Rabu, 28 September 2011

TUAN RESIDEN JELLESMA*) (Puisi Iverdixon Tinungki)

sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1677
di kirim ratu Belanda jadi hantu

sejak itu, negeriku dilanda banjir peperangan
seakan kutuk menjelma dongeng darah
penolak bala
hanyut dari Eropa
bersengketa karena rempah

paderipaderimu berkata: kami tak punya Tuhan
lalu berkhotbah seperti dewa
dan Tuhan yang sama
diajar spanyol, portugis dan gujarat
dilarang disembah

tuan residen Jellesma…
cerita ini sudah lama
tapi kau tak lupa berapa gulden pajak babi potong
kami menyetor dua puluh lima persen
ke kas kerajaan Belanda
lalu kau ambil lagi empat gulden dari setiap wajib pajak
moga kau pun tak lupa berapa gulden pajak pendapatan
berapa hari kami jalani kerja paksa, untuk tuan,
untuk kakikaki tangan tuan

tuan Residen…
apakah kau tahu berapa harga saudara kami
yang terjual di pasar budak Madagaskar dan Brasillia?
berapa kerugian kami dalam kebijakan pemotongan cengkeh
berapa nilai budaya kami yang kau larang
berapa desa yang kau bakar
berapa rakyat yang kau tembak
berapa pahlawan dan raja kau bunuh dan mati di pengasingan
untuk membangun kemegahan Belanda di milenia kedua
di mana benderamu berkibar di atas sejarah busuk
di atas tanahtanah jajahan Hindia Belanda

tuan Residen Jellesma…
kau tak usah merasa dosa
puisi ini kutulis sekadar refleksi sejarah lama
karena setelah kami enam puluh empat tahun merdeka
sejarah itu kurang lebih sama:
sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1945
di kirim dari Jawa jadi hantu

lalu sangsaka mengibar kemegahan jakarta
di atas sejarah tangis dusundusun miskin merana

tapi tuan residen Jellesma…
bedanya… aku tak berani bertanya ke istana
berapa harga darah para pahlawan yang gugur
untuk merebut kata: Indonesia Merdeka
bila merdeka hanya untuk segelintir wilayah
segelintir orang

tuan residen…
di sini, saat ini, bicara tak dilarang
di masa ordelama antara dilarang dan tidak dilarang
di masa ordebaru dilarang
di masa ordereformasi tidak di larang
yang jadi persoalan saat ini
apapun kita bicara tak didengar pemerintah

begitu ceritanya…Indonesia Merdeka!

2009

*) Residen J. E. Jellesma, seorang pejabat Belanda, pada tahun 1899 mengeluarkan kontrak menyatukan kerajaan-kerajaan di Nusalawo ke dalam enam daerah politik otonom (Swapraja). Raja yang dulunya di pilih rakyat, diganti dengan penguasa yang di angkat pemerintah belanda. Menerapkan pajak yang berat, diantaranya pajak potong babi sebesar 2 gulden perekor atau 25 persen dari harga seekor babi ketika itu. Selain itu diterapkan pajak perorangan, pajak rumah dan harta benda, pajak pendapatan, serta kerja tanpa upah sebanyak 42 hari setiap tahunnya untuk kepentingan proyek pemerintah, berlaku bagi semua orang yang berusia 18-45 tahun, kecuali keluarga raja dan aparat pemerintah. Kebijakannya ini menimbulkan perlawanan rakyat yang disambut dengan tekanan bersenjata, pembunuhan, pembakaran desa, penangkapan dan pengasingan. Pemerintah Belanda berkuasa di Nusalawo sudah sejak 1677. Kekuasaan Belanda dan bangsa Eropa lainnya (terutama: Spanyol dan Portugis), dipandang sebagai “pekerjaan setan” (peralatan setang). Seperti datangnya bala seiring tibanya sebuah perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung dari boneka kayu. Dalam upacara penolak bala Nusalawo purba, bila sebuah desa mengalami kesusahan atau kemiskinan, maka mereka membuat ritual menghanyutkan perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung boneka-boneka kayu ke laut lepas agar bala itu hilang. Tapi, menjadi celaka bagi desa lain dimana perahu mini itu terdampar, karena kutuk segera berpindah kesitu. Untuk menolaknya lagi ke laut mereka harus menyembeli banyak binatang sebagai korban darah, dan melepas lagi perahu mini itu ke laut lepas. Perahu lagi-lagi terbawa arus menuju pantai yang baru untuk menebar kutuk yang sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar