan gereja pun  menentang ritual itu. Tapi meskipun dapat penentangan, Sawakka akhirnya digelar.

Saatnya pun tiba. Aku di sana ketika bunyi tambor dan breng-breng bertingkah-tingkah mungusik malam dalam rimba. Ini hari pertama. Perkemahan sudah di bangun. Mesbah ritual pun sudah tersedia. Semua itu disiapkan selama berhari-hari dengan mengikuti aturan-aturan tradisi yang ketat. Tak ada yang boleh keliru. Sebagian besar penduduk pulau ini pun ada di sana. Dari pulau-pulau lain perwakilannya juga hadir.

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (2)

BAGIAN  : I

September 1965

“Upung-upung Baroa
Anggile u wae”
Tak ada! Kecuali air mata
Maka ditulisnya keluh kesah
Suara hati suatu generasi yang selalu terlupa

 
(4)

Ambang abad 21
Kepada Siapapun Yang Masih Punya Air Mata
Dan Serpih Belas kasihan

PIL SAKIT KEPALA (Puisi Iverdixon Tinungki)

Ada jutaan pil sakit kepala
Berjalan-jalan di jalan-jalan utama kota
Pil-pil itu datang dari segala mata angin
Mereka membawakan spanduk dan yel-yel bertulisan
“kami barisan pil-pil sakit kepala, siap melayani semua pemimpin
bangsa”

CELOTEH BURUNG NAZAR KECIL (Puisi Iverdixon Tinungki)

induknya telah memakan seribu sapi betina hamil yang kesakitan
dipatuk dengan paruhnya yang bengkok, tapi tajam seperti baja

"aku hanya memakan sisa remah di selasela rumput,
belatungbelatung dan bau busuk," rengek nazar kecil

NEGERI DONGENG CAHLIL GIBRAN (Puisi Iverdixon Tinungki)

raja dan aparatnya meminum air berancun dari sumur yang diminum rakyatnya
negeri ini jadi gila, segala yang zinah nista menjadi biasa dan lumrah
petanipetani gila bertani untuk hidup apa adanya, karena harga tak dijaga negara
nelayannelayan gila menangkap ikan lalu ditangkap tentara, karena aturan tak jelas kemana arahnya

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (1)


(iverdixon tinungki)
 CATATAN PERMULAAN
Tahun 1995



“Upung-upung Baroa”
berekorekor Baroa meniti tanjung
impikan benua di balik samudera
meneduhkan saga di atas ombak
melukis rupa  lelaki
telanjang gila
Kepas tanpa kafan
kelaparan  di padang kematian :
“Carilah kebenaran dengan lentera
Di siang
Di tengah terik
Di  omongkosong
Hingga dari tumpukan itu
Kau dengar suaraNya
Suara  Dia
Lelaki yang sengsara”

. 113 SAJAK BERTEMA CINTA (Puisi Iverdixon Tinungki & Video)


Surat Buat: Embun

Pernahkah engkau mengalami cinta dan kepedihan mengalir
dalam deras sungai perasaan hati yang sama. Dengan perasaan
semacam itu dapatkan kita memaknai hakikat keindahan atau
kegetiran, semisal dalam lagu-lagu Celine yang penuh harapan,
atau sayatan luka nan pedih dari keterhilangan panjang yang
mendedah jiwa dalam sajak-sajak Pascal Riou