Senin, 26 September 2011

EMPAT WAYER (Puisi Iverdixon Tinungki)

hidup sepanjang lagu melerai letih sunyi
sepanjang doa diri melepas beku hati
bertukar pandang langit tiada berbatas
menghentak dalam rentak nyanyian bebas

mari menari, menari mari menari
mari menyanyi, menyanyi mari menyanyi
langka sama berpasangpasangan
melepas beban digantang badan

kaki kiri menghujam bumi
kaki kanan merayu matahari
pinggul bergayung dada membusung
o, polo…perasaanku berbunga berdaun

rekatkan badan lingkar patah sembilan
antar komando rancak selangkah
mendakilah damai ke puncak lampawanua
dikelincahan darah mengereksikan nikmat

kanon terus menghentak kabut malam
dalam gelas anggur memacu andrenalin
gugur semua segala sungut nestapa
diterkam kemeriahan irama
menyatukan manusia dengan Tuhannya



*) Empat Wayer, adalah tarian rakyat Nusa Utara. Tarian ini bersifat spontan dan masal diiringi nyanyian dan musik. Gerakannya di atur oleh seorang pemimpin tarian (pangataseng-komando). Tarian ini terinspirasi dari peristiwa perang dunia ke II, dimana pesawat bomber pasukan sekutu dengan “empat baling-baling” (Empat Wayer), melintas di atas udara kepulauan Sangihe Talaud. Dalam perkembangannya tarian ini tidak hanya mengikuti gerakan pesawat tapi juga mengambil gerakan keseharian hidup masyarakat setempat, termasuk dansa ala Eropa. Filosofi tarian ini adalah pembebasan jiwa dan penyatuan kosmik manusia dengan Tuhan yang disebut dengan “puncak keindahan rasa”. Gerak dasarnya diambil dari pola gerak tari ritual purba, ini yang menyebabkan tarian ini bisa memicu seorang penari mengalami situasi trans. Polo, panggilan atau sebutan untuk orang disayang. Kanon, tradisi berbalasan suara dalam menyanyi dengan syair yang diulang berurut-urutan (Tradisi sasahara mengikuti pola gerak ombak dalam gerakan beruntun). Lingkar Patah Sembilan, semacam gerakan pesawat membelok. Lampawanua, gunung suci (surga).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar