Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (1)


(iverdixon tinungki)
 CATATAN PERMULAAN
Tahun 1995



“Upung-upung Baroa”
berekorekor Baroa meniti tanjung
impikan benua di balik samudera
meneduhkan saga di atas ombak
melukis rupa  lelaki
telanjang gila
Kepas tanpa kafan
kelaparan  di padang kematian :
“Carilah kebenaran dengan lentera
Di siang
Di tengah terik
Di  omongkosong
Hingga dari tumpukan itu
Kau dengar suaraNya
Suara  Dia
Lelaki yang sengsara”



(1)
            Siapa dia? Lelaki yang muncul pada setiap detakan nadi dengan kekuatan gaib manusia pulau di tengah hutan air itu. Ia yang senantiasa menyelusup hingga ke mimpi dan igau. Lalu menyedot keinginanku menemuinya.

Itu sudah puluhan tahun lamanya. Seperti jam indah yang disetel dengan benar. Terus bergerak dan mendetak.  Tapi aku tak bisa keluar dari panggilannya. Terkepung takjub, atau terperangkap misteria. Maka  kuputuskan meluangkan waktu untuknya.
Ini mungkin satu-satunya jalan membunuh risau setiap aku terpanggil olehnya. Dan untuk ini, aku harus menempuh perjuangan yang terbilang berat selama berbulan-bulan.
Ah… lelaki yang kulihat di senja yang murai. Lelaki yang setia memandang sayap-sayap hujan berkelindan di puncak ombak, hingga tiba waktu bianglala mengibarkan layar pelanginya. Lelaki yang menaru tangannya di hatiku, hingga aku senantiasa mengikutinya melintasi warna-warna perih. Dan dengan tangannya itu, ia terus mengetuk pintu surga yang gaungnya menjadi raungan menembus mimpi-mimpiku.
Akhirnya pula, Katamsi,  koordinator liputan  pada tabloid Kabar, tempat aku bekerja, mengeluarkan  rekomendasi permohonan cutiku yang sudah kuajukan berkali-kali.
Surat cuti di tanganku, yang kuterima saat menjelang pulang kantor membuat aku bisa bernafas lega di sore itu.  Sebab, aku telah lama dicekat oleh misteria yang terus menggumpal dan menghela ini. Masalah yang selalu meledak dalam otak dan keinginanku untuk menuntaskan beberapa hal yang masih tersembunyi dari lelaki itu.
Memang kupahami, amat berat bagi Katamsi, untuk menghentikan aktivitasku sebagai penanggung jawab reportase khas untuk tabloid yang kami bangun bersama-sama itu. Ia sangat mengandalkan aku, karena sekian waktu, seperti dikatakannya padaku, ia belum mampu melahirkan sosok wartawan yang punya kepekaan khusus untuk masalah-masalah khas, terutama human interest. Ia terus menunda-nunda permohonan cutiku dengan alasan yang masuk akal itu. Peradaban memang sedang mengering di tengah instrument media massa yang terperosok pada orientasi bisnis semata, dan abai pada pesan-pesan pengharapan. Ini sebabnya, Katamsi yang datang dari latar sebagai penyair membuka rubrikasi human interest sebagai oase bagi kedahagaan zaman. Dan memang benar, rubrikasi ini menjadi imej utama dari tabloid kami.   
Tapi, keinginan untuk bertemu Kepas sudah sangat membiusku. Sesungguhnya, apakah yang penting dari pertemuan dengan lelaki ini? 
Begitulah. Sekembalinya dari tugas khususku masuk ke sarang MNLF di Pulau Basilan hingga ke gunung Kararo yang menjadi kam pelatihan mereka, di Filipina, aku kembali mengajukan surat permohonan cutiku. Aku menjadi sangat berharap permohonanku itu dikabulkan. Apa pasalnya? Kisah lelaki itu tempo hari, sungguh telah menyedot keingintahuanku selanjutnya di tahun-tahun yang panjang. Syukurlah,  Katamsi, menjadi sedikit lunak dan meloloskan permintaanku, meski  hanya selama dua pekan.
Aku amat senang mendapatkan keluasan waktu dua pekan. Setidaknya, Kepas dapat kutemui. Itu saja.
Apakah Meria istrinya masih secantik saat kami bertemu?  Masihkah ia hidup? Tak ada kabar setelah puluhan tahun tidak bertemu dengan mereka. Lalu, siapakah di balik beberapa ledakkan bom yang telah menguncang beberapa tempat di tanah air? Apakah Herkanus, anak lelaki Kepas,  ikut bermain di tengah aksi teror ini? Yulin dan Dagos Jr suaminya masihkah  menjalankan bisnis senjata gelap ke MNLF dan MILF? Semua pertanyaan itu menggelantung, menggelembung dan jatuh seperti meteorit  di otakku.
Waktu di Basilan, Filipina,  aku sempat mendapatkan informasi dari beberapa sumber MNLF, di mana lingkaran pasokan senjata mereka masih dari Timur-Tengah.  Apakah Dagos, masih memainkan peranan dalam pemasokan senjata gelap  ke negeri Jose Abad Santos itu? Lalu siapa juga di balik pemasokan senjata yang berlogo PINDAT di tahun-tahun kemudian?
***

Juni 1995, aku sudah bulat berkeputusan bertolak dari pelabuhan samudera Bitung dengan kapal Perintis menuju Beo. Setidaknya aku harus berjumpa dengan Kepas. Aku harus melengkapi semua catatanku tentang dia, tentang kisah setetes air matanya dan aksi-aksi pembalasan oleh generasi-generasi berikutnya. 
Kepas, lelaki dengan sinar mata yang senantiasa membersitkan setumpuk penderitaan yang dilewati dan direnggut darinya. Dan jika ada waktu aku berkeinginan mengintip kenangan masa nakal-nakalku ketika remaja bersama Lian  di Goa Wetta. Mendengar simfony burung-burung ditingkah bunyi gerisik air yang leleh  di stalagtit. Jika masih bisa, aku mungkin ingin bersampan dengan Ben Liunsanda melintasi tanjung Ambora yang gelombangnya sangat dasyat.
Aku selalu ingin mengziarahi keberanian masa mudaku yang liar di atas amuk laut. Di atas ombak, di tengah gemuruh nan bringas  aku merasa bertemu waktu yang berharga dalam hidup. Di atas amuk ombak itu, aku laiknya kunang-kunang  merambahi rimba lebat dalam kesendirian. Seperti unggas dalam perjalanan migrasi melewati samudera menuju dunia nun tanpa ujung. Segala menjadi tersandar pada rahmatNya. Aku bertemu Tuhan yang ajaib itu dalam ketakberdayaanku pada alam. Saat-saat seperti itu betapa tulus, hati, jiwa dan rohku menaikan madah paling jujur yang meluncur bersama bisik-bisik doa yang kadar ketulussejatiannya seperti batu permata dimuntahkan magma dari jantung semesta  yang selalu rahasia. 
Disamping itu, masih banyak hal lain yang harus kutemui di sana setelah  sedarsawarsa aku tak lagi berkunjung ke sana. Mungkin mendaki punggung gunung Piapi atau menelusuri jejak buaya di beberapa andaara. Sungai-sungai yang selalu mengisahkan mitos yang takjub. Aku tidak tahu, apakah tengkorak manusia masa lalu masih berserak di goa Arangkaa dan Tatombatu?  Apakah mereka bagian dari anak seorang ibu di Afrika dalam sebuah periode migrasi yang tiba 20 ribu tahun silam, setelah melintasi Formosa? Atau manusia pagan yang keasalannya selalu gaib? Di sana, semuanya menarik dan senantiasa menghelaku ke sana.
Gugusan pulau-pulau karang Porodisa tak lain berupa jazirah misterius. Lagenda dan mite bercampur dalam kepercayaan agama Islam dan nasrani. Orang-orang yang hidup dalam singkretisme, dualisme, dan mistik tapi berbahasa  campuran milenesia-austronesia.
           Namun aku sudah berketetapan. Misi utama keberangkatanku  adalah menjumpai Kepas.  Kerena laiknya keyakinan Fromm, belajar pada gajah mati meninggalkan gading, maka setelah lahir, satu-satunya perjuangan besar seorang anak manusia adalah belajar untuk mati. Dan di sana, di kepulauan yang tertebar dalam jazirah perbatasan utara negeri ini, banyak anak bangsa tak diberi kesempatan menemui ajalnya dalam kehormatan. Mereka bagaikan buku tanpa isi, tanpa catatan, kecuali kesia-sian yang membekas di jejak air mata.
Sisi inilah yang menarik instingku sebagai jurnalis.  Konon mereka tak seperti daun gugur demi kegemburan tanah untuk kehidupan mendatang. Kematian mereka  seperti lenyap layaknya impian seorang bocah. Potensi diri mereka diambil dengan semena-mena oleh kaki tangan penguasa yang bermetamorfosis menjadi rezim tiranik. 
Dalam pelayaran yang melelahkan, di atas kapal yang dalam kiasan lama digambarkan; oleng-kemoleng oleh ombak gulung–gemulung, aku terus terhisap  persoalan yang belum berhasil kurampungkan itu. Aku selalu berada dalam suasana gelisah yang sedikit menegangkan. Tiba-tiba aku ingin bertanya kepada penumpang di sampingku:
 “Pernahkah engkau membunuh semut yang merayap di kulitmu?”
Tanpa ekspresi dari mulut lelaki berperangai tinggi besar itu segera meloncat jawaban pasti.
“Kita tak butuh setarikkan nafas untuk meremuknya! Dengan refleks tangan kita berkelebat menghimpitnya di antara kulit, lalu semut itu lenyap tergilas.”
“Adakah kau menengok bangkainya di mana?” tanyaku lagi.
“Kita hanya perlu mengibaskan telapak di tempat itu, dan segalanya selesai. Kita tak pernah bersoal dalam diskusi besar hakikat arwah-arwah semut, apalagi memperbincangkan perikebinatangan-nya. Semut hanyalah sesuatu yang semaunya kita bunuh. Seperti hal sepele yang datang dan perginya tak memiliki pengaruh pada keseimbangan semesta.”  Bernarkah? Ludahku tiba-tiba terasa pahit. Kukira itulah tabiat buruk manusia hasil pencekokan ideologi tanpa peri yang terekspresi di sana bahkan di mana-mana. Semua seakan tak perlu ritual, atau ekspresi khusus. Tak perlu lonceng untuk kabar kematiannya. Di hutan dan di kampung-kampung anjing-anjing tak perlu melolong untuk kematian itu. Tak ada kembang dan upacara pengantar menuju liang lahat. Semut yang dibunuh tak punya liang kematian. Entah ia punya tempat di surga, tak pernah dipersoalkan.
Di sana, kematian seperti itu telah ku dengar dari berbagai kesaksian dan kulihat dalam berbagai kurun waktu, sejak kecil ketika aku masih nakal-nakalnya memanjat pohon Mangga besar di balik dinding sel para tahanan PKI di Ullu Siau. Kenangan masa kecil itu terus melindap kemilau dan beterbangan dengan liarnya dalam cahaya bulan di relung ingatanku. Orang-orang yang tersekap diderah habis-habisan seperti memukul babi.
Aku harus mencari dan menemukan mereka. Begitu niatku hingga dalam kurun yang melelahkan, aku senantiasa dipanggil oleh peristiwa-peristiwa masa silam itu.   
Betapapun tak berharganya seorang manusia selalu mencita-citakan kematian yang layak. Kematian yang bisa dikenang anak cucu. Itu sebabnya setiap manusia berjuang membangun peradaban sebagai jalan menemukan kematian yang terhormat.   Ungkapan yang kudapat dari buku kecil seorang teolog pembebasan  yang dikirim profesor Carle dari Jerman padaku itu tanpa sengaja menjadi cermin yang teramat bening di pikiranku. Di situ sekaligus aku melihat mukaku yang coreng-moreng. Wajah yang mengkilap oleh keluh dan bayangan muslihat terselubung yang terpantul dari bingkai setiap pintu di mana aku coba mencari kebenaran di dalamnya. Di tengah mahalnya harga kebenaran, maka kabar  kebenaran itu harus kutulis sebagai kesaksian bagi generasi mendatang.
Kukira kematian-kematin di pulau-pulau sana adalah sesuatu yang lahir sebagai akibat pencekokan sistem nilai yang mengalir dalam kultur bangsa dan negaraku yang menurutku terus terpeleset dalam kegamangan dan chaos-chaos akibat memudarnya kearifan dalam diri para pemimpin. Pemimpin-pemimpin bangsa yang mungkin lupa bahwa negeri ini terdiri dari ratusan bahkan ribuan etnik, yang sekaligus menandahkan adanya ratusan potensi perbedaan. Bahwa perbedaan-perbedaan yang selalu disebut keragaman itu baru bisa dianggap sebagai kekayaan khas suatu negara jika para pemimpin mampu menempatkan pemerataan dan keadilan bagi semuanya.
Ternyata, mewujudkan keadilan yang merata itu tak semudah kita menyanyikan tembang perjuangan  “Indonesia Raya” atau “Bagimu Negeri” sambil mengibar sang saka Merah Putih seperti dalam film yang memuat berbagai kepentingan tertentu.  Kita punya satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, namun dalam perlakuan keadilan selalu ada saja perbedaan. Seperti pohon, negara ini berbuah diskriminasi-diskriminasi. Buah itu jatuh ke dada ibu pertiwi. Ibu yang terpaksa memeluk buah-buah penuh ulat. Buah yang menguapkan aroma busuk korupsi, kolusi, nepotisme. Bau itu menguap masuk dalam jiwa lebih dari dua ratus juta penduduk. Buah pohon yang disemai dari hutang luar negeri yang membumbung hingga ke pundak tujuh generasi yang belum lahir. Generasi yang akan segera mengidap penyakit rasa rendah diri di tengah paguyuban umat manusia antar bangsa, antar generasi. Generasi yang hanya bisa tersenyum dalam gorong-gorong gelap hatinya. Generasi yang segera berada di bawah tumit sepatu anak-anak negeri lain yang menginjaknya seperti kecoak busuk yang berseliweran di empar-emper kemegahan dunia abad dua satu.
Kesenjangan sosial tergelar seperti permadani. Kota-kota makmur berdiri di tengah tumpukan besar kaum miskin yang mendiami gubuk-gubuk reot yang setiap harinya dari sana terdengar teriakan lapar anak-anak. Kaum miskin gembel ini ternyata harus menyediakan banyak air mata agar mereka selalu bisa menangis.
Aku menangis di depan cermin di pintu-pintu lembaga  penegak keadilan kita hari-hari belakangan ini. Betapa sulit menjadi seorang manusia di negeri ini. Jalan menuju kematian di tanah-tanah merdeka ini pun harus melewati derita yang lebih dibanding kematian seorang manusia di negeri merdeka lainnya.
Gelombang laut Porodisa menggelegak di hatiku. Senantiasa menggelegak, seperti ayat-ayat gugatan surga pada jiwa dunia. Dengarlah… dengarlah, katanya; di segala pelosok terdengar teriakan, “Apa artinya bersatu jika hanya lainnya yang diuntungkan!” Meski di lain sisi, rasa cinta tanah air senantiasa melafalkan suara tak ingin berpisah. Suara-suara sederhana itu riuh pergi dan riuh lagi,  tanpa capek meneriakan nasionalisme yang ternyata lebih bermakna hegemoni. Mereka tak ingin jika negeri ini terpecah-pecah. Yang mereka cari adalah para pemimpin yang memiliki rasa keadilan bukan pemimpin yang datang mengunjungi lokasi bencana banjir dengan menggunakan mobil sedan import mewah. Atau, yang menyumbangkan bantuan amal untuk sekedar mendapatkan publikasi media massa.
Di negeri ini banyak orang melewati sejarah perang besar yang menakutkan dan mengerikan. Perang itu terjadi berkali-kali, berulang sepanjang zaman. Namun bagi sebagian orang, perang paling dasyat itu justru suatu pertempuran yang   terus berkecamuk setiap menit bahkan setiap detik dalam batin dan pikiran seorang anak manusia, ketika ia terdepak dari derajat kemanusiaannya. Siapa pun ia. Dan kini, peperangan itu ada di sana, dalam batin orang-orang tertindas, terpenjara, dan si miskin, yang ketakutan tanpa pengharapan. “Yang sebagian dari itu semua tersimpan di daratanmu!” Begitu kataku pada bebukit dan sehamparan daratan karang yang pelan-pelan didekati kapal yang kutumpangi.
Beo, sebuah kota kecil  yang kini harus kukunjungi, setelah bertahun-tahun terlupakan. Kecuali roman masa belasan tahun tentang cinta yang berakhir tak mengenakkan, yang tersimpan di sana, namun masih hidup dalam ingatan. Menjadi kenangan.
Kapal yang kutumpangi merayap pelan mendekat ke daratan itu. Angin panas bulan Juni menerpa mukaku. Kering dan asin. Mataku terkadang menjadi perih dan berair oleh debu yang terbawa angin. Aku menyekanya berkali-kali, tapi berkali lagi rasa tak nyaman itu menyerbuku. Aku kadang nerfous dan kacau. Kupikir ini mungkin ada hubungannya dengan sesuatu yang akan kujumpai di daratan sana. Tapi sangkaan itu selalu kuredahkan dengan kesadaran, bahwa mungkin aku terlalu terjerumus dalam sensitifitas yang berlebihan. Tapi semakin kutepikan perasaanku, gelombang sedasyat itu tak mungkin kuredahkan dengan hanya mengacungkan kebesaran hati. Aku bukan Yesus, yang bisa memerintahkan laut untuk teduh dengan sabda. Cerita menakutkan dan mengerikan dari Kepas, diam-diam mulai menghisapku, sehingga segalanya seakan memiliki ikatan psycologis dengan diriku.
 Daratan pulau Karakelang itu telah terlihat sangat jelas. Pohon-pohon kelapa menjulang bak lelaki lansia tanpa rambut. Angin laut samudra Fasifik  yang menyaput pohon itu hanya menggetarkan lidi-lidi yang tampak menghitam dengan bunyi gerisik yang resik dan kadang-kadang terdengar seperti suara arwah-arwah misterius yang muncul dari dalam tanah di rimbah pulau.
Daun-daun kelapa habis dilahap sexava. Kecuali cengkih dan pohon-pohon cocao yang tampak subur, tapi tak berharga. Harga cengkih jatuh di pasaran dimainkan sistem monopoli yang dilegitimasi negara untuk menguntungkan perusahaan-perusahaan yang dioperasikan kerabat dekat keluarga anak-anak presiden, menteri, gubernur, walikota dan bupati, camat, lurah dan kades, kepala jaga, hingga kurcaci –kurcaci kecil kaki tangan mereka yang bernama preman. Mereka itu bercokol dari dusun-dusun hingga ke pusat-pusat pemerintahan. Betapa benih-benih kegilaan itu telah merasuk menjadi sistem nilai yang tak kuasa ditepis seorang rasul sekalipun. Bahwa siapapun yang masuk kekubangan sistem pemerintahan yang busuk ini pasti bermetamorfosis menurut kehendak kegilaan-kegilaan itu.
 Petani-petani di tekan. Hak-hak mereka digorok. Jika stock cengkih berlebihan, petani-petani dianjurkan untuk membakar hasil panenannya. Di lain sisi, pemerintah terus meluaskan kebijakan import cengkih. Gila! Sedang Cacao yang dianjurkan pemerintah penanamannya, tidak memiliki pasar. Ah… negeri ini penuh sesak derita akibat tipu dan dusta yang justru dilegitimasi pemerintah.
Daratan ini  termasuk kawasan phery-phery. Kawasan pinggiran tingkat tiga dalam sistem pembangunan nasional dan kapitalisme global. Sebuah rantai penghisapan pusat terhadap daerah-daerah. Daerah yang hanya berharap hidup dari sisa remah-remah penghisapan itu, meski gerakan reformasi mulai dikobarkan. Begitulah setidaknya opini yang berkembang dalam tulisan berbagai media massa terbitan lokal. Tak heran, kawasan itu tampak sempurna potret kemiskinannya. Terisolir dan terpinggir. Kawasan pesisirnya diisi gubuk-gubuk reot para petani dan nelayan. Orang-orang yang kemaslahatan hidupnya tak dibela negara. Malahan, kemiskinan kaum pinggir ini dijadikan komoditi negara dan sebagian Lembaga Swadaya Masyarakat untuk menggaet bantuan masyarakat internasional. Tapi bantuan itu tak pernah sampai ke tangan mereka. Tak menjadi nasi atau protein agar mereka tak busung lapar pada musim paceklik.  Apakah untuk ini hingga nabi sebesar Muhammad mesti mengingatkan umatnya; “Nasib suatu kaum hanya bisa berubah kalau kaum itu sendiri memperjuangkannya.”
Sebatang rokok sudah kuhisap sejak tadi. Perasaanku menjadi agak santai setelah itu. Sudah satu jam aku mensengajakan diri bersandar di sisi kiri pagar  anjungan kapal. Lamat-lamat, daratan itu dapat kulihat dengan jelas dan kukenali lagi. Seperti meneliti tiang-tiang masa silam yang masih memberkaskan sesuatu yang sulit terhapuskan dari ingatan. Beberapa orang dari penumpang yang memilih meninggalkan kabin, juga  melakukan hal yang sama. Mungkin sedang menandai kenangan. Mungkin tentang kepahitan, atau kisah heppy ending yang penuh rona keriangan yang pernah mereka alami pada waktu lampau di daratan itu. 
Laut begitu teduh menguapkan warna saga. Perahu-perahu penjemput tampak berbaris menunggu jangkar kapal meluncur seiring bunyi stom kapal yang memanjang. Stom keras yang mengusik istirah burung-burung kecil yang bersembunyi di reranting semak di sekitar tanjung yang menjorok ke laut itu. Persembunyian dari inceran batu ketepel anak-anak yang kini keseringan melatih keperkasaan naluri membunuh. Sebuah kultur kekerasan yang tersosialisasi bersama-sama sistem pendidikan yang oleh para pengeritik disebut sebagai otoriter, tidak demokratis, yang justru berujung pada penjerumusan, bukan penyadaran manusia atas kemanusiaanya.
“Aku sudah kembali,” bisikku pada keriuhan suara para buruh dan penjemput di pantai sana. Darahku sontak mendidih menyaksikan daratan ini lagi. Kembali mencari kesaksian dari peperangan itu. Kesaksian  yang teramat penting agar kehidupan ini tak sia-sia. Mungkin bukan cuma untukku, tapi kepada siapapun yang pernah lahir, atau yang sekedar mampir dalam kehidupan, menjadi warga negara sebuah bangsa, dan warga dunia.
Aku mungkin orang pertama yang paling banyak menyumbangkan air mata ketika mendengar kesaksian itu. Padahal, aku sebenarnya tak ingin kembali ke sana, ke kota kecil itu. Kota para pribumi yang terpencil, terpinggir dari apa yang bernama kemewahan masyarakat kota, atau perbincangan-perbincangan sengit tentang politik, perubahan sosial dan kesenjangan antara si kaya dan si miskin, atau pergeseran nilai yang mencolok antar generasi.  Sebab jika aku ke sana apalah artinya. Aku tetap sang lain. Aku bukan seperti Susan yang begitu benci sikap lelaki dari kepulauan ini. “Pengecut,” kata Susan temanku. Ia menggeneralisir sifat manusia karena terbakar dendam. Pengorbanan keperawanannya yang kemudian tidak dihargai Agus telah memicu dendam itu. Agus memilih pergi dengan perempuan lain. Sementara Susan, terbiar di jalanan, di bawah matahari, dengan secuil sisa harga diri. Tapi itu tragedi tersendiri seiring munculnya kultur ambigu dalam diri generasi masyarakat kita.
Ini juga bukan karena pada akhirnya aku tidak berhasil menikahi Lian. Gadis keturunan Tionghoa, yang bibirnya selalu meranumkan kegembiraan. Yang selalu hangat ketika kukulum. Ah… Tidak sama sekali. Aku memang pernah mencintainya. Bahkan hingga saat ini aku masih mencintainya. Namun sebagai anak pribumi, aku harus menyerah pada adat. Anak-anak Tionghoa, bagaimana pun mereka berasimilasi di negeri ini, mereka tetap kelompok eksklusif. Perkawinan sebangsa tetap menjadi impian warga keturunan itu. Sungguh aku tidak membenci Lian cuma karena tabiat temurunnya. Bahkan aku telah belajar darinya dimana kesejatian cinta bukanlah dermaga bagi perkawinan. Meski cinta sejati sesungguhnya adalah perasaan yang senyawa. Kita tetap butuh keihklasan juga untuk melepaskannya. Itu hukum alam yang tak terbantahkan, begitu kataku tempo hari ketika menghibur diriku sendiri dari rasa ingin bunuh diri karena berpisah dengan Lian. 
Namun bukan kisah picisan masa remaja yang kanak-kanakkan itu lagi yang ingin kutemukan di kota kecil ini. Dan bukan kisah itu yang akan terpaparkan nanti. Cuma saja, di sisi lain, pemburuan cintaku di kota kecil yang sunyi itu, telah mempertemukan aku dengan Kepas. Sosok lelaki yang kemudian akan menjadi tokoh sentral dari kisah-kisah berikut.

***
(2)

Pertemuan yang tak disangka-sangka, di paroh 1970-an.
Pertemuan itu sebenarnya sesuatu yang tak di sengaja. Mungkin inilah namanya suatu pertemuan yang direncanakan Tuhan. 
Suatu sore, ketika senja memerah di lautan. Denyar keemasannya melukisi kaki langit yang terus meninggi dari batas horizon, hingga ke punggung mencekung di atasnya. Warna senja itu kemudian menikung halus  ke ufuk timur yang kebiruan seperti mengikuti garis kubah langit.  Ketika itu, laut serupa gambar lukisan naturalis. Bayang-bayang awan di atasnya bergerakgeriab mengkilap keemasmerahan. Negeri Fasifik yang terik.
Aku di sana sepulang mengantar Lian. Kami baru kembali dari kampung Rainis dengan mobil Mikro yang dikendarainya sendiri. Dari ketinggian sekitar delapan meter di atas permukaan laut, kira-kira lima ratus meter dari rumah dinas pamanku tempat aku menginap, di dataran yang persis mendekati pantai yang menjadi tempat berlabu kapal-kapal, tanpa cerocok, apalagi dermaga. Di depan bagian kiri kantor Koramil – sebuah kantor jaga para tentara yang dikonsentrasikan untuk pengamanan wilayah kecamatan – seorang lelaki tinggi kurus tampak berkeringat, padahal senja telah merentangkan sayap-sayap dinginnya.
Berkali-kali lelaki itu meludah ke rerumputan di pinggir parit. Ia memang sedang membersihkan parit saluran air. Parit yang  menghitam dan berbau di pinggir jalan yang tak jauh dari pasar ikan.  Lelaki itu kira-kira lima puluhan tahun lebih umurnya. Wajahnya, sekilas menyimpan perasaan letih yang juga menghitam.
Angin sore terasa basah memukul punggungku ketika lelaki itu menyeringai ke arahku. Sejurus kemudian  ia melemparkan lagi pandangannya ke parit. Ia kembali asyik memainkan cangkul kecilnya menerabas rerumputan yang meliar di sisi-sisi parit.  Rumput-rumput itu menutup jalan air yang menyemburatkan bau anyir. 
Beberapa mobil berkali-kali melintas di jalanan tanah di pinggir parit menerbangkan debu kering ke udara. Lelaki itu bersin beberapa kali setiap ada mobil yang melintas. 
Sebenarnya, telah beberapa kali pula aku berpapasan dengan lelaki ini. Setiap berpapasan, aku selalu terpana bila berbenturan mata dengan dia. Aku telah melihatnya beberapa kali juga di seputaran kota, dengan pekerjaan yang sama. Atau sesekali ia terlihat memikul sampah-sampah busuk dengan karung goni dari beberapa rumah agak mewah. Mungkin milik para pejabat, atau orang-orang penting. Aku sebenarnya bertanya-tanya dalam hati sejak itu, siapa lelaki dengan sinar mata teramat letih ini. Apakah ia manusia tergembel di dunia? Pangeran yang menyamar menjadi lelaki buruk rupa, hingga bisa akrab dengan rakyat? Atau seorang kriminal yang baru memperkosa seorang gadis anak pemilik rumah mewah yang baru ia tinggalkan itu, lalu menyamar seperti buruh sampah?  Banyak pertanyaan menggantung di benakku.
  Lelaki yang wajahnya selalu disaput debu kering jalanan. Lelaki dengan keringat yang menyemburkan aroma keras yang memualkan. Apakah ia punya isteri? Kalau punya, apa peran seorang isteri kalau tidak merawat suaminya? Dapatkah seorang isteri tidur dengan suami yang menyembunyikan penderitaan, tanpa diketahuinya sama sekali? Apakah ia punya anak? Kalau punya, bagaimana mungkin mereka menemukan kebanggaan di sinar mata sekelam itu? Bisakah ia menjadi cermin tempat anak-anaknya merefleksikan diri? Dimana familinya? Banyak pertanyaan muncul, pergi, dan muncul lagi. Atau apakah ia arwah orang mati yang berlalu-lalang dan hanya aku yang melihatnya karena mataku terang? Apakah masyarakat di sekitarnya telah buta, atau kehilangan bola penglihatan di kelopak matanya, sehingga tidak bisa melihat dan menangkap makna yang terpancar dari wajah penuh kesah ini? Ataukah tak ada tempat lagi bagi kesadaran akan rasa kemanusiaan di kota kecil itu? Sudah matikah rasa kemanusiaan?
Hari itu, di tengah  gerimis yang mulai merinai. Kulihat dia lagi-lagi di parit  depan Koramil dengan pekerjaan yang sama. Seperti sebuah lukisan dengan tema keburukan yang terpasang pada sebuah pigura tua  berdebu. Penyok-bonyok dan rongsokan oleh waktu.  Pakaiannya lusuh, menghampiri pakaian yang biasa dikenakan orang tak waras.
Mungkin karena sedemikian letih, lelaki yang kuperhatikan itu lalu mengasoh sejenak di bawah pohon Manggustan kecil di depan kantor tentara yang bercat hijau dengan kombinasi hitam. Kantor dengan tiang kayu dan dinding papan. Kantor ini merupakan tipe bangunan yang berbentuk barak. Konon dibangun pada masa awal Soerharto mengambil alih kepemimpinan nasional dari tangan presiden pertama Soekarno. 
Sesaat kemudian, gerimis menghilang. Lembayung mulai mengganti mega-mega mengisi warna  kekelaman ke gigir-gigir bukit dan kaki-kaki langit. Beberapa kali lelaki itu terlihat menguap dan mengerak-gerakkan badannya hingga terdengar bunyi derak dari tulang belakangnya. Setelah itu, ia memang tampak santai. Mungkin tulang-tulangnya yang kaku sudah terasa longgar dan nafasnya yang berat agak legaan. Tapi sorot mata itu, mata yang menghitam di antara tulang pipih yang mengering tak pernah terbersihkan dari gambaran beban yang menindih entah di beberapa tempat di bilik hatinya. Kubaca mata lelaki itu. Mata yang tak dapat mendustakan hikayat penuh perasaan sakit yang pernah lewat dan tersaksikan olehnya.
Tak berapa lama. Seperti juga secara sengaja, Tuhan mau menjelaskan makna dari sinar kegelapan wajah lelaki itu kepadaku. Seperti sebuah puisi sederhana yang maknanya betapa gampang terkisahkan.
Seorang tentara dari pos penjagaan   terus mengawasinya. Tentara yang kulihat berpangkat Koptu. Dari lengan bajunya berkilat dua garis merah darah yang sejajar ketika tertimpah lembayung. Tentara itu  dengan cepat meninggalkan posnya menuju ke arah si lelaki. Sesampainya di belakang si lelaki dengan sinar mata letih itu, ia langsung menendang punggung si lelaki diselingi beberapa ocehan yang tak jelas kudengar. Si lelaki  dengan cepat terjungkal, menukik ke parit. Air becek hitam  berdebam dan berhamburan ke atas tertimpah tubuh kurus yang jatuh seperti sebuah batang tua yang patah dihentak gigi guntur yang dasyat. Setelah menendang, sang Koptu, pergi begitu saja, masuk ke kantornya. Seperti tidak ada perasaan bersalah sama sekali di wajah sang Koptu. Hatiku tercekik menyaksikan kejadian biadab yang menakjubkan, yang berlalu begitu saja ditelan senyap kota kecil ini.
“Tuhanku, inikah puisi kongkritMu itu?  Dan itukah arti dari sinar letih mata lelaki ini? Tak ada jerit atau suara keluh dari si lelaki. Apakah ia tak punya suara lagi untuk mengekpresikan perasaan sakit? Ia seperti benda mati atau batu yang jika timbul keinginan kita untuk melemparkannya maka spontan kita melemparkannya, tanpa mempedulikan riwayat dari batu itu sendiri. Entah ia tenggelam di kolam, di bibir pantai yang berombak, atau menggelinding ke tebing curam. Bahkan pecah berkeping-kepin ketika menghantam batu yang lain jauh di bawah dasar jurang?  Ataukah di suatu hari batu itu telah menjadi inspirasi bagi pembangunan suatu menara gereja atau mungkin menara Babel? Sungguh suatu kejadian yang kian misterius untuk ukuran perasaanku.
Lelaki itu tak bersuara, apalagi sedikit menjeritkan rasa kesal. Siapa lelaki yang sedemikian sempurna menikmati indahnya rasa sakit itu?
Aku berkeputusan menghampirinya, ingin menyapanya dari dekat, biar dukanya yang kian merindingkan itu bisa berbagi denganku.  Ia berusaha naik dari parit yang dalamnya sekitar satu meter setengah. Tubuhnya bermandikan lumpur hitam. Ketika melihatku, ia dengan cepat  mengulurkan kedua tangannya memberi tanda mencegat jangan mendekat. Aku kaget melihat reaksinya. Setelah mencapai tepi parit, ia menatapku dengan sinar matanya yang aneh. 
“Kau pasti orang baru di sini,” katanya sambil berusaha menepis becek yang berbau busuk dari tubuhnya. Bau busuk itu tercium hidungku meski aku berdiri beberapa meter darinya. Sesaat kemudian ia berkata lagi, “Aku ini dituduh PKI.”. Suara yang keluar terdengar semacam gumam yang pahit dan datar.
“Ini sudah nasibku. Jangan menolongku, jika kau menyayangi dirimu,” sambung lelaki itu, dengan suara serak yang diselingi batuk keras yang kering.
“Apakah semua orang PKI di sini diperlakukan seperti ini?” tanyaku, sambil berusaha membuka ruang komunikasi dengannya. Lelaki itu mendongakkan kepalanya. Beberapa bagian bibirnya nampak pecah-pecah dan pucat. Mukanya yang rusak dengan beberapa bekas luka begitu jelas terlihat meski dilumuri becek yang terus merembes ke lehernya.
 ”Ini baru bentuk hukuman yang ringan. Masih banyak yang lebih berat. Kami sebenarnya sudah mati meski masih hidup,” ucapnya dingin. Aku menoleh ke langit agar tak larut melihat penderitaan dia yang tergambar di raut mengasihankan itu. Sementara dari arah pos jaga Koramil, sang Koptu menyeringai ke arahku dengan tatapan menghardikku. Tapi aku tak peduli dengan lelaki brengsek itu.  Kalau pun dia berani melakukan sesuatu akan kulawan dia. Toh, sebagai jurnalis aku punya hak dilindungi undang-undang untuk mengungkap semua tindakan ketidakadilan yang seperti baru dilakukannya pada lelaki itu.
“Jadi janganlah bersimpati, apalagi menolong kami,” kata lelaki itu lagi, yang mungkin memahami arti tatapan kerasku pada sang Koptu.
Perasaanku tiba-tiba kian perih, kian terenyuh. Apa yang kusaksikan di masa kanak-kanak di Ullu Siau, dari atas pohon Mangga di balik sel para tahanan PKI  di kantor Koramil, berkelebat sepeti klise-klise gambar yang disorot projector empat milli dari ingatanku.
“Merokok?” tanyaku.
Ia mengangguk. Ku lemparkan sebungkus rokok ke sampingnya ketika ia kembali berjongkok menuruni tepi parit. Tanpa bicara lagi kutinggalkan lelaki itu. Dari jauh berkali-kali kupalingkan kepala melihatnya. Di sana ia terlihat kembali mengerjakan pekerjaannya, hingga senja menelungkup, dan kegelapan menyembunyikan bayangannya di antara tepi parit bersama sunyi.
***
Sejak perkenalan penuh rona mengerikan itu, berhari-hari kemudian aku berhasil menemuinya lagi dan ia ternyata bersedia berkomunikasi denganku. Sejak itu, aku melakukan pertemuan secara intensif dengan lelaki yang kemudian kukenal namanya Kepas.
Rumahnya di desa Makatara. Sebuah desa yang terletak di arah kiri dari kota Beo bila kita melihatnya dari laut. Kepadaku Kepas mengisahkan, katanya, desa Makatara merupakan desa tua yang menyimpan sejarah Hindu purba. Desa yang konon dibangun seorang Mpu yang diutus patih Gajah Mada pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dari kerajaan Majapahit.  Sayang mite dari tanah Jawa itu tidak banyak menyisahkan bekas, selain alat-alat musik dari penguyuban tradisi Hindu Jawa seperti gong dan gamelan yang terbuat dari besi dan tembaga yang masih tersisa yang mereka namakan nanaungan. Simbol-simbol kekristenan terutama dari denominasi protestan seakan telah mengambil alih semuanya. Menjadi wujud peradaban baru di sana.
Berbincang-bincang di rumahnya sangat mengasyikkan. Kepas banyak bercerita tentang pengalaman hidupnya, dan pengalaman rekan-rekannya korban-korban stigmatisasi PKI yang dilancarkan penguasa. Kadang kami ngobrol sambil mendaki gunung Piapi di belakang desa Pulutan. Di hutan-hutan kayu Sisak dan Batuline itu ia banyak memberikan aku catatan-catatan sekaligus membukakan pintu-pintu inspirasi bagi tulisan-tulisanku.
 Sayang pertemuan-pertemuan kami di rumah mereka di desa Makatara dan di tempat lain yang penuh sinfony itu, tercium oleh tentara.
Pada suatu hari, dari istrinya, aku mendapatkan kabar, Kepas telah dijemput tentara pada suatu malam. Ia dipukuli seperti anjing di depan istrinya. Lalu, di bawah entah kemana. Duka pun tiba-tiba menggelantung di hatiku, tapi apa yang dapat kulakukan. Aku berpikir keras. Tapi, memang sulit mencari jalan keluar di tengah sistem penindasan yang telah terpola sedemikian ini.
“Jadi jangan menemui dia lagi, atau menemui kami, agar kami tidak mendapat malapetaka,” ujar Meria, istri Kepas, memohon kepadaku dengan suaranya yang lirih di antara isak tangis dan linangan air mata yang menderas, ketika itu. Aku hanya bisa menunduk. 
”Kami dilarang berbicara kepada siapapun apalagi dengan seorang wartawan,” sambung Meria lagi. Kupahami semuanya, dan aku harus memilih tidak bertemu lagi dengan Kepas sampai aku meninggalkan Beo di bulan Mei tahun 1975.
Sebagai seorang jurnalis, aku kemudian sedemikian tergoda bahkan terobsesi untuk menulis kesaksian-kesaksiannya. Kesaksian-kesaksian yang kunamakan sebagai peperangan terdasyat yang terjadi di padang batin. Batin yang tak berdaya. Berserakkan di tanah yang di basahi air mata. Aku dan Kepas telah bersepakat untuk itu. Sayang pertemuan itu begitu singkat, dan kesaksiannya belum usai kusalin. Namun, cerita-cerita Kepas yang belum selesai dipaparkannya padaku telah mendorong aku berkesimpulan sementara dimana ia adalah seorang lelaki tua yang sarat pengalaman luar biasa untuk ukuran manusia normal. Pengalaman-pengalaman itu telah membuat ia cerdas memahami kehidupan. Ia telah bekenalan dengan banyak manusia di tiga negara dalam kurun hidupnya. Dan pengalaman getirnya telah sampai pada titik keabsurdan. Eksistensi kemanusiaannya telah dicabik-cabik cakar mengerikan penguasa tiranik yang bersinggasana di negeri Garuda Pancasila. Burung sakti simbol pelindung anak negeri, tak sedikit menoleh padanya dengan kasih. Malahan cakar-cakarnya yang tajam menjadi bayangan kematian bagi banyak anak negeri yang memujanya. Garuda dengan sayab-sayab yang terkembang, mata merahnya menoleh ke kanan, bak burung suruhan para tukang Songko dan Taharoti, yang siap-siap menanti perintah dari si tuannya untuk mematuk lawan-lawan. Kepas  adalah korban dari patukan bengis burung tukang santet itu. Ia telah dibanting oleh kegarudaan penguasa. Ia kehilangan ruang-ruang kemerdekaan untuk mewujudkan potensi-petensinya sebagai manusia sejati. Ia kehilangan oksigen kehidupan bagi pemekaran pribadinya. Perasaan sakit distigma sebagai PKI, membuat ia bukan lagi bagian dari koletiv anak bangsa. Bahkan penderitaan itu terus memanjang melintasi sekian generasi di belakangnya. Generasi tanpa cantelan harapan, dan masa depan.
Memang aku telah lama berkeinginan menulis outobiografi lelaki itu. Tapi karena kesibukanku di dunia jurnalistik, keingin itu hampir sirna begitu saja. Hingga pada suatu malam di ruang baca di rumaku, dalam keadaan antara tidur dan terjaga, aku mendapatkan surat aneh dari seorang perempuan misterius yang wujudnya tidak begitu jelas. Perempuan itu, tiba-tiba saja telah berdiri di depanku dan menyerahkan surat itu, lalu pergi. Saat kuikuti, ia lenyap di ujung gang. Dan surat aneh yang kuterima dari perempuan itu telah menyedot keinginanku untuk menjumpai Kepas lagi, meskipun di hatiku telah tumbuh rasa ketidaksukaan terhadap kota kecil yang tak ramah padaku. Surat yang kuterima itu berisi permitaan Kepas untuk menjumpainya di Makatara.
             Agaknya memang harus kupaparkan alasan dari ketidaksenanganku pada kota Beo. Dimana ada semacam kebencian tanpa alamat, yang tiba-tiba hidup dalam benakku. Kerinduan seorang lelaki yang birahi sekalipun jika telah dihinggapi kebencian semacam ini akan mengalami degradasi selera. Bukan juga karena tatapan  sungutan yang aneh, dan mungkin menjijikan dari orang-orang yang memandangku. Kebanyakan orang di kota kecil itu, seakan telah terbiasa melihat para pendatang  seperti melihat boneka plastik yang banyak mengapung di pantai mereka. Boneka-beneka yang telah berstatus limbah yang di buang negara-negara di  jazirah Fasifik. Mungkin dari Filipina, Hongkong, Jepang, atau dari seberang  Jiran. Boneka yang kemudian dipungut anak-anak dan menjadi mainan lempar-lemparan, sambil bergurau di pantai, di atas tandusang.
Tidak. Aku tidak membeci tanah air dari leluhur ibuku itu. Meski aku telah dibesarkan dalam kultur perantauan yang    cosmopolit. Aku tetap mencintainya. Bagaimanapun, ibuku berasal dari kepulauan ini. Perasaan ini semata-mata dikarenakan aku mengalami kesulitan memposisikan diri di tengah komunal yang kukira aneh tingkahnya jika ditimbang dari sudut kemanusiaan yang normal.
Beo, sebenarnya hanya kota kecil, yang lebih mirip perkampungan. Tidak ada dermaga laut. Padahal lalu lintas yang menghubungkan kota itu hanya paling bisa dilakukan dari laut. Sepanjang pantai hingga kira-kira limaratusan meter ke laut, hamparan karang membuat pesisir ini begitu dangkal pada masa air pasang sekalipun. Beo, bagaimana pun kecilnya, harus disebut sebagai kota karena pernah menjadi pusat kerajaan Makatara dimasa Hindu seperti dikisahkan Kepas dulu. Sejak lama mereka sudah menjalin hubungan dengan kerajaan Kutai dan Samudera Pasai.
Dataran pemukiman penduduknya—yang menjadi jantung kota-- tidak begitu luas. Hanya sekitar puluhan hektar. Gunung-gunung yang tidak begitu tinggi, mengepung dari arah utara dan memanjang keselatan. Di utara ada gunung Wowon Duata. Dari namanya, gunung ini dikenal agak keramat. Ada semacam mite yang berkembang sejak masa purba dinamisme, dimana gunung ini merupakan tempat persemayaman arwah-arwah leluhur yang sakti. Kekuatan sakti yang ikut berdinamika dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan menjadi sistem nilai masyarakat. Di Selatan ada gunung Piapi. Bentangan yang kurang lebih enam puluh kilometer ini masih diselingi beberapa gunung seperti Wowon Warawan, Wowon Mandeeta, yang puncaknya sekitar seribu tiga ratus meter di atas permukaan laut. Dimana- mana mengalir Andaraa. Sungai-sungai itu mengalirkan air  cukup bening, hingga menjadi sumber air minum masyarakat. Di sungai-sungai itu hidup banyak buaya. Buaya-buaya ini kadang merupakan bentuk dari mahkluk gaib dan mistik.
Meski sudah di pintu melenia ke tiga, Beo belum juga dirasuki bau kosmopolitan.  Ada orang yang masih hidup dengan tradisi  mereka yang oleh kaum samawi ortodoks dinilai menjijikan dan singkretis. Tundingan semacam itu sudah ada sejak masa penginjilan dan dicatat para misioneri dalam buku-buku mereka. Hingga kini pun, masih ada orang-orang yang hanya berbuat ramah kepada para pendatang karena ada maksud tertentu. Ada semacam insting tercelah yang telah mengendap dalam cara hidup sebagian dari mereka dalam menghadapi para pendatang, atau orang-orang yang baru menapaki kota itu. Orang seperti itu akan begitu bangga dan merasa superior jika berhasil membodohi para pendatang. Sifat itu juga sering mereka terapkan kepada sesama penduduk kota dan famili. Makanya perselisihan dan persengketaan antar famili sering terjadi. Namun, itu bukan sifat asli  dari kultur mereka.
            Secara historis, seperti kesaksian para misioneri, sifat masyarakat seperti itu lebih merupakan ekspresi perlawanan terhadap penindasan yang telah berlangsung ratusan tahun di negeri mereka. Sejak abad 16, harta dan tanaman-tanaman mereka selalu dirampok, oleh para perompak Mangindano dari kepulauan Sulu, di Filippina. Pada masa penjajahan Belanda, mereka hampir-hampir kehilangan hak mereka atas tanah dan harta-harta mereka lainnya. Di masa pendudukan Jepang, mereka menjadi para pekerja paksa dan  banyak yang dibunuh. Perempuan-perempuan diperkosa.
Semua kesakitan itu, telah membuat mereka menjadi manusia baru. Manusia dengan perangai kasar dan congkak. Kebiasaan menipu yang diam-diam berkembang menjadi kultur. Sikap malas yang menjadikan mereka miskin.  Kultur baru ini merupakan bentukan untuk melawan penindasan itu sendiri. Sebab untuk apa mereka menanam, kalau pada akhirnya mereka tak menikmati buah jeri payahnya. Mereka harus bisa menipu karena selama ini mereka tertipu. Mereka harus kasar dan congkak, karena mereka telah dikasari sekian ratus tahun.
Di sisi lain, ketertinggalan atau lebih layak disebut keterasingan kawasan itu adalah memang potret kebanyakan dusun-dusun di wilayah Timur Indonesia Raya, yang pada masa dari apa yang disebut sebagai fase kediktatoran, sengaja dibiar menjadi miskin, agar masyarakatnya bodoh, lalu mudah dieksploitasi. Mudah didikte.
Namun aku datang jua ke sana. Bertemu Kepas secara langsung untuk mewawancarai dia menjadi sesuatu yang lebih penting dari pada  kebencian yang mengalami musim semi di jiwaku.


***



(3)

Udara agak beku sore itu, ketika kutinggalkan dek kapal Perintis yang terkenal jalannya seperti keong, dan melompat ke perahu pamo yang akan mendaratkan seluruh penumpang kapal di kota kecil itu. Beo, masih saja seperti puluhan tahun kemarin. Tak ada pelabuhan. Sedangkan kapal yang merapat di sini hanya kapal-kapal tua milik Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia “Pelni”. Kapal-kapal tua yang bentuknya seperti kotak rongsokan. Dan juga ada beberapa kapal kayu buatan lokal yang bermesinkan Yanmar enam silinder. Untuk ke tempat ini, sebuah kapal harus berlayar dua sampai tiga hari, kalau musim tenang. Jika cuaca sedang musim angin Selatan, perjalanan ke tempat ini bisa memakan waktu berhari-hari bahkan berminggu-minggu karena kapal harus mencari perlindungan dari badai dan ombak besar yang langsung menerjang dari lautan Fasifik. Di tanjung Ambora, ombak di sana bahkan menjadi ombak abadi. Maklumlah, kepulauan ini merupakan negeri di lingkaran ombak. Ombak yang senantiasa dipercik Taghaloang, dewa laut Fasifik. Tapi semua ini pun mengajarkan keperkasaan lain bagi anak-anak pribumi, serupa kearifan kultur maritim “Sansiote Sam Pate-Pate”, yang jika diartitafsirkan bermakna: ”Hidup adalah pergulatan tanpa henti”.
Buruh pemikul orang dan barang dari perahu pamo masih saja meriuhkan semacam bunyi percakapan dari bahasa ibu. Bahasa yang juga masih sering kugunakan ketika bercakap-cakap dengan ibuku. Wajah mereka keras dengan tulang-tulang yang kuat.  Mereka melakukan pekerjaan itu demi sesuap nasi buat keluarga mereka. 
Sesampainya di darat, dengan cepat aku membayar jasa seorang pemikul yang baru menurunkan aku. Dan dadaku tiba-tiba berdebar keras. Mungkin semacam guncangan yang digerakkan oleh gempa misterius ketika mataku membentur sorot mata yang aneh dari seorang lelaki tua yang pernah kukenal. Ia sedang mengawasiku. Ia tampaknya telah menantiku di sana.
Umur lelaki itu kira-kira tujuh puluhan atau delapan puluh tahun. Sebuah tongkat kayu hitam yang digenggam tangannya yang kurus seperti menopang tubuhnya agar tetap bisa berdiri. Raut wajah yang keras terpancar dari garis-garis mukanya yang keriput. Rambunya hampir seluruhnya menguban. Dari jarak sekitar lima puluh meter ia tampak bak arwah orang mati yang bergentayangan di siang bolong. Tinggingnya sekitar 185 centimeter. Lelaki  itu termasuk tinggi dari ukuran rata-rata orang Asia. Setelah puluhan tahun tidak bertemu, raut muka lelaki itu menjadi agak aneh. Keanehan itu seperti menyedot tubuhku untuk menghampirinya. Ia berdiri agak jauh dari kerumunan orang-orang. Hanya satu dua orang yang melintas di dekatnya, tapi tidak menoleh padanya sedikit pun. 
“Aku telah menunggumu anakku,” sapa lelaki itu dengan suara bariton yang datar ketika aku sudah agak dekat dengannya. Batuk keringnya yang dulu, sesekali memekik di dalam mulutnya yang mengatup.
“Bapak pasti Kepas ya!” tanyaku coba memastikan. Lelaki itu mengangguk.
“Aku sudah membaca suratmu. Makanya aku datang,” kataku, mencoba mengakrabinya lagi. Ia tersenyum getir. Kami berjabatan tangan. Hawa dingin  merayap dari tangannya ke sekujur tubuhku. Seperti sesuatu yang aneh.  Aku cepat-cepat menarik tanganku. Melihat tingkahku, ia tersenyum hambar. Aku membalasnya dengan senyuman yang agak ramah.
Langit mulai menurunkan anak-anak hujan ketika lelaki itu mengajakku ke sebuah warung kopi tak jauh dari terminal penumpang kapal.
“Kita menunggu sampai matahari masuk baru kita pulang ke Makatara,” kata Kepas, ketika menghampiri warung kopi. “Kau istirahatlah di sana agar tubuhmu segar ”sambungnya lagi. Ia menyuruhku mengaso sebentar di warung kopi sambil minikmati panasnya kopi Beo. Aku mengiyakannya. Memang aku sudah kangen juga dengan kopi warung itu.  Ia sendiri pamit sebentar, katanya ada keperluan di tempat lain.
Di warung kopi, aku bertemu beberapa kenalan lama. Mereka bercerita tentang Lian. Perempuan itu ternyata tidak bernasib baik. Ia mengalami kawin cerai sebanyak tiga kali. Tapi kemudian meningggal akibat tipus. Aku sedih juga mendengar kisah tragis yang menimpa orang yang cintanya masih bersemi di hatiku itu. Cinta sejati memang selalu sulit dibunuh, meski yang dicintai mungkin sudah mati. Cinta memang hanya mengabdi kepada perasaan cinta itu sendiri.
Saat senja mulai mengulurkan cahaya malam, Kepas memanggilku dari luar warung kopi.
“Kalau sudah siap, kita berangkat sekarang,” kata Kepas. Aku mengangguk mengiyahkannya lagi. Kami pun berangkat ke Makatara, dengan sebuah mobil Datsun tua yang menanti di bawah pohon Ketapang besar yang tak jauh dari warung kopi. Hanya kami berdua  penumpang mobil yang jalannya tertatih-tatih itu. Sopirnya, seorang lelaki yang jenggot dan rambutnya demikian lebat. Sesekali sopir itu menatapku. Wajah si sopir begitu jelek.  Menghampiri wajah hantu yang banyak kita temui dalam buku komik. Perjalanan berlalu dalam keheningan yang sedikit merindingkan. Di sepanjang jalan, kunang-kunang berseliweran di antara semak-semak hingga ke rindang pepohonan pisang.
“Betapa kelam, malam di sini,” kataku pada Kepas.
“Mahkluk lain membutuhkan malam seperti ini. Kunang-kunang, kelelawar dan hantu membutuhkan malam. Tanpa malam, mereka akan mati,” balas Kepas. Aku sedikit bergidik mendengar ungkapannya. 
Singkatnya, kurang dari sejam kemudian, tepat di bawah pohon jati besar, kami berhenti. Sekitar sepuluh meter ke kanan jalan, kulihat ada rumah kecil.
“Itu rumahku yang baru,” ujar Kepas padaku sambil mengarahkan telunjuknya ke arah gubuk kecil yang dari dalamnya ada denyar lampu yang agak redup. Setelah kami turun dari modil,  sesaat Kepas bicara dengan sopir. Percakapan mereka hanya berupa dengungngan yang tak kupahami. Aku menantinya tak jauh dari mereka. Tak berapa lama kemudian mobil itu pergi. Kepas menghampiriku dan mengajakku sambil menuntunku masuk ke rumahnya.
Rumah yang terletak di pinggiran desa Makatara ini bentuknya seperti gubuk. Terbuat dari tiang-tiang kayu hutan bulat diameternya seukuran betis kaki orang dewasa. Atapnya katu daun Rumbia. Seperti dasan penjaga kebun yang dindingnya dari belahan bambu yang dipaku rapat. Udara malam yang agak basah menerobos lewat celah-celah dinding membuat kakiku amat kedinginan.  Aku tidak melihat Meria istrinya.
“Meria lagi ke kampung sebelah,” ujar Kepas, seperti bisa membaca pikiranku. Sebuah lampu botol minyak tanah yang diletakkan pada sebuah bufet kecil yang terlihat tua menerangi ruang tamu yang sempit. Di situ hanya ada sebuah bale-bale dan sebuah mejah dari kayu yang sudah tua, dan dua buah kursi kayu yang umurnya kira-kira sudah setua meja itu. Disamping kiri ruang tamu, ada sebuah pintu yang langsung menuju kamar. Pintu itu hanya di batasi sampiran dari kain bercorak kasar berwarna gelap yang kelihatan lusu. Ketika angin menerobos dari jendela di samping kanan ruang tamu, kain sampiran itu terkuak ke belakang, tapi aku tak melihat apa-apa, karena kamar itu tidak dipasangi lampu. Dari jendela, aku melihat ke luar, lampu botol yang berfungsi sebagai lentera nampak juga tergantung di beberapa gubuk tak jauh dari rumah Kepas.
“Di sini tidak ada listrik. Semuanya menggunakan lampu botol minyak tanah. Tapi ada juga yang menggunakan minyak kelapa,” katanya, sambil mengeluarkan makanan dari bufet kecil di belakang bale-bale itu dan meletakkannya di meja. Codot-codot beterbangan di atas pelepah pisang di samping rumah, suaranya mencicit agak tajam masuk ketelingaku. Sedangkan kunang-kunang berkeliaran dalam jumlah yang banyak mengisi kekelaman di beranda dan jauh hingga kererimbunan pohon besar di punggung bukit.
 Aku tak berselerah menyantap makanan yang disuguhkannya. Baunya basi dan aneh. Bau itu membuat aku agak mual.
“Makanan ini memang sudah agak basi. Ini sisa makanan kemarin. Tapi cuma ini yang aku punya,” katanya lagi-lagi mengejutkanku. “Biarlah! Aku juga masih punya kue kering dan sebotol air mineral. Makanlah! Aku akan makan kue,” kataku padanya.  “ Ya. Kau pasti tak cocok dengan makanan kami,” ujarnya.
“Bukan begitu…’’
“Tak usah dipersoalkan. Tidak apa-apa,” potongnya cepat. Aku pun mengambil kue kering dan air mineral dalam tas gendongku, lalu makan bersamanya.
Setelah sarapan, malam itu Kepas banyak bercerita tentang pengalaman  hidupnya. Kami ngobrol memang agak panjang, dan aku berusaha mencatat banyak hal.  Kepas, juga berjanji akan menyerahkan sebuah buku yang pernah dia tulis besok. Buku itu disimpan Meria, jadi ia harus menunggu Meria untuk mengambil buku itu.
Sekitar pukul tiga subu aku tak bisa menahan kantuk dan perasaan letih, setelah selama tiga hari menjalani pelayaran laut dari pelabuhan Bitung. Aku pamit padanya untuk tidur di bale-bale  kecil di  sisi gubuk itu. Sementara Kepas masih saja asyik dengan rokok tembakaunya. Bau asapnya agak asing dan seram.
Siangnya, aku terbangun dikagetkan seorang porempuan tua yang membangunkan aku. Perempuan itu begitu misterius. Rambutnya panjang dan menguban tergerai begitu saja. Pakaian potongan terusan yang dikenakannya begitu kusut dan kotor. Aku tak bisa memastikan apakah pakaian yang dikenakannya berwarna abu-abu atau putih. Bau amat menyengat dari arah perempuan itu lamat-lamat tercium jelas olehku.  Semacam bau anyir yang mulai mengering.   Jam di arlojiku menunjukan pukul 09.00 pagi. Tapi, astaga! Aku amat kaget lagi ketika kudapati kenyataan dimana aku ternyata tidur di atas sebuah kubur.  Di samping kanan kubur pohon-pohon pisang tumbuh dengan rimbun. Daun-daun di atasnya menutup kepala kubur. Di atas kepala kubur, ada sebuah lampu botol minyak yang telah mengering dan berdebu. Lampu itu mungkin sudah cukup lama berada di sana. Batu nisan di kuburan itupun sudah tertutup lumut hingga sulit terbaca.
“Aku tahu kau akan datang. Suamiku telah meninggal setahun kemarin. Ia menitipkan buku ini untuk diserahkan padamu,” kata perempuan tua itu dengan tatapan dingin. Kemudian, ia menyodorkan kepadaku sebuah buku tulisan tangan yang indah yang tebalnya di atas seratusan halaman.  Tanpa banyak basa-basi, perempuan itu lalu pergi begitu saja meninggalkanku, sebelum aku bertanya apa-apa. Memang juga leherku seperti tercekat sesuatu hingga aku tak kuat berkata apapun kepada perempuan itu. Sesampainya di bawah pohon jati, ia lenyap seketika. Kudukku serentak berdiri. Aku menjadi gemetar dan takut.  Aku seperti mengenal raut perempuan misterius tadi, tapi siapakah dia? Otakku tiba-tiba bersikutat dengan teka-teki yang sulit dan menegangkan.   Dalam keadaan yang serbah aneh itu, aku berusaha membuka secara acak buku yang baru diserahkan padaku. Buku itu ditulis dalam bahasa Talaud. Aku sedikit bersyukur sebab setidaknya aku mengusai bahasa Talaud “pasar” yang sering digunakan di lingkungan keluarga kami.
Ibuku berasal dari Talaud, tepatnya dari pulau Kakorotan. Tapi, sejak usia lima tahun ia sudah diangkat anak oleh salah seorang cucu dari raja kerajaan Siau. Oma Kansil, konon membawa ibuku ke Siau pada tahun 1929. Untung, hubungan silaturahmi ibuku dengan saudara-saudaranya di Talaud, membuat ia tetap bisa memelihara bahasa tempat kelahirannya itu. Sejak kecil, kami telah diajari ibu bahasa Talaud, meski kami sudah lahir dan bermukim di Manado.
Singkatnya lagi, setelah pulang ke Manado, aku pikir sudah saatnya aku menerjemahkan berbagai catatan dalam buku itu, berupa kesaksian-kesaksian Kepas, kepada sidang pembaca, serta outobiografi yang diangkat langsung dari buku yang diserahkan perempuan tua yang lenyap di bawah pohon jati.
Memang dalam penerjemahan buku itu aku mengalami beragam kesulitan, terutama dalam menerjemahkan kosa kata sastra yang sering digunakan Kepas untuk memberikan perlambangan-perlambangan tertentu dalam pengungkapan perenungan-perenungannya. Tapi dengan kemampuan apa adanya, dan bantuan dari beberapa teman dari Talaud, akhirnya aku bisa merampungkannya untuk pembaca. Aku berkeyakinan, meski mungkin masih mengalami berbagai kekurangan dalam penerjemahan hingga memunculkan berbagai perbedaan penafsiran dikumudian hari, tapi, dalam kisah berikut ini, Kepas akan bertutur kepada sidang pembaca yang terhormat, tentang kejadian-kejadian nyata yang pernah ia alami, dan kepedihan panjang masyarakatnya, serta masa depan dari suatu generasi.(Bersambung...Baca bagian berikutnya)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar