Senin, 26 September 2011

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (1)

1


Puisi Sejarah Nusa Utara

Iverdixon Tinungki


Aku Laut, Aku Ombak *)

taufan selat Basilan
mengantar mahkota enam kerajaan
bersusun tujuh abad
berbunga sastra ombak

sajaksajak hutan air, bau manuru
rambut perempuan di pangkal pedang
lunas perahu ditebang  laut penuh

api kubah langit
melontarkan berjutajuta panah hujan tropis
menembus serat kain keangkuhan
yang dikibarkibar orang di daratan

Inilah padang air pertapaan
katakata asin di tenggorokan
mengajar senyap berkilauan
di sayap kunangkunang air
ditebar guagua karang
membumbungkan gelombang
seperti tangan perempuan
menyelusup ke lubang hati malam
membangunkan gairah para sufi
menitis nafas enam kerajaan

tapi lautan tak membangun candi
bersusun arcaarca emas datuk
kecuali syair manusia perahu
melintas abad saga dan lembayung
menamai pulau dianugerahkan kecuraman laut
buat margasatwa beristirah
lalu berangkat lagi menembus waktu
hingga batubatu bersusun habis dilalap air
menjadi cairan manikam menebalkan kulit ari
membungkus uraturat kawat pelaut
yang berkilau di bandarbandar benua

aku pun berlayar menghadap dewa
yang tak pernah bicara
selain memberi pesan di tuas angin
yang menggendong badai
merubuhkan istanah sultansultan fasik
atau sesekali muncul di lautan kencana
di kawal lima buaya berkulit intan
memakan perompakperompak
akupun tiba dalam Humansandulage
di sampingku Tendensihiwu
derap perahu tujuh abad
merayapi kesunyian utara
di resik suara pesambo
merobek malam
hingga langit memunculkan terang
merebahkan bintang dan bulan
menjadi penuntun jalan
menuju istanah kedatuan

akulah laut, akulah ombak
ikan tak letih di pusaran arus
paus  hiu menunggang gelombang
dalam sejarah nenek moyang

di laut tak ada juragan dan kelasi
ketika puncakpuncak karang mengintai nafas
aku mengangkat layar mengarahkan kemudi
atau mendayung ketika angin mati

tak ada tempat bersembunyi
bila kuda angin berpacu
semuanya mendidih di api arus ganas
menguapkan kabut desingandesingan
seperti konser absurd yang megah
ketika sang dewi malahirkan anak lautnya
agar langit menurunkan tangannya
meneguhkan pengeran air
bertakdir bahaning nusa

2009
*) Filosofi laut dalam sastra bahari Nusalawo mencapai kekokohannya pada permulaan abad XIII, berasal dari enam generasi moyang tertinggi (Humansandulage-Tendengsehiwu, Datung Dellu-Hiwungello, Gumansalangi-Ondoasa, Toumatiti-Putri telur Sakti, Mokoduludut-Abunia, Lokongbanua-Mangimadamdele). Mereka perentas sejarah berdirinya 6 Kerajaan besar di Nusalawo yang bernafaskan kearifan budaya laut yaitu: Kerajaan Tagulandang, Kerajaan Siau, Kerajaan Kauhis – Manganitu, Kerajaan Kendahe – Tahuna, Kerajaan Tabukan dan Kerajaan Talaud. Serta beberapa kerajaan di Mindanao dan daratan pulau Sulawesi. Moyang-moyang itu adalah pelaut ulung yang berumah di ombak,  berjuluk “Bahaning Nusa” (Pahlawan Pulau).


Alamina *)


dari mindanao hingga bacan
berkisah mondelingen alamina
ampuang  mengajar kita syair dewa

o, aditinggi moyang tertinggi
pelindung alamina, pelindung kita 
pusaka kara, seperti pedang terhunus
di tangan sejarah menjernihkan nasib
dimana doadoa berdaun
dimana maarifat berakar
dirapal hulubalanghulubalang
agar laut tak letih, langit tiada mengantuk
membuka luasnya jalan bagi pendayung
karena mendayung, dayunglah  perahu
bersama seirama
searah setujuan
seperti tangan pasir yang banyak
membelai lautan serupa anak bocah
menjadi tak membahayakan

lalu terbetik cerita sukma selalu lusuh
seakan bumi tak berhenti menjadi tua
dan sejarah harus dibarukan
dalam gemerincing pedang beradu

anaksuku menggetarkan perang
membagi pulau atas nafsu, atas kuasa
menebas narang hingga menitikkan darah
dalam ketuban ajaran bertuah
kemudian melahirkan beberapa anak jadah

lihatlah moyangmoyang
di atas siong Kara, o
seperti guru letih mengajar anakanak durhaka
ketika jadi pemimpin hanya berpikir anak,
istri dan sanak saudara
rakyat di biar merana
penjahat dijadikan pahlawan
pahlawan dipenjarakan
ini keganjilan namanya!

maka berbijaklah ia
moyang ampuang Tatetu
sembilan kali menghadap dewa
membawa tangisan orangorang lembah
mereka yang hak kesejahteraannya dikorupsi para datuk
mereka yang hak kemanusiaannya diambil para datuk

o, moyang tertinggi, moyang aditinggi
empung upung amang, o
meminta ia alamina dibenamkan ke samudera
nedosa balagheng mau punya laut, punya pulau
punya semua, semaunya
beri air mata duka moyangmoyang
buat menempah, mengasah pedang perang generasibergenerasi
di atas laut yang dibawahnya terkubur sebuah negeri
dimana moyangmoyang dan peri
pergi menepi
membiar kita hidup sendiri

dan pulaupulau itu dinamai nusalawo
sebuah syair tua alamina
yang letih hidup bersama

2009

*) Ampuang Tatetu adalah seorang pemimpin spiritual (kulano). Sebuah mite dari masa purba di bawah 1500 SM  menyebut Alamina merupakan daratan pulau besar yang membentang dari Bacan hingga Mindanao. Pulau itu dipimpin kulano tua bernama Ampuang Tatetu yang dipercaya sebagai wakil dewa moyang tertinggi Aditinggi yang berdiam di puncak gunung Karangetang. Alamina di hancurkan dan ditenggelamkan  karena manusia tak lagi patuh pada hukum dewa moyang tertinggi (narang). Dari bencana besar itu, yang tersisa adalah puncak-puncak gunung yang kemudian membentuk pulau-pulau. Sementara hamparan karang di dalam laut di wilayah utara  muncul menjadi pulau-pulau karang yang baru. Karena letaknya jauh ke laut maka disebut pulau karang jauh di laut. (Malaude atau Talaude) Sisa-sisa dari reruntuhan Alamina itu oleh datuk Tatetu dinamakan Nusalawo (Pulau banyak). Saat ini orang menyebut kawasan pulau-pulau di utara daratan Minahasa itu dengan nama Nusa Utara. Padahal sebutan  Nusa Utara tidak tercatat dalam artefak sejarah dan mitologi Nusalawo. Peristiwa letusan gunung Awu yang menelan banyak korban jiwa serta hancurnya 7777 rumah di abad ke XI juga menenggelamkan sebagian daratan pulau Sangihe  dan membentuk pulau-pulau kecil seperti pulau-pulau Nusa, Lipang dan beberapa pulau lain hingga pulau Marore. Kejadian itu dikaitkan dengan adanya dosa sumbang (nedosa) antara Mekondangi dan Tampilangbahe.


 Keringat Bidadari *)


o ya kasiang
ia sengkatela su nusane
angkedung

dari Pyong Yang, putri Sang Iang di buang
bersama kedua orang tuanya Nio Aso
juga Sia Uw dan Ta Loo kedua saudara lelakinya
berakit bambu cina menuju utara
jauh sebelum perang manchu
moga di sana ada cinta
kerena di tanah asal perempuan dinista

Sang Iang menangis seribu satu malam
datangkan  iba Sang Hiang
bidadari A Hung direstu nunggang  Sang Hen
ke utara ikuti  air mata  
dalam kabut dalam gelombang
di sana diperciknya  keringat jadi daratan
negeri karang pulau khayangan

Tagh Alo Ang terusik tangis Sang Iang
dimintanya Ta I Fun  tebar gelombang
beraikan rakit  pengelana
pecahkan pulau jadi  kepingkepingan

kilau indah pulau  Ing Ang 
goda  burung langit Sang Hen
bersarang ia di Kara Nge Tang
Nio Aso tinggal di Man Dolo Kang,
Sia U di  Kara,  Sang Iang  di Tampungan
Ta Loo  di Aow Lo Tan

begitu adanya  nusalawo membentang
Tagh Alo Ang cukup senang
dipanggilnya Mekila- Medellu
membangun Ku Lan No di Tha Bu Khan

beratus tahun kerajaan itu berdiri persatukan negeri
sebelum Lorca menulis syair
bajak laut penemu pulau ringgit

2009

*). Mite keringat Malaikat Laut (bidadari Ahung) yang dipercik menjadi pulau-pulau Sangihe (Nusalawo) diperkirakan berasal dari masa awal migrasi bangsa-bangsa Mongolia dan Asia Belakang pada kisaran tahun 500-1000 (Zaman Hindu). Dikisahkan, seorang putri Cina bernama Sang Iang (Sangiang) bersama keluarganya di usir keluar oleh kaisar mereka. Menaiki rakit bambu dan terbawa arus ke lautan lepas. Keadaan tanpa harapan itu membuat putri Sang Iang menangis tanpa henti. Dewi Sang Hiang (Ilahi) pun ibah mendengar tangisan itu, maka diutuslah bidadari  A Hung (Antung=Opung=Empung=dewi laut) untuk memercikan keringat  menjadi daratan agar putri Sang Iang dan keluarganya  bisa menetap di sana. Tapi daratan itu pecah oleh amuk gelombang. Kepulauan  itu pun mereka namakan Sangi (Tangis). Tapi ada yang menafsir nama Sangihe diambil dari nama burung langit Sang Hen (salumpito). Juga dari kisah abad XIII dua orang putri kulano Mokodoludugh, kerajaan wowontehu bernama Uringsangiang dan Sinangiang yang menangis karena  hanyut dan terdampar di Manganitu maka negeri itu di namakan Sangi (tangis) bermakna; “yang tidak di sukai”.


Kulano Badolangi *)

O, wera dalai kanawo, e
E, wera mapia kadeho, o

beginilah sejarah laut kita;
mantra jahat jatuh
mantra baik hidup
dalam kelana moyangmoyang
kelana samudera zaman batu
pelayaran mite ke jantung abadabad
pendakian kecuraman laut
buat bertemu degup nafas dalam kebringasan
orang laut yang sabar ditarikan gunde

dan ketika kulano berdiri
datuk tempatkan di gerbang perempuan suci
petanda rahim bumi menantang kebranian memasuki

dulu kita mengenakan celana cawat
mengarip angin seperti kekasih mengusap kulit
lalu menancap batang layar
meninggalkan rumahrumah pohon tiang tinggi
dituntun roh moyang tertinggi
sebab di sebrang tak kelihatan
selalu ada negeri


o, alingan tumuwo, e
e, ensokang tumendang, o

meski dipindahkan tumbuh
meski  digeserkan bercahaya
di atas laut beludru perak
moyangmoyang belajar bijak
menghitung waktu dan hari baik
pada alasan langit menempatkan bintang
getaran bulan menambahkan potongan
liang angin melepas raungan
agar ayam berkabar pasang surut
buat bininta berumah samudera

dan kau pun datang dalam cerita lama yang perkasa
seperti matahari melepas cahaya ke guagua
buat anak cucu belajar kearifan
narang ditempah di ketajaman panah dan sumpit
dari mongolia, asia belakang, campa, mangindano
bertemu alamina negeri tua yang telah runtuh

o, Badolangi mendirikan kulano molibagu, e
e, buat  balagheng nusalawo, o

hingga zaman Sriwijaya
anak cucu terus mengembara
melintasi laut buat bertemu dunia baru
berperang dengan goa di molibagu
berpindah ke lokon malesung
membangun kulano wowontehu
bertahan di bentenan, tersuruk ke belang
berlayar ke talise bangka
mendarat di mandolang
di depannya manarow yang gagah
Mokodoludugh cucu Badolongi
memindahkan kulano wowontehu ke sana
berkuasa  dari talaud sampai kwandang
mengajar kita bangsa pemilik lautan

2009

*) Badolangi adalah Kulano (pemimpin spiritual) dan salah seorang pemimpin para pengembara  balagheng (rumpun keturunan) Nusalawo yang hidup di permulaan abad ke XIII. Ia pengajar kearifan tradisi laut dari moyang-moyang. Ia mendirikan kedatuan di Molibagu dan berperang dengan Bugis untuk melebarkan pengaruh.  Dari Molibagu, cucu Madolangi bernama Mokoduludugh (Mokoduludut) yang menikah dengan anak Tonaas Wangko Pinontoan bernama Baunia, memindahkan balagheng Nusalawo  ke utara gunung Lokon (Malesung) dan mendirikan kedatuan Wowontehu (Bowontehu=di atas dataran tinggi=). Karena pengaruhnya yang luas dari Talaud hingga Kwandang Gorontalo, maka ibu negeri dipindahkan ke pulau Manarow (Manado Tua) karena dipandang lebih strategis menjadi ibu kota kedatuan Wowontehu. Ketika itu wilayah teluk Manado masih bernama Mandolang, sudah menjadi Bandar yang ramai pada abad XIV .


Gumansalangi Ondaasa *)

medimpule Patiku selaeng
dimpulaeng

dari timu day berlayar ke selatan
menunggang seekor naga
karena ia punya laut
kerena pulau punya ia
ampuang… aku Gumansalangi, aku Ondaasa
guruhgemuruh guntur  kilatan api
berpendar lima cahaya lautan
buat terangi sebuah peradaban
di atas laut ada laut
di atas pulau ada pulau
di bawah ruata ada   ampuang
di bawah ampuang ada kulano

lima diriku damaidamai, o
lima diriku indahindah, o

di gemulai keanggunan gunde
bertakdir Ghenggona
bertakdir kondaruata
bahwa tak ada anak tanpa bangsa
           tak ada bangsa tanpa negara
           tak ada negara tanpa rakyat
maka kubangun dimpulaeng Salurang
tampunganglawo anak cucu
buat kebaikan tumbuh menerangi dunia

Salu iupung timpuang su walang tampungang
naung tenda iupung
Iapaka disihe susangi egegua
Sukabekaseng ngu elo,
nenualage kebi,
apa leto mapia.

2009
*) Gumansalangi dan istrinya Ondaasa, adalah keturunan dari leluhur tua Nusalawo (Timu Day) di Mindanao (dimasa purba kawasan Nusalawo membentang dari Bacan hingga Mindanao selatan). Gumansalangi,  seorang pertapa dan guru ilmu kebijaksanaan masa purba. Peletak dasar struktur dan sistim pemerintahan kerajaan-kerajaan di Nusalawo, dimana pemimpin tertinggi Ampuang. Di atas Ampuang ada Duata atau Ilahi pencipta segala yang ada. Di bawah Ampuang ada Bawikingan (orang terpelajar), mereka merupakan  Kulano-Kulano (pemimpin kerajaan). Di bawah Kulano ada Gundeng (pegawai atau pelayan raja)).   Ia juga guru ilmu agama purba dan kesusasteraan. Di abad ke XII ia dan isterinya memimpin pelayaran orang-orang Nusalawo dari Mindanao ke pulau-pulau Sangihe, lalu ke daratan Minahasa dan Bolaang Mangondow. Mereka menetap lama di Mangondow hingga dipandang sebagai nenek moyang orang Balaang Mangondow dengan sebutan  Gumalangit-Tendengduata.  Dari Mangondow mereka   kemudian kembali ke Mindanao.  Lalu dengan menunggangi seekor naga mereka datang lagi ke Sangihe dan  mendarat di gunung Sahandarumang. Kedatangan mereka di sambut gelegar guntur yang dasyat serta sambaran kilat yang menyala-nyala. Oleh orang Sangihe mereka pun dijuluki Upung Dellu dan Sangiang Kila. Ia mendirikan kedatuan (Kararatuang) pertama di Sangihe dengan nama Tampungan lawo dengan ibu negeri di Salurang pada 1300-1350. Kedatuan ini berkuasa dari Bacan hingga Mindanao. Dalam perkembangan kemudian kedatuan ini berubah menjadi kerajaan Tabukan (Sahabe) atau nama sasahara-nya Dimpulaeng. Setelah wafat, ia diyakini menjadi Ampuang (arwah suci=moyang tertinggi).  

Tuan Residen Jellesma*)

sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1677
di kirim ratu Belanda jadi hantu

sejak itu, negeriku dilanda banjir peperangan
seakan kutuk menjelma dongeng darah
penolak bala
hanyut dari Eropa
bersengketa karena rempah

paderipaderimu berkata: kami tak punya Tuhan
lalu berkhotbah seperti dewa
dan Tuhan yang sama
diajar spanyol, portugis dan gujarat
dilarang disembah

tuan residen Jellesma…
cerita ini sudah lama
tapi kau tak lupa berapa gulden pajak babi potong
kami menyetor dua puluh lima persen
ke kas kerajaan Belanda
lalu kau ambil lagi empat gulden dari setiap wajib pajak
moga kau pun tak lupa berapa gulden pajak pendapatan
berapa hari kami jalani  kerja paksa, untuk tuan,
untuk kakikaki tangan tuan

tuan Residen…
apakah kau tahu berapa harga saudara kami
yang terjual di pasar budak Madagaskar dan Brasillia?
berapa kerugian kami dalam kebijakan pemotongan cengkeh
berapa nilai budaya kami yang kau larang
berapa desa yang kau bakar
berapa rakyat yang kau tembak
berapa pahlawan dan raja kau bunuh dan mati di pengasingan
untuk membangun kemegahan Belanda di milenia kedua
di mana benderamu berkibar di atas sejarah busuk
di atas tanahtanah jajahan Hindia Belanda

tuan Residen Jellesma…
kau tak usah merasa dosa
puisi ini kutulis sekadar refleksi sejarah lama
karena setelah kami  enam puluh empat tahun merdeka
sejarah itu kurang lebih sama:
sebuah perahu besar dalam ukuran mini
memuat pendayung bonekaboneka kayu
tiba di pantaiku di tahun 1945
di kirim dari Jawa jadi hantu

lalu sangsaka mengibar kemegahan jakarta
di atas sejarah tangis dusundusun miskin merana

tapi tuan residen Jellesma…
bedanya… aku tak berani bertanya ke istana
berapa harga darah para pahlawan yang gugur
untuk merebut kata: Indonesia Merdeka
bila merdeka hanya untuk segelintir wilayah
segelintir orang

tuan residen…
di sini, saat ini, bicara tak dilarang
di masa ordelama antara dilarang dan tidak dilarang
di masa ordebaru dilarang
di masa ordereformasi tidak di larang
yang jadi persoalan saat ini
apapun kita bicara tak didengar pemerintah

begitu ceritanya…Indonesia Merdeka!

2009

*) Residen J. E. Jellesma, seorang pejabat Belanda, pada tahun 1899 mengeluarkan kontrak menyatukan kerajaan-kerajaan di Nusalawo ke dalam enam daerah politik otonom (Swapraja). Raja yang dulunya di pilih rakyat, diganti dengan penguasa yang di angkat pemerintah belanda. Menerapkan pajak yang berat, diantaranya pajak potong babi sebesar 2 gulden perekor atau 25 persen dari harga seekor babi ketika itu. Selain itu diterapkan pajak perorangan, pajak rumah dan harta benda, pajak pendapatan, serta kerja tanpa upah sebanyak 42 hari setiap tahunnya untuk kepentingan proyek pemerintah, berlaku bagi semua orang yang berusia 18-45 tahun, kecuali keluarga raja dan aparat pemerintah. Kebijakannya ini menimbulkan perlawanan rakyat yang disambut dengan tekanan bersenjata, pembunuhan, pembakaran desa, penangkapan dan pengasingan. Pemerintah Belanda berkuasa di Nusalawo sudah sejak 1677.  Kekuasaan  Belanda dan bangsa Eropa lainnya (terutama: Spanyol dan Portugis), dipandang sebagai “pekerjaan setan” (peralatan setang).   Seperti datangnya bala seiring tibanya sebuah perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung dari boneka kayu. Dalam upacara penolak bala Nusalawo purba, bila sebuah desa mengalami kesusahan atau kemiskinan, maka mereka membuat ritual menghanyutkan perahu besar dalam ukuran mini yang memuat pendayung boneka-boneka kayu ke laut lepas agar bala itu hilang. Tapi, menjadi celaka bagi desa lain dimana perahu mini itu terdampar, karena kutuk segera berpindah kesitu. Untuk menolaknya lagi ke laut mereka harus menyembeli banyak binatang sebagai korban darah, dan melepas lagi perahu mini itu ke laut lepas. Perahu lagi-lagi terbawa arus menuju pantai yang baru untuk menebar kutuk yang sama.


Gubernur Padtbrugge *)
ketika datang moyangmoyang menghadap Padtbrugge
mereka mengancungkan kepal dan berseru; gubernur…
jangan lagi kau janjikan kami jabatan apapun
karena mulutmu penuh khianat
hatimu tak pernah tulus
tak bangga kami kau beri  pejabatpejabat boneka
orangorang terlatih mengkhianat saudara
kau seperti spanyol dan portugis
barbar yang berlindung pada agama
padahal datang mencuri rempah

dengan 1180 tentara bulan november 1677, katamu
kau pukul spanyol dari ullu bagi kami, katamu
kau datang sebagai pelindung baru
kemudian kau bakar desa rakyat arangkaa
kau bunuh larenggam
kau tembak manganitu
kau gantung bataha Santiago
kau asingkan para pemimpin
kau penjarakan para pahlawan
kau biarkan rakyat diperdagangkan seperti budak
dan kau minta kami tandatangani kesepakatan
bahwa kau pahlawan
dan kau ambil semua yang kami punya
kau adu kami untuk perang saudara

wahai gubernur…
bagi kami kau sama seperti pendahulu
sama seperti Pieter Both
sama seperti Jan Pietersen Coun
para pengemban monopoli kekuasaan
kaki tangan kompeni
yang tak segan membunuh
untuk kepentingan laba dan untung

gubernur…
dulu ketika kau ditugaskan ke ternate dan maluku, katamu
itu misi kemanusiaan dan perdamaian
padahal kau tipu Kaitjil Sibori
semata untuk mencuri

dan kini saat kau kuasai benteng Sancta Rosa
kau panggil kami dalam nama;
“yang mulia tuan franciscus xaverius Batahi
Raja Siau dan pembesarpembesarnya”
“mari tandatangani kesaksian bahwa aku
telah melakukan segala tugas kemuliaan
bagi kerajaan dan yang mulia ratu. Bahwa kamu sekalian
merasa terlindungi oleh kompeni
yang ku pimpin”

wahai tuan gubernur…
jangan lagi meminta apapun dari kami
karena engkau licik
karena engkau pendusta
karena engkau serakah
karena engkau telah lama mati
ketika puisi ini selesai ditulis.

2009
*) Padtbrugge, adalah seorang Gubernur Belanda yang bertugas di Ternate dan Maluku, untuk mengamankan kepentingan Kompeni (VOC) dalam monopoli perdagangan rempah serta perbudakan. Pada 1 November 1677, ia memimpin 1180 tentara bersama Sultan Ternate Kaitjil Sibori menggempur Kerajaan Siaw. Setelah berhasil mengalahkan Siaw dan mengusai benteng Sancta Rosa yang dibangun Spanyol, ia menekan pula seluruh kerajaan di Nusalawo ( Kerajaan Tabukan, Tahuna, Kendahe, Tagulandang) dalam perjanjian penaklukan, diantaranya pembakaran seluruh tanaman cengkeh di kepulauan itu, pembakaran budaya dan ajaran-ajaran lama, serta secara licik  memaksa raja-raja memberi kesaksian palsu atas tindakannya yang melanggar perjanjian perdamaian antara Belanda  dan Spanyol pada tahun 1648 yang mengakhiri perang 80 tahun kedua negara.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar