Senin, 26 September 2011

MENANTI MAHONI BERTUMBUH (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Seusai menanam sebatang mahoni, kulihat mata Dian digenangi air. “Kutitip diriku di pucuk mahoni ini kak Pra. Jika suatu ketika kau rindukan aku, datanglah ke mohoni ini dan aku akan menjumpaimu dalam kenangan,” ujar Dian lirih. Senja masih membentang seperti selembar kain emas di langit di atas kaki gunung Piapi ketika aku tak tahan lagi ingin memeluknya. “Aku selalu ingat pesanmu. Aku selalu ingat…Ingat dan takkan kulupa,” bisikku di telinganya. “Kukira kita telah menitipkan keabadian asmara kita di sini, semoga rasa asmara ini selalu di sini, dan memanggil rindu ke sini,” katanya lagi.
Aku tak tahan lagi mendengar irama duka yang buncah di hati Dian. Pelan aku menjauh dari pohon mohoni kecil itu. Pohon yang ditanam pada sebuah lubang di sebidang tanah di kebun milik keluarganya. Kami berdua telah menyiapkan penanaman pohon pemberian Gereja itu dengan penuh penghayatan yang berbeda dengan cara penanaman pohon yang sama oleh orang lain. Mahoni kecil itu telah ditanam dengan suatu upacara ritual batin. Kami seperti dua manusia yang akan segera berpisah dan harus membuat suatu prasasti bagi masa depan.
Burung nuri mencicit di atas reranting Sisak di sekitar tebing. Dian masih di sana menyirami mahoni yang baru kami tanam itu dengan air yang diambilnya ketika melewati Andaara. Perempuan itu tampak seperti malaikat kecil yang tersesat dalam rimbah tanpa teman. Aku sebenarnya ingin selalu mengatakan bahwa aku akan selalu di sampingnya. Tapi gerogotan Leukimia yang dari hari-ke hari memangsa tubuhnya merupakan kenyataan yang tak mungkin dipungkiri bahwa aku tak mungkin menyertai dia selamanya, kecuali dalam kenangan.
Tubuhnya mulai kurus, dengan bibir indah yang keranumannya mulai luntur. Dari kaki Piapi kupandang lautan Fasifik yang luas dengan perahu-perahu yang pergi dan menghilang dalam kabut, kusadari dimana suatu saat jika datang waktu menyedihkan itu, aku akan menumpang kapal dan menghilang di balik kabut sana. Di sini, tertinggal mahoni itu yang terus meninggi bersama rinduku.
“Kau memandang perahu dan kapal-kapal itu kak Pra?” tanya Dian yang tak kusadari telah berdiri di belakangku. Aku menjawabnya dengan anggukan.
“Aku tahu kau sedang mimikirkan aku. Kita memang akan berpisah di batas kabut itu kak Pra. Seperti perahu-perahu itu. Waktuku tinggal sedikit, semoga kau bisa datang mengantar jasadku dikebumikan, dan menyempatkan diri menyiram mahoni yang kita tanam, ” pintah Dian dengan suara yang bersahaja. Hatiku mendesing. Ada gemerincing resik yang menyekat di sana. “Jangan katakan itu dik, kematian itu urusan Tuhan. Tugas kita adalah mengsyukuri rahmat kehidupan yang telah dikaruniakan Dia, tanpa memperhitungkan lama dan pendeknya waktu kita hidup. Lihatlah, kita ada di sini, dalam perasaan yang sulit digambarkan kebahagiaannya. Kita mendengar bunyi burung-burung. Memandang langit dan laut tanpa halangan. Semua itu kurnia dik. Kematian adalah suatu peristiwa ilahi yang juga harus disyukuri seperti juga kehidupan,” kataku. Dian menunduk. Rambutnya luruh diantara cahya lembayun yang memendar dari celah cabang kayu raja.
“Kita Pulang dik, Mungkin kakakmu Ferry sudah menanti di Pulutan,” ajakku. Dian memberikan tangannya untuk kupegang, dan aku membimbingnya turun. Dari jauh kulihat kearah kebun itu, daun mohoni kecil itu melambai-lambai ditiup angin. Di hatiku aku berbisik, aku akan datang menyiramimu.
***
Pagi-pagi, Erina, anak manis itu telah menghantamku dengan bantal. Mata kelincinya tak melihatkan binar keremajaannya. “Ada apa Rin? Pagi betul kau muncul.”
“Sudah siapkan pakaianmu dan berangkat hari ini,” ujar Erina.
“Ke mana?” tanyaku heran melihat tingka Erina yang sedikit aneh
“Ke Beo, Ferry menilponku barusan. Hpmu mati tak bisa di kontak jadi aku buru-buru ke sini,” jelasnya.
“Emangnya ada apa?” tanyaku penasaran. Mata Erina berbinar. Ada rasa pedih di sana.
“Kau harus datang melayatnya Pra!” seru Erina dengan suara sedikit tercekat.
“ Jadi… Dian Lembayun…?”
“ Ia telah tiada kak Pra. Dia meninggal tadi malam kata Ferry,” tutur Erina.
Tubuhku sedikit lemas mendengar kabar buruk itu. “Akhirnya kau pergi juga,” desisku pada hatiku sendiri. Tiba-tiba kenangan dengan Dian menyerbu ingatanku. Pertemuan di cerocok kapal karam. Perempuan dengan pakaian putih sewarna langit yang melintas di balik daun-daun Ketapang. Pohon mahoni kecil yang kami tanam di kaki gunung Piapi. Ah…semuanya berkelebat dengan liar dalam ingatanku.
“Kau harus pergi Pra. Ia adalah orang yang kau cintai.!” Seru Erina.
“Dan kau?” tanyaku.
“Aku sudah banyak tahu tentang Dian dari surat-suratnya kak. Ia wanita yang penuh cinta dengan hati bersih seputih kapas. Seharusnya jika ia masih hidup aku akan ihklas jika ia menjadi istri kak Pra,” ujar Erina.
“Ya Tuhan betapa telah Kau mampirkan wanita-wanita terbaik ini dalam hidupku,” gumamku. Kupeluk sejenak Erina. Ia terseduh. “Aku juga kehilangan kak Dian. Sayang aku belum sempat berkenalan dengannya secara langsung,” tutur Erina.
Esoknya, aku telah berada disisi jasat Dian. Di hatiku mengolam rasa duka yang tak termaknakan. Meski di wajah kaku itu masih kutemukan senyum yang mungkin ia simpan untukku, tapi duka terus merinai dalam air yang melompat dari mataku. “Semoga mahoni kita segera bertumbuh, meninggi, tempat aku bisa menggantung rinduku di pucuk-pucuknya,” desisku di telinga Dian. Ia diam saja dalam kekauannya. Tapi aku yakin ia mendengar kata hatiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar