Senin, 26 September 2011

SAJAK-SAJAK PERI CAHAYA (Puisi Iverdixon Tinungki & Instrumen)


PERI CAHAYA (1)

tak lisut kenangan itu
seperti sayapsayap bercahaya
berkelana
di langit bisa saja ia bermuara

begitu bila kamu bertanya air
kemana kau pergi
ia hanya mengalir
mengikuti kecuraman bumi

ia pun pergi seperti uap
membentuk mendung
hingga pelangi bisa memasang tangga
buat peri cahya menemui kekasihnya

dan hujan tiba dengan gema halilintar
buat percakapan bungabunga tentang keindahan
semuanya seperti dansa sepasang kekasih
yang akan berpisah pada sebuah pagi

inilah biorama
kerena kehidupan selalu punya kisah
peta masir yang selalu baru dibentuk ombak
akan jadi baru dibentuk angin

Manado, 9 Desember 2010

-------------------------------------------

PERI CAHAYA (2)

o…
gumam penyair itu dalam puisinya
ketika cintanya terus berjalan di atas lariklarik penuh cahaya
dihela tujuh kereta kuda, melintasi tujuh langit, menuju pintu surga

telah ditinggalkannya kota utara berhujan
waktu penuh kabut, angin kencang yang mengacungkan pedang
ia pergi menuju bab terakhir dari sajak yang akan ditulisnya
tentang peri cahaya yang membawa pergi semua cintanya

“peri cahayaku sayang
betapa sempurna malam di kelip kunangkunang,” kata penyair itu
“tak ada kesedihan, airmata pun tak ada
Kehilangan ini tak sebanding keindahan yang pernah bersinggah,” ujarnya lagi.

Penyair itu mendongak ke langit, ke kumpulan awan menyerupai kekasihnya
“Kau berada di tengah kemegahan yang selalu kutatap.” ucapnya, sambil
Ia
Menggerakan tanganya ke atas
Menyentuh
Wajah
Kekasihnya
Yang berpendar menjadi butiranbutiran cahaya

Penyair itu menunduk, mengatupkan matanya
Nafasnya berat
Tangannya gemetar
o… gumamnya, dan semua sendinya terasa terlepas
kecuali hatinya yang kokoh bagai baja

ia terhuyung, dan rebah di atas tanah yang basah
tapi bukan oleh airmata
tapi keringatnya yang berabadabad menjaga cintanya
yang kini dibawa peri cahayanya ke surga

hatinya tetap kuat, tak ada penyesalan, sekecil pun tak ada
meski ia rebah di tengah kesunyian, rebah yang indah
di tengah kelip kunangkunang yang menuntun matanya
ke arah langit, mengagumi cahaya peri cintanya

“kau telah di sana periku sayang
Di balik tujuh lapisan langit, tak bisa kuraih meski dengan mati,” bisiknya
“Tapi aku bahagia dan selalu baik
Mengenang canda, dan kelakarkelakar aneh kita,” begitu katanya

Seluruh tubuhnya bergetar
Kecuali hatinya tetap kuat seperti baja
o…gumamnya
“Kau selalu bernama cinta,” tulisnya dibait terakhir sajaknya

Lalu ia meletakan tangannya di atas tanah yang basah
Tapi bukan oleh airmatanya
Tapi oleh keringatnya yang abadabad menjaga cintanya
o…raungnya…di ujung nafas terakhirnya

Manado, 10 Desember 2010

--------------------------------------------

PERI CAHAYA (3)

Semalaman aku menjelajahi malam
Di titik nol kota
Mengintai jalanan senyap
Dan waktu yang lelap di pucuk pohon berdaun merah

Ia tak di sana
Kemana ia
Penyair
Yang selalu berkisah tentang peri cahayanya

Codot yang lelah
Kelelawar menggelantung di cabang kapuk tua
Burung hantu hitam
Bersuara serentak seperti tangisan

Di landai boulevard
bau laut itu
asin
mengental
dilontar angin mengencang tibatiba

penyair itu harusnya di sini
lelaki yang selalu membiarkan rambutnya bergerimis
oleh kisahkisah cintanya
yang diurainya seperti langit menebar bimasakti

kemana ia
jejaknya pun tak ada
tak ada yang tahu ia kemana
kecuali langit dan tanah tapi tak bisa bersuara

semalaman aku menjelajahi malam
hingga malam habis dimakan cahaya
codok yang lelah
kelelawar yang menggelantung di cabang kapuk tua
burung hantu hitam
serentak dihalau bunyi serine
yang juga membawa pergi bau laut itu
ke liang makamnya

Manado, 11 Desember 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar