Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (4)


“Ia selalu ada dengan kita. Kalau tidak, kita sudah mati!” tegasku.
Ini perjalanan lintas negara ilegal. Memang, selama ini, warga kampung kami untuk ke Filipina tidak membutuhkan persuratan apa-apa. Atau lebih tepat disebut mengabaikan tatakrama lintas negara. Alasannya, di negeri ini, segala sesuatu begitu terpusat di Jakarta. Dan untuk mengurus surat apapun, kami selalu dihadapkan oleh birokrasi pemerintah yang korup. Jadi, untuk apa sebuah surat, jika kita harus mendapatkannya dengan jalan kejahatan seperti itu. Jika pelayaran ini juga bermakna pelanggaran pada hukum bernegara, maka untuk mendapatkan surat legal pun merupakan kejahatan yang sama.  Warga Filipina pun begitu bebas mengunjungi kampung kami.  Di masa lalu, kami adalah saudara sekerajaan. Kepulauan Sangihe Talaud dan kawasan Selatan Filipina  pernah dipersatukan dalam kerajaan Candahar. Jadi negeri itu tak asing bagi kami. Bahkan penduduknya pun masih mengunakan bahasa Sangil yang sama dengan bahasa Sangihe. Pihak penjajah yang membuat kami terpecah. Dan keterpisahan kami itu telah mengalir dalam ritus sejarah yang panjang.
Kami berangkat sekitar pukul 14.00. Cuaca begitu ramah. Tak biasanya, terang dan teduh. Laut licin seperti minyak dalam baskom. Mungkin arwah Oma Tua ada di sana bersama Ompung Taghaloang. Ompung yang senantiasa menengadahkan jari-jemarinya meneduhkan gelombang hingga menjadi sekadar buih yang memecah laksana permadani sutera penuh pernik emas ketika tertimpah cahya matahari. Dewa Fasifik yang ganas mungkin sedang senang melihat pelayaran kami. Mungkin ia merestui doa orang-orang yang senantiasa memperjuangkan kehidupan. Kehidupan anak pulau yang senantiasa pula dikerubuti keganasan-keganasan yang harus ditaklukan dengan keuletan membijaksanai hidup. Begitulah aku merumuskan makna perjalanan ini.
Pelayaran kami tidak banyak menemui masalah, meskipun ini adalah perjalanan ilegal penyeludupan. Pemilik perahu yang telah mahir mengunakan bahasa Tagaloc, berhasil mengesankan para nelayan Filipina ketika Fusu-Fusu mereka berpapasan dengan Pambut kami.
“Aku bilang ke mereka, kita orang Zamboanga,” jelas pemilik perahu tentang apa yang baru dikatakannya kepada nahkoda sebuah kapal  nelayan berbendera Filipina yang baru berpapasan dengan perahu kami.
“Kalau kita mengaku orang Indonesia?” tanya Meria. Dondo, pemilik perahu yang lagi menegak kopinya berpaling ke Meria. “Ya…bisa saja mereka akan merampok kita!” jelas Dondo. Meria sedikit bergidik mendengar penjelasan itu. “Tapi tak usah takut. Kami sudah biasa berlayar di jalur ini,” kata Dondo menenangkan hati Meria.
Perahu yang kami tumpangi tidak begitu besar. Ukuran lunasnya kira-kira dua belas meter. Lebarnya sekitar dua meter setengah. Perahu ini didorong sekaligus dua mesin merek Johnson masing-masing 40 PK.  Di perut perahu,  penuh dengan karung koprah.  
“Bagaimana kalau ada perompak?” bisik istriku padaku. Aku tahu, ia sangat ketakutan selama perjalanan.
“Tenanglah. Ini memang perjalanan berbahaya. Kita hanya butuh tenang. Selama aku di samping kalian, perompak sedunia pun akan ku lawan,” kataku menenangkan hati Meria. Meria mencubit pahaku. 
Mendengar percakapanku dengan Meria, Dondo, lelaki pemilik perahu itu tertawa keras. “Kita ini juga perompak. Sesama perompak biasanya saling menghargai. Itu hukumnya. Tapi jika mereka coba-coba, tanyakan kepada suamimu, berapa AK (AK-47, senjata laras panjang buatan Soviet) milik kita. Jika itu tak cukup, kita bisa membuat mereka menangis dengan lemparan nenas (granat),” ujar Dondo. Meria seketika merinding. Tubuhnya diingsutkannya menempel dengan pinggangku. Kugapai bahunya, agar ia tenang. Kedua anakku sudah tertidur pulas ketika itu.        
“Sudahlah, tak ada perompak. Pandangi laut sana, sangat bersih dan tak ada perahu perompak, kecuali nelayan-nelayan itu,” ujarku menenangkannya. Meria mengarahkan pandangan lurus ke hamparan laut, dan sesaat kemudian ia kelihatan tenang. Kecuali hatiku, yang sedikit pun tak pernah lolos dari rasa was-was dan khawatir yang berkepanjangan. Sebab bagaimanapun pelarian ini tak lebih dari salah satu alur dalam drama besar kutukan yang sedang menjelmakan diri di daratan yang baru kami tinggalkan di sana. Apakah kami bisa lari dari takdir kutuk, yang justru begitu diimani dalam kultur tradisi kami? Hatiku berderit setiap dilintasi pikiran itu. 
Beberapa orang anak buah Dondo, mereka lebih memilih duduk di buritan, belakang kurungan perahu.  Mereka terdengar bernyanyi-nyanyi diiringi petikan gitar. Mereka sekitar enam orang. Sedangkan Dondo duduk sendirian di haluan. Perjalanan seperti ini biasanya membuat mereka senang. Laut adalah dunia para penyeludup ini. Daratan hanyalah tempat persinggahan mengaso. Melepas penat, atau sekedar perhentian mengisi kebutuhan perjalanan, sekaligus memetik tawa dan desah perempuan.
Sejak bertolak dari kampung, kulihat mereka telah memuat juga se kist Kulafu. Minuman beralkohol buatan Filipina yang bergambar seorang lelaki perkasa yang mengacungkan busur dan anak panah. Ada semacam anggapan, dimana meminum minuman Kulafu akan membuat seorang pria menjadi lelaki sejati. Perkasa jika meniduri seorang perempuan, pelacur sekalipun. Begitulah, setiap penyeludup biasanya menegak dulu Kulafu sebelum sampai ke daratan Filipina, biar di sana mereka bisa menikmati permainan malam dengan perempuan-perempuan, kata seseorang diantara mereka, saat sejenak aku bergabung dengan mereka.
“Kau harus mencoba gaya goyang mereka Kepas.”
“Enak?”
“Seperti gempa.”
“Seperti babi hutan kena sambeang. Melenguh, tapi hentakannya kuat.”
“Lembut tidak?”
“Manis. Wangi!”
“Semalam bisa berapa kali?”
“Mereka haus untuk diperkosa!”
“Ha ?”
“Cobalah kalau kau sampai di sana!”
“Gila!”
***
Hari mulai gelap. Perahu yang kami tumpangi sudah merapat di Saranggani. Kami tidak singgah di pulau Balut, kata Dondo, di sana lagi ramai patroli keamanan. Dondo memerintahkan anak buahnya untuk siaga. Berapa dari mereka dengan cepat membuka sebuah kas. Tak berapa lama mereka telah mengambil posisi masing-masing dengan siaga. Di tangan mereka tergenggam AK-47. Dondo, telah menyarungkan refolfer, di pinggangnya.
“Apa yang terjadi?” tanya Meria.
“Tidak apa-apa. Hanya persiapan. Inilah gaya para penyeludup,” jelasku.
Jalan perahu diperlambat. Kemudian secara bertahap kedua mesinnya di matikan. Dengan mengunakan gala dari bambu, perahu didorong mendekati tepi pantai. Dondo dengan lampu senternya memberikan isyarat ke daratan. Dari daratan, berkelebat cahaya isyarat balasan. “Kita aman!” ujar Dondo. Perahu terus di dekatkan ke darat. Sesampainya, kami telah dijemput beberapa orang di pesisir pantai yang agak sepi itu.
Oleh Dondo aku diberi tahu, dimana yang menjemput kami adalah orang Cotabato. Aku memang sudah meminta Dondo untuk mengatur perjalanan kami ke Cotabato. Di Cotabato, seorang sahabat lamaku telah kusurati sebelumnya, tentang kedatangan kami ini. Sahabatku itu juga sudah membalas suratku, di mana ia akan menanti kami di sana. Alamatnya, sudah ditulisnya di surat yang dikirimkannya padaku.
Setelah membongkar muatan yang langsung dipindahkan ke perahu para penjemput itu, Dondo telah meminta kenalannya dari Cotabato itu untuk menumpangkan kami. Pemilik perahu yang merupakan kenalan Dondo, ternyata tidak keberatan. Malam itu juga, kami melanjutkan perjalanan dengan perahu milik kenalan Dondo ke Cotabato.
Belum satu mil dari darat, kami dikejutkan  serentetan bunyi tembakan di pantai sana. “Kita balik,” seru pemilik perahu. Dengan cepat anak buahnya membalikan arah perahu menuju pantai lagi. Beberapa diantaranya dengan cepat menyiapkan persenjataan.  Di pantai yang tadi begitu sepi itu, kini terdengar ramai bunyi letusan. Pemilik perahu terlihat memberikan kode senter ke darat. Dari arah selatan berkelebat cahaya senter balasan.
“Tembak bagian utara!” teriak pemilik perahu.
Anak buahnya, yang siap dengan sejenis senjata Basoka melepaskan tembakannya ke arah yang diminta. Sekali, dua kali, dan berkali lagi. Senjata berat itu memuntahkan peluru. Setelah senjata berat ini berhenti, di pantai sana tak ada lagi bunyi tembakan.
Perahu yang kami tumpangi terus merapat ke pantai mengikuti isyarat sinar senter. Sesampainya,  terdengar suara kaki-kaki mendekat.
“Dondo tewas!” teriak salah seorang. Beberapa anak buah perahu yang kami tumpangi dengan cepat turun dan mendekati kerumunan kecil di balik semak-semak pantai itu. Istri dan anakku begitu ketakutan. Aku hanya bisa memeluk mereka dan menenangkan mereka. Pemilik perahu meminta kami untuk tetap di perahu bersama tiga orang anak buahnya. Sedangkan dia pergi menyusul anak buahnya yang lain. Ada sekitar dua jam kami menunggu di perahu, baru mereka muncul lagi, dan melanjutkan perjalanan kembali.
“Kalian tidak perlu cemas. Ini hanya permainan kecil,” ujar pemilik perahu. “Sudah aman,” tambahnya. Mendengar itu, Meria menarik nafas panjang. Ia terlihat lega kembali. Aku berusaha membujuk kedua anakku untuk tidur. Meria masih saja duduk tak bergeming. Aku tahu ia sangat ketakutan dengan kejadian tadi.
“Tidurlah, biar kau agak tenang,” kataku membujuknya. Meria mengangguk, kemudian merebahkan dirinya di sampingku. Setelah mereka terlelap, aku pindah ke haluan. Pemilik perahu di sana sendirian.
“Apakah ini perjalanan anda pertama kali ke Filipina?”
“Ya!”
“Banyak pekerjaan di sini!”
“Tujuanku memang mau cari kerja.”
“Lelaki seperti engkau, mudah mendapatkan pekerjaan!”
“Sebabnya?”
“Kau terlihat kuat. Badanmu kekar. Kalau kau mau, kau bisa jadi tentara di sini.”
“Tapi aku warga asing di negeri kalian ini.”
“Itu tidak penting. Yang terpenting kesetiaan. Dulu pun kita satu kerajaan. Jadi kau bukan orang asing.”
“Kesetiaan? Hanya dengan itu?”
“Manusia dihormati karena kesetiaannya!”
“Kau juga tentara?”
“Kebanyakan penyeludup adalah tentara. Tapi kami disebut pemberontak oleh pemerintah pusat, di Manila.”
“Ow…”
Ia menyodorkanku sebatang Eskort. Rokok itu kusulut. Tubuhku menjadi agak hangat meski dingin malam menyengat.
“Mereka sudah tidur?”
“Ya!”
“Kejadian tadi itu biasa. Jangan terlalu dipikirkan,” katanya.
“Istri dan anakku agak shok,” kataku.
“Perempuan dan anak-anak selalu begitu.”
“Bagaimana nasib Dondo?”
“Tidak apa-apa. Ia hanya terluka.”
“Jadi tidak mati?”
“Tidak. Cuma lukanya memang agak serius. Aku telah menyuruh mereka ke dokter kami. Pasti bisa sembuh.” 
“Semua anak buahmu ini tentara?”
“Ya. Kami pejuang.”
“Kalian negara merdeka. Mengapa mesti ada pemberontakan?”
“Pemberontakan itu ada karena tidak ada keadilan. Jika ada keadilan, apa gunanya pemberontakan.” Kami terdiam sesaat.  Dari belakang perahu kami ada boat yang agak besar memberikan isyarat lampu senter. Disusul suara ledakan senjata dan kembang api mengudara menerangi laut di sekitar kami.   Lelaki di sampingku dengan cepat memintakan senter ke anak buahnya lagi. Beberapa dari mereka dengan cepat meraih senjata masing –masing. Suasana seketika mencekam. Kedua anakku kaget, terbangun, dan menjerit. Meria sudah di sisi keduanya sambil mendekap mereka. Sebuah brend dengan cepat terpasang di haluan perahu. Seorang lelaki sudah menjaganya dengan sigap di sana. Aku sendiri kebagian sebuah senjata laras panjang.
“Ini otomatic,” ujar orang yang memberikan senjata itu. “Kau tinggal menarik pelatuknya saja,” tambahnya.  Setelah beberapa kali terjadi kontak isyarat, boat itu kemudian membalikan arah perjalanannya. Suasana tegang yang datang mendadak itu, akhirnya cair begitu saja.
“Kawan!” ujar lelaki itu. Semuanya seperti serentak melepaskan nafas yang bunyinya terdengar memanjang. Tak terkecuali istri dan anak-anakku. Lelaki itu kemudian merapat dan duduk kembali disampingku. Sementara anak buahnya kembali mengaso.
“Tadi itu hanya ledakan mercon!” katanya, seraya membagikan rokoknya padaku. Aku menyulutnya, setelah mengembalikan senjata yang kupegang.
“Pernah mengunakan senjata?” tanya lelaki itu. Aku menggeleng.
“Kau harus bisa!” ujarnya lagi. Kemudian ia dengan senang hati menerangkan padaku teknik serta cara mengunakan senjata. Setelah ia memperagakannya, aku dimintahkannya untuk menembak ke laut lepas. Aku pikir ini pengalaman baru yang sangat menarik. Beberapa peluru kumuntahkan ke arah kegelapan laut. Melihat aku menembak, istriku nampak ketakutan. Tapi Herkanus, mata anak lelaki itu, tampak memancarkan sinar kebanggaan yang lain.
“Hidup ini adalah padang pertempuran yang tak pernah selesai. Jadi, kau harus bisa menggunakan senjata!” kata lelaki itu lagi ketika aku usai melakukan latihan singkat itu.
“Sering terjadi kontak senjata di laut?”
“Dalam sepekan bisa berkali-kali.”
“Pekerjaan kalian penuh resiko.”
“Yang aman itu cuma di surga.”
“Sudah menikah?”
“Aku tidak tahu apa itu menikah. Aku banyak perempuan. Tapi aku tidak mau mereka menderita.”
“Maksudmu?”
“Kalau menikah, lalu punya anak, kemudian aku mati. Itu namanya bikin susah orang lain.” Ia terdiam sejurus. “Dulu aku punya istri. Ia tewas saat kontak senjata, ketika ia ikut aku menyeberangkan barang ke Singapura. Sekarang aku memilih untuk tidak melibatkan orang yang bernama istri dalam hidupku.” Ada perasaan getir yang terlepas ketika lelaki bertubuh kekar ini mengatakan itu.       
“Kalau suatu hari kau mau jadi tentara, kau bisa menghubungiku.”
“Aku akan ingat tawaranmu,” kataku. 
Kami tiba masih gelap di Cotabato. Kenalan Dondo yang setelah perkenalannya denganku kuketahui bernama Paulus Barahama itu, ternyata bermurah hati mengantar kami hingga ke rumah kenalanku yang terterah di alamat suratnya.  Rumahnya tidak jauh dari pantai. “Boas banyak membantu kami. Kami sangat kenal dengannya,” ujar Paulus.
“Kau begitu mahir bahasa Indonesia!”
“Semua penyeludup, harus menguasai bahasa tempat tujuannya. Kalau tidak, itu namanya cari mati,” jelas Paulus.
***
(9)
Paulus Barahama mengantar kami. Lelaki Filipina ini tampak gagah dalam pakaian semi militer dengan sebuah refolfer yang tidak ketinggalan terselip di pinggangnya. Dari raut mukanya, ia adalah lelaki dengan pendirian keras yang kukuh. Tapi, sebagai manusia, di balik tampang kerasnya bersemayam sikap manusiawi yang mendalam. Meski hanya sesaat menumpang perahunya, tapi kami sudah menjadi sedikit akrab.
“Saya mengerti bagaimana pergumulan orang-orang yang mencari tempat hidup yang baru. Aku sendiri untuk bisa meraih kehidupan itu bukan saja dengan akal sehat, namun mesti dilewati dengan pertaruhan-pertaruhan nyawa,” kisahnya.
Hanya melewati sekitar tiga tikungan pendek, akhirnya kami sampai di rumah Boas.  Mendengar kedatangan kami, kenalanku  dan istrinya tampak gembira.
“Paulus… rupanya kau yang mengantar kawanku,” ujar Boas, setelah melihat kami semua.
“Bukan cuma kawanmu. Kini kawanku juga,” balas Paulus. Aku tersenyum. Diam-diam aku kagum melihat eratnya persahabatan mereka. Mereka berpelukan seperti dua orang saudara yang sudah lama tidak bertemu. Boas dan istrinya kemudian menyalami kami semua. “Ini anakmu Kepas?” tanya Paulus yang telah memeluk Herkanus. “Satu-satunya anak lelakiku,” jawabku. 
“Seharusnya kau bilang mau datang kapan, biar aku yang langsung ikut menjemput kalian di Saranggani,” ujar Boas.
“Ah, ini saja sudah merepotkan,” ujarku.
“Anakmu sudah berapa?” tanya Paulus pada Boas.
“Dua. Lelaki semua,” jawab Boas.
“Satu saat mereka harus kau serahkan padaku. Biar mereka jadi tentara,” ujar Paulus berkelakar.
“Terserah kau sajalah,” jawab Boas. Mereka terbahak gembira. 
“Kepas ini bagus jadi tentara. Kalau ia mau akan kutempatkan sebagai pemegang altileri berat,” kata Paulus.
“Kalau lihat badannya, ia bagus dibagian pelontar mortir,” timpal Boas.
“Ah… aku jadi petani saja,” ujarku menyambung kelakar mereka.
“Boas, kawanmu ini tipe manusia senang damai!” kata Paulus.
“Di kampungnya, sejak remaja ia sudah dikenal sebagai orang kuat yang bisa mematahkan batang leher babi hutan,” kilah Boas.
“Kekuatan semacam itulah yang memang kuperlukan. Tapi, kita harus menghargai pilihan hidupnya,” ujar Paulus. Aku tersenyum saja. Aku tahu mereka sedang membangun suasana akrab dalam pertemuan kami ini.
Istri Boas tampak bercakap serius dengan istriku. Mereka lebih memilih duduk di dapur. Terdengar sesekali tawa mereka. “Istriku sudah rindu ketemu orang dari kampung kita!” ujar Boas. Tak berapa lama, istri Boas dan Meria telah membawakan kami kopi. Kami pun terlibat percakapan yang menyenangkan. Paulus yang mengantar kami, tampaknya ikut juga senang, karena telah berhasil dengan selamat menunaikan tugas yang dipesankan Dondo, mengantar kami. Paulus tidak lama dengan kami, karena harus pamit melihat perahunya.
Malam itu, aku dan Boas terlibat percakapan yang panjang, hingga dini hari. Boas telah lama bermukin di Cotabato. Beberapa pekan kami sekeluarga di tampung kenalanku itu,  di rumahnya. Istrinya berasal dari pulau Tagulandang. Sebuah pulau yang letaknya dekat dengan ibukota provinsi, Manado. Boas dan istrinya Ndio, melayani kami layaknya keluarga sendiri. Padahal aku dan Boas tidak ada hubungan darah sama sekali. Ia hanyalah temanku sejak kecil di Makatara. Dia memang orang Filipina yang diangkat anak oleh satu keluarga di Makatara. Ia anak yatim. Cuma itu yang kuketahui tentang latar belakang karibku ini. 
Dua minggu kemudian, atas bantuan Boas,   aku mendapatkan pekerjaan di  perkebunan kopi dan kelapa. Pekerjaan itu sangat memuaskan, karena bisa mencukupi kebutuhan hidup dan bisa menyisikan uang buat dikirim ke Yulin  di Tahuna untuk biaya sekolahnya. Oleh pemilik perkebunan, kami diperkenankan tinggal di salah satu rumah penjaga kebun di perkebunan itu.
Pekerjaan ini terbilang ringan, dan menyenangkan. Setelah sekian bulan bekerja,  aku dan keluargaku menjadi akrab dengan pemilik perkebunan. Sesekali aku dan keluargaku diliburkan tuan kebun untuk pesiar ke General Santos atau ke Davao City.  Dilain waktu, kami sekeluarga diajak Jack Dagos Jr, anak tuan kebun kopi itu  ke Manila. Aku suka melihat keindahan kota buatan Jose Rizal itu. Aku pun suka membaca kisah-kisah patriotik dari orang yang di kampung kami, gambarnya terpasang di kotak macis buatan Filipina itu. Talaud, bagaimanapun menjadi Indonesia, kami lebih dekat dengan Filipina, baik secara kultural  maupun emosional historis. Sebab dari negeri inilah para leluhur kami menimba pendidikan dunia Barat. Dan kami melihat kejahatan dunia Barat justru dari negeri ini pula. Tapi apakah perubahan indah yang kami sekeluarga alami di tanah perantauan ini juga bermakna  bebasnya kami dari kutuk di negeri sana?  Ternyata ini tak lebih dari sebuah pengantar lain menuju padang-padang penderitaan yang lebih dasyat di kemudian hari.
***





BAGIAN : III

Cotabato 1971

(Upung-upung waroa
angile u wae
wae I pa ura
I pandamu gati
Aku di sini
Di waktu yang terlewat penuh pergulatan dan pengalaman batin.
Hari-hari yang pergi menyimpan kenangan hutan-hutan perkebunan Mindanao.
Lembah dan ngarai yang berkisah seuntai kesaksian.
Mungkin tentang cicit burung-burung nuri di pohon-pohon kopi, atau seekor anak ayam yang diterkam elang, lalu diterbangkannya entah ke mana,  yang menorehkan sejarah, seperti sebuah cermin)




(10)
Waktu melesat seperti anak panah. Cepat dan berkelebat menyinggahi setiap peristiwa. Di sana, di halaman rumah kebun, Mahoni tak seperti Cemara, tapi keduanya telah menjejarkan cabangnya ke udara. Ketika pagi, angin yang menyusup bersama bau bunga kopi ke hidung menyudahi sisa mimpi di pinggir penat. Begitu pula, setiap aku bangun, kutilang-kutilang kecil  di sana, seperti anak nakal bergelayut dan melompat, melindap-lindup di reranting mahoni dan bersembunyi di cemara. Semuanya memang berubah, kecuali matahari, ia tetap dari Timur ke Barat mengubah waktu siang dan malam dan menggeser bayangan cemara di dinding rumah ke kiri dan ke kanan setiap enam bulan, menandai dua musim di tanah-tanah khatulistiwa. Tapi apakah awan hitam penanda kutuk itu sudah beringsut dari langit di atas negeriku yang sudah kutinggalkan bertahun-tahun?  Ataukah ia berhasil pula menyelusup ke sini, ke negeri pelarian ini, sebagai pemburu manusia-manusia terkutuk, lalu melampiaskan takdir mengerikan bagi kami? Apakah pendeta Simon Andrian masih berdoa di taman bunganya untuk memohon keterlibatan Tuhan dalam penyelesaian melapetaka itu? Apakah ia juga masih kuat melantunkan doa semalam suntuk? Di sini segalanya sudah berubah, kecuali bayangan awan hitam yang terus membuntutiku hingga ke dalam mimpi-mimpiku.
Untung bagi anak dan istriku, segala yang mengerikan itu seakan telah menjadi masa silam. Meria pun demikian. Dukanya atas kematian Franseska Matiti ibunya sudah lama terhapus dari wajahnya. Belakangan ini ia lebih ceria.  Kulitnya tampak bersih dan terawat. Dulunya ia mengikat rambutnya dalam kepang sejajar. Gaya kepang wanita-wanita desa yang lugu.  Kini ketika membangunkanku, rambutnya berhiaskan bandou yang lekat memipih rambutnya ke kulit kepala. Antingnya berkilat dan berumbai dari batu giok pirus seperti embun yang siap meleleh di pinggir daun talas. Aku hanya tersenyum memaknai perbedaan di cermin waktu. Wajahku, wajah siapapun, dan segalanya beringsut menampilkan kebaruan.
“Kau suka gayaku?” katanya, sambil merenggut peyamaku dengan lembut.
“Segala yang membuat kau bahagia pasti aku  suka,” kataku, sambil membiarkan ia menanggalkan piyamaku dan menggantikannya dengan kaos tanpa lengan. Setelah menyerahkan aku segelas air putih ia berkata lagi, “kalau aku seperti ini di Talaud, aneh tidak?”  Meria menatapku dengan bola matanya yang terlihat jenaka, lalu meraih peyamaku yang diletakkannya di atas sandara kursi rias dan memasukkannya ke keranjang pakaian kotor berwarnah merah dekat pintu masuk kamar.
“Sesuatu yang baru pasti memberikan kejutan!” kataku.
“Aku berharap di sana juga ada perubahan,” katanya, lalu meraih keranjang pakaian kotor dan membawanya ke luar. “Kalau ke kota jangan lupa beli daging sapi!” katanya lagi.
“Iya!” jawabku, lalu menyulut sebatang Eskortku yang kuraih dari kantong baju hujan yang tergantung di belakang pintu. Semalam aku kehujanan sekembalinya dari rumah Dagos Argava. Tapi tak apalah, karena majikanku itu telah membicarakan secara serius rencananya mengangkat aku jadi mandor.
Tiga tahun sudah aku berkerja di perkebunan tuan Dagos Argava. Keadaan ekonomi keluargaku sudah cukup maju dibanding masa awal-awalnya. Kendati begitu masih banyak hal yang belum kuraih dan mungkin juga tak pernah akan kudapatkan. Tapi  apa yang kudapatkan saat ini sudah membuat kami bersyukur.
Tiga tahun memang waktu yang tidak singkat bagi seorang pekerja kasar, yang sehari-harinya berkeringat, terperah, yang jika ditampung sekaligus dalam drum, bisa satu atau dua drum. Tiga tahun, adalah waktu yang cukup lama bagi orang yang membiarkan diri di alam terbuka, terpanggang matahari, berceloteh dengan keluh kesah di pinggir tawa yang masih tersisa. 
Memang adalah sangat berbeda jika pergeseran waktu ini dialami oleh seorang pengusaha yang sehari-harinya memburu target pendapatan. Beberapa kali aku mendengar tuan Dagos Argava, mengeluhkan putaran jam yang singkat di arloji Rolex yang melingkar tangannya. “Time is money”, begitu tuan-tuan itu mengartikan waktu. Selalu terlalu sempit bagi mereka. Pagi dan sore seakan ritus alam yang memangkas upaya mereka merenggut sebanyak-banyak kapital. Kekayaan yang harus di buruh hingga ke liang-liang bergenang darah  orang-orang yang harus dikorbankan demi gunung martabat yang ikut melangitkan derajat mereka sebagai manusia akibat pertambahan harta itu.  Tapi bagi seorang buruh kasar, senja hari menjadi peristiwa alam yang paling dirindukan. Senja seperti tangan sang cinta yang membelai batin dengan lembut di saat rindu terbakar. Di sana mereka penepihkan penat dalam istirah dengan semangkuk kopi atau setegukan wine murah di sebuah kedai yang masih tersisa di pinggir pasar. Manusia-manusia sederhana itu selalu berada di  waktu yang terasa bergerak lambat. Karena itu, aku selalu ingat kakek tua yang berjalan terseok-seok yang selalu kujumpai di depan port Davao City.
Kebetulan  hari ini Sabtu,  adalah jadwalku menjemput Koprah milik Dagos dari Saranggani.  “Aku harus menemui dia,” janjiku pada diri sendiri. Aku merindukan lelaki tua itu.
Sesampainya di Port,  Benyamin, lelaki yang ditunjuk Dagos untuk mengatur usahanya di Saranggani island langsung menyodorkan nota muatan beberapa pambut yang di bawanya.
“Muatan koprah hanya sekitar 40 ton,” lapornya.
“Barang-barang lain?” tanyaku.
“Dua peti! Dan ada beberapa barang campuran,” sahutnya, sambil memberi isyarat tangan dengan membengkokkan telunjuknya ke dalam. Aku mengangguk paham. Isyarat itu menandahkan ada pasokan dua peti senjata ringan jenis Long River 28 dan colt 45 yang di seludupkan dari Saranggani Island.
“Semuanya masuk gudang!” kataku pada Benyamin.
Benyamin menyerahkan hadiahnya sebungkusan kecil cerutu Brasil padaku.
“Cari kurir mengantar dua petih itu ke rumah Dagos sebentar malam,” bisikku kemudian pada Benyamin. Lelaki itu mengangguk, kemudian berjalan lagi menuju pambutnya.
 Karena muatan sedikit, berarti aku masih punya banyak waktu bercakap-cakap dengan lelaki tua itu. Pukul 11.00 siang  semua muatan yang di bawa  pambut-pambut milik Dagos sudah masuk gudang.
Seperti biasanya aku harus mencarinya di depan port. Memang benar, ia ada di sana.  Lelaki itu duduk di atas sebuah  kas.  di pinggir tembok pintu masuk port yang atapnya menjorok keluar hingga ia terlindung dari terik matahari yang panas. Ia tampak murung dan matanya jelajatan memandang orang-orang lewat keluar masuk port. Ia tampak seperti mau menghitung semua detakkan kaki yang membentur jalanan di depan port itu. Apakah ia sedang mencari-cari ilham di tengah kebisingan port ini untuk karya-karyanya? Ia memang selalu begitu ketika kutemui.
“Hallo pak tua,” sapaku setelah dekat dengannya. Ia berpaling ke arahku. Setelah mengenaliku ia tersenyum. Beberapa giginya telah tanggal hingga menciptakan beberapa rongga kecil ke dalam mulutnya. Rautnya masih seperti kemarin tampak keras namun telah mengeriput. Kumisnya yang melebat di atas bibirnya sudah mulai memutih. Sedang jenggotnya yang tidak begitu subur, beberapa utasnya memanjang hingga ke separoh leher. Kulitnya kelam, tapi senyum indah yang senantiasa memercik ketegaran yang terpacak di relung hatinya.
“Aku berharap kau datang Goodman!” katanya dalam bahasa Tagaloc, sambil meraih tangganku untuk duduk di kas yang satu, persis berhadapan dengannya.
“Aku sudah rindu pula!” seruhku sambil menyodorkan beberapa batang cerutu pemberian Benyamin kepadanya.
Satu-dua gigi hitamnya yang tersisa kembali terlihat ketika ia tersenyum. “Akhirnya aku bisa lagi mengisap Brazil,” katanya, lalu mematik korek api di tangannya dan disulutkannya ke cerutu yang telah diapit bibirnya yang bergetar. “Ini seperti memandang dunia dari Matutum. Semuanya indah dalam asap Brasil,” kilahnya gembira. Orang-orang memandangi kami, kemudian berlalu tak peduli.
Setelah itu, kuajak ia ke kedai makan tak jauh dari situ, dan tak lupa memesan sebotol wisky  kesukaannya.
“Masih menulis lagi seperti waktu kemarin?” tanyaku, setelah kami mendapatkan meja yang pas dan duduk di bangku yang terpasang saling berhadapan di meja itu.
“Yang kulakukan adalah menyelesaikan waktu, Melihat orang-orang yang datang dan pergi sebelum malam muncul di port ini,” kata lelaki tua itu lalu menyambung, “itu puisi-puisiku saat ini.”  Ia membatuk, kemudian membuang ludahnya keluar lewat jendela kedai persis berada di belakang punggungnya.
Aku kagum lagi mendengar kata-katanya yang indah dan penuh makna. Ia memang seorang penyair, dan penulis sastra. Aku tak bertanya apakah ia sastrawan terkenal, ataukah hanya seniman jalanan yang menutup diri lapat-lapat dari publisitas. Aku tahu, ia tak butuh pertanyaan leceh semacam itu. Bagi dia, seperti yang selalu dikatakannya; Manusia adalah mahkluk yang ditadirkan untuk merespons segala yang merapat dalam pengalaman dirinya.
Suatu ketika ia berkata padaku; seharusnya aku sudah mati, nyatanya aku masih hidup, maka kujalani hidup sebelum Tuhan menghentikannya.
“Hidup itu bagai kekasih sang angin, ada musim badai dan sepoi,” ujarnya lagi memecah keheningan yang tiba-tiba menyelimuti kami. Apalagi kedai masih kosong, hanya pemilik dan dua orang pembantunya yang lagi sibuk di dapur yang terletak sekitar empat meter dari meja kami.
“Hidup itu bagai kekasih sang angin, ada musim badai dan sepoi,” ejaku pelan-pelan, agar aku bisa menghafal kalimat puitis itu. Kadang-kadang sulit memahami kata-kata lelaki tua itu, tapi bagiku ia adalah sesuatu yang merapat padaku bersama waktu.
Setelah meneguk segelas wisky-nya, “sudah jadi mandor?” tanyanya.
“Sebentar lagi,” jelasku.
“Moga musim sepoi!”
“Moga kamu pula panjang umur!”
“Kita ini dua kekasih sang angin, bisa berkabar meski sudah mati,” potongnya.
“Bagaimana bisa?” tanyaku
“Kenangan tak mungkin terbunuh. Meski kemarin selalu tak ada. Ia serupa kebenaran, selalu ada mesti terbungkem!” Aku hanya bisa berdecak, kagum.
Kami bercakap banyak, tapi kemudian aku pamit setelah mengantar dia ke kas tempat duduknya di dekat pintu port saat aku menemui dia tadi.
“Aku akan membeli daging pesanan istriku!” kataku padanya.
“Salamku untuk dia!” katanya diiringi senyumnya yang khas dan tabah.
Aku memang selalu merindukan pertemuan dengan lelaki tua itu. Lelaki yang menjadi teman berceritaku setiap aku menyinggahi port ini. Kami bisa sama-sama meratap dan tertawa sebagai dua orang kekasih sang angin, seperti selalu dikatakannya. Si tua yang selalu membagikan wisky padaku untuk menghangatkan tubuh dari dingin malam, dan dengan tabah ia bercerita kisah-kisah patriotisme Joze Rizal, Atau Jose Abad Santos, bapak bangsa Filipina yang ia banggakan. Atau hal-hal lucu dari para pedagang Spanyol yang membuat banyak wanita pribumi menjadi janda, karena ditinggalkan pergi dalam keadaan hamil. Di Port ini, aku pernah mematahkan tangan seorang pemabuk karena menggangu lelaki tua itu. Waktu telah membuat kami bersahabat. Ia lelaki dari kawasan Sultan Kudarat. Impiannya, katanya, setinggi gunung Matutum yang indah.
Tiba-tiba aku ingin ada yang tak berubah di port ini. Aku tak ingin pelabuhan ini tak lagi dihiasi langkah seok-seok lelaki tua, dengan garis muka yang kenyang pergulatan hidup yang keras.  Atau pemandangan berseliwerannya perempuan-peremuan muda cantik dalam pakaian seronok yang setia menunggu para pelaut di beberapa pojok. Pelaut yang segera turun dengan segepok peso atau dollar setelah mereka melintasi beberapa samudera yang jauh.
 Selalu ada yang berubah tapi semoga ada yang abadi. Yang satunya membuat sejarah dan satunya lagi mengekalkannya. Tapi aku banyak belajar, dan menimbah pengalaman dalam setiap peristiwa yang dilalui itu.
***
Dari Tahuna, Yulin menulis surat mengabarkan dimana ia sebentar lagi ujian akhir. Surat yang di antar tukang pos itu membuat aku jadi rindu tanah air. Apakah kota kabupaten itu juga ikut berubah? Tak ada yang dikabarkan Yulin. Tapi aku senang, anak itu akhirnya bisa melewati waktu. Seperti kecamba yang bertahan melampau musim terik sebelum menjadi pohon. Diam-diam aku merasa sangat pantas mensyukuri, jika Tuhan membimbing seseorang dari suatu negeri ke negeri yang lain semata karena maksud-maksud suci yang rahasia. Tuhan membimbing manusia untuk menyaksikan waktu memperagakan berbagai kesaksian. Dalam kesaksian itu, aku selalu bertemu maksud-maksud suci  yang baru kita ketahui setelah kita menjalaninya. Aku berpikir, bagaimana mungkin seseorang bisa mendapatkan pengalaman batin apabila ia membiarkan dirinya dalam diam. Ternyata manusia harus dan wajib memasuki waktu dan mencipta pengalaman.
Tiga tahun, sungguh banyak perubahan yang terjadi di Filipina. Tradisi kaum pribumi Asia yang dengan cepat tersepak entah ke mana, dan berganti model-model Eropa-Amerika. Rock and Roll, Hipies, Punk,  merajalela anak-anak muda. Kedai-kedai dengan aroma masakan tradisional berganti restourant dengan bau Eropa yang manis.  Gadis-gadis remaja dengan berani memperlihatkan lubang pusar. Anak-anak sekolah terlibat alkohol dan obat terlarang. Mereka ada di mana-mana, di jalanan, di hotel dan di kedai-kedai. Obat perangsang di jual bebas memacu kesemarakan free sex.  Bangunan-bangunan baru  mulai menggapai langit. Atau cerita kriminal yang menjadi bahan berita sehari-hari media massa. Semuanya berubah. Cepat, dan saling bergegas. Sekali lagi, kecuali matahari yang setia melintasi jalannya dari timur ke barat, dan timur-barat lagi di esok, dan esoknya lagi dalam putaran 24 jam.
Setelah satu bulan aku ditugaskan ke Saranggani atas perintah Dagos Argava untuk melakukan sebuah misi rahasia yaitu mengatur pengiriman senjata ke beberapa titik di kawasan selatan, baru hari ini aku punya waktu, sejak aku kembali mampir ke port Davao City. Aku masih di Port itu, padahal waktu sudah pukul 23.00. Tadi siang, aku menyempatkan diri mencari lelaki tua sang penyair itu, tapi ia tak kutemui. 
Malam agak basah meski hujan sudah redah sejam lalu. Aku baru berpisah dengan Paulus dari dalam kedai disamping gerbang. Lelaki itu terus berhubungan denganku karena ternyata ia punya ikatan bisnis dengan perusahaan tuan Dagos Argava.
Perahunya melabuh sejak sore dan membongkar muatan dari Pulau Basilan. Ia menjumputku di perkebunan dengan landrover-nya. Beberapa ayam jagoku diopernya untuk di bawah ke Thailand. Tak lupa ia menghadiahiku sebuah senjata kecil otomatic buatan Amerika. Ia memang sudah berkali-kali membujukku untuk jadi tentara bersama kelompoknya di Basilan, tapi aku menolak. Meskipun aku tak mengiyakan ajakannya tapi ia selalu baik padaku dan keluargaku. Malahan aku sudah merasa ia saudaraku sendiri.  Ia memang menawarkan diri untuk mengantarku lagi keperkebunan, tapi aku menolak. Aku ingin sendiri menikmati malam Davao City. Melihat lampu-lampu penuh pernik di kota yang lagi tumbuh menjadi metropolitan.  Namun sebetulnya aku ingin bertemu dia. Perempuan yang sempat dikenalkan Paulus ketika kami sama-sama dikedai tadi.
You like pam pam?” Aku terperanjat. Suara itu muncul tak jauh di sisi kanan gerbang.  Malam menjadi bernyanyi-nyanyi. Gadis itu mendekat dan bergelayut di pundakku.  Matanya bersih dan remaja dengan tubuh yang menggemaskan. Aku jadi ingat anak buah Dondo. Ku ingat isyarat panas di mata gadis Filipina seperti cerita mereka. Ah…kuhela ia ke sebuah hotel dua blok dari gerbang port dan kutiduri beberapa jam. Dan di kemaren-kemaren,  berkali-kali aku mendapatkan ajakan yang sama dari gadis yang bermacam ragam, bermacam kelembutan dan aroma. Benar kata anak buah Dondo. Mereka cekatan dan mahir di ranjang. Tapi adakah percakapan cinta? Tidak. Kami hanya menikmatinya. Lalu aku membayarnya. Selesai. Memang benar, cinta adalah perasaan yang senyawa.
Apakah ini berarti juga penghianatan pada perkawinan? “Tidak!” bujukku pada diri sendiri, dalam pembenaran yang kurumuskan sendiri. Di Filipina, gadis-gadis itu, laiknya sebuah perusahaan. Mereka telah menjadikan dirinya sebagai komoditi, bisnis dan profesi. Tapi bagaimana pun, Meria tak mungkin menerima berhala-berhala baru ini. Tapi  inilah perubahan itu, perubahan yang membuat ia tak canggung mengenakan anting-anting berumbai dan melupakan tabiat ikatan rambutnya yang sejajar.  Waktu memang selalu punya wajah sendiri.  Tiga tahun yang beringsut dalam perhitungan yang melelahkan. Tapi kemana lelaki tua sang penyair itu? Aku sebenarnya ingin mengabarkan kepada sesama kawan kekasih sang angin dimana kini aku sudah diangkat menjadi mandor perkebunan. Ia pasti senag dengar kabar itu, dan aku mau mentraktirnya kembali minum beberapa botol wisky. Sampai aku pulang mendekati subuh, aku tak berhasil mencari kabar tentang lelaki itu.

***
Perkebunan kopi dan kelapa tuan Dagos Argava, luasnya ratusan hektar. Meliputi kawasan dataran datar dan bebukitan, memanjang dari tepi pantai utara Cotabato ke selatan yang cukup luas. Konon, tanah perkebunan itu peninggalan saudagar Portugis sejak perang dunia kedua. Tanah-tanah ini dibeli tuan Dagos sebelum masuknya tentara Amerika Serikat ke Subic dan Clark untuk memperkuat pengaruh adidaya itu di Asia Tenggara. Tuan Dagos sendiri sebenarnya sudah punya hubungan bisnis dengan pihak pribumi jauh sebelum masa itu. Inilah cerita-cerita yang kuketahui setelah sekian waktu bekerja di perkebunan Dagos.
Banyak yang menarik selang tahun-tahun yang kulewati yang jika punya sedikit waktu, akan kupaparkan dikemudian hari.
Tapi yang pasti, tuan Dagos menunjuk beberapa mandor untuk mengatur setiap wilayah perkebunan yang sudah ditentukan bagi masing-masing mandor. Seorang mandor adalah penguasa atas lahan yang dijaganya. Ia memiliki hak-hak khusus dalam mengatur para pekerja. Hidup keluarga para mandor sangat berkecukupan. Rata-rata keluarga mandor dibekali rumah yang bagus serta fasilitas mobil keluarga, dan beberapa ekor kuda yang dipakai untuk mengawasi para pekerja. Seorang mandor diperkenankan mengadakan penanaman tanaman pangan secara tumpang sari, yang hasilnya diatur oleh mandor untuk kesejahteraan bersama dengan para pekerja perkebunan.
Dagos Argava, lelaki tua blasteran Amerika-Jahudi pemilik perkebunan kopi dan kelapa ini, merupakan warga terhormat di Cotabato. Ia termasuk miliarder yang memiliki banyak jaringan bisnis. Bisnisnya di dunia perikanan yang sedemikian menguntungkan membuat ia teramat kaya raya. Ia memiliki banyak perahu Fusu dan Pambut. Perahu-perahu itu kadang-kadang ikut dioperasikan pada aksi penyeludupan antara segi tiga Indonesia, Malasya, Filipina.  Kegiatan perahu-perahu itu kuketahui ketika sekali waktu aku berkesempatan mengikuti penyeludupan ke Sangihe Talaud lewat basisnya di pulau Tinakareng dan Petta. Waktu itu aku diperkenankan ikut karena aku ingin mengunjungi Yulin anakku yang masih bersekolah di Tahuna.
Rumah tuan Dagos berbentuk puri gaya Eropa klasik, terletak di bawah lembah perkebunan kopi. Puri itu bak istanah. Luas, dan tertata indah. Bunga, unggas-unggas peliharaan, dan anjing-anjing impor yang besar dan gemuk ikut memberi tanda kesemarakan di tempat itu.
Kompleks puri ini selalu dijaga ketat oleh tentara bayaran. Mereka mungkin yang dikemudian hari menjadi tentara Moro. Tentara-tentara bayaran itu  bersenjatakan AK-47. Dagos termasuk salah satu miliarder Filipina yang leluasa berkeliaran di kawasan panas Mindanao Selatan. Atau juga secara resmi pemerintah Filipina tidak begitu mengenal lelaki kaya ini. Karena ternyata, tak banyak orang tahu kalau Dagos tua itu, adalah salah seorang pendana gerakan yang mengorganiser pembentukan kecamba tentara Moro Nationality Liberation Front (MNLF) yang kemudian dikenal dipimpin Nur Misouari, kecuali orang-orang dekatnya.
Aku beruntung menjadi salah satu orang kepercayaan dia. Aku sendiri pernah  bertemu dengan Selamat Husein, salah seorang pentolan Moro yang dikemudian hari dikenal sebagai salah seorang petinggi pasukan Moro Islamic Leberation Front (MILF). Lelaki itu masih sangat muda. Tapi keberaniannya luar biasa. Aku berkenalan dengan Selamat Husein,  ketika diadakan pesta di puri tuan Dagos waktu itu. Pentolan lain yang juga kukenal seperti Utu Salim. Ia mungkin seumur dengan Selamat. Seorang yang menangani logistik Moro. Aku beberapa kali bertemu dengannya ketika mengantar kiriman tuan Dagos untuk bantuan logistik.
 Dagos tua adalah lelaki bertubuh tambun dengan suara bariton yang datar. Tubuhnya jangkung dengan sorot mata yang dingin. Rokoknya cerutu. Cerutu itu mungkin buatan Brazil dalam racikan yang istimewa. Aromanya wangi dan padat.
Kepercayaan lelaki berjenggot putih keemasan yang memanjang --bak rambut jagung  yang mulai menua --di bawah kepalanya yang botak itu, kepadaku, dikarenakan kejadian  penembakan yang menakutkan di sebuah gereja kecil di atas bebukitan kota General Santos yang lebih enak di singkat Gen San. Gereja itu letaknya tak jauh dari salah satu villa keluarga Dagos. Jaraknya hanya dua kilometer dari sana.
Hari itu Minggu paskah. Dagos tua, dengan limosin hitamnya pagi-pagi telah menuju gereja untuk menghadiri misa paskah. Ia juga mengajak para pekerja yang kebetulan datang dari Cotabato yang mengawal pengiriman kopi, dan koprah ke Gen San. Aku berada di antara para pekerja itu. Dengan menumpangi Landrover milik keluarga Dagos yang dikendarai seorang Filipina, kami sampai bersamaan dengan Dagos Tua di gereja. Setelah memarkir mobil, kami sama-sama melebur dalam kerumunan orang yang hendak masuk gereja.
Gereja itu berukuran kecil.  Sekitar lima belas kali dua puluh meter saja. Bangunannya agak tua, dengan arsitektur masa renaisance, ditopang banyak pilar-pilar yang kokoh. Ini mungkin salah satu gereja peninggalan Portugis atau Spanyol. Halamannya luas. Tempat parkir mobil berada sekitar seratus meter dari bangunan induk gereja.  Pohon-pohon pinang raja tampak berjejer tertata rapi, bak malaikat-malaikat hijau yang merentangkan tangannya untuk memayungi gereja kecil indah itu. Di sebelah kanan gereja, ada sebatang pohon kamboja besar. Pohon itu mungkin sudah berumur ratusan tahun, hingga ia tampak begitu besar. Pohon kemboja memayungi sebuah bagunan kecil berdinding marmer berwarna kuning antik. Menurut kawan sekerjaku, seorang pribumi,  bangunan antik ini adalah kuburan seorang misionery yang membangun gereja kecil itu. Bangunan kecil yang begitu menarik perhatianku, karena mengingatkanku akan bangunan-bangunan kuburan antik di kepulauan Sangir. Kuburan dengan jeruji besi baja yang kuat, yang sering dicuri warga untuk dijadikan sambeang dan linggis. Bangunan kubur semacam ini biasanya milik para keluarga kerajaan.
Hari itu, terjadi kejadian yang hampir merengut hidup tuan Dagos. Sekaligus hari yang merupakan ikwal dari keberuntungan lain yang kuraih. Ceritanya,  dari balik dinding kuburan, aku tanpa sengaja melihat ada moncong senjata yang diarahkan ke arah kami. Moncong senjata yang aku kira dari jenis AK-47 itu tiba-tiba memuntahkan peluruh berkali-kali secara berentetan. Sebelum terdengar bunyi tembakan aku telah menabrak Dagos Tua hingga terjerembab. Naluri seorang pemburu yang sudah kian lama tidur di tubuhku bangkit tiba-tiba untuk menghindarkan tembakan itu dari tubuh Dagaos Tua.  Sebutir peluruh merobek lengan kiriku. Yang tepat melindungi kepala Dagos Tua. Para pengawal tuan Dagos dengan cepat bergerak memburu para penembak misterius itu. Setelah keadaan sudah tenang, aku baru tahu, sekitar sepuluh orang meninggal dalam penembakan gelap tersebut. Tapi Dagos Tua, kepalanya terselamatkan oleh lenganku.
Kejadian penembakan tersebut begitu membekas di hati Dagos Tua. Setelah dioperasi, lengan kiriku kembali pulih seperti sediakala. Sebagai terima kasihnya ia mengangkatku sebagai mandor perkebunan kopi dan kelapa miliknya.
Tuan Dagos adalah lelaki yang begitu menghargai kejantanan dan ketulusan hati. Sikap-sikap seperti itu membuat ia begitu membanggakan seseorang. Aku ingat apa yang dikatakan tuan Dagos ketika itu, “Kepas,” panggil lelaki dengan tubuh sebesar raksasa itu. “You  goodman!” katanya. Sejak itu, orang-orang sekitar Dagos Tua, termasuk para pengawal pribadinya, memanggilku dengan sebutan Goodman.

***
(11)
            Hari ini Yulin akan datang. Kabar kedatangannya sudah beberapa hari kami terima lewat suratnya yang dibawa Paulus Barahama. Ia katanya akan menumpang Fusu milik keluarga Dagos dari Peta. Jack Dagos sendiri datang memastikan bahwa Fusu mereka akan datang hari ini di port Cotabato.  Kabar itu membuat kami sekeluarga agak surprise.
Dian dan Herkanus sangat senang mendengar kakaknya akan datang. Mereka sudah menyiapkan hadiah khusus sebagai kejutan buat kakaknya yaitu seekor tupai kelapa yang telah mereka pelihara selama dua Tahun. Meria merasa  tak tahan jika tak menjemputnya langsung ke port. Port di Cotabato tak jauh dari perkebunan. Hanya ada sekitar 8 kilometer.
Jack putra majikan saya  menawarkan diri untuk ikut menjemput Yulin. Atas permintaannya kami semua menumpang Landrovernya. Melihat gerak-gerik anak muda itu, aku yakin ada sesuatu dalam pikirannya.
“Aku sudah pernah jumpa Yulin tuan Kepas,” ungkap Jack, saat kami meninggalkan kebun dengan Landrovernya. Dian dan Herkanus tidak ikut karena mereka lebih sibuk mengurus hadiah yang bakal mereka berikan ke kakaknya.
“Di mana ?” tanya Meria.
“Di Petta. Kebetulan aku di sana ketika ia menitipkan surat tempo hari. Boas yang memperkenalkannya padaku,” kata Jack.
“Memangnya sering melakukan perjalanan ke Satal?” tanyaku.
“Sesekali. Tapi aku suka Satal. Bowombaru bisa jadi basis bisnis perikanan di masa depan,” ujarnya.
“Bagaimana keadaan Yulin menurut anda?” tanya Meria lebih memfokus pembicaraan.
Jack memperlambat jalan mobilnya. “Ia cantik. Sopan, dan memiliki wawasan yang bagus!” kata Jack.
“Sudah pernah bicara panjang lebar dengannya?” kejar Meria.
“Aku sempat makan malam bersamanya di Tahuna. Kami sudah sering berkirim surat pula,” kata Jack menerangkan. Sejenak kami terdiam.   Kulihat muka istriku sedikit berkerut, mungkin ada selintas pikiran lain menyusupnya. Aku sendiri sulit menyambung percakapan, sebab bagaimana pun lelaki di sampingku ini anak majikanku, jadi aku sangat menaruh hormat padanya.
“Hubungan kami sangat baik! Tuan dan nyonya jangan terlalu memikirkannya,” kata Jack lagi seperti membaca pikiran kami.
“Bukan…Tidak apa-apa…malahan kami bersyukur kalian sudah saling kenal. Tapi aku tahu Yulin sangat nakal, ia agresif dan kadang kurang sopan,” kataku menetralisir.
“Ya… dia memang sedikit bandel. Sejak kecil dia begitu,” sambung istriku.
“Ia sudah dewasa. Tidak kecil lagi. Aku melihat kecantikannya nyonya di wajah putri nyonya,” kata Jack.
“Ow..Jangan dilebih-lebihkan!” sahut Meria.
“Tidak…tidak. Ia memang cantik,” ujar Jack, memotong.
“Kenapa tidak cerita sebelumnya kalau sudah kenal Yulin,” kataku basa-basi.
“Yulin minta agar semuanya jadi surprise. Tapi aku lancang mengatakannya sebelum semuanya jadi suprise. Aku tak enak menyimpan sesuatu pada tuan dan nyonya yang sudah seperti orang tuaku pula,” kata Jack.
“Ow,” sahut istriku.
“Terima kasih. Kau selalu baik pada keluarga kami,” kataku.
“Tuan menyelamatkan ayahku. Apakah aku harus berpaling dari hutang nyawa itu?” sahut Jack.
“Itu kewajibanku. Ia majikanku. Nyawanya lebih penting dari nyawaku!” jelasku.
“Itu tradisi aneh dalam peradaban kami. Dan seperti juga ayahku, aku menghormati pengabdian  yang aneh itu tuan,” kata Jack.
“Kesetiaan seorang hamba pada majikannya dalam tradisimu tuan, dalam budaya kami tidak begitu dikenal. Pengabdian dalam budaya kami selalu senilai uang yang diberikan kepada mereka. Tugasmu bukan pengawal ayahku, tapi kau justru orang yang dengan berani bertaruh nyawa untuk menyelamatkan ayahku. Ini kemustahilan yang membuat kami segeluarga menghormati tuan dan nyonya,” tutur Jack.
Setelah memasuki kota, kami memilih tak mengganggu Jack.  Seketika hatiku teringat anak itu. Yulin memang telah menjadi gadis remaja yang cantik. Ketika aku mengunjungi Tahuna tahun kemarin pun sudah kulihat sinar kecantikan ibunya begitu lekat di wajah anak itu. Lupa kuceritakan bahwa, di tubuh istriku masih mengalir darah biru, dari Wawu Tua mereka yang kebetulan anak di luar nikah seorang pelaut Portugis. Tak heran, anak-anakku ikut mewarisi pertautan kecantikan dari dunia dingin di seberang sana dan keeksotikan manusia timur.  
Di port, setelah pertemuan yang penuh keharuan dengan aku dan ibunya, Yulin langsung bercakap-cakap dalam bahasa Inggris yang lancar dengan Jack. Mereka tampak sangat akrab dan sudah saling kenal. Tapi tak lama, kami langsung pulang. Yulin katanya sudah sangat rindu melihat Dian dan Herkanus adiknya.

Yulin telah tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas  (SLTA) di Tahuna. Karena kemampuannya berbahasa Inggris cukup bagus, aku mendorongnya untuk masuk universitas atau semacan extension course di Gen San. Dorongan itu juga dikarenakan membaiknya keadaan keuangan kami, berkat ketelatenan  istriku dalam hal menabung. Tapi sayang maksud itu kemudian urung. Putra Dagos tua rupanya telah terpikat pada Yulin. Atas permintaan Jack Dagos Jr, lelaki muda pewaris satu-satunya kekayaan keluarga Dagos Argava, Yulin akhirnya tidak meneruskan niatannya melanjutkan studi. Jack Dagos Jr kemudian meminang Yulin untuk menjadi istrinya. Tentu maksud baik itu, membuat aku dan istriku tidak memiliki pilihan. Apalagi, mengingat kebaikan hati keluarga Dagos selama ini. Hal ini juga diperkuat melihat kondisi kedua anak muda itu yang sudah saling jatuh hati. Kami pun sepakat untuk melangsungkan saja pernikahan mereka. Singkatnya, setelah melakukan berbagai persiapan sekitar tiga bulan, akhirnya, pernikahan mereka berlangsung meriah dan mewah di sebuah hotel di Manila.
Perkawinan Yulin dengan miliarder muda itu, dengan sendirinya mengangkat derajat ekonomi keluargaku. Keluarga kami dipindahkan dari rumah penjaga kebun ke sebuah bangunan besar dengan halaman yang luas tak jauh dari perkebunan. Meskipun begitu, aku tetap bertugas sebagai mandor perkebunan kopi dan kelapa keluarga Dagos.
            Yulin dan Dagos Jr, suaminya ternyata memilih menetap di Los Angeles, California, di tempat asal leluhur keluarga besar Dagos. Mereka di sana mengembangkan usaha perhotelan, dan beberapa bisnis lainnya yang tak kuketahui dengan pasti.

***
            Kutukan yang datang dari negeri mitos itu ternyata telah memakan segalanya di Talaud. Kutatap wajah Boas. Lelaki itu baru kembali dari Bowombaru, Talaud.  Ia telah menceritakan semuanya. Ada beberapa pucuk surat dari family di Talaud di serahkannya padaku. Surat-surat itu menceritakan adanya penyerobotan tanah-tanah milik keluarga kami oleh pihak penguasa setempat.
            “Kukira kau beruntung, telah meninggalkan kampungmu sebelum penguasa-penguasa di sana menerapkan strategi stigmatisasi  PKI !”
            “Tradisi kami mengatakan jika seseorang berada dalam lingkaran kutuk, kemanapun ia tak akan mampu menghindarinya,” kataku.
            “Kupikir kau di luar kutuk itu kini,” kata Boas, menularkan semacam keyakinan. Aku hanya bisa mengawasi mukanya yang sebenarnya menyimpan keprihatinan yang tersembunyi. Sementara bayangan hitam itu tiba-tiba menyerbu pikiranku, dan menghantuiku. Hatiku berdebar, dan meloncatkan gelisah yang tiba-tiba sontak tanpa alasan.
            “Aku dalam lingkaran kutuk itu. Aku merasakannya.”
            “ Kau berada jauh dari negeri itu sekarang!”
            “Di langit sekalipun, hantu hitam itu akan mengejar kami,” kataku meyakinkannya. Mungkin memahami perasaan gelisah yang terus bermekaran dalam pikiranku, Boas lalu mengalihkan pembicaraan pada hal lain.
“Sudah bertemu Paulus Barahama?” tanya Boas.
“Beberapa bulan ini belum.”
“Ia lagi konsentrasi di Basilan, melatih pemuda-pemuda bersenjata.”
“Mereka akan melancarkan perang?”
“Kukira begitu! Moro yang dulunya sebagai sebutan lecehan buat kaum Muslim di sini, kini berubah jadi perekat perjuangan mereka.”
“Berarti ini bakal jadi perang agama?”
“Tidak. Islam yang kami anut, seperti juga kekeristenan yang kau anut, adalah agama yang mengajar perdamaian dan cinta kasih.  Hanya saja bagi Islam, ketidak adilan adalah musuh. Islam memerangi ketidak-adilan. Itu semangat Paulus dan kawan-kawannya,” jelas Boas.
“Saya kira semua agama punya semangat seperti itu,” ujarku.
Kami banyak bercerita hingga hari agak siang ketika kawan baikku itu pamit dari rumahku.
Hari ini udara agak panas.  Seperginya Boas, aku memilih berkeliling perkebunan dengan kuda. Cerita Boas tadi pagi membuat perasaan gerah mengguyup tubuhku. Kata Boas, Pendeta Simon Andrian juga sudah meninggalkan Karakelang. Ia kembali ke Minahasa. Kabar itu bisa berarti betapa dasyatnya persoalan yang dihadapi penduduk di kepulauanku sehingga orang setabah pendeta Simon akhirnya pergi dari sana. Banyak hal yang muncul dan pergi dalam pikiranku yang disebabkan cerita  teman masa kecilku itu. Selebihnya, aku baru tahu kalau anak-anaknya sudah bergabung dengan Paulus menjadi tentara di Basilan. Suhu politik memang agak memanas di Filipina akhir-akhir ini. Tapi aku tak suka mencakapkan itu. Aku benar-benar tidak tahu –menahu dengan urusan politik. Jadi untuk apa memperbincangkannya.
Beberapa orang tentara bersenjata lewat di jalan kecil di antara perkebunan kopi. Di belakang mereka terlihat beberapa orang kuli memikul karung yang terlihat cukup berat. Mereka, orang-orang kepercayaan tuan Dagos. Di antara rombongan kecil itu ada seorang perempuan. Ia mungkin gadis Indo berasal dari Singapura. Tubuhnya semampai, cantik dengan rambut memanjang. Kedatangan perempuan cantik ke puri tuan Dagos, termasuk hal yang lumrah. Mereka gadis-gadis bayaran untuk memuaskan para tentara yang sehari-harinya tersimpan di hutan dan perkebunan ini. Padahal kalau dipikir, di sini banyak gadis-gadis pribumi yang cantik-cantik. “Kami tidak mau bermain dengan gadis baik-baik,” kata salah seorang tentara menjelaskan sikap mereka, pada suatu ketika padaku. Jadi bagaimana pun mereka disebut sebagai pemberontak, tapi mereka sangat dihormati rakyat di sini. Mereka tidak mau mengambil apa yang menjadi milik rakyat. Mereka tidak mau disebut sebagai pengganggu keamanan. Sebab cita-cita luhur mereka menjadi seorang pahlawan yang membela hak dan martabat rakyat serta kemanusiaan, yang selama ini menurut pendapat mereka tersumpal di tangan penguasa pusat yang rakus dan korup. Meskipun untuk mendapatkan semua itu, mereka memilih jalan perang.
Lalu perempuan ini? Dari gaya jalannya ia nampak sebagai wanita muda modern. Perempuan itu berjalan sambil bergelayut di pundak salah seorang berseragam loreng yang merupakan komendan dari kelompok itu. Komendan itu sangat kukenal dan akrab denganku.
            “Hoi….Goodman!” teriak komendan itu setelah melihatku.
            “Hoi…How are you?” balasku.
            “ Great!  And  You. ” jawabnya.
            “I am fine. Thank you.  Who is beside you?”
            “My girl friend!
            “ Komendan…If you don’t mind,” pancingku berkelakar.
            “What can I do for you friend?”
            “ May I have a kiss from her?”
            “ Hoi…Don’t be silly!”
            Mendengar kelakarku wanita cantik itu mengerling padaku. Tawanya sedikit meledak, mungkin dikarenakan kelakarku yang bodoh.
            “That’s allright,” ujarnya. “Please just closse your eyes, and you think I am kissing you…ok?” tambahnya dengan nada suara yang manis. Sejenak aku langsung diserbu perasaan enak yang iseng. Menyenangkan.
            “Ok…I’ll do it. I am happy. And you are pretty, convius and…perfect,” ujarku.
            “Don’t thingk  about it, friend! That’s just a joke,” teriak komandan. Kami terbahak bersama.
            “ I am glad to see you. I have time for you some time, goodman!” ujar si cantik.
            “Ouw…Thanks,” ujarku sambil membalas senyum keakraban mereka, sebelum mereka berlalu.
            Perkebunan ini memang agak terpencil. Tapi kami tak kekurangan pemandangan menarik seperti tadi. Wanita-wanita cantik dari berbagai negara sering berganti berdatangan ke perkebunan, menginap di villa tuan Dagos. Sesekali terbayang, jika seandainya aku punya kesempatan lagi menikmati aroma percintaan modern dari wanita-wanita secantik itu. Ah…suatu pikiran kotor yang menggoda. Dosa yang rasanya enak.

            Selama menjadi mandor, banyak kejadian menarik serta yang menakutkan aku alami. Mengurus manusia ternyata adalah hal yang paling sulit di lakukan. Mengatur satu dua orang saja masih lebih baik kita mengembalakan seribu ekor sapi.  Perkelahian antar buruh perkebunan sering terjadi. Tapi jika perkelahian itu melibatkan para pekerja asing dengan pihak pribumi, itu merupakan sesuatu yang merepotkan, karena sudah menyangkut gengsi antar bangsa.
Hari ini perkelahian seperti itu terjadi lagi.  Perkelahian antara dua buruh perkebunan, satu asal Sangir, dan satunya penduduk pribumi Cotabato  Perkelahian ini membuat aku harus terlambat pulang, padahal aku sudah kangen melihat Meria istriku. Apalagi tongkat kecil di selengkanganku yang selalu mengeras ketika digoda perempuan tadi. Tongkat kecil yang menuntut untuk segera di pacak.
  Sampai tengah malam aku harus mengurusi mereka. Si Sangir, telah menebaskan parangnya ke lengan si pribumi. Lengan lelaki yang tertebas itu hampir putus. Alasan si opo Sangir menebas si pribumi terdengar begitu sepeleh, karena si pribumi Filepus, mengejek Opo, dengan mengatakan,  “dasar bangsa kuli”.  Sebagai orang Indonesia, aku sendiri akan sedemikian sakit jika disindir, apalagi diejek sebagai bangsa kuli.  Memang bangsa Indonesia saat ini kabarnya menjadi bangsa pengutang terbesar di dunia, tapi jika diejek demikian, perasaan nasionalisme, akan segera mengajak keberpihakan. Di lain sisi, tindakan Opo, yang menebas si Filepus, merupakan tindakan anarkhis, yang melewati batas-batas kemanusiaan dan hukum. Meskipun aku terbilang buta dalam urusan hukum, namun sebagai mandor, aku dituntut untuk adil. Sayang sebuah tembakan pestol telah mengakhiri pertikaian itu. Istri Filepus yang kalap menembaki Opo. Lelaki itu tewas tepat di depanku. Kalau sudah begini, itu sudah urusan Dagos Argava Tua. Yang pasti, dari tempatku yang tak jauh dari puri Dagos, aku hanya mendengar dua kali bunyi tembakan yang lain. Aku yakin, Filepus dan istrinya telah dieksekusi tentara-tentara Dagos, di tebing di samping puri itu. Tebing itu sudah sejak lama menjadi tebing penghukuman.
Filipina bagaimana pun ia berada di Asia, ia telah kehilangan perasaan religiositas Asia-nya. Perdagangan senjata yang bebas tak terkendali, telah menempatkan penegakkan hukum menjadi cerita yang kadang-kadang sebuah omong kosong. Siapapun dapat dieksekusi di sini lewat hukum yang terselip dalam setiap saku seorang penguasa dan mereka yang memiliki uang. Uang menjadi sesuatu yang terpenting dan segalanya di sini. Tapi itu, semata-mata tafsiranku sendiri, dan belum tentu jika dipandang dari sudut yang berbeda. 
            Mendekati subuh, aku baru sampai di rumahku. Rumah itu, sebuah bangunan semi permanen, yang dilengkapi peralatan serba modern. Dari  tehnologi air conditioning, hingga kompor gas. Tempat tidur kami pun telah dilengkapi kasur yang empuk, kiriman Yulin dari California.
            Meria istriku menjemputku di pintu. Ia sangat mengenali langka kudaku. Kuda itu sudah lama kami pelihara, sejak diserahkan tuan Dagos  tiga tahun silam. Kuda itulah kendaraanku dalam mengawasi para pekerja di perkebunan kopi dan kelapa. Di pintu, aku agak kaget melihat Meria. Ia agak berobah malam ini. Kemarin ia baru kembali dari belanja beberapa keperluan keluarga di Gen.San. Selang sebulan ia berada di Gen.San, bersama istri Dagos tua, wanita Filipina Irlandia yang cantik.
“Kau memandangku seperti mengintai babi hutan?” kelakar istriku.
“ Tidak! Hanya suka saja,” jawabku, menutupi perasaan terperangahku.
“ Kau jangan berdusta!” kata Meria sambil mengandeng aku masuk.
“Aku melihat tatapan aneh di matamu,” katanya lagi.
“Oke aku mengaku. Kau kini makin cantik. Sudah menjadi wanita modern”.
“Apa aku tak boleh begini?”
“Siapa bilang? Malah aku senang,” ujarku sambil menyeruduk bibirnya yang ranum memerah. Tongkat kecilku kian mengencang. Meria meraihnya dengan cepat dan memberi beberapa remasan. Aku melenguh nikmat.
“Syukurlah jika kau suka,” ujarnya kemudian, sambil berlalu mengambilkan aku segelas kopi.
 “Aku sudah menyediakan air panas untuk kau mandi,” katanya lagi.  Setelah menghabiskan kopiku, aku langsung mandi.
Meria telah menantiku.  Kuakui aku memang agak takjub melihat istriku. Kulitnya menjadi putih dan kentara terawat. Wajahnya memendarkan sinar kecantikan yang belum pernah kulihat pada saat ia masih perawan sekalipun. Kecantikan ini, bukan kecantikan masa silam saat kucium ia ketika melintasi andaara Essang. Atau ketika berpeluk di bawah pohon sisak di belakang rumah mereka di Ganalo. Ini sangat lain. Sangat baru.  Meria memelukku dan menciumiku. Perasaanku tiba-tiba hanyut kemasa percintaan pertama.  Kengerian membayangkan nasib Filepus dan istrinya  sejenak terlewatkan begitu saja. Tak ada bunyi tembakan yang mengerikan itu. Selain deguban jantung yang kudengar seperti shimphony  yang sering dibunyikan opaku pada sebuah gharmaphon buatan Jerman. Dan bunyi itu kian  indah. Melenting-lenting. Meninggi resik,  pada saat aku menyetubuhi istriku.
            “Kita jadi muda lagi?” bisikku ke telinga Meria.
            “Tidak. Kita sedang dalam situasi yang berbeda,” jawab Meria lembut. Kami pun terus masuk ke arus yang kian mengasyikan. Dan berhenti di pantai yang hijau menyegarkan.
Ang mahal kita,” ujarku dalam bahasa Tagaloc.
Ang mahal kita,” balasnya. Tak lama kemudian istriku terlelap pulas. Wajahnya seperti rembulan di atas gunung. Seperti puisi kongkrit yang dilekatkan Tuhan di langit jiwaku. Sebuah puisi indah yang seindah puisi dibacakan  penyair tua di port Davao City  saat senja menyembunyikan kami bersama botol-botol wisky.
            Kuhabiskan sisa waktu hingga matahari membersit di Timur. Waktu-waktu itu, kupergunakan untuk meresapi kejadian yang baru berlangsung. Apakah benar, emosi manusia akan ikut menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan, seperti perubahan status ekonomi keluarga?  Yang pasti, gaun tipis yang harganya pasti mahal itu, telah membangkitkan selera seksualku, ketika pertama kali aku melihat istriku malam ini. Bau parfum yang entah apa namanya yang dikenakan istriku, telah menarik kesadaranku untuk masuk ke dadanya yang masih menyimpan kerucut yang indah. Ah Meria, kau telah banyak belajar dari peradaban yang sedang kau jalani. Jika demikian, lalu dimana sesungguhnya keindahan kemiskinan yang banyak diagungkan para sastrawan itu.
            Seekor codot tua yang hinggap di pelepah pisang mengagetkanku. Binatang hitam itu lalu merambat ke atas, dan membenamkan diri di pucuk daun pisang yang baru mau terbuka. Sebuah bentuk kehidupan yang teramat sederhana. Apakah mereka bahagia? Aku baru menemukannya. Kebahagian menjadi sulit di capai jika kita menakarnya dengan fikiran. Kebahagiaan memang milik perasaan, bukan logika.

***
            Perkawinan Yulin dengan miliarder Jack Dagos Jr, telah mengubah pola hidup keluargaku. Bau harum ubi dan bete, serta nikmatnya dabu-dabu ikan bakar, tinggal dapat aku temui di warung-warung makan pinggiran pasar Cotabato. Jika aku punya waktu mengunjungi Davao City, aku mencarinya di sana.
Istriku diam-diam mulai terbiasa dengan bentuk kehidupan Barat yang modern. Aku sering ke sana setiap akhir pekan untuk menikmati makanan pujaan leluhurku itu. Aku harus tetap menjaga kepribadianku sebagai orang Talaud, dengan terus memelihara kedekatanku dengan beragam kultur yang pernah membesarkan, dan mengajariku jadi manusia. Tapi apakah ini petanda bahwa aku memang tetap dijaga hukum alam agar tak keluar dari rencana besar alam yaitu kutukan awan hitam itu? Sedangkan Filipina, seakan suatu kekuatan lain yang tiada henti menyihir siapa saja untuk berubah menjadi manusia baru. Budaya Amerika yang individualistis dengan sayap-sayap materialismenya yang kokoh. Tidak! Aku harus terus membuka wilayah sadarku, untuk menemukan bentuk-bentuk asli dari perikehidupan negeriku. Meskipun aku pernah menganggap proses kesadaran atau ke-tahu-an seorang manusia adalah sebuah pemberontakan bagi Allah.  Hal itu kualami ketika membaca beberapa buku tulisan para misioneri yang menceritakan kembali tentang penciptaan manusia. Kalau benar memang manusia pertama Adam dan Hawa itu baru mengalami proses kesadaran bahwa ia sedang telanjang, pada saat setelah mereka melakukan dosa dengan memakan buah larangan Tuhan. Berarti sebelumnya, mereka diciptakan dalam keadaan yang tidak memiliki kesadaran atau ke-tahu-an. Dengan demikian usaha manusia untuk menemukan kesadaran dan pengetahuan, adalah suatu usaha penjerumusan diri ke dalam dosa.
            Makin banyak pengetahuan seseorang, makin besarlah dosa yang diperbuatnya. Kalau begitu berbahagialah orang yang bodoh dan miskin, karena mereka kurang memiliki dosa. Dan seorang yang bisa masuk sorga itu, cuma anak kecil. Karena mereka memang tidak sadar, dan tidak tahu.
            Ah, sudahlah. Itu tock bukan urusanku. Saat ini aku lebih memikirkan menjadi orang Talaud yang tidak pernah melupakan tradisi. Seperti ingatanku terhadap peringatan burung-burung yang mati berjatuhan, atau awan hitam yang mendatangkan kutuk sexava di hutan-hutan pulau Karakelang. Masihkah peringatan itu menjadi bagian yang terus membuntutiku?
            Terus terang, aku baru mulai belajar memakai stelan jas. Kesulitanku menyesuaikan tubuh dan terutama jiwa  emosiku terhadap pakaian para tuan-tuan kebun dan orang-orang kaya itu, membuat aku keringatan seharian. Meria telah membeli beberapa stelan untukku. Sebagai mertua seorang miliarder muda, aku harus tampak gagah untuk tidak membuat sang menantu malu. Meria karena ia begitu dekat dengan Sandiana, istri Dagos tua yang kini menjadi besannya, ia mulai menanjak jadi manusia modern. Ia mulai mahir berbahasa Inggris. Aku sendiri, meskipun tidak begitu lancar, tapi bahasa Inggrisku kian hari kian dapat digunakan untuk berkomunikasi.  Padahal di kebun aku lebih suka belajar bahasa Tagaloc, dan Bisaya dan menggunakannya sesekali. Tentang pakaian, Meria, sudah mulai terbiasa menggunakan gaun kiriman Yulin yang mewah. Kain-kain halus, atau brokat, dan beberapa jenis katun mahal, sudah sering digunakannya ke gereja. Ia pun sudah pandai memasak dan meramu Sanwice Chiess. Sesekali ia memasak untukku dan kedua anakku. Tapi bagaimana pun enak dan harumnya bau makanan itu, tak lebih enak dari bete dan ikan bakar bagi leherku. (Bersambung ke bagian berikutnya...)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar