Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (3)



Kelapa di hutan Karakelang hingga ke pulau-pulau sekitar menjadi gundul. Jika dipandang di waktu bulan purnama tampak seperti hantu Kabanasa dengan bulu-bulu kasar di kepalanya yang menjulang tinggi. Keadaan ini membuat orang-orang makin resah.  Orang-orang mendesak Datu Mbanua menggelar Sawakka. Tapi tradisi profan magi itu sudah lama tak di gelar di kepulauan ini. Para misionery pada awal abad 19 menuding tradisi itu sebagai kekafiran.  Kalangan gereja pun  menentang ritual itu. Tapi meskipun dapat penentangan, Sawakka akhirnya digelar.

Saatnya pun tiba. Aku di sana ketika bunyi tambor dan breng-breng bertingkah-tingkah mungusik malam dalam rimba. Ini hari pertama. Perkemahan sudah di bangun. Mesbah ritual pun sudah tersedia. Semua itu disiapkan selama berhari-hari dengan mengikuti aturan-aturan tradisi yang ketat. Tak ada yang boleh keliru. Sebagian besar penduduk pulau ini pun ada di sana. Dari pulau-pulau lain perwakilannya juga hadir.
Upacara ritual pengusir bala ini terpaksa di gelar. Datu dan Inang telah melarang hal itu karena menghormati tradisi kekristenan yang mulai mengakar dalam kehidupan penduduk. Tapi masyarakat mendesak kedua pemimpin itu untuk melaksanakannya.  Aku dan Meria juga mengambil bagian dalam upacara ini.
“Mahkluk-mahkluk halus itu memang harus di bujuk,” kata Meria saat menemuiku di lokasi pembukaan ritual. Di arena yang cukup luas di depan mesbah utama, perempuan-perempuan tua yang sakti mulai menari. Mereka ada sekitar enam orang.
“Kau percaya cara ini ampuh?”
“Jika tinggal ini satu-satunya jalan yang masih bisa dipercaya.”
“Bagaimana dengan Tuhan?”
Meria membelalakkan matanya padaku. Ia terperanga mendengar pertanyaanku. Aku menyeruput kopi di depanku setelah membuang puntung rokok dari tanganku. Aku sadar, aku terlalu gegabah membenturkan pertanyaan yang sulit itu padanya.
“Dari pada kita terbelengguh dalam kepasrahan. Apapun hasil dari ritual ini, minimal kita sedang melakukan sesuatu untuk mengalahkan kutuk itu,” ujar Meria, yang kemudian pamit menuju dapur umum perkemahan ritual.
Kian larut bunyi mistis magi ini terus meresik rincing-gerincing. Semuanya sedang berjuang menentramkan makhluk-makhluk halus, maupun untuk menghilangkan amarahnya yang kini menimpa kepulauan.
Berjenis-jenis korban telah tersaji di mesbah khusus di tengah kurumunan orang-orang. Bunga, buah-buahan dan makanan di sajikan di sana bagi roh-roh halus itu. Semuanya ditata apik dalam piring-piring khusus berwarna putih serta keranjang-keranjang ayaman Rotan dan Ginto. “Meja itu laiknya mesbah persembahan Abraham kalau kita membaca Bible,” bisikku pada Pendeta yang duduk di sapingku. Pendeta itu tak bergeming. Ia menatap terus ke arena.  Ada duka menggelantung di mata pelayan Tuhan itu. Pohon-pohon besar dan angker di sekitarnya bergetar.             “Bersama darah mengalirlah kehidupan!”  Teriakan Datu  yang memimpin ritual itu terdengar melengking. Orang-orang pun bersorak. Para penari perempuan kian rancak. “Oleh aliran darah  terbebaskanlah sesuatu kuasa yang kuat yang menjadi arus-lawan terhadap pelbagai kejahatan,” desis dingin dan pelan yang tiba-tiba meluncur dari mulut pendeta.
Di arena, seorang lelaki telah disiapkan sebagai korban puncak. Lelaki itu kemudian dipukul di kepalanya. Ia seorang pesinah yang telah menyerahkan dirinya menjadi bagian dari korban ritual.  Aku melihat mata lelaki itu berkelinjatan dalam perih, saat balok yang dihatam kepadanya membentur kepalanya. Ini benar-benar pembunuhan yang dilegalkan tradisi. “Entah bagaimana hubungannya dengan kejadian penyaliban lelaki yang bernama Kristus di bebukit Golgota,” desisku agak gemetar. Aku berharap pendeta di sampingku menanggapinya.
“Tidak ada hubungan dengan kejadian pembebasan dalam drama penyelamatan yang dilakukan Tuhan Yesus,” kata pendeta. “Ini tradisi kafir,” sambung lelaki yang memperlihatkan pandangan yang teramat terluka menyaksikan kejadian yang baru berlangsung di depan matanya.
“Tapi tuan pendeta, Allah Bapa juga melegalkan AnakNya dibunuh untuk menyempurnakan ritus penyelamatan dunia,” kataku padanya.
“Peristiwa golgota adalah sesuatu yang pasti. Sedangkan ini, sesuatu yang tidak pasti,” jawabnya.
“Tuan pendeta, semua ini bermakna pembebasan dengan jalan pemberian tumbal manusia. Hasilnya, adalah suatu kepastian yang hanya bisa dilihat dengan mata iman. Jika kematian Kristus adalah skenario pembebasan dalam versi Kristiani, maka kematian lelaki itu, adalah scenario yang bermakna sama hanya menurut fersi tradisi profan magi,” tantangku.
Pendeta itu, kembali menatapku, kemudian berlalu ke tempat yang sedikit sunyi. Ia tampaknya menghindari perdebatan denganku. Tapi ia berada di sini seperti diriku yang terus menyaksikan setiap kejadian dalam perjamuan magi ini.
Malam itu, aku mendapatkan penjelasan dari Datu, katanya,  “dengan memukul keras seseorang di kepalanya, nyawanya dapat melayang, sekalipun tanpa pertumpahan darah.  Kepala itu adalah pembawa suatu kuasa tersembunyi. Mengaktifkan tenaga-tenaga yang tersembunyi di dalam aliran darah. Dan kepala itu untuk menolak malapetaka. Itulah maksud upacara membawa korban ini.”

Hari-hari berikutnya wanita-wanita tua penangkap roh terus saja menari dan menari hingga satu-satu mulai kerasukan, dan roh-roh  mulai berkata-kata lewat wanita-wanita itu.
            Sementara di sisi kerumunan yang lain ada beberapa wanita melakukan sembahyang kepada roh-roh lain dan Ompung-Ompung. Mereka bagaikan sedang berhalusinasi mengeluarkan serentetan kata ditujukan kepada orang yang ia sangkakan hadir di situ. Dan makin lama, makin bertambah gejolak semangatnya. Kedua mata mereka tidak dikatupkan, tetapi dibiarkan berputar-putar dalam lobangnya. Mereka berbicara sementara berdiri dan secara berganti-ganti mereka memanggil roh-roh, jiwa-jiwa leluhur. Kadang-kadang mereka menjerit-jerit mengeluarkan serentetan kata-kata yang dihubung-hubungkan menjadi kalimat-kalimat yang panjang sekali, hingga mereka seakan tidak mempunyai waktu untuk bernafas dan busa keluar dari mulut mereka. Pada permulaan setiap kalimat yang baru diucapkan secara berganti-ganti, kekiri dan kekanan mereka menghentakkan kaki di tanah untuk  menambah kekuatan kata-katanya. Tidak banyak orang sanggup bersembahyang dengan cara ini. Sebab, bahasa yang digunakan adalah sastra tinggi, yang  tidak diketahui umum. Hanya para dukun dan golongan tertentu yang menguasainya. Roh-roh  konon tidak merasa malu bergaul dengan orang-orang ini. Mereka adalah bangsawan tinggi dengan sejarah hidup yang hebat.
            Pesta persembahan umum ini  berlangsung selama  sembilan hari. Dari segala pelosok orang datang membanjirinya. Hutan ini telah dipenuhi orang-orang. Perkemahan dibangun di mana-mana. Semua orang seperti menanti harapan hari baik setelah upacara ini lewat.
            Di sana juga dibuat sebuah pondok daun-daunan besar. Itu rumah persembahan yang sebenarnya yang di sekeliling  beberapa yang lebih kecil, menjadi tempat bernaung untuk peserta yang banyak itu. Peserta-peserta mengambil bagian dalam santap bersama. Mendengarkan sembahyang-sembahyang, bercakalele, bersasalo, atau menonton tarinya yang dilakukan oleh wanita-wanita, lalu sebagai selingan makan lagi untuk kemudian mulai lagi. Siang atau malam kurang diacuhkan. Siapa kelelahan bisa mencari suatu tempat sepi untuk tidur sebentar. Sesudah bangun, orang bergabung lagi dengan yang berpesta. Seluruh pesta persembahan berakhir, biasanya karena banyak minum saguer, ada yang mabuk dan terjadi perkelahian.
Ini pesta kurban terbesar setelah kejadian yang sama seperti kesaksian Peter Antonio Marta, pada tahun 1563. Pater Antonio Marta telah menulis tentang orang-orang di kepulauan ini ketika melakukan penyembahan kurban kepada roh, yang mereka namakan Monham. Mereka memberinya makan daging babi atau ikan sebagai lauk, dan tuak sebagai minuman, yang disajikan dengan menari-nari sambil memukul genderang dan membunyikan lonceng-lonceng. Semua itu dikerjakan kaum wanita. Wanita-wanita ini telah mempelajarinya dan melatih diri untuk melakukannya. Kaum laki-laki tidak mencampuri hal itu. Mereka hanya makan daging babi dan menaruh kepala babi dengan tuak, sagu dan nasi atau bete di para-para kecil, yang dibuat dari bambu dan dihiasi untuk maksud itu sebagai tanda, bahwa mereka mengakui roh jahat itu sebagai kepala dan tuannya.
            Tentang pesta ini misioneri Brilman pernah menuliskannya dalam sebuah buku dari cerita turun-temurun dimana,  masyarakat kami, selain dukun dan dukun wanita resmi, orang juga menghormati tukang sihir dan petenung. Kekuatan fetis-fetisnya ada kalanya dapat membawa pertolongan. Jika pertolongan dukun ternyata tidak mempan, orang pergi kepada si “Bikawika”, tukang sihir yang dapat meramal. Kepada si “Tahapamitua” yang dapat menerangkan mimpi. Meminta pertolongan si Tahapebikawera yang dapat menghilangkan khasiatnya kutukan. Meminta pertolongan pada si “Tahatariang” atau si “Tahapebitung” yang hampir selalu dapat mengetahui roh mana yang menyebabkan penderitaan. Jika hal ini diketahui, maka orang lalu pergi pada dukun untuk menghilangkan pengaruh roh itu. Tetapi sesekali tukang sihir itu dapat langsung menolong untuk menghilangkan penderitaan atau menyembuhkan seseorang yang sakit.
Yang mengherankan, obat sihir untuk menyembuhkan atau membunuh diambil dari pohon yang sama. Hal itu bergantung pada kayu yang dipotong apakah dari arah timur atau dari barat. Kepercayaan pada tukang sihir ini masih banyak terdapat pada penduduk kami hingga kini.
Belum lama berselang seorang kepala desa Kristen yang menderita sakit yang hebat pada bagian punggungnya, karena putus asa, meminta pertolongan dari seorang “dokter” macam itu. Dokter ini meraba-rabai seluruh tubuh pasiennya dan mendapatkan dimana-mana ada sesuatu. Ia kemudian menyapu-nyapu   sesuatu di tubuh si sakit itu ke arah tulang belakangnya. Sesudah segala sesuatu yang dimaksud telah terkumpul di sekitar tulang belakang, maka tanpa membuat luka, dikeluarkannya sepotong pecahan kerang dari tubuh pasiennya. Benda itu diyakini sebagai yang menyebabkan rasa sakit seperti diiris-iris itu. Di sini pemikirannya adalah – sakit seperti kerang pecah yang mengiris – bukan saja disangkakan sebagai kenyataan, melainkan ditunjukkan sebagai kenyataan.
Menurut kepercayaan magis yang asli,  pengumpulan dan kemudian pengeluaran penyakit itu dari tubuh oleh tukang sihir cukup untuk menghasilkan penyembuhan. Tetapi baik si penderita maupun orang-orang di sekelilingnya tidak puas dengan hal itu, mereka ingin melihat sesuatu, dan tukang sihir memenuhi keinginan itu dengan mengeluarkan secara ajaib kerang yang pecah.
            Jika seorang dukun atau tukang sihir tidak berhasil dengan cara mereka yang biasa untuk menghilangkan suatu penyakit atau malapetaka, maka dicobalah dengan menggunakan praktek-praktek syamanis mencari hubungan dengan roh seseorang yang sudah mati. Bila melihat orang tidak waras otaknya, maka keadaan ini dianggap terjadi karena sesuatu roh. Kebanyakan disebabkan roh-roh alam yang rendah. Roh itu telah memasuki tubuh  dan menyebabkan sakit.
Histeri, penyakit ayan, katalepsi, letargi dan sonambulisme yang juga terdapat pada orang primitif maupun pada kita, tidak dapat diterangkan selain mempercayai bahwa suatu roh jahat telah menempati tubuh.
Masyarakat kami juga mengenal “Doro” sebagai roh yang dapat memasuki seseorang dan menempati dia untuk sementara waktu atau disebut Sumawang. Mereka mengenal juga “tau piadoro” seorang yang dapat menyuruh roh masuk ke dalamnya dan mengenal juga “medaroro” yaitu upacara untuk dukun-dukun wanita mendatangkan roh-roh dalam dirinya. Untuk memperlancar hubungan langsung dengan makhluk-makhluk halus ini dipakailah pelbagai cara.
            Cara yang paling sederhana untuk mencapai maksud ini sebagaimana kusaksikan dalam kurun yang panjang yaitu, dukun wanita meninggalkan salah seorang dari muridnya dalam rumah orang sakit yang kesembuhannya diusahakan bersama dengan keluarga si sakit itu. Ia sendiri pergi ke kubur seorang kepala keluarga yang terakhir meninggal. Sementara semua orang yang terkumpul di sana menangis, maka dukun wanita itu membentangkan sapu tangannya di atas kubur itu, menempatkan tangannya di bawah sapu tangan itu, kemudian mengumpulkan keempat ujungnya bersama-sama dan dengan demikian membawa roh yang sudah meninggal itu ke rumah si sakit. Isi sapu tangan itu dikebaskan di atas kepala murid yang ditinggalkan. Sang murid kemudian mulai meliuk-lampai dan mengeluarkan bermacam-macam bunyi yang tidak dapat dimengerti. Tetapi dukun wanita itu mendengar dengan teliti dengan telinga pada mulut muridnya, sampai ia dapat menyatakan kepada keluarga si sakit, bahwa roh yang dicari itu telah hadir. Hal ini selalu terjadi dengan isyarat lemah, dan tidak pernah menyebut suatu nama, karena hal terakhir ini akan berakibat buruk bagi si sakit. Orang-orang yang di sekelilingnya diperingatkan oleh dukun wanita untuk diam, karena roh itu hendak menyampaikan suatu pesan. Perantara itu sesungguhnya mengeluarkan beberapa bunyi, tetapi hanya si dukun wanita mengerti maksudnya dan menyampaikan keinginan roh itu kepada keluarga dan mereka ini berjanji akan memenuhinya. Sesudahnya, roh itu dikembalikan ke kubur dengan upacara yang sama.
Suatu metode yang lain untuk mencari hubungan langsung dengan roh, adalah membuat orang, juga di luar golongan dukun, berada dalam keadaan “ekstase” (emosi yang berlebih-lebihan). Dengan jalan sambil duduk membiarkan dia menghirup asap kemenyan. Sementara itu orang-orang memukul breng-breng (ceracap atau alat pukul dari tembaga) dalam irama cepat. Sesudah beberapa waktu mulailah nampak kekejangan pada si perantara. Ia meloncat ke atas  diiringi oleh pukulan breng-breng yang sama. Kemudian ia  meloncat-loncat dari belakang ke muka, sambil mengibas-ngibaskan tangan dan kaki, sampai ia jatuh karena kekejangan. Inilah tanda, bahwa roh telah memasuki dia. Dari bunyi-bunyi yang tidak beraturan itu yang dicetuskan oleh si perantara, orang mencoba menangkap keinginan roh.
Dalam keadaan-keadaan yang gawat atau roh mengamuk lewat perantara, bertindaklah tiga atau empat orang dukun wanita. Maka bukan saja di serambi depan rumah itu disiapkan satu tempat tidur berhias, dimana orang coba bertemu dengan roh, tetapi juga di halaman didirikan baginya sebuah rumah penginapan sementara.
Dukun-dukun wanita itu tujuh malam berturut-turut datang dan tinggal sampai jauh malam untuk menarikan beberapa jenis tari-tarian, juga tari-tarian perang – dengan dilengkapi pedang kayu – dalam tempo yang memanaskan semangat diiringi oleh breng-breng. Tiap kali seorang dari dukun-dukun wanita itu jatuh bagaikan tidak sadarkan diri, segera ditanyakan oleh yang lain dekat pada telinganya  nama dari roh yang memasuki dia.
Tetapi di sini, keinginan roh harus dicari dari bunyi-bunyi yang tidak beraturan itu. Dan jika sesudah beberapa waktu si pengantara itu sadar lagi maka orang-orang sekelilingnya tidak dapat mendengar apa-apa, kecuali dari keterangan bunyi-bunyi yang diberikan oleh dukun-dukun wanita yang lain.
Pada malam ketujuh suasana ramai memuncak baik dari dukun-dukun wanita maupun dari para penonton. Disembelihlah binatang kurban, yang darahnya diminum oleh dukun-dukun wanita dan daging-dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang hadir. Akhir upacara untuk memanggil makhluk-makhluk halus ini adalah membasuh diri di laut.
Baik si dukun maupun si tukang sihir diberikan upah besar untuk pelayanan yang telah dilakukan, Kerapkali berupa pakaian atau beberapa keranjang penuh bahan makanan. Dari uraian Brilman boleh menjadi nyata, bahwa penduduk pulau-pulau ini sejak dulu, dalam semua usaha untuk memperoleh penyelamatan, menaruh pengharapannya hanya pada kemampuan sendiri atau pada sesamanya. Dalam bermacam-macam kemalangan orang mengakui amarah makhluk-makhluk halus disebabkan oleh perbuatan-perbuatan buruk manusia secara sadar atau tidak.
Orang harus selalu berjaga menghindari pengaruh-pengaruh yang merugikan dari amarah mahluk halus itu dan hal ini bisa tercapai dengan jalan melakukan tindakan-tindakan tertentu yang akibat seluruhnya dipikirkan secara magis, sehingga orang merasa diri aman lagi terhadap pembalasan dendam dewa-dewa.                                               
Setelah pesta kurban itu, berminggu-minggu kemudian keadaan seakan tidak berubah. Dalam situasi yang sedemikian ini, kehidupan warga pun terlihat sangat  menggenaskan. Kehidupan kami sekeluarga  tak terkecuali. Ditambah lagi kondisi sakit Oma Tua yang kian parah, membuat aku harus mencari ekstra pekerjaan untuk mendapatkan obat. Aku menjadi buruh tambangan di pelabuhan Beo. Franseska Matiti, orang tua yang penuh kasih sayang itu akhirnya meninggal dunia juga di suatu subuh yang  dinginnya begitu menyengat.

***
BAGIAN : II

Tahun 1967

“Upung-upung Baroa
Anggile u wae
Wae I paura”
Kepas terus bertambur
Meledakkan gelisah ke pantai
Tapi, tak ada kapal
Membawa kabar para nabi
Tak ada yang selamat di sini
Baroa berdiri di tanjung
Menyaksikan ompung meniduri dewi
“Hidup tak seperti angin
bisa lari sesuka hati”



(8)
Setelah menyelesaikan pekerjaannya membersikan rerumputan liar yang menutup beberapa rumpun bunga Oliander di empat sudut kuburan itu,  Meria tampaknya lega. Ia pun tak lupa menyiram beberapa baskom air ke batang-batangnya yang langsung membasahi tanah di mana akar Oliander tampak tersembul.  “Ia akan tumbuh dan subur lagi,” desis Meria. Aku tahu, ia begitu merindukan ibunya.
“Moga! Tapi ini musim kering,”  kataku.
“Tapi aku menanamnya dengan cinta,” sela Meria,  sambil menyaput air matanya yang tiba-tiba meleleh ke pipinya. Matanya masih saja menghujam ke arah batu nisan yang masih bersih yang menempel di kepala kuburan. Ia mungkin ingin mengeja beberapa kali nama ibunya yang terpahat di sana.  Ini mungkin waktu terakhir kami mengziarahi makam ini. Dan dalam waktu yang panjang makam ini akan tertutup rerumputan,  seiring perjalanan kami ke negeri perantauan di Filipina.
“Semoga kita masih punya waktu seperti hari ini, membersihkannya,” desis Meria lagi.  “Aku yakin kita selalu punya waktu, bukan saja menziarahi makamnya, tapi mengenangnya,” kataku. Meria menatapku dan tersenyum.
Setelah meninggalkan makam yang terletak di ujung kampung itu, aku terkenang banyak hal tentangnya. Franseska Matiti. Wanita yang dipanggil dengan nama Oma Tua itu telah memberikan perkiraan yang benar.  Sebelum meninggal, ia telah berkali-kali berpesan agar aku melarikan keluargaku dari kepulauan ini.  Harapan memang kian menipis di sini. Berguguran seperti daun-daun terhempas musim panas ke daratan. Daratan dengan hamparan kutuk yang bersemi seperti jamur di musim basah. Kutuk itu tak jua pergi meski kurban-kurban telah dipersembahkan. Ritual-ritual telah dilaksanakan.
Dari Marumun melingkar ke kanan hingga Resduk, kampung-kampung itu berwarna duka. Ada saja orang menangis kerena suatu malapetaka. Buaya gaib muncul di andaara Bantik, Malat Essang. Hingga akhir Juli, di andaara Lu,a puluhan orang telah dimangsa buaya. Ini benar-benar mengerikan.
Di Beo, orang-orang dengan wajah pedih setiap saat muncul menyongsong datangnya perahu-perahu dari pulau lain. Mereka berharap, dan selalu berharap, siapa tahu perahu-perahu itu memuat bahan makanan. Mereka siap menukarkan apapun dengan para pemilik bahan makanan itu, asalkan mereka boleh mendapatkan bahan makanan. Tapi, perahu-perahu itu kemudian pergi tanpa membawa apapun. Karena mereka juga datang dalam keperluan mencari makanan di daratan besar ini. 
Pulau Salibabu, dan pulau-pulau di Nanusa juga tak luput dari kekeringan yang memerihkan.  Lereng gunung Piapi dengan pohon-pohon yang meranggas tak lagi mampu mengirimkan air ke kampung-kampung di bawahnya. Bantik, Makatara, Lobo, Rae, Awit, Sambuara, Enzem, Batumbalango, bak kuburan yang dihuni hantu-hantu di malam hari. Lampu-lampu minyak tanah atau minyak kelapa yang dibuat dari botol atau kaleng susu yang tergantung di setiap rumah seperti memberkaskan cahya kunang-kunang dari rimba kesepian orang-orang yang lapar. 
Beberapa pekan kemarin, aku diajak pendeta Simon Andrian menelusur kampung-kampung di pesisir pulau Karakelang. Dalam perjalanan panjang itu, kukira jika pendeta Simon Andrian menulis berbagai keluhan dan peristiwa-peristiwa tragis yang ditemuinya di-- Ambia, Kuma, Maririt, Essang, Lalue, Bulude, Mamahan, Bambung, Taturan, Geme, Arangkaa, Bune, Malat, Banada, Apan, Lahu, Ganalo, Amat, Dapalan, Riung, Binalang, Toabatu, Tabang, Bantane, Rainis, Matahit, Tarohan, Niampak, Ruso, Pampalu, Tarun, Sawang, Melonguane-- dalam catatan hariannya, maka diperlukan beberapa buku untuk menuliskan semua itu.
“Setelah menyaksikan semuah kepedihan ini, Pendeta masih percaya Tuhan itu penolong?” tanyaku pada Pendeta Simon ketika itu.  Wajahnya menjadi galau, tapi ia punya jawaban, “masyarakat telah menggelar Sawakka, lalu di mana roh-roh berpengasihan yang kalian yakini itu?”.  Kami terlibat diskusi yang mengarah pada debat. Tapi tak ada simpulan. Malahan, pendeta memintaku menemani ia berdoa semalaman di rumahnya. Aku masih amat lelah. Tapi permintaan seorang pendenta sangat sulit aku tolak. Doa itu dilaksanakan di kamar doa keluarga yang terletak di ruang tengah rumah. Ruang kosong itu hanya berisi meja kecil tempat kitab suci. Kami berlutut di lantai yang beralas tikar. Meski tersuruk-suruk akibat kantuk, aku terus mengikuti doa panjang tanpa ujung itu, hingga aku benar-benar tak tahu. Esoknya, aku begitu malu pada pendeta. “Rasul pun tak tahan berdoa semalaman. Padahal Yesus yang mengajak mereka. Apalagi kamu!” seru pendeta. Aku hanya bisa tersenyum getir. Sementara ia sudah menyediakan kopi buat kami berdua di ruang tamu. Setelah membasu muka dan menyisir rambutku, aku menemui dia lagi di ruang tamu.
“Keadaan memang kian berat ya!” katanya ketika aku duduk di dekatnya kemudian menyesap kopi yang disediakannya. 
“Sudah berbulan-bulan, bantuan dari pemerintah pusat belum juga datang, meski semua kepala kampung telah mengirimkan surat permohonan bantuan pangan dari pemerintah di provinsi. Dari bebagai kabar, sebenarnya bantuan itu telah di kirim pemerintah provinsi, hanya saja bantuan itu tidak sampai, karena kandas di tangan oknum-oknum tertentu di pemerintahan kabupaten dan di lego ke pasar gelap,” kataku pada Pendeta, mencoba mengalihkan topik pembicaraan
 “Astaga!  Jika itu benar, masihkah orang-orang seperti itu layak disebut manusia?” gumamnya pedih.
 “Namun, desas-desus penggelapan semacam itu memang telah menjadi hal biasa dalam kultur pemerintahan di sini. Sebelum malapetaka kelaparan ini pun banyak hak-hak orang diambil oleh fihak-fihak tertentu untuk memperkaya diri mereka.   Tapi, orang takut mempersoalkannya. Tindakan menuntut hak di negeri ini sama dengan kita mencari persoalan dan musuh,” jelasku padanya. Pendeta mengangguk-anggukan kepalanya, lalu berkata, “bunyi lonceng senantiasi mendenting kabarkan perkabungan orang-orang yang kalah membijaksanai hidup.   Perkabungan itu seakan terus bernyanyi-nyanyi mengiringi pergi serta datangnya waktu dan matahari. Suatu keadaan yang bisa menjerumuskan orang pada penyangkalan kehadiran eksistensi Tuhan.” 
“Keadaan frustrasi yang menempatkan manusia tercengkram tentakel emosinya. Manusia menjadi sang pengeluh dan penuding. Dalam kemerosotan rasio seperti itu, orang lebih mudah mengatakan Tuhan adalah sesuatu yang tak lagi bisa disapa lewat ritual-ritual. Tuhan yang tidak memiliki rasa kompromi dengan permintaan umat ciptaannya. Lalu ada yang mempertanyakan dimana kabar pengharapan yang diseru-serukan para misionery sekian abad itu. Apakah itu bukan cuma sebuah omong kosong. Orang-orang mulai bosan mencari kabar suka cita yang terselip seperti jarum di tumpukkan jerami,” sambungku panjang lebar.  Pendeta tersenyum pahit. 
Di gereja, setiap kali kulihat tuan Pendeta Simon Andrian berkeringat saat menyampaikan khotbah. Kupikir ia selalu gamang dengan setiap kata yang diucapkannya dari atas mimbar. Mimbar melengkung setengah lingkaran yang terbuat dari kayu Raja dan Batuline itu tampak tak mampu menahan beban hati sang pendeta.  Salib kecil di belakang mimbar yang diapit rapi gording kain tenunan berwarna orange seperti ikut menambah catatan hati yang terluka yang memandangnya dengan suatu harapan tanpa jawaban.  Pendeta itu seperti seseorang yang tak kuat lagi menyampaikan sesuatu kepada jemaatnya yang mulai mual dengan kabar-kabar suka cita yang hanya berhenti sebagai “kata” yang mati, yang tidak terbukti kemaslahatannya, kedikdayaannya. Sedang dalam kenyataan, tanah-tanah mereka retak dan keras oleh terik matahari yang memanggang pulau-pulau. Dusun-dusun mengering disaksikan wajah-wajah yang berlepot debu tanah yang senantiasa diterbangkan angin. Ke laut mereka berharap. Namun kutuk itu telah menjauhkan ikan-ikan dari mata kail dan buruan para pamiti.
 Di kampung Ganalo, aku dan pendeta Simon dalam percakapan dengan seorang penduduk, sangat terperangah menerimah bantahan-bantahan manusiawi dari seseorang yang dirundung kelaparan itu.
“Memang benar, manusia dicipta oleh suatu kekuatan yang asalnya dari Sang Maha Kekuatan, Sang Maha Tahu yang keberadaanNya tetap nyata dalam menjaga kehidupan manusia  dan berlangsungnya perputaran semesta. Tapi siapa mesias di tengah kelaparan ini? Mengapa Dia tak mendengar teriakan parau minta tolong dari umatnya ini? Mengapa tak ada jawaban, kecuali keluh kesah yang kian membumbung dalam setiap pikiran. Kesah yang mendengung seperti lebah dalam sarang yang bernama gereja itu,” ujar warga yang berumur setengah baya itu.
Pendeta Simon Andrian, hanya bisa menatap lelaki itu dengan wajah terlukanya. Ada rasa pahit yang sengit mencekat di lehernya.
Di Maririt, Wardi, adalah salah satu dari sekian banyak penduduk pulau-pulau ini yang mulutnya berlepotan umpatan. Ia tidak hanya memaki pemimpin-peminpin negara yang ternyata tak bisa berbuat apa-apa ketika seorang anaknya harus menemui ajal karena penyakit busung lapar. Tapi kepada Tuhan pun ia berkeluh–kesah.
“Iman sebesar biji kelapa pun tak bisa menolong keadaan kita saat ini,” teriak Wardi. Lelaki itu dalam keadaan mabuk selalu melepaskan keluh yang menurut orang banyak penuh kesesatan itu. Kegetiran di hatinya telah menjadi trauma yang sudah mulai beringsut kepada keadaan gila.
Karena umpatannya itu, ia ditangkap aparat keamanan dan disel beberapa pekan. Namun segalanya tak mengubah dia.  Lelaki itu kemudian menjadi salah satu dari penumpang perahu kora-kora yang pergi dari sini mencari penghidupan di tempat lain.
Dalam keadaan lapar tak ada seorang manusia bisa berfikir etis. Pertimbangan salah dan benar tidak lagi memiliki tempat dalam rasio. Tidak ada kekerabatan dan persaudaraan yang berlangsung secara sehat. Pertengkaran berebut kebun dan sisa-sisa tanaman yang bisa menjadi makanan terjadi dimana-mana. Di beberapa dusun, ada sanak famili  harus menyelesaikan sengketa seperti itu dengan bunuh-bunuhan. Seakan-akan muncul pikiran dimana untuk bisa bertahan hidup kita harus membunuh yang lainnya. Di sini, dalam kelaparan ini, kehidupan mental manusia mulai terperosok ketingkah laku hewani.  
Siapa yang mau bertahan di tengah gempuran kutuk yang mengerikan ini. Kulihat padang kehidupan di sini sudah menyempit. Orang-orang mulai pergi meninggalkan pulau. Setiap pekan, ada saja perahu kora-kora meninggalkan pantai memuat beberapa sanak keluarga. Ada yang pergi ke pulau-pulau di selatan Filipina. Sedang yang lain menuju daratan besar pulau Sulawesi. Perahu kora-kora dengan layar tunggal yang tergantung di tiang tinggi itu seperti menegaskan betapa sulit bertahan hidup di daratan ini. Maka dicarilah pantai-pantai lain yang masih menyimpan pengharapan bagi generasi pendatang itu. Generasi yang diusir oleh nasib dari tanah-tanah miliknya.

***
Beo, akhir Juli yang kering.  Aku bertemu pendeta muda itu pagi-pagi benar. Sebagai salah satu umatnya, aku harus pamit padanya. Ia menyambutku di pintu setelah mendengar salamku dan ketukan pintu.
Seperti biasanya Simon Andrian akan mengajak tamunya duduk di ruang tamu. Ruang tamu yang telah kenyang mencatat keluh kesah para umat yang dilayaninya. Di situ, di ruang tamu itu, semua perabotnya dari kayu Sisak dan Batuline. Ada beberapa foto tua yang tergantung dalam pigura yang mulai rapuh tanpa cat. Foto-foto itu mungkin berasal dari zaman para misionery.  Mungkin kenang-kenangan para penginjil itu. Di atas bufet kecil di sudut ruangan, terpasang foto almarhuma istrinya. Wanita Minahasa yang cantik, yang senantiasa penuh keramahan. Ia selalu dikenang warga kerena pergaulannya yang baik. Kulitnya bersih, putih, laksana boneka malaikat yang selalu dipasang di pucuk-pucuk pohon natal pada bulan Desember. Di jalanan ia kadang seperti peri putih di antara gadis-gadis dusun yang bekulit kuning kelam. Di foto dalam bingkai itu, ia mengenakan topi tikar buatan penduduk di sini. Meria istriku sangat dekat dengan istri tuan Pendeta Simon, mereka sering hingga larut menganyam tikar pandan di pantai di bawah bulan terang. Tikar-tikar buatan mereka kemudian di jual di Minahasa. Orang Minahasa sangat suka dengan tikar buatan Talaud karena selain halus anyamannya, juga memiliki motif warna-warni.
“Kau pergi juga Kepas?” tanya pendeta Simon, setelah menyuguhkan aku secangkir kopi.
“Ya pendeta,” jawabku singkat. Pendeta Simon mengajakku minum. Mata lelaki itu kemudian menatapku dengan sinar yang lemah. Kubaca rasa iba muncul di bola matanya.
“Aku akan berdoa untuk keluargamu. Ya…semoga semuanya baik-baik,” katanya dengan suara yang diusahakannya terdengar menyejukan. Sandaran kursi kayu terdengar berderit ketika lelaki itu sedikit beringsut menegakkan tubuhnya. Seperti derit hati yang kulihat terpancar dari wajahnya yang membiaskan geliat resah.
“Terima kasih tuan pendeta,” kataku dengan gumam. Sesaat kemudian, pendeta keturunan Minahasa itu berdiri dan berjalan ke halaman rumahnya. Pandanganku mengikuti begitu saja ke mana lelaki berkulit putih dengan kumis tipis itu pergi. Kupikir ia akan mengambilkan sesuatu untukku. Tapi di sana ia tak menyentuh apa-apa. Apa yang akan dilakukannya? Mengapa ia meninggalkan tamunya sendirian?  Aku menatapnya terus dari jeruji kayu jendela rumahnya.  Rumah pastorinya  sederhana terbuat dari ramuan kayu. Di beberapa sudut ruang hingga ke halaman beberapa rumpun bunga tumbuh subur dalam beberapa pot. Bunga-bunga itu mengeluarkan kembang warna-warni. Ada mawar dengan warna ungu legam. Bunga Patuku yang dilumuri kembang putih bersih. Bayam-bayam dengan aneka jenis yang daunnya lebar dengan rona warna-warni.
Tak berapa lama, pendeta Simon melambaikan tangannya memanggilku. Aku langsung menyusulnya ke halaman yang lebih tepat disebut taman bunga itu.
“Aku seperti kehilangan bahasa untuk khotbah bagi umatku. Aku seperti kehilangan kata untuk menghibur dan menumbuhkan iman kalian di sini setiap misah. Tapi syukurlah kau masih datang padaku sebelum pergi,” kata pendeta Simon.
“Mengapa bisa begitu tuan pendeta?” tanyaku seenaknya. Mencairkan kerisauannya.
“Aku tahu, orang-orang di sini sudah kehilangan pengharapan.”
“Istri tuan pendeta juga pergi karenanya,” desisku. Ia mengangguk. Rasa pedih berpendaran di matanya.  “Ia masih sangat muda. Aku mencintainya,” ujarnya. Ada rasa kehilangan yang menikam uluh hatinya. Kematian istrinya tempo hari mungkin melengkapi rona pilu yang tergambar di raut pendeta itu.
“Tuan pendeta tidak ada rencana keluar dari tempat penuh kutuk ini?” tanyaku.
“Selagi bunga-bunga masih bisa mengeluarkan kembangnya, aku percaya tak ada kutuk di negeri ini. Untuk apa lari jika semua ini hanya sebuah ujian,” jawabnya. Sejenak kami terdiam, lalu ia berujar lagi; “lihatlah tanaman-tanaman ini tampak subur. Itu artinya tak ada kutuk jika kita mau memahami semua ini hanya suatu ujian akan kesetiaan manusia,” jelas lelaki dengan sorot mata teduh itu.
“Tapi tuan pendeta telah mengeluarkan banyak keringat untuk merawat tanaman-tanaman ini. Pendeta harus bekerja keras mengambil air untuk menyiraminya setiap pagi dan petang. Itu artinya kesuburan tanaman-tanaman ini semata karena diusahakan tuan pendeta sendiri,” bantahku.
“Tuhan menganugerahkan sesuatu yang teramat berharga dalam diri seorang manusia yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran itulah manusia diperkenankan melakukan berbagai hal untuk bisa melampaui segala masalah dan tantangan yang dihadapinya,” tutur pendeta.
“Bagaimana dengan istri pendeta yang juga diambil Tuhan dari sisi tuan?”
“Ia yang punya, maka Dia punya hak penuh mengambilnya diriku, termasuk tubuh, roh dan jiwaku sendiri. Aku tak punya kuasa atas diriku sendiri jika berhadapan dengan Dia,” urai pendeta itu lagi. Aku mengangguk saja. Kurasa iman lelaki di hadapanku ini benar –benar menghampiri besar biji sesawi. 
Di pastori yang ukurannya sekitar tujuh kali sembilan meter ini seperti tak ada tanda-tanda dari keganasan alam yang memanggang pulau-pulau kami. Di sana-sini, di halaman pastori yang memanjang sekitar sepuluh meter ke depan, tanaman-tanaman menyubur. Musim kemarau seakan tak pernah singgah ke halaman kecil itu. “Tanaman-tanaman  inilah khotbah sejatiku saat ini Kepas!” serunya.
“Kepergianku juga hanya mengikuti isyarat kehidupan dari Tuhan. Moga di tanah-tanah pelarianku, kami boleh mendapatkan kebahagiaan.”
“Aku senang kau berpikir begitu. Kemanapun kita pergi, meskilah dipahami sebagai tuntunan Dia. Dia yang menuntun kita ke air tenang, ke padang hijau. Dia gada dan tongkat kehidupan.  Dia membuka jalan kita menuju kebenaran,” katanya dengan suara berpengasihan. Aku tak kuasa lagi menanggapi pernyataan tuan pendeta Simon sampai aku pamit padanya. 
***
 Dua bulan sepeninggal Oma Tua, aku pikir, untuk menghindari bahaya kelaparan yang kian hari kian mengangah, lebih baik aku ajak istriku dan kedua anakku –seperti saran oma tua-- ke Cotabato, Filipina.  Sedangkan Yulin, anakku yang tertua sudah disepakati istriku akan kutitip bersekolah di Tahuna dengan seorang famili dekat. Aku pun sudah menyurat kenalan di Cotabato melalui para penyeludup. Boas nama kenalanku itu. Boas sudah menantiku di sana.
Awalnya Meria  khawatir karena kawasan Selatan Filipina itu merupakan daerah yang tak lepas dari pergolakkan bersenjata. Tapi aku berhasil meyakinkannya, dimana untuk hidup, untuk tetap bisa bertahan, kita harus mampu masuk dalam suasana apapun.
“Kita harus punya daya kelit, bukannya pasif dan pasrah,” kataku. Kukatakan, hidup sesungguhnya adalah perang terbuka yang terus bergolak dalam berbagai bentuk, berbagai sifat. Dan setiap golakkan itu adalah hulu dari bahaya-bahaya yang segera akan ditemukan setiap orang di sebuah muara.  Tempat yang aman untuk mengelak dari persoalan dalam kehidupan cuma bunuh diri. Meria akhirnya bisa memahaminya.
“Kalau itu yang terbaik, bagaimana aku membatahnya.”

Filipina Selatan, meskipun tidak lepas dari pergolakkan senjata, tapi di sana  lahan pekerjaan masih begitu terbuka. Sementara, di dalam negeri, gejolak politik terus memanas. Kemungkinan perang antar sesama anak bangsa kian mengangah. Perang seperti ini lebih buruk akibatnya dibanding dengan perang antar negara. Sebab, kita tak bisa mengenali siapa lawan dan siapa kawan. Kabar revolusi dalam negeri itu kian santer disiarkan radio.   
Dalam situasi serba buruk itu, pada bulan Agustus 1967, kami sekeluarga bertolak menuju Filipina, kecuali Yulin, anak perempuanku yang sulung, yang telah berangkat lebih dahulu ke Tahuna. Aku mengantar si sulung hingga pelabuhan beberapa hari sebelumnya. Ia masih belasan tahun, tapi aku harus melepasnya sendirian mencari jalan hidupnya di ibukota kabupaten itu.
“Inilah hidup nak. Kau harus tegar di sana. Semoga kau menjadi sesuatu di kemudian hari.” Hanya itu pesan yang bisa kukatakan padanya. Anak itu hanya bisa menangis. Terlalu muda ia kulepas keluar dari lingkungan bimbingan langsung ibu bapaknya. Ia pergi bersama kapal yang membawanya laksana matahari yang terbenam di senja. “Kami menantimu terbit di suatu pagi nak!” teriakku padanya, ketika ia melambaikan tanganya dari kapal itu.

***
Dengan menumpangi perahu Pambut milik warga kampung yang pergi menyeludup, kami berangkat dengan tujuan  pulau Saranggani island. Kulihat wajah isteriku teramat berat melepaskan daratan kecil yang pelan-pelan kami tinggalkan. Daratan, yang di langit-langitnya bertengger awan hitam yang menggumpal seperti serombongan hantu yang tubuhnya lekat antara satu dengan lainnya. Hantu yang siap dan terus bergelayut, merengut siapapun di sana.
“Awan itu!” sungut Meria.
“Isteri Lot, menjadi tiang garam karena menengok ke belakang. Orang yang selalu mengeluh dan menyesal akan menjadi patung garam di atas bukit. Tidak asin dan tidak bergerak,” kataku. Ia menatapku. Aku tersenyum.
“Kau selalu punya kata untuk membuatku takut,” celutuknya.
Herkanus dan Dian, nampak keasyikan melihat lumba-lumba yang muncul di dekat perahu. Ikan-ikan yang kaya mitos kebaikan ini sudah sejak tadi muncul mengiringi perahu kami.
“Mereka mengantar kita,” ujarku pada Herkanus.
“Kapan aku bisa naik lumba-lumba papa?” teriak Herkanus.
“Nanti kalau kau sudah bisa menaklukannya,” jelasku.
Herkanus menjadi girang mendengar jawabanku. “Aku akan mengalahkan dua ekor, agar kedua kakiku bisa berdiri di kedua punggungnya,” teriaknya lagi.
“Kau harus kuat. Anak yang kuat bisa mengalahkan apapun. Jika lemah, semut pun tak bisa dikalahkan.” Herkanus mengangguk. Mata anak lelaki itu, tampak memancarkan semangat kejantanan anak-anak pulau. Perahu terus melaju. Daratan yang kami tinggalkan kian mengecil.
“Jika perahu tenggelam, lumbah-lumba akan mengantar kita ke daratan papa?”
“Ya!” Mata Herkanus mengkilap mendengar jawabanku. “Kita tak perlu takut. Ikan-ikan itu memang bertugas menyelamatkan manusia,” ujarku lagi.
“Guru sekolah ahad bilang Nabi Yunus juga diselamatkan ikan. Ia disimpan dalam perutnya, lalu dimuntahkan ke daratan,” kisah  Herkanus pada Dian  adiknya.  Betapa berkesan ajaran-ajaran pengharapan para misionery itu dalam benak para penduduk di kepulauan ini. Anak-anak pun sangat meyakini akan datangnya pertolongan yang ajaib dari Sang Pencipta. Tapi, dari kepulauan ini pula perahu-perahu kora-kora itu pergi. Banyak yang tak menemukan pembuktian dari kabar suka cita itu, dan mereka harus pergi menyelamatkan diri mereka sendiri.
“Semoga Ruata tak meninggalkan kita,” ujar Meria. (Bersambung kebagian berikutnya...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar