Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (2)

BAGIAN  : I

September 1965

“Upung-upung Baroa
Anggile u wae”
Tak ada! Kecuali air mata
Maka ditulisnya keluh kesah
Suara hati suatu generasi yang selalu terlupa

 
(4)

Ambang abad 21
Kepada Siapapun Yang Masih Punya Air Mata
Dan Serpih Belas kasihan

Saat menulis surat ini aku dalam keadaan telanjang. Tanpa seutas benang melilit tubuhku. Aku gila! Aku seperti anak bayi dalam gendongan alam.  Suatu sandiwara menyakitkan yang harus kulakoni dalam keadaan kesadaranku mengatakan ini tak lebih dari kekonyolan dalam ketakberdayaan seorang lelaki. Lelaki yang eksistensinya dimatikan. Lelaki yang harus menepikan semua cita-citanya demi mempertahankan hidupnya.
            Aku sedang bersandar di bawah pohon Manggustan ketika setiap kata dalam surat ini kurenungkan dan kutuliskan. Angin siang yang kering menyaput kulitku yang kotor, keriput, dan rentah. Angin yang lebih sempurna mengenali penderitaan kami, ketimbang hati kami sendiri yang sering mulai alpa, lupa menafsir hakikat dari pengertian dan makna-makna sebuah kehidupan. Di tengah waktu yang senantiasa berjuang mengalahkan sisa-sisa keberanianku.  Sebab, apa artinya itu semua bagi perasaan yang senantiasa tercecar ini.
Tak ada cerocok di sini bagi kami untuk mengeringkan air mata, atau nasib menambatkan harapan. Hati kami semata mata air dari hulu kepedihan hati antar generasi.   Hati dan jiwa yang melepuh di bawah kekuasaan sebuah rezim yang tak mengenal belas kasihan. Di hadapanku laut luas menganga seperti tangan raksasa yang begitu bersahaja menanti tubuhku merebahkan diri di pelukannya dalam kematian. Tapi aku belum, belum berikhtiar menemui sang kematian, sebelum  aku menemukan sedikit kebanggaan menjadi manusia. Secuwil kebanggaan yang kupikir dapat diraih dari buah kejujuranku mengungkap segala kesaksian tentang nasib kami.
Bersama sepuluh ribu bahkan berpuluh ribu  kepala keluarga di kepulauan ini, kami telah dimasukkan dalam program stigmatisasi PKI, oleh penguasa. Padahal kami tidak tahu apa-apa, dan buta politik.  Dan tentu kamu hanya mendengar desahan tangis yang samar-samar dalam lintas derita generasi kami. Yang pasti, dari angka itu, kami berkembang seperti parasit yang menjijikkan dalam sebuah pohon bangsa. Parasit yang menjadi ancaman bagi kehidupan bangsa itu sendiri. Tapi apakah keadaan ini harus ditimpahkan kepada kami dengan program pelenyapan secara sistematis pada periode-periode berikutnya? Sejak di stigma, dengan begitu kurang lebih  tujuh generasi kami menjadi kaum  gembel, tanpa masa depan, tanpa pengharapan. Selain, jika di negeri ini masih ada orang yang memiliki air mata dan serpihan belas kasihan. Tanpa itu, seperti juga kelupaanku pada kata damai, kita senantiasa dalam perang, oleh suatu dendam yang tak pernah selesai.

Kepas
.
             Semuanya berawal dari sini. Dari kepercayaan turun-temurun. Ketika pulau-pulau  tercipta dari air mata seorang perempuan. Mungkin ia peri, malaikat, atau bidadari. Lalu banyak orang beranggapan, cinta dan bencana berasal dari kegaibannya. Dan  isyarat kegaiban itu datang, maka segalanya akan bermula.
Suatu senja di bulan September yang kering. Isyarat itu tiba-tiba menampakkan diri. Sesuatu yang mengerikan. Datangnya dari dimensi alam gaib dengan kekuatan-kekuatan mekanis yang diyakini akan segera mempengaruhi kehidupan alam dan manusia di kepulauan kami. Lintas generasi mitos itu seakan isyarat menakutkan yang selalu menerjemah peristiwa-peristiwa tragedi yang panjang. Mendedah dan menakutkan.
  Aku masih di dasanku ketika itu, seusai memanen hasil ladang. Daun pohon Sisak dari ranting-rantingnya di atas cabang yang tinggi berguguran ke tebing, ke tempat di mana di bawahnya kayu-kayu Raja menghijau seperti permadani. Layaknya, permadani yang pernah kulihat di rumah saudagar keturunan Arab di kota Tahuna. Ketika itu, aku masih kecil. Umurku enam tahun saat diajak  ayahku menjual beberapa ekor kambing di ibu kota kabupaten, Tahuna.
Pemandangan menakjubkan ini mengukuhkan keangkeran gunung Tarapahan yang menyimpan hawa mistis yang sangat diyakini masyarakat kami.    
Sudah lama aku berkebun di sini. Sejak ayahku mewariskannya padaku. Ladang yang terletak di sisi barat yang langsung berhadapan dengan samudera Fasifik. Gunung Tarapahan, seperti gunung lainnya di pulau Karakelang, bukan gunung vulkanik. Tapi memiliki humus yang tebal. Jadi sangat bagus untuk berladang.  Karena kesuburannya, Tarapahan sudah lama menjadi tempat perladangan penduduk. Tanaman Padi, Singkong, Kacang, Batata, dan Bete Bentul tumbuh dengan subur.
Kesenanganku berladang di sini sesungguhnya didorong rasa hormatku pada almarhum ayahku.  Dari atas punggung tinggi ini pada waktu istirahat aku bisa melihat laut lepas di bawahnya. Menandai karang terjal di sayap kanan pulau di mana tempat itu telah merenggut ayahku bersama perahunya pada tiga dasawarsa yang lewat. Ombak besar yang memukul dengan cepat menghempaskan perahu yang kami tumpangi ke karang ketika itu. Ada sebelas orang tewas. Dan hanya lima orang yang selamat, termasuk diriku dalam peristiwa naas tersebut. Peristiwa mengerikan yang membuat aku dan ibuku harus melewati masa-masa yang pahit. Harus menjalani hidup penuh kesulitan.
Sejak umur delapan tahun aku selalu menemani ibu ke punggung tinggi ini. Sejak itu, aku menjadi senang ke sini menandai karang  dan ombak-ombak di depannya yang bergulungan menabrak karang. Dari sini pula aku suka melihat kapal dan perahu-perahu nelayan yang mengapung seperti permainan kapal-kapalan anak-anak dalam loyang besar. Sesekali aku berpikir, bagaimana indahnya Tuhan melihat keindahan ciptaanNya dari ketinggianNya. Pulau-pulau di sudut jazirah samudera Fasifik yang tersembul laiknya noktah-noktah hijau di tengah beludru perak warna samudera yang teramat luas.
Tapi, tak seperti senja di waktu yang lain. Senja hari ini menyeruak dengan ketakjubannya sendiri.  Matahari sekejab saja tak terlihat cahyanya. Sinarnya lenyap seperti lentera yang dipadam topan tiba-tiba. Topan yang menyaput dari dunia-dunia gaib yang tak terlihat. Sayup dari kesenyapan yang merindingkan, isyarat itu tiba-tiba datang. Datang begitu saja serupa awan hitam dengan mata hantunya yang memerah, kadang-kadang kelam. Menyeringai buas.   Itulah isyarat roh-roh alam yang melegenda dan diimani penduduk kepulauan kami. Tentang keimanan itu, sejak ribuan tahun leluhur kami memang meyakini legenda tua yang abadi dikisahkan dari generasi ke generasi bahwa negeri kami adalah surga. Padahal, kata surga baru dikenal disekitar abad ke 16, sejak  para guru agama Samawi menetakkan kaki di tanah kami bersama para bar-bar dari negeri penyair Garcia Lorca, Spanyol. Begitulah ibuku mengisahkannya padaku. Meski baru pertama kali kulihat keanehan yang menggentarkan itu, tapi kuyakini, inilah isyarat gaib. Kami telah belajar dari berbagai kisah turun-temuran baik yang lisan atau dalam tulisan sejumput misioneri yang pernah singgah, dan beberapa dari mereka menetap,  mengabdi di negeri kami hingga mati di tanah kami. Dari catatan-catatan tua yang berdebu, catatan yang tersimpan di kamar Opaku yang Pinolung, dikisahkan, masyarakat kami, dari generasi ke genarasi hidup dalam mitos dan ketakutan-ketakutan dari apa yang dinamakan sebagai kekuatan mekanis yang menguasai alam dan hajat hidup manusia. Dan kini, kekuatan mekanis itu mendesiskan isyarat bengisnya.
Bagaimana aku tak menyimpulkan demikian? Leluhur pertama yang konon menjadi perentas sejarah kehidupan manusia di tanah-tanah kepulauan ini, dari beberapa catatan kuno tertulis, berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis. Dengan demikian, mitos-mitos ini tak ada persinggungannya sama sekali dengan riwayat penciptaan dalam keyakinan kaum semitik. Tak ada kaitan dengan agama yang disebar para pendatang, lengkap dengan Tuhan dan para nabi yang bernama itu. Kesemuanya berasal dari kawasan mediterania yang jauh di sana, bermil-mil. Bahkan tak pernah dikenal, kecuali mengetahuinya dari khotbah atau sejarah yang terkisahkan dalam cerita Alkitab.
“Jika begitu, siapakah rasul dan penyelamat bagi kalian?” tanya Sasinduan, suatu ketika saat kami sama-sama di penjara. “Apakah Yesus, Muhammad, Sidarta, Khong Cu, Tao, dan sederetan nabi import itu?” kelakar Sasinduan waktu itu. Pertanyaan dan pernyataan semacam ini memang akan selalu muncul dalam benak siapapun jika berhadapan dengan mite dan keyakinan masyarakat di sini. Keyakinan akan tanda-tanda alam. Seperti awan hitam di langit sana. 
“Doeata!” ujarku ketika itu. Tapi aku sendiri ragu dengan Tuhan yang memiliki seribu nama, bahkan beribu-ribu identitas yang dipromosikan agama-agama. Tuhan yang dibela umat pengabdinya dengan jalan perang. Tuhan yang membuat komuni-komuni hidup dalam iri, curiga, dendam, dan nafsu membunuh yang teramat sangat. Tuhan yang membiarkan perang dunia meledak, dan korban-korban tak bersalah bergelimpangan. Aku hanya percaya akan esistensiNya.  Tuhan yang dalam eksistensiNya melahirkan keindahan dan rasa yang mengenakkan. Tuhan yang mengatur ciptaanNya dengan kasih. Tuhan itulah yang kuimani, kuhormati, dan kepadaNyalah roh, tubuh, jiwaku mengabdi. Untuk apa percaya pada Tuhan yang melahirkan aturan yang aneh-aneh dalam takaran kemanusiaan. Tuhan yang menjadikan ciptaanya sebagai kelinci percobaan. Tuhan yang mengisi manusia dalam kandang sempit atau tabung pendingin bersama beribu serum permasalahan. Tidak. Tuhanku adalah “Dia” yang membuat sekuntum bunga tampak indah di pagi berembun. Yang memberikan sejuk di tengah terik. Yang menghembuskan panas dalam beku malam.  Yang menyalakan api pengharapan di hati nelayan. Yang melipur tangis di tengah sedih. Yang membersitkan cinta di mata sepasang kekasih. Yang mendorong umatnya saling berbagi kesah dan kasih.
“Aku tak percaya pada nama”, sekali lagi kukatakan pada Sasinduan. Ketika itu Sansinduan menatapku dengan pikiran yang berat. Tapi harus kukatakan semua itu. Sebab, jangan-jangan, Tuhan itu sebuah bani, sehingga menyebut satu nama, tidak berarti perwakilan eksistensi bani itu sendiri. Maka aku lebih percaya eksistensi, sebab itu berarti melambangkan simbol dari bani itu sendiri atau ke-esa-an itu sendiri. Semua orang boleh menyebutku bodoh karena keyakinanku ini, tapi sungguh aku justru menemukan Tuhan yang indah dalam kebodohanku ini. Tuhan yang eksistensiNya kuimani, selalu berjumpa denganku dalam keindahan alam dan budaya yang membuat aku hidup, berjalan-jalan dalam kehidupanku. Meskipun di kemudian hari kemerdekaan pemberian Tuhanku itu dirampas oleh orang-orang yang menakdirkan dirinya sendiri menjadi kekuasaan absolut.
Mungkin kami angkatan terakhir dari generasi yang meyakini apa yang disebut oleh generasi masa kini sebagai mitos. Leluhur kami mengajarkan, sang maha kekuatan yang menciptakan dunia dan segala yang ada berhadirat di negeri kami. Apakah Dia itu bernama “Allah” ketika menjelma dalam kultur Mesir Arab. Mungkinkah juga dijuluki “Yahweh” oleh bani Ibarani. Kami menyebut “Dia”, yang maha kuasa itu, “Doeata atau Ruata”. Dia itu Sang Ghenggona. Sang Penyerta, Guru, dan Penjaga. DibawahNya, bertahta banyak roh Ompung,  dan Empung.  Berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, dan di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segela tempat, ruang dan suasana. Berkelana dalam cinta dan rindu. Dia datang dalam wajah penuh kasih dalam doaku.
Ribuan tahun negeri kami hidup dalam kesejahteraan tanpa rasa sengsara karenaNya. Antara manusia dengan alam berdinamika dalam siklus yang sedemikian seimbang. Setiap ciptaan memiliki kedudukan terhormat di tengah ciptaan lainnya. Manusia, menjadi pusat penjaga keseimbangan semesta. Setiap ciptaan dilarang mengganggu keseimbangan hidup ciptaan lainnya. Semuanya berjalan dalam ragam kehidupan yang harmonis. Leluhur kami punya perladangan padi yang subur. Ikan yang berlimpah. Untuk menangkap ikan, kami tidak perlu memancing atau menjaringnya dari laut lepas. Tetua kami cukup berdiri di pantai dan memintanya pada Sang Laut. Ikan-ikan kiriman Sang Dewa Laut Taghaloang, akan segera merapat dan menanti untuk kami tangkap dengan tangan. Kami menyebutnya Mane’e.  Inilah ajaran Tuhan dalam mitos itu. Ajaran yang senantiasa terbukti dalam keseharian para peladang atau pencari ikan. Ajaran yang membuat fetis dan amulet memiliki kemagisan nan sakti. Manusia Songko dan manusia Suanggi bisa terbang. Taharoti dan dukun bisa membunuh dan mengobati. Semuanya menari, dan berdinamika dalam keseharian. Segalanya Magi. Magi yang nyata, senyata pengalaman orang Amerika dan kaum modern akan teknologi komputer dan pesawat angkasa, radio dan telepon.
Ketika kerajaan-kerajaan di Utara dan Selatan menemukan negeri kami, mereka terkejut. Sebab kami telah memiliki kebudayaan dari sebuah peradaban yang mereka bilang sangat tinggi. Kami tidak mengenal budaya telanjang seperti yang ditemui di banyak suku terasing di bumi. Untuk itu kami tidak perlu terlibat dalam perdebatan “puting susu” dalam perbedaan budaya Timur-Barat. Sejak leluhur kami pertama, telah menggunakan pakaian. Karena di negeri kami bertumbuh pohon bunga Lawa. Pohon yang berdaunkan kain, sehingga leluhur kami tak kekurangan bahan untuk pakaian. Semua itu ada sebelum masa kejatuhan dan kutuk. Pada masa kutuk, kami baru memulai tradisi kofo, pakaian yang ditenun dari batang pisang Abaka. Artinya pakaian itu harus diambil dari tempat keasalan manusia, seperti menenun urat leluhur buat pakaian buyut-cicitnya.
Ketika, bangsa pendatang memperkenalkan leluhur kami uang sebagai alat pembayaran, pohon bunga Lawa tiba-tiba menyembulkan bunganya berupa mata uang yang diperkenalkan pendatang itu. Maka leluhur kami bisa membeli apa saja yang diinginkan mereka. Tuhan adalah alam yang penuh kasih. Tuhan yang secara akrab bercakap-cakap dengan bahasa tersediri dalam kosmik budaya kami.
Para pendatang pun kaget di mana leluhur kami punya banyak kepingan emas. Pohon bunga Lawa, berbatangkan emas. Pohon itu bertumbuh di sebuah bukit yang bernama Manongga, di pulau Kakorotan. Pulau yang memiliki cerocok menuju dunia maya. Negeri para peri perempuan di pulau air Odi yang tersembunyi.  Di sanalah hadirat Ruata itu berada. Dari sana sang maha kekuatan itu mengatur keselarasan kehidupan di negeri kami. Para pendatang tak dapat melihat secara kasat mata pohon itu, kecuali anak negeri. Para pendatang cuma bisa mencium bau semerbak dari wewangian pohon bunga Lawa. Berabad-abad kerajaan-kerajaan di Utara dan Selatan berusaha menemukan rahasia di balik bau wangi yang aneh itu. Tapi mereka tak menemukannya. Di negeri ini, legenda turun-temurun kami bercerita; Bangsa Balangingi dengan berpuluh perahu kora-kora berusaha menyerbu negeri kami untuk mencari pohon itu. Mereka orang-orang Selatan Mindanao. Perompak-perompak yang kejam dan bengis. Tapi Ruata menyembunyikan pulau-pulau kami. Leluhur kami bisa melihat mereka, tapi, mereka tak bisa melihat kami. Perang antar armada kora-kora dengan Bininta selalu terjadi di pantai-pantai kami.  Musuh-musuh negeri terbunuh seperti menyembeli hewan yang tak berakal pikiran. Untuk membuat mereka jerah menyerang negeri ini, para leluhur  menangkapi mereka dan menguliti kepala mereka, dan memulangkannya sebagai peringatan adanya perlawanan atas penindasan mereka.  Sejak itu Balangingi tak datang lagi.
            Namun tiba juga masa kutuk, seperti tanda hari ini. Suatu masa yang bermula dari kejadian yang memalukan menimpa negeri kami. Seeorang perempuan cantik, anak Datu,  jatuh cinta kepada sang penjaga pohon bunga Lawa. Ia, pergi membawa makanan yang berisi mantra kepada penjaga bunga Lawa  Wando Ruata. Maksud kedatangan itu adalah untuk memikat sang Wando.  Dan akhirnya perbuatan diluar tata krama itu membuat pohon bunga Lawa lenyap bersama penjaganya.   Sejak itu, negeri kami dilanda kutuk yang sungguh mengerikan dan memilukan. Suasana surga berganti padang penderitaan. Leluhur kami terusir seperti dua manusia di Taman Eden yang harus berkeringat menempah bumi agar bisa hidup. Menjadi orang telanjang dengan pemikiran maksiat yang menggebu. Kehidupan yang membaur bersama dunia setan dan iblis-iblis. Manusia yang harus menjaga tumitnya dari patukan ular. Ular yang senantiasa melata bukan saja di tanah, tapi juga dalan pikiran dan perasaan.  Entah sampai kapan kutuk itu baru berakhir. Yang pasti isyarat-isyarat dari adanya kutukan itu kini kembali menyeruak dan menempel di seputar jagat di negeri kami. Segumpal awan hitam aneh dengan bebunyian yang mengerikan.
Setan itu datang bersama awan. Awan yang  melepas segerombolan burung Sampiri, burung Elang, dan burung lainnya dari berbagai jenis.
Burung-burung itu beterbangan seperti mempertontonkan atraksi aneh. Semacam akrobat payung kematian. Menghitami langit. Memayungi hutan pulau Karakelang. Kemudian menukik cepat seperti mau merambah lembah. Dan, lagi mengangkasa, ke gunung, lalu berjatuhan di sana.  Ini suatu keanehan yang menakjubkan. Keanehan yang sebelumnya cuma kukenal dalam mitos.  Keanehan yang membiuskan. Kutatap langit  di mana kabut hitam itu bersemayam. Setan itu seperti  bergelantungan di kawat-kawat emas  senja yang kian terhimpit dalam kegelapan. 
“Ada  apa Ruata”, tanyaku pada Tuhan yang kuimani.  Ingin mencari jawaban. Tidak! Tidak ada jawaban. Apakah kini Ia meninggalkan kami? Ruata yang dulu nyata, kini seakan mitos dan bahkan terperosok menjadi legenda saja. Yang ada hanya segumpal awan hitam legam lainnya dengan cepat berarak dari lautan menuju daratan. Kian kemari. Dalam gerakan yang liar. Laksana raksasa yang dilanda mabuk dan rasa lapar teramat sangat.  Tak biasanya, wajah langit seperti perempuan menangis. Sembab dan muram. Tangisan perempuan muda yang belum menikah, ketika mahkota keperawanan direnggut di malam hari. Wajah yang diiris rasa sesal. Duka yang menggantung tanpa penghiburan. Kecuali kekelaman yang menggelegak dalam setiap tarikan nafas yang sesak entah oleh pedih apa. 
Jantungku berdebar keras. Di udara, ada semacam gemerincing bunyi yang aneh. Bukan simfoni alam, tapi bunyi  berderit yang menyeruak di setiap reranting pohon. Suara itu kadang-kadang meninggi. Resik, seperti mata silet yang tajam yang mau menguliti kegelapan. Lalu, lenyap seketika, Tak lama kemudian bergemerincing lagi. Apakah ini isyarat leluhur yang bermukim di lembah-lembah hutan ini? Kalau memang itu suatu isyarat, apa gerangan makna dari pertanda ini?
Aku masuk ke dasan. Sebuah gubuk kecil yang dibangun dari tiang-tiang kayu Mas seukuran betis kaki orang dewasa. Atapnya dari katu daun Rotan. Setiap peladang di pulau Karakelang, biasanya kami akan membangun tempat mengaso yang disebut “dasan” di setiap kebun yang baru dibuka.  Dasan, adalah rumah para penjaga kebun atau ladang. Biasanya para peladang untuk menjaga tanamannya dari serangan babi hutan. Mereka akan tinggal di dasan itu sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hingga musim panen tiba. Dan hasil ladang di bawah pulang, dimana sebagiannya yang terbaik diperuntukan bagi ritual adat syukuran. Syukuran bagi roh-roh itu agar senang. Tidak bergentayangan seperti hari ini. Sedangkan Tuhan tak perlu diberi sesaji. Karena Tuhan tak meminta. Tuhan selalu cuma memberi.
Sungguh aku sudah terbiasa dengan keanehan hutan di negeri kami, kecuali keanehan hari ini. Bagi para peladang, setiap keanehan alam akan ditangkal dengan semacam ritual atau melakukan Sawakka. Dengan sawakka, bisa kembali menormalkan kehidupan untuk menjadi biasa lagi. Biasanya keanehan itu muncul karena para peladang atau pemburu, telah melanggar tata krama keseimbangan alam. Maka perlu ada ritual pelurusannya. Atau semacam permintaan maaf kepada Empung dan Ompung yang lagi terusik dan murka. Namun keanehan kali ini tidak seperti biasanya. Sungguh keanehan mendadak ini membuat aku agak kecut dan takut. Sebab kejadian yang mungkin persis sama pernah terjadi seperti yang diutarakan leluhurku secara turun-temurun pada sekitar abad ke-18 di mana terjadi penangkapan secara besar-besaran rakyat negeri kami oleh bangsa asing untuk dijual, dijadikan budak.
Kini, baru kali ini, kejadian yang seperti dikisahkan itu muncul lagi. Apakah kejadian memalukan itu akan terjadi lagi? Sehingga orang-orang Sangir di Selatan kian percaya bahwa kami memang bangsa budak, yang dalam sindiran mereka yang menyakitkan dikatakan Elang? Padahal sebutan Elang, tak lain adalah tanda dari suatu kebesaran dalam kedikdayaan historis, yang kemudian menyusut maknanya menjadi babu, atau manusia kelas akar rumput?
Di masa perbudakan, para lelaki dan perempuan dalam jumlah ribuan telah ditangkap untuk diperdagangkan ke Madagaskar hingga ke tuan-tuan tanah di Spanyol. Harga perorang sekitar 49 golden saja. Atau bisa ditukar dengan ikan Malalugis sebanyak dua ribu ekor. Itulah harga warga kami dalam perbudakan di masa lalu. Lalu, apa sebenarnya  isyarat alam ini? Apakah akan terjadi perbudakan lagi di tengah alam kemerdekaan yang direbut  dengan tebusan darah dan nyawa para pahlawan, dari para penjajah-penjajah asing itu? Apakah makna darah pahlawan Larenggam bersama beratus laskar rakyat yang gugur bersama daratan desa Arangkaa yang terbakar demi kata merdeka hanya episode sia-sia yang tak meninggalkan artefak historis, untuk menyaput anggapan dinah yang terstempel di setiap wajah kami? Yang pasti, awan itu, sesuatu yang datang bersama bayangan hitam ini petanda dari kutuk yang akan kembali menyaput negeriku, kataku pada diri sendiri. Aku menjadi keluh di tengah udara terbuka hutan Sisak dan Batuline ini.
Di luar sana dedaunan terus berguguran bersama isyarat  yang datang dari mitos yang kian bergemerincing, bersama hembusan bau tumbuhan  bunga Laka dan tanaman Kinsule yang tajam menusuk hidung. 
 Dari dasan terus kuawasi keadaan di luar. Pucuk-pucuk ilalang yang menghampar tak jauh dari kebunku, tampak  bergeriap seperti digerakkan  tenaga sakti yang aneh. Apakah ini ula setan Kabanasa yang sedang menari-nari. Atau Mohang yang sedang kesurupan menyantap jiwa-jiwa orang mati.
 Kuambil segelas Cap Tikus, kuteguk dengan cepat. Minuman tradisional beralkohol tinggi ini dengan cepat memanaskan dada dan urat-uratku. Kemudian aku keluar lagi dari dasanku. Jangan-jangan di rerumpun ilalang itu ada segerombolan babi hutan yang siap mengobrak-abrik tanaman padi ladang, singkong, batata dan bete yang kini siap panen. Di tangan kananku  telah siap sebuah sambeang, tombak khas yang biasa dipakai pemburu babi hutan. Tombak itu sudah tersohor keampuhannya melumpuhkan babi hutan tua yang besarnya sudah seperti anak sapi remaja. Tapi anehnya, penciumanku yang terlatih tidak mencium ada tanda-tanda hewan hama itu. Selain bau asing yang magis dari Laka dan Kinsule yang memaksa kudukku berdiri. Jika demikian, lalu apa sebenarnya yang bergerak-gerak di sana?
Aku tidak pernah takut pada babi hutan, meskipun binatang yang satu ini menjadi sumber ketakutan penduduk kampung. Pernah suatu ketika, segerombolan babi hutan memporak-porandakan kampung dan membunuh banyak orang dengan sadis. Aku saja yang bertahan dan berhasil melumpuhkan penyerangan serdadu babi itu. Biasanya kejadian itu akan terjadi jika ada seorang pemburu yang sempat melukai seekor babi hutan namun tidak berhasil membunuhnya dan menangkapnya. Maka babi itu akan memanggil kelompoknya untuk menyerang manusia, dan meluluhlantakkan perkampungan. Namun keahlianku adalah pemburuh babi yang telah menimbulkan perasaan sangat dihormati penduduk.  Banyak orang menyebutku sebagai “suhu” para pemburu yang bisa melumpuhkan babi-babi hutan yang dianggap memiliki kekuatan gaib sekalipun.  Babi-babi di hutan ini kadang-kadang adalah sosok hantu yang menyerupai babi.
Ia kai nabi
Ia kai Kristus
Patiku kuasa
Maning setang
Maning datu
Su matang ia kawasa
Mantra  puhiase itu terapal dari bibirku yang mulai gemetar dengan setarikan nafas dan menguncinya. Suasana magis tiba-tiba kian membungkus jagat di sekelilingku. Aku harus melakukan tindakan magi ini agar hawa halus itu tidak berpengaruh pada diriku, dan tidak mencelakakanku, jika memang mereka di sana.
 Jika di sana babi hutan, sambeang di tanganku telah siap. Di pulau Karakelang, jumlah babi hantu ini begitu banyak. Jadi berhati-hatilah jika melukai seekor babi hutan. Jangan-jangan yang dilukai itu adalah babi hantu. Jika benar itu babi hantu, maka malapetaka besar segera mengintaimu di hari-hari kemudian. Hantu-hantu itu tidak akan pernah berhenti sampai sakit hatinya terbalaskan. Seseorang yang telah berhasil melukai babi hantu haruslah berusaha membunuhnya sampai mati agar pengaruh roh jahatnya tidak balas mengganggu. Jika hanya dilukai saja, maka roh babi hantu yang marah bakal mengajak kawan-kawannya untuk balas dedam. Dan aku telah berhasil membunuh beberapa ekor di antaranya. Yang setelah babi itu tergeletak mati, tiba-tiba lenyap begitu saja.
Udara anjlok seperti di titik nol, dingin dan seram. Kukumpulkan beberapa potong kayu bakaran dan menyalakan api di depan dasanku. Aku berpikir, kalau keadaan yang membingungkan ini adalah pekerjaan roh-roh jahat yang mau menakutiku. Api adalah penangkal lainnya yang telah menjadi tradisi masyarakat kepulauan ini untuk menghilangkan pengaruh roh jahat. Tradisi ini sudah sebegitu tua, sehingga setiap orang kalau melakukan perjalanan malam mesti membawa korek api atau menghisap rokok. Pada setiap tikungan atau ada pohon besar, para pejalan malam biasanya menyalakan api. Konon, hantu-hantu atau roh-roh jahat akan segera menjauh jika melihat api. Sebab diyakini api murni berasal dari Tuhan. Sedangkan api roh-roh halus hanyalah ilusi. Api Tuhan membakar api ilusi roh-roh halus.
Sudah sejam berlalu. Api yang kunyalakan sudah membara. Keadaan masih tetap aneh. Langit masih saja kelam. Tapi tiba-tiba dari berbagai arah, burung-burung hutan beterbangan ke sana ke mari dengan liarnya. Seperti diburu seekor burung raksasa yang menakutkan, yang siap menelan mereka semua.
Burung-burung itu mulai mengeluarkan suaranya. Semacam jeritan risau burung-burung. Pertama perlahan, kemudian mengeras. Hutan itu menjadi ramai dan riuh suara burung dan suara aneh di udara. Suara-suara  itu kemudian terdengar seperti suara jeritan manusia yang sekarat. Aku agak gemetar, meski aku yakin semua itu tidak ada pengaruhnya lagi bagi diriku. Sudah tiga puluh tahun aku berkebun di hutan Karakelang. Baru kali ini ada keanehan yang menggemetarkanku. Dari arah Selatan sekelompok burung Sampiri, atau kakatua Talaud, bersama Elang-Elang hitam  beterbangan menuju bukit di dekatnya. Kelompok burung itu lalu hinggap di pohon Linggua besar. Anehnya. Burung-burung itu kemudian berjatuhan satu-satu. “Ini pertanda apa Ruata?”, gumamku gelisah kepada hatiku sendiri.
Kucari tanda-tanda lain di sekitar hutan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”. Sebuah pertanyaan yang terus mendedah otakku. Tak ada jawaban. Senja akhirnya menelungkup di hutan itu. Setelah mengikat karung yang berisi ubi dan bete, aku pun memutuskan untuk pulang. Setelah berjarak agak jauh meninggalkan dasanku. Dari kejauhan, kulihat dasanku menjadi semacam tempat yang mengerikan yang dikerubuti hantu serta roh-roh yang liar. Bengis.

***

(5)
Bunyi gemerincing itu masih terdengar. Seperti mengikutiku. Tapi aku tak peduli. Hantu memang selalu berusaha mempengaruhi pikiran manusia. Untuk mengalahkannya, jangan beri dia tempat dalam pikiran, kataku pada diriku untuk menguatkan hatiku. 
Sepanjang jalan pulang, kutemui banyak burung-burung yang terkapar di celah  rerumputan dan semak. Burung-burung yang belum mati tampak gemetar seperti kehilangan tenaga untuk terbang. Dan banyak yang telah menjadi bangkai di sepanjang jalan hutan. Jalan yang di mana-mana menyembul batu-batu kapur tajam yang melukakan kaki jika diijak tanpa alas kaki. 
Sekitar dua jam, aku telah sampai di perbatasan kampung. Dari ujung jalan yang beralaskan batu-batu kapur yang memutih dan berbau keras  memualkan ini, kudengar ada semacam keramaian di sana, di tengah perkampungan penduduk. Keramaian yang mendekati keriuhan dari percakapan  warga desa. Ada yang  berdiri, dan ada yang duduk dalam kelompoknya masing-masing. Setelah agak dekat, di wajah orang-orang itu terpancar semacam ketegangan atau mungkin perasaan cemas yang sedemikian dasyat menyayat-nyayat. Dengan cepat kuhampiri, salah satu kelompok yang paling dekat. Mereka dengan cepat pula menoleh padaku. Tolehan aneh secara bersamaan itu tak pelak, menimbulkan tanda tanya yang menggemetarkan hatiku. 
Ate ere a?”, seruku dalam sapaan khas warga kami untuk menanyakan kejadian apa yang terjadi. Mereka serentak menatapku. Ada sinar berharap di jejeran mata mereka.
“Kita akan ditimpah bencana besar!”, ujar opa Hopny Ratungalo, salah seorang tetua adat yang kebetulan berada di kelompok itu, yang dengan cepat menyongsongku.
“Kau harus siap-siap anakku!”, sambung lelaki yang biasa dipanggil dengan sebutan Papatua itu. Beberapa orang dengan cepat mendekati kami dengan wajah risau.
 “Apa yang terjadi, Papatua?”, tanyaku, mencoba mengetahui apa makna gegap yang menggemparkan suluruh warga kampung ini. Apakah ini kabar tentang burung-burung itu? Atau ada bencana mengerikan yang telah terjadi. Mungkin seorang bayi dimakan babi hutan. Atau seorang wanita sundal yang ketangkap berbugil dengan suami orang? Mungkin, seorang lelaki tua kedapatan sedang meraba payudara kemenakannya. Kejadian semacam ini memang sering terjadi di sini. Dan menggemparkan! Kepulauan ini seperti dipengaruhi roh perzinahan dari zaman bunga Lawa. Dan semua kejadian itu menjadi penyebab utama kemarahan alam. Kemarahan dalam bentuk bencana dan malapetaka.
“Kau melihat burung-burung itu di hutan?”
“Ya!”
“Ruata berisyarat. Kepulauan kita akan tertimpah malapetaka!”
“Oh”. Ternyata tentang burung. Sedikitnya aku bersyukur karena bukan soal dosa keturunan yang terjadi.
“Petaka apa gerangan?”
“Itu rahasia Ruata!”, ujar Papatua, sambil menyapu dadanya yang kelihatan berdebar keras. Kupikir jelas sudah. Burung-burung itu isyarat. Tapi bencana apa?
“Pastinya, mengerikan!”, ujar Papatua lagi. Tak berlama-lama, kutinggalkan mereka dalam percakapan yang kian serius.
Di sepanjang jalan kampung yang kulewati, percakapan tentang burung dan isyarat menakutkan itu terus riuh dibicarakan warga. Para penduduk tampak berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil sesama famili. Dari suara percakapan mereka terdengar suara-suara kepahitan hati yang membersit. Mungkin kecemasan mereka sudah pada tingkat yang sebegitu berlebihan, sehingga tidak ada lagi pikiran rasional yang tersisa.
Kampung ini meski telah dikunjungi puluhan misioneri tukang dari Zendelling yang mengajarkan cara-cara hidup yang menggunakan akal dan pikiran, namun pola hidup alamiah  yang membentuk karakter masyarakat sangat sulit ditinggalkan. Telah menjadi tradisi yang sedemikian mengakar. Orang-orang di sini dalam segala hal hampir-hampir mengabaikan rasio. Mereka sangat percaya, dimana segala sesuatu dalam kehidupan ini digerakan oleh satu kekuatan sakti yang dasyat. Jadi upaya apapun yang dilakukan manusia, jika tidak mendapatkan perkenanan sang kekuatan ini, maka semuanya tidak ada artinya. Untuk berhasil dalam pekerjaan, masyarakat biasanya meminta keterlibatan dan pengasihan sang kekuatan mekanis itu. Semuanya tergantung roh itu. Dan kami akan tidak begitu menyesal jika misalnya terjadi gagal panen atau pekerjaan dilakukan kemudian tidak mendatangkan hasil. Sebab, menurut kami, itu semata-mata karena tidak dikehendaki sang maha kekuatan. Atau kegagalan itu sebagai implementasi dari amarah sang maha kekuatan yang menegur adanya sikap-sikap hidup yang kurang berkenan di hadapanNya. Biasanya, sumber-sumber kegagalan itu disebabkan adanya perbuatan cabul perzinahan yang tersembunyi, atau kejahatan lain yang tidak terpuji.
Aku sampai di rumah pas matahari amblas ke laut. Warna merah keemasan masih tersisa di kaki langit dihimpit awan hitam. Namun warna keberanian itu seperti tak kuasa membakar kegelapan yang terus berarak di atas sana menuju daratan pulau ini. Kegelapan yang mengintaiku dengan tatapan yang marah dan misterius.
Rumah kami, seperti juga rumah penduduk pedesaan lainnya, terbuat dari ramuan kayu. Sedangkan lantainya di cor dengan campuran pasir, kapur dan batu kerikil. Penduduk kampung kami belum terbiasa menggunakan semen, selain bahan itu masih langkah untuk mendapatkannya, juga sangat mahal harganya. Atapnya dari katu daun rumbia. Penduduk yang atap rumahnya mengunakan seng hanyalah keluarga para penyeludup. Mereka membelinya dari Saranggani atau Maluku.
Sore itu, sambil menghirup segelas kopi pahit yang telah disiapkan Meria istriku, aku duduk di dego di beranda rumahku. Herkanus, anak lelakiku dengan cepat melompat ke punggungku. Dengan cepat pula tangan nakalnya mengais-ngais rambutku. 
Ware papa, ikan nyare yang kupiti bahewa-hewa”, ujar Herkanus, dalam bahasa Melayu yang dicampurnya dengan bahasa Talaud.  “Cuapa ikan yang kamu piti?”, tanyaku.
“Itu sudah dibakar mama, nanti Kanu kase ekornya sama papa we!”, kata anakku. Herkanus, umurnya baru 11 tahun. Di kampung kami ini, anak-anak sejak usia 7 tahun sudah mulai diajari cara-cara menangkap ikan. Terutama cara menangkap dengan panah ikan atau yang biasa disebut mamiti. Kalau panahnya sendiri disebut papiti. Pada usia 9 tahun anak-anak lelaki sudah mulai mahir mamiti. Hasil tangkapan mereka pun ikan-ikan sebesar betis tangan orang dewasa.  Mereka sudah bisa menyelam sampai kedalaman dua meter untuk mengintai ikan-ikan yang bersembunyi di lubang batu-batu karang. Orang-orang dewasa di kampung kami dalam hal mamiti tidak lagi pakai istilah menyelam, namun lebih baik disebut berjalan di dalam air. Sebab orang dewasa bisa bertahan 3 sampai 5 menit untuk mengendap di kedalaman 5 sampai 7 meter di dalam air untuk mamiti ikan-ikan besar.  Bahkan jika seseorang telah menguasai teknik bernafas dalam air – yaitu dengan cara melepas gelembung udara dari mulut dan menangkapnya kembali dengan hidung – maka ia bisa berada relatif lama di dalam air dengan pola sirkulasi mulut hidung lewat gelembung itu.  Tapi ada juga orang-orang sakti yang bisa berjam-jam di dalam air. Mereka itu biasanya para dukun dan ahli sihir. Seorang pamiti yang hebat bisa mampu menangkap ikan yang besarnya sampai 2 meter panjangnya.  Untuk melumpuhkan ikan-ikan sebesar itu, sasarannya adalah menghajar dengan papiti bagian otak di kepala ikan hingga tembus. Papitinya juga harus berukuran besar agar tidak patah jika ikan itu mengamuk. Ikan sebesar itu kadang-kadang harus dilawan oleh dua atau tiga orang. Herkanus memang telah kulatih khusus untuk mewarisi kemampuanku di bidang mamiti ini. Seorang lelaki Talaud yang tidak tahu mamiti rasanya tidak lengkap menjadi manusia Talaud.
Sejak kepulanganku, Meria, terlihat begitu risau. Meski aku sudah berusaha menenangkannya tapi ketegangannya belum juga menyusut.
“Yulin. Mana itu garam. Apa sudah dibeli”, tanya istriku kepada anakku yang sulung.
“Sudah di toples. Tidak beli di warung. Warung tutup. Aku minta ke om Charles Eda”, kata Yulin yang lagi duduk di pinggir jendela sambil menatap ke luar, ke arah langit. Meria, dengan cepat mengambil garam dan menghamburkannya segenggam di seputaran rumah. Istriku sangat percaya dengan suatu kebiasaan lain dalam pandangan tradisional untuk mengusir roh yang diperkirakan memiliki pengaruh dan bahaya.
“Burung-burung itu akan habis jika semuanya mati”, kata Yulin, kepada Dian adiknya. Mereka masih di jendela itu mengamati langit.
“Apa ada setan yang membunuhnya, kaka?”, tanya Dian.
“Mungkin”, jawab Yulin.
“Apa setan tidak buat kita mati?”
“Tidak. Papa kita bisa usir setan.”
“Apa setan bisa ditombak dengan sambeang?”
“Tidak perlu pakai sambaeng. Mereka melihat muka papa kita saja, setan pasti lari”.
“Papa jago, ya!”
Aku tersenyum saja mendengar percakapan anak-anakku. Mereka sungguh membanggakanku. Ayah menjadi lambang keteladanan mereka. Jika itu cermin, anak-anak akan melihat rupa mereka di sana. Itulah peristiwa yang terasa teramat khusus dalam hidupku sebagai seorang ayah. 
“Kita disuruh menabur garam. Kata Datu, harus dilakukan selama seminggu”, jelas Meria padaku sambil terus melintas ke dapur dengan mangkok garammya.

***

Seperti biasanya, sehabis makan malam, Oma tua memanggil kami berkumpul di dego-dego besar di ruang dapur. Ini tradisi Kakumbaeda namanya. Tradisi memapar kisah-kisah menjelang tidur buat anak-anak.  Dengan menyandarkan tubuhnya ke dinding papan di belakangnya, oma tua itu lalu mulai bercerita. “Ini tentang kisah Mpu Nala,” buka Oma Tua sambil mengatakan kisah ini ada hubungannya dengan kejadian hari ini.
Aku ikut mendengar cerita Oma tua, ibu dari istriku, menafsirkan isyarat yang baru terjadi yang menggelisahkan penduduk kampung ini. Ini tema yang menarik, pikirku.
“Ratusan tahun lalu, negeri ini dipimpin oleh seorang Raja Elang. Namanya Mpu Nala. Ia memiliki seekor burung Elang sakti yang menjadi kendaraannya untuk terbang mengitari seluruh negeri ini. Dan Elang besar itu merupakan penjaga negeri dari serangan manusia luar, atau gangguan hewan-hewan buas”, papar Oma Tua dengan suaranya yang parau. Umurnya sudah 75 tahun. Tapi ia masih kuat untuk memikul bika yang berisi ubi. Matanya masih terang untuk menepis padi dari beras. Mereka sisa dari generasi yang memelihara tradisi Matei. Sikap memelihara keselarasan dalam hidupnya. Karenanya, mereka menjadi manusia arif yang memiliki kemampuan dan kepekaan membaca tanda-tanda alam.
Mulutnya seakan tanpa henti berkomat-kamit mengunyah siri pinang. Sesekali membuang ludahnya yang telah memerah sebagai limbah dari siri pinang itu ke dalam bokong penampungnya. Siri pinang itu yang membuat gigi wanita tua ini tetap kuat.
“Burung itu pasti besar sekali, Oma?”, sela Herkanus, bertanya.
“Ya, Sangat besar”, jawab Oma Tua.
“Lalu bagaimana Kanu harus menangkapnya?”
“Burung itu tak bisa ditangkap”, potong Yulin kakaknya.
“Harus bisa ditangkap ah!”
“Tidak bisa!”
“Nanti papa bikin kandangnya, ya”, pinta Herkanus padaku. Mata hitam kecilnya nampak penuh kilap berharap. Aku mengangguk. Herkanus tampak  puas.
“Sudah kita dengar dulu cerita Oma”, tegur Meria.
Wanita tua itu kemudian membelai kepala Herkanus cucu lelaki satu-satunya itu, sambil berkisah lagi, “Mpu Nala memiliki seorang putra dari perkawinannya dengan Woi Taloda, yang mereka namakan Porodisa. Dari nama anak lelaki itulah, negeri Talaud ini dinamakan. Sementara rakyat negeri ini disebut bangsa Elang. Itu sebutan penghormatan terhadap raja Elang yang menjadi leluhur kita. Leluhur kita itu meninggal dalam usia ratusan tahun. Setelah kematian mereka, burung elang raksasa  ikut lenyap. Namun, sejak itu negeri ini kedatangan banyak burung Elang biasa yang menjadi pemimpin burung-burung di negeri ini. Setiap ada kejadian besar yang akan menimpa negeri, burung-burung itu akan memberikan isyarat, dengan melakukan terbang bunuh diri. Kejadian hari ini, pernah terjadi di masa lalu menjelang datangnya orang-orang kulit putih ke negeri kita. Ketika itu, sebuah malapetaka yang mengerikan pun terjadi. Kaum kulit putih yang datang dengan perahu layar bertiang tinggi,  menangkapi para penduduk untuk di jual sebagai budak. Banyak yang melawan, tapi ditembaki. Ribuan orang mati akibat malapetaka itu. Para pendatang itu mungkin orang Spanyol atau Portugis, dan mukin juga para saudagar VOC yang datang memburu rempah-rempah di tanah Timur”.
Ada denyar lembut yang tiba-tiba meliput bola mata wanita tua itu. Ada rasa pedih merona di sana.  Raut tua yang kenyang oleh pengalaman dan kejadian-kejadian yang menyedihkan. Setelah mengunyah kembali siri pinang yang baru dicampurnya dengan kapur barus, ia kembali bercerita, “Penderitaan itu berlangsung begitu lama, sampai pada tahun 1943, daerah ini di hujani bom oleh pasukan sekutu”. 
“Dari mana Oma tahu cerita itu?”, selah Yulin lagi.
“Sebagiannya Oma baca dari buku, dan sebagiannya lagi Oma alami sendiri”, tutur Oma Tua menjelaskan.
Oma Tua seakan tak kenal lelah menggali ingatannya yang mulai rapuh. Sesekali ia kembali membuang ludahnya yang memerah dan kental ke dalam bokong. Aku diam saja mendengar kisahnya. Di dekatku duduk ketiga orang anakku. Istriku juga ikut bergabung setelah membuatkan minuman untuk kami yang disuguhkannya dengan gorengan panggi.
Kisah oma tua ini mungkin menarik minat mereka. Yulin terutama, ia begitu antusias. Anakku yang tertua kadang menyelah neneknya untuk mengejar penjelasan neneknya hingga mendetail. Si bungsu Dian, meski masih balita, tampak mangut-mangut melihat ekspresi neneknya yang serius. Kadang-kadang ia tertawa melihat mulut neneknya yang belepotan kuah sirih pinang. Merah dan lucu.
“Di jaman penjajahan Belanda dan Jepang, rakyat kita ikut menderita, karena kekayaan dan harta penduduk dirampas kaum penjajah. Rakyat negeri kita banyak yang dibunuh, dan perempuan-perempuannya di perkosa”, ujar Oma Tua sambil berjuang menekan perasaan batinnya. Ramuan sirih pinang halus dan memerah di depannya kembali disuapnya ke mulutnya. Setelah beberapa kali mengunyah, ia berkata lagi. “Di tahun 1943, ada sebuah pesawat terbang kecil jatuh di daerah kita. Pesawat itu diterbangkan oleh seorang anak muda kebangsaan Amerika. Pesawat kecil itu jatuh ditembaki Jepang. Anak muda yang setelah diketahui merupakan anak salah seorang pembesar di Amerika itu, ditolong oleh Opa kalian. Pesawatnya jatuh di tepi pantai kita ini. Anak muda itu selamat dan disembunyikan Opa kalian di hutan. Namun sayang, ada warga kampung ini yang melaporkannya kepada tentara Jepang. Anak itu dijemput oleh tentara Jepang dan mereka bunuh. Opa kalian dipukul oleh Jepang karena menolong anak dari musuh mereka. Rusuk Opa kalian patah. Dan ia mengalami infeksi berat. Penyakit itulah yang membuat ia menderita lama dan kemudian meninggal dunia.” Perempuan tua itu sedikit membathin. Kenangan masa silam yang pahit seperti berlalu-lalang di pikirannya. Di sana, di tepian garis matanya terbersit air mata. Kami semua memilih diam, dan membiarkan ia mengungkapkan kisah dan kesaksian hidupnya. “Jadi kalian harus tahu, perbuatan baik belum tentu akan membawa kebaikan. Tapi Opamu begitu bahagia karena telah berbuat baik, meskipun ia harus menanggung derita. Jadi, carilah kebahagian, meskipun untuk mendapatkannya kamu harus mengeluarkan banyak air mata. Dan tentang sifat orang-orang di sini yang suka melapor, adalah sifat buruk. Apakah penting jika itu kalian tiru? Di masyarakat kita memang telah tumbuh semacam sifat pengkhianat. Orang-orang yang suka cari muka. Congkak dan sombong, sekalipun ia sebenarnya miskin dan bodoh”. Ia diam sejurus, lalu berkata lagi,  “Setelah kita merdeka dari penjajahan, baru kali ini, isyarat menakutkan itu muncul lagi. Kalian harus segera siap-siap, sebab penderitaan baru, akan segera menimpa kita,” kata perempuan tua itu. Di wajahnya kian membersit air mata tuanya. Ada kekelaman yang semburat kulihat di mata yang sedemikian sabar itu. Untuk melukai hati wanita tua ini, sesungguhnya tidak diperlukan lagi kata-kata kasar, atau tamparan keras. Dengan menghidupkan imajinasinya membayangkan malapetaka yang pernah ia alami di masa penjajahan, yang dikemudian hari akan menimpa anak-anaknya serta cucu-cicitnya, sesungguhnya telah mengangah luka yang teramat memerihkan hatinya.
Seperti juga ayahku, Oma Tua  adalah bagian dari generasi yang dibesarkan dalam tradisi Pinolung. Pinolung, adalah para warga pribumi yang dilatih oleh  misioneri-misioneri tukang asal Jerman, untuk menjadi tenaga yang cakap di bidang pertukangan dan pertanian. Selain itu, mereka merupakan murid-murid langsung para misioneri itu dalam hal pelajaran agama Kristen. Tugas mereka adalah menolong kaum pribumi dengan mengajarkan berbagai pengetahuan yang sudah mereka kuasai dari para misioneri itu. Orang-orang tua dari Oma Tua ini adalah para pembantu dan pelayan pekerja zending yang bertugas di daerah kami. Meskipun mereka tidak bersekolah, tapi pengetahuan mereka akan pelajaran agama, dan filsafat cukup tinggi.  Mereka menerima langsung pengajaran para misioneri yang berasal dari dunia Barat.
Aku sendiri, hanya lulusan sekolah rakyat. Tapi aku tidak asing dengan pemikiran-pemikiran filsafat dunia Barat. Aku mengenal meskipun tidak banyak, aliran pemikiran eksistensialisme para filsuf seperti Soren dari Denmark, atau Rene Descartes, dari Jerman. Akupun tahu kisah Shysipos, karangan Albert Camus. Orang tuaku mengajarkan itu lewat cerita dan lewat syair kakumbaeda kepada kami dari masa remaja.
Malahan aku tidak asing dengan nama Plato, Socrates, atau Aristoteles. Ajaran-ajaran moral Rasul Paulus dalam kitab perjanjian baru adalah hafalan kami di gereja sejak kecil. Akupun menguasai secara benar kisah-kisah dalam kitab Genesis. Apalagi soal peristiwa penciptaan manusia. Aku memang tidak bisa membaca buku-buku berbahasa Belanda, atau Jerman. Tapi ayah dan ibuku menyimpan banyak buku dari kedua bangsa itu yang konon ditinggalkan orang-orang misi seperti A.C.Van Essen, P.Gunther, Richter, Vonk, Ottow, Bovenkamp, Houter. Dan masih banyak lagi. Mereka adalah para penebar Injil, sekaligus rasul-rasul pembawa pencerahan dan modernisasi bagi negeri kami. Mereka yang mengajarkan teknik pertanian modern dengan mengunakan tehnologi, meskipun pada saat itu masih mengunakan teknik konvensional. Demikian juga di bidang arsitektur.
Oma Tua bercerita panjang lebar dan baru berakhir ketika ia melihat anak-anak sudah mengantuk. Kebiasaan bercerita yang dilakukan Oma Tua itu memang sudah merupakan tradisi  dalam masyarakat kami. Sebagai salah satu bentuk pengajaran yang dilakukan orang-orang tua kepada generasi berikutnya. Semacam upaya menanamkan kearifan.

***
Semalam suntuk aku tidak bisa tidur.  Badai keras disertai hujan mengguyur lebat. Langit seperti selembar kain hitam di kegelapan. Kopi pahit yang di buat Meria satu mok sudah hampir habis. Tapi kantukku belum jua muncul. Meria telah lelap bersama ketiga anakku. Petir dan kilat menggelegar dan menyambar-nyambar seperti mau merobek dan membakar perkampungan. Cerita Oma Tua membuat aku berpikir dimana kehidupan itu sendiri ternyata tak lebih dari kesiasiaan atau kenihilan. Ternyata benar para filsuf gila itu. Tidak ada yang istimewa ketika seseorang menyadari ia hidup. Manusia hanyalah Sisyphos dalam dagelan komunitas maha kuasa. Jadi untuk apa kita berjuang mempertahankan sesuatu yang sebenarnya tidak pernah dapat kita pertahankan, tak dapat kita raih. Kelahiran dan kematian bukanlah kehendak kita. Itu semata kehendak Dia yang mengadakannya. Nasib manusia tak lebih dari nasib setumpukan boneka yang sedang dimainkan anak-anak. Tak lebih dari itu? Dalam hal keimanan ini banyak orang mengatakan aku sebagai manusia peragu. Kadang-kadang aku membenarkan tuduhan itu.
Sekitar pukul tiga dini hari, Meria terbangun. Ia menghampiriku dan bergelayut di punggungku. Aku tahu ia kedinginan. Rasa dingin alamiah yang selalu dialami seorang istri atau seorang suami yang tubuhnya membutuhkan api kejantanan. Apalagi dalam keadaan penuh ketegangan seperti ini. Dadanya yang menempel di belakangku seperti mengisyaratkan getaran purba seorang perempuan yang ingin. Bibirnya merekah seperti buah manggis yang hampir ranum. Bibir itu sesekali seperti sengaja dioles di punggung. Olesan ini memercikkan nyala di dadaku. Tiang kayu di selangkanganku mengeras. Ku hela istriku ke pembaringan. Matanya memancarkan sinar berharap yang panas. Harap itu menggelijang di antara paha dan pusarnya. Dingin yang sedemikian menggigilkan itupun membangun puisi purba di antara kami. Di sinar matanya  ia seperti mau mengatakan, “tikamlah aku. Tikamlah berkali-kali!”  Terobosan yang cepat dan liar menghempaskan tabir surga. Kepenatan dan letih berlarian, berganti keindahan puisi yang meleleh dari setiap api yang menjilati perasaan kami. Seperti anggur di cawan perjamuan, yang setiap tegukkannya melahirkan rasa enak yang membebaskan. Ah… lalu pengalaman persanggamahan seperti ini adakah juga hanya sebuah adegan dalam pertunjukan di panggung Mahakuasa? Tidak! Ini sesuatu yang misterius. Kita menjadi penentu di sini. Adakah pengalaman persenggamahan yang menginspirasikan para penulis Injil yang dengan berani menulis; bahwa ketakutan pada Tuhan, adalah ikhwal dari penemuan kebenaran sejati? Suatu ketakutan yang mendorong pemberian diri tanpa perhitungan.
 Sekitar pukul lima pagi, kecapaianku memikirkan tanda-tanda alam yang aneh mencapai puncaknya, Menjadi sempurna, dan membimbingku ke alam mimpi.
***

(6)
Sudah agak kesiangan aku terjaga. Dibangunkan  semacam kegaduhan orang-orang di sekitar kampung. Dengan cepat aku menuju belakang rumah untuk mencuci muka di bak air. Mataku terasa begitu perih terkena air. Tak jauh dari bak air, aku melihat si kecil Herkanus mengapit dua ekor burung Talumisi. Meski sudah jam sepuluh siang, udara tidak begitu panas seperti biasanya. Di langit, awan hitam itu masih saja menyimpan jejak badai malam hari.
“Papa…papa ini Kanu tangkap dua ekor burung,” ujar anakku dengan riang, sambil berlari mendekatiku. Herkanus nampak lincah dan kuat. Ia memang potret anak pulau yang bertubuh padat, lentur dan liat. Burung yang dipegangnya dengan penuh rasa kasihan itu masih hidup, tapi sinar matanya terlihat mulai pudar. Aku tahu, sebentar lagi burung itu akan segera mati. Burung-burung indah yang menjadi korban dari isyarat agung Sang Maha Kekuatan.
Burung memang menjadi binatang yang paling sering digunakan sebagai pembawa isyarat. Kadang-kadang untuk melakukan tugasnya itu, burung-burung telah dipersiapkan untuk mati. Lagi suatu simbol pemberian diri tanpa perhitungan. Ah! Sejak masa nabi Nuh, burung menjadi binatang pertama yang ditugaskan untuk mencari tanda-tanda jika telah ada daratan yang muncul. Beberapa ekor dari burung pertama yang dilepas yang tidak kembali, berarti mati karena tidak mendapatkan daratan untuk istirahat. Pada masa Yesus Kristus, seperti tertulis dalam kitab injil, burung juga menjadi tanda dari Roh Kudus, pada saat pembaptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis. Dalam bentuk burung juga ketika Tuhan memberi tanda ketuangan Roh Kudus bagi umat Israel pilihanNya. Entah bagaimana tautannya, aku tidak tahu. Yang pasti di kampung dan di seluruh kepulauan Talaud, burung merupakan simbol dari sesuatu yang ada hubungannya dengan apa-apa yang akan terjadi dalam kehidupan manusia serta alam semesta. Dan kemarin tanda itu telah muncul dalam rupa yang sedemikian menakutkan.
“Papa nanti Kanu ikat we ini burung biar wica terbang lagi,” kata si kecil sambil berlari masuk ke rumah.
“Jaga jangan dia mati. Kanu kasi makan dia ya!”
Ore papa!” teriaknya dari dalam rumah.
Seusai membersikan badan, kudengar, kegaduhan yang membangunkanku tadi kian waktu kian menjadi-jadi dan kedengaran seru. Dengan cepat aku bergegas mendekati kerumunan penduduk yang tak jauh dari rumah kami. Meria istriku berada di sana. Mereka tampak serius mempercakapkan sesuatu, dengan saling memperlihatkan sebuah piring putih yang dipegang tangan masing-masing.
Setelah bergabung dengan kerumunan itu, baru kutahu, kegemparan itu dikarenakan munculnya tanda aneh di setiap rumah. Tanda aneh itu adalah sebuah gambar palu yang bersilangan dengan arit berwarna merah darah terukir di setiap piring “Malukku” di rumah-rumah para penduduk.
“Ini mustahil. Piring ini aku simpan di dalam lemari,” kata salah seorang perempuan.
“Sama. Lemariku malah di selot,” ujar yang lainnya.
“Lalu siapa yang menggambar semua ini?”
“Ya. Mungkin ada orang di rumah kita yang diam-diam diperintahkan untuk menggambarnya,” analisa seseorang di antara kerumunan itu.
Kuambil piring di tangan istriku dan kuperhatikan dengan teliti. Gambar ini tampak mustahil jika dikerjakan orang biasa, yang tidak punya kemahiran dan peralatan yang memadai untuk itu.
“Gambar ini sepertinya terpahat,” ujarku.
“Ini pasti pekerjaan setan!” sambung yang lainnya.
Percakapan itu kemudian kian ramai. Dari beberapa tempat bermunculan orang-orang yang juga membawa dan memperlihatkan piring mereka.
Piring malukku di rumah kami memang tak terkecuali. Gambar misterius ini seperti diukir oleh sebuah benda panas yang bisa melelehkan keramik. Piring malukku, adalah  piring porselin antik  kuno yang berwarnah putih. Setiap rumah di desa kami selalu memiliki minimal setu piring malukku. Piring itu biasanya merupakan warisan yang dibagi-bagikan orang tua ketika anak-anaknya sudah menikah. Piring itu tidak dipakai untuk menjadi tempat makan sehari-hari. Namun khusus dipakai untuk keperluan ritual adat, seperti pada pesta perkawinan, menjadi tempat air suci yang akan dipercikkan kepada pengantin. Atau untuk kebutuhan magi lainnya.
Banyak orang meyakini bahwa piring putih malukku bukan piring buatan bangsa Cina pada ribuan tahun silam. Sebab konon piring-piring ini justru berasal dari dunia maya yang misterius. Para leluhur kami, menemukannya setelah melakukan pertapaan dan ritual. Artinya, piring-piring malukku bukanlah buatan tangan manusia. Tapi berasal dari dunia gaib. Mereka menemukannya di tempat-tempat yang telah ditunjuk oleh roh sakti lewat mimpi seseorang. Kepercayaan ini ada kaitannya dengan mite dimana penduduk Talaud adalah anak dari seorang putri kayangan. Tapi ada juga yang meyakini, piring-piring itu berasal dari Cina, terbawa bersama persebaran ribuan tahun yang lalu, ketika orang Polinesia yang datang ke daratan Asia zaman purba. Orang–orang itu kemudian melalui kepulauan Hindia menuju arah timur dan lautan teduh. Ada pendapat lain mengatakan piring itu adalah perahu  dua pangeran sakti dari wilayah timur Malukku yang kemudian menjadi guru spiritual di kawasan kepulauan ini.  Yang pasti, bagi masyarakat  Talaud, piring malukku telah menjadi benda cagar budaya, yang memiliki nilai dan kekuatan magis.
“Ini gambar partai komunis!” ujar salah seorang.
“Apa itu komunis?” tanya yang lain.
“Partai anti Tuhan! Kumpulan orang-orang tidak beragama,” seru seorang wanita yang tubuhnya gemuk.
‘Berarti ini peringatan Tuhan.”
“Tuhan sedang marah!”
“Ini mujizat !”
“Tapi mujizat apa?”
“Ini tanda malapetaka.”
“Tapi malapetaka apa?”
Semuanya kemudian kian seru terlibat debat dan tanya. Kian ramai. Kian merindingkan. Kian menakutkan. Yang pasti kian membingungkan.
Sebuah pertanyaan kembali mendedah pikiran para penduduk.  Apa gerangan yang dimaksud dari isyarat aneh di piring adat itu?. Pada semua piring malukku di desa kami gambar merah itu seperti terukir begitu saja. Entah dilakukan siapa. Entah siapa yang mengerjakannya. Entah siapa yang memerintahkannya. Entah kapan hal itu dilakukan. Kenyataannya di dalam piring-piring malukku ini telah ada gambar palu arit berwarna merah darah.
Aku curiga ada orang-orang tertentu yang berkeliling desa sepanjang malam untuk mengukir gambar itu di setiap piring malukku. Namun hal ini kupikir tak mungkin. Sebab ketika aku tertidur semalam, istriku sudah bangun membersikan rumah. Itu artinya tak mungkin ada orang yang masuk ke rumah kami. Lalu siapa yang menggambar semua ini? Apakah ada semacam hantu yang bekerja secara misterius menggambar palu arit ini? Atau kilat dan petir yang bergemuruh dan menyambar-nyambar semalam adalah pekerjaan roh-roh sakti yang berseliweran mendatangi rumah-rumah penduduk, dan diam-diam membuat ukiran palu arit itu? Sulit mencari jawaban yang pasti.
“Apakah ini bukan pekerjaan orang-orang partai komunis?”
“ Tidak mungkin. Di kampung ini kan tidak ada orang partai itu!” jawab Meria, sambil menyodorkan kopi hangat kesukaanku.  Sementara batata kuning yang telah direbus ikut juga dihidangkan dengan ikan bakar yang baunya masih harum. Ada aroma segar terpancar dari raut Meria. Aku tahu ia begitu puas dalam percintaan kami semalam. Sebab bagaimanpun, persetubuhan yang sempurna akan menguraikan niatan kasih sayang yang membiuskan. Namun kadang-kadang wajah bagus itu agak berubah kalau kami mulai membicarakan kejadian aneh yang beruntun terjadi itu.
“Pasti ada orang komunis di sini. Sebab tidak mungkin ada hantu yang bisa menggambar palu dan arit di piring-piring malukku. Pasti ini pekerjaan manusia,” kataku.
“Kalau itu pekerjaan orang kumunis. Bagaimana caranya mereka bisa mengambil piring-piring di rumah penduduk, lalu mengembalikannya kembali setelah gambar itu selesai mereka buat, namun tanpa diketahui dan kepergok pemiliknya. Aku kira ini sesuatu yang mustahil jika dikerjakan manusia,” bantah Meria seperti memaksaku untuk meyakini argumentasinya.
Memang sudah tabiat di negeri kami, dimana berbagai kejadian yang misterius, yang irasional, menjadi sesuatu yang dirasionalkan. Eksistensi setan-setan, roh-roh orang mati, serta kekuatan yang berasal dari segala dunia abstrak yang absurd, kadang-kadang menjadi sesuatu yang nyata dan realistik. Maka jangan heran jika dalam banyak hal, penduduk kami sering merasionalkan sesuatu yang justru begitu irasional bagi kaum modern. Sesuatu yang tidak masuk akal, dimasukkan menjadi sesuatu yang dapat diterima umum dengan alasan dimana eksistensi dunia halus juga bisa menjadi nyata, karena kedekatan kultur masyarakat ini dengan wilayah kaum halus.
Kanu tiba-tiba muncul di depan pintu dengan wajah yang pedih. “Burung itu sudah mati papa,” katanya sambil berjalan mendekatiku.
“Ya…sudahlah, burung itu sudah bahagia bertemu Tuhan. Kau sudah menguburkannya kan?” kataku sambil memeluk Kanu kemudian mengangkatnya ke pangkuanku.
“Sudah papa. Tapi…apa burung juga punya Tuhan?” Tanya Kanu dengan tatapannya yang polos.
“Semua ciptaan punya Tuhan,” kataku sambil menggelitik kepalanya. Hari itu juga, aku harus menghibur  Kanu dengan mengajaknya makan kelapa muda di tepi pantai. Anak lelakiku itu begitu sedih atas kematian burungnya, sebelum aku sempat membuatkan kandangnya.

***

Selepas makan siang, Datu dan Inang Mbanua tampaknya sudah sepakat untuk menggelar pertemuan adat.  Warga desa pun dengan cepat dikumpul di “Wale Lawo”. Bunyi tambor besar dari Wale Lawo menandai panggilan itu.
Wale Lawo adalah rumah besar yang menjadi tempat berkumpul warga desa untuk membahas segala masalah di desa yang dipimpin oleh tetua adat yang dikenal sebagai Datu Mbanua dan Inang Wanua.
Orang-orang berdatangan seperti di bawah arus sihir bunyi tambor yang dipukul dalam irama pemanggilan. Tak berapa lama, semua orang tua, terutama kaum lelaki di kampung ini telah berkumpul di ruang tengah. Bau kemenyan menyebar di ruangan itu. Bokor yang terbuat dari tanah liat di depan Inang dan Datu Mbanua masih terlihat nyala api dan asap kemenyannya. Ini pertanda dua pentua adat itu baru usai mengadakan ritual untuk berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur.
Tradisi ini merupakan warisan kebudayaan “Manna”. Sebuah kepercayaan pada roh-roh sakti yang telah dilakukan masyarakat sejak masa purba dinamisme di abad- abad pertama. Para misioneri Corington telah mencatat tradisi budaya ini sebagai sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Samawi yang mereka sebarkan. Pagan, kata mereka. Hingga pada suatu masa, pihak Zendeling yang didukung Compeny Belanda melakukan pembakaran budaya masyarakat setempat. Namun bagaimanapun perjuangan pembakaran budaya oleh gerakan penginjilan Kristen itu, tradisi ini telah menjadi darah dalam setiap nadi orang Talaud. Dan aku sendiri memiliki kebanggaan tersendiri akan tradisi-tradisi luhur kami ini. Sebab menurutku tradisi kami secara subtansial tidak bertentangan dengan Injil.
Memang dalam ritualnya kami berbeda dengan dogma-dogma Kristiani. Tapi kami seperti juga orang-orang Israel, mempercayai adanya suatu sumber kekuatan yang mencipta dan mengendalikan kehidupan manusia. Apakah kekuatan yang kami imani ini, bukankah yang bernama Tuhan, seperti yang diimani kaum Samawi? Jika keimanan Samawi dan keimanan tradisonal kami mengacu kepada suatu substansi yang sama, mengapa lantas para misioneri menyebut tradisi ini sebagai suatu kekafiran? Ini memang suatu yang sulit terjangkau pikiran kecuali didaki dari tikungan jalan  iman. Dan aku tak ingin mempertengkarkannya. Bukankah mempertengkarkan keimanan tak lebih dari sebuah pementasan komedi yang lucu di atas panggung Sang Maha Pencipta? Bukankah pula tindakan ini merupakan suatu intervensi ke wilayah eksistensi Tuhan? Tidak ! Aku tidak mau mendebatkannya, meski sebenarnya hal ini begitu mengusik keingintahuanku.
Angin laut masuk dari jendela yang semuanya terbuka. Aku memilih duduk di bawah jendela, bersila di tikar yang dianyam dari daun pandan.
Dari jendela itu, aku leluasa melihat ke halaman. Di sana banyak orang berkumpul. Wajah mereka nampak diwarnai kegusaran. Di depan kami, Datu dan Inang Mbanua begitu tegang. Di wajah kedua lelaki tua itu tergambar perasaan getir. Suatu rasa keprihatinan yang menyelubungi sanubari mereka. Tidak biasanya dua lelaki yang punya kekuatan magis ini memperlihatkan rasa was-was yang mendalam. Sesekali keduanya menarik nafas panjang seakan-akan mau membuka rongga paru-paru mereka yang tersumbat.
            “Anak-anakku, hari ini kembali kita mendapatkan isyarat dari alam. Aku dan Inang Mbanua, setelah semalaman memikirkan isyarat ini, di tambah lagi dengan menculnya tanda aneh pada pagi tadi. Kami makin yakin, akan ada masalah besar di kampung kita,” ujar Datu Mbanua, dengan suaranya yang khas, berat dan mistis. Suasana seketika menjadi begitu hening mencekam. Kecuali bunyi gemerisik daun bambu di samping balai pertemuan yang diterpa angin mengisi suasana kekosongan.  Keadaan beku itu baru cair ketika seseorang memberanikan diri melontarkan pertanyaan.
“Apakah kami bisa mendapatkan penjelasnya datu?” tanya orang itu. Semua mata menoleh ke arah suara yang mendadak muncul itu. Datu dan Inang tak terkecuali. Yang bertanya itu adalah seorang perempuan yang wajahnya sedemikian pucat dan gemetar. Sejurus kemudian, tatapan orang-orang tertuju kembali kepada kedua sosok pentua adat yang memimpin pertemuan. Mata-mata itu seperti menanti datangnya penjelasan yang pasti.
“Baiklah! Tapi kuminta kalian jangan terlalu risau dan takut. Sebab sesuatu yang paling menakutkan sesungguhnya adalah perasaan takut itu sendiri. Manusia yang terlalu terbawa rasa takut, akan dihantui oleh perasaan takut itu,” ujar Datu.
Datu yang berumur tujuh puluh tahun ini kemudian mengungkapkan berbagai penafsirannya.  Jenggot panjangnya berkibar-kibar ditiup angin dari jendela. Suara bisik-bisik sesekali terdengar dari kolong Wale. Di bawah telah berkumpul anak-anak muda yang menanti-nanti dengan berdebar-debar penjelasan Datu dan Inang Mbanua.
“Menurut penafsiran saya  ada suatu kekuatan jahat yang akan segera mengendalikan negeri kita ini. Dan dia akan mengunakan banyak orang untuk menyengsarakan rakyat. Itulah tanda dari burung-burung,” papar Datu.
“Siapa mereka Datu?” tanya seseorang.
“Ya, jika kita tahu, kita bisa segera mengambil tindakan,” ujar yang lainnya.
“betul itu!”.
“Kami siap melawan mereka jika Datu dan Inang berkenan”.
“Tenanglah! Kalian harus sabar dulu. Dengar dulu,” ujar Datu dengan suara yang agar keras.
 Semua yang hadir serentak terdiam,  mangut-mangut dan saling tatap. Tapi tak ada suara yang keluar dari mulut mereka. Melihat ketegangan yang mulai merayap ke semua yang hadir, Datu berdehem. Semua orang mengarahkan perhatian mereka lagi ke Datu.
“Tanda palu arit di piring malukku, seperti kita ketahui, itu adalah lambang dari sebuah partai politik di negara kita. Maka ada kemungkinan kejadian ini punya hubungan dengan partai itu!” papar Datu lagi. Suasana menjadi hening. Semua wajah tertunduk. Seperti ada ketakutan yang maha hebat tiba-tiba menghantam pikiran para penduduk yang menghadiri pertemuan adat. Keheningan itu kian mencekam.
“Keeeeeooook…..Keeeeoooook…..Keeeeeoooook”. Seekor burung Banti hitam hinggap di atas bubungan rumah pertemuan. Burung itu melengkingkan suaranya yang keras sebanyak tiga kali. Semua orang yang berada di luar Wale Lawo cepat-cepat menatap  ke atas, ke arah dimana burung itu hinggap,  kemudian satu-satu menunduk lagi dengan diam. Sedangkan yang berada di dalam ruang pertemuan tak bergeming. Semua seperti menahan nafas masing-masing.
“Leluhur kita sudah memberi tanda, dimana penafsiran kita benar!” ujar Inang Mbanua mengartikan bunyi burung itu. Spontan di mana-mana terdengar lagi suara berisik dari suara bisik-bisik orang-orang.
“Apakah malapetaka itu tak dapat kita hindari?” tanya seseorang.
Inang dan datu menggeleng. “Ini takdir!” kata Datu.
“Kita bikin upacara penyucian negeri saja Datu!” kata salah seorang lagi.
“Banyaklah berdoa. Minta pengampunan Ruata!” kata Inang.
“Mengapa negeri kita selalu dilanda petaka?”
“Petaka tidak ada kalau tidak karena ulah manusia!”
“Manusia itulah yang harus kita temukan. Kita cari!”
“Kita lenyapkan!”
“Melenyapkan seseorang, itu juga malapetaka. Itu dosa. Ruata yang berhak atas nyawa manusia. Jika kita yang melenyapkannya, berarti kita telah merampas hak Ruata. Atas tindakan itu, Ruata marah!” jelas Datu.
“Tapi mengapa kita semua yang harus menanggung dosa seseorang?”
“Ruata tidak pernah akan mempertanggungkan dosa orang lain kepada seseorang. Tidak pernah. Jadi jika petaka ini akan menimpa kita semua, itu tandanya kita semua akan diperingatkan dari dosa-dosa kita juga,” tambah Inang. 
 Datu dan Inang Banua, adalah orang-orang sakti yang menguasai berbagai ilmu magi, dan aji-aji, namun hidupnya saleh. Mereka dipilih dari para tetua yang memiliki kemampuan itu. Mereka biasanya adalah pribadi-pribadi yang karena ilmunya, bisa melakukan berbagai hal seperti kebal terhadap segala senjata, atau bisa masuk ke dunia orang mati. Ujian bagi mereka adalah kalau mereka mampu membawa bukti, bahwa mereka telah sampai ke pulau khayangan yang bernama Odi. Sebuah pulau misterius yang tidak kelihatan dengan mata biasa. Namun, banyak juga dari penduduk yang punya “mata terang”, atau oleh kaum Kristiani disebut sebagai “memiliki karunia penglihatan” yang bisa melihat pulau Odi dan rupa penghuninya. Tapi juga, tidak semua orang yang meskipun punya kemampuan melihat pulau dan penghuni Odi yang bisa masuk ke sana. Pulau itu tak jauh dari desa kami. Konon menurut cerita para orang tua, pulau itu berpenghunikan para bidadari yang cantik jelita. Jika orang yang sampai ke tempat itu dan tidak diluluskan oleh para bidadari untuk memimpin negeri, maka ia akan tersesat, ke alam maya, dan tidak akan kembali ke dunia nyata, kecuali jasatnya jika sudah mati. Datu dan Inang Mbanua, karena kesaktiannya bisa membaca nasib orang. Mereka bisa menerka seseorang itu akan segera mati atau mengalami bencana.
            Jadi setiap perkataan mereka, bagi masyarakat desa kami adalah aturan. Malahan sering dianggap sebagai kebenaran mutlak. Setiap sengketa anak negeri akan diurus mereka dengan keadilan yang mereka pahami.
            Karena Datu dan Inang, telah mengisyaratkan adanya bencana, setiap warga desa sudah sepenuhnya yakin, dan menanti dengan sabar datangnya malapetaka itu. Sebuah kepasrahan kolektiv yang absurd menurutku. Tapi inilah dunia dimana kami menemukan pemekaran pribadi.
***
Untuk mengusir kepenatan memikirkan isyarat dari peristiwa-peristiwa yang menakutkan itu, aku memilih untuk melaut mencari ikan. Dengan perlengkapan Papiti aku berjalan menuju pantai. Di sepanjang jalan aku bertemu dengan orang-orang yang masih tak henti-hentinya membicarakan hal-hal menakjubkan yang terus berlangsung.
“Sudalah! Jangan melaut!” kata Hadi. Kawanku itu lagi duduk berkumpul di dego dengan beberapa kawan lainnya. Ia seorang tokoh budaya yang terbilang masih muda usianya. Hanya saja, tingkahnya sedikit aneh dan mendekati gila. Perselingkuhan istrinya dengan lelaki lain membuat ia sangat terpukul.
“Hidup harus diteruskan,” jawabku agak berkelakar.
“Kau terlalu memikirkan perut!”
“Kalau sudah mati, aku akan berhenti memikirkannya!” 
“Kalau sudah mati bagimana bisa berpikir?”
“Karena masih hidup maka aku berpikir!”
“Sudalah. Pergi…cari banyak, nanti aku minta ikan bakar!” katanya lagi. Aku melambaikan tangan ke mereka, petanda ya.
Tak berapa lama, aku telah berada di tepi laut. Dengan cepat kusiapkan perahu londe milikku. Laut yang semalamnya garang, kini sudah meredah. Hanya ombak-ombak kecil yang memecah di atas hamparan berkarang yang tersisa mengirimi buih-buih putih ke pesisir. Hari memang sudah agak senja. Tapi kupikir satu dua jam akan cukup bagiku mendapatkan beberapa ekor ikan. Artinya aku masih bisa pulang saat matahari belum terbenam.
Setelah sekitar satu jam aku menyelam di kedalaman empat sampai tujuh meter, beberapa ekor ikan sebesar paha orang dewasa telah berhasil aku piti. Terutama jenis ikan “Maming” yang berwarna kebiru-biruan dengan sedikit bercak merah dan hijau di bagian punggung dan kepalanya. Ikan ini merupakan kesukaanku, apalagi jika dimasak kua asam. Sejenak aku naik ke londe untuk istirahat. Rokok oskar dengan cepat kusulut. Rasa segar langsung menyerang tubuhku yang sedikit kedinginan diterpa angin darat yang agak basah.  Di langit, awan hitam itu seperti setan yang tidak pernah capek mengintai perkampungan penduduk di daratan sana. Setelah menghabiskan sebatang, aku menyelam lagi. Beberapa ekor lagi berhasil kutangkap. Sialnya, tak terduga seekor hiu dengan cepat meringsek ke arahku. Serangan yang tiba-tiba itu nyaris tak terhindarkan. Untung, refleks aku mengacungkan papitiku ke depan, hingga menghujam kepala Hiu. Namun terjangan tiba-tiba ini membuat aku ikut terhempas. Dengan cepat aku berusaha bersandar di dinding karang, sebab dengan begitu ikan ini  tidak akan menerjang dari depan, dan aku punya waktu untuk menyiapkan papitiku lagi. Tampaknya ia kelaparan. Beberapa ekor ikan kulepas untuk mengalihkan perhatiannya. Dengan cepat disambarnya ikan-ikan itu. Pada saat ia menyambar seekor yang berada dalam sasaran papiti, langsung kusasar kepalanya. Anak panah itu terlihat menembus moncong hiu itu hingga di kedua sisi. Ia dengan cepat menghentak tali pengikat papitihku hingga putus dan lari. Inilah kesempatan aku harus cepat berenang ke arah londeku. Sebab, hiu biasanya datang tidak sendirian. Teman-temannya bakal segera tiba dan mengamuk. Dari atas londeku, kulihat beberapa ekor yang lebih besar  nampak mengintaiku dengan gerakkan yang liar dan marah. Dan di atas langit sana, awan hitam itu juga mengawasiku dengan tatapan kebencian yang sama.
  Sekitar pukul lima sore, aku sudah mengangkat sau perahu londeku, dan kembali pulang ke darat. Cenore, salah seorang sahabatku yang tinggal di tepi pantai itu, menjemputku untuk menepihkan dan membantu menarik londeku ke darat.
“Kami sudah mendengar beritanya Kepas. Apa yang dikatakan Datu dan Inang ternyata memiliki kebenaran. Di ibukota negara, di Jakarta, dikabarkan  terjadi pembunuhan terhadap tujuh orang Jenderal. Pembunuhan itu dilakukan orang-orang PKI,” ungkap Cenore.
“Kau dengar dari mana?”
“Dari siaran radio!”
“Lalu kabar selanjutnya?”
“Sudah pulanglah dulu, nanti sebentar malam ada siaran berita lagi. Kau dengar sendiri,” kata Cenore, lalu membantu aku memikul peralatan papiti.

Hari sudah mendekati malam, terdengar lagi kasak-kusuk para pemilik radio memanggil-manggil para tentangga. Rumah kami didatangi salah seorang dari para pemilik radio. Biasanya para pemilik radio untuk ukuran desa kami, adalah orang-orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Keadaan ekonomi mereka terbilang berkecukupan. Mereka adalah para pengawai pemerintah. Dan juga para pedagang antar pulau yang sering menyeludup ke Saranggani, Balut, atau Cotabato di Mindanao. Di sana mereka menukar hasil-hasil bumi seperti pala dan kopra dengan berbagai keperluan masyarakat, termasuk barang-barang elektronik seperti radio dua ban.
            Setelah dikabarkan ada siaran penting dari Jakarta, dengan cepat aku ikut mendatangi rumah yang punya radio itu. Siaran berita dari Jakarta itu mengudara lagi setelah dinanti sekian waktu. Siaran radio itu memberitakan kejadian pembunuhan 7 Jenderal oleh orang-orang dari Partai Komunis Indonesia. Dikabarkan, ke 7 Jenderal yang dibunuh itu adalah kelompok Dewan Jenderal yang akan melancarkan kup terhadap Presiden Soekarno, sang pemimpin besar revolusi.
Berhari-hari kemudian kami hampir tiada henti-hentinya membicarakan peristiwa itu dari mulut ke mulut dan terus memantau perkembangan yang terjadi. Sepekan kemudian, siaran radio makin gencar memberitakan hadirnya seorang pahlawan sejati yang berhasil mematahkan gerakan yang mereka sebut sebagai  pemberontakan G30S PKI. Pahlawan itu adalah Soeharto.
            Berita mengerikan itu bagaimana pun, bagi kami adalah suatu kejadian yang rasanya berada jauh sekali dari desa kami. Apalagi ketika dikabarkan akan ada penangkapan besar-besar para anggota Partai Komunis dari siaran radio itu. Kami merasa aman-aman saja. Sebab, di desa kami tak ada seorang pun yang kami ketahui menjadi anggota Partai itu. Di desa kami mayoritas adalah anggota  Partai Nasional Indonesia “PNI”, atau Partai Kristen Indonesia “Parkindo”. Dua partai itu saja yang dikenal luas di desa kami.
            Setelah kejadian itu, hari-hari berlangsung seperti biasa. Tak ada kejadian luar biasa yang mengejutkan. Namun awan hitam aneh terus saja menempel di langit di atas kampung kami. Awan tersebut seperti sedang mempersiapkan suatu rencana penggempuran dasyat ke perkampungan desa ini.

***
            Suatu malam, oma tua memanggilku. Ia dalam keadaan sakit tua yang kian hari kian parah.
            “Apapun yang terjadi. Jagalah cucu-cucuku dengan baik!” kata oma tua,
            “Memangnya, apa yang akan terjadi?” tanyaku, melihat keprihatinan yang membersit dari wajahnya yang kian pucat itu.
            “Kau harus ingat. Burung-burung itu telah memberikan isyarat. Kupikir tak lama lagi, kejadian itu akan sampai di sini,” ujarnya.
            “Jadi apa yang harus kulakukan?”
            “Keluar dari kampung ini! Sebaiknya berangkatlah ke Filipina”.
            “Apakah dengan begitu kami akan terhindar dari kutukan?”
            “Tidak ada yang bisa menghindar kehendak Ruata. Tapi minimal dengan berangkat ke Filipina, kalian akan mendapatkan waktu, hingga kalian siap untuk menjalani kutukan itu.”
            Perkataan oma tua, membuat aku semalaman tidak bisa tidur. Aku terus merenung dan merenung.

***
(7)
Awan hitam  menerjemahkan kutukannya. Pulau Karakelang dan Salibabu dilanda musim kering. Pulau-pulau lain yang tertebar di bibir utara lautan Fasifik seperti biji sesawi ini juga mulai dijejali kemelaratan. Penduduknya melewati hari-harinya dalam larik-larik kepedihan yang ditulis Ruata.
Musim kemarau panjang ini memanggang pulau-pulau kami. Berbulan-bulan kepulauan ini tak pernah disirami hujan. Keadaan menjadi kian parah. Tanaman-tanaman mengering. Tanah menjadi kerontang dan tandus. Sumber makanan yang tersisa tinggal umbi-umbian Bete yang biasanya hidup di kaki-kaki gunung. Sumur-sumur desa menjadi kering. Untuk mendapatkan air minum, kami harus mengambilnya dari Andaara yang jauh dari permukiman penduduk.
Bukan sedikit pula para penduduk mengalami musibah diserang babi hutan. Sedangkan Andaara di pulau kami, yang menjadi tempat pengambilan air, memiliki banyak buaya. Beberapa orang tewas di mangsa buaya. Malapetaka kekeringan itu tiba-tiba  mengakibatkan munculnya berbagai jenis buaya  mematikan. Hajat hidup warga merosot ke lembah kemiskinan yang teramat menyedihkan.  Hewan-hewan piaraan seperti babi juga mati karena kekurangan makanan. Ternak ayam habis diserang penyakit.
Setiap pekan, gereja seakan tak pernah sepi dari dentingan lonceng kematian. Akibat banyaknya peristiwa kematian itu, hampir seluruh warga kampung pada akhirnya mengenakan pakai hitam perkabungan. Warna merah dan warna natur yang mencolok hampir tak digunakan dalam setiap kesempatan. Semuanya hitam mengekspresikan kelam. 
Ikan-ikan yang dulunya berlimpah, kini harus di buru ke tempat-tempat yang dalam dengan papiti. Babi-babi hutan seakan bermetamorfosis ujud jadi hantu-hantu ganas yang setiap harinya menjadi sumber ketakutan para pencari bete dan anak sekolah.  Burung-burung yang dulunya ramai berkicau di waktu pagi dan senja, seperti lenyap begitu saja. Burung-burung itu kembali ke sarang-sarangnya di dunia kematian. Semua itu nyata, dan seakan terjadi begitu saja.
Daratan ini tak ubahnya dunia kematian yang penuh isak tangis. Tangisan itu bukan saja milik kaum tak beriman, atau setengah beriman. Seorang pendeta, yang dipandang sebagai guru dan panutan, juga tak luput dari siraman air mata pedih itu.
Akhir-akhir ini aku selalu memperhatikan dengan seksama ekspresi lelaki itu. Hari ini pun aku melihatnya. Ia boleh berkhotbah dengan gagah perkasa.  Tapi, kelopak matanya tak pernah kering dari tangisan.
“Jemaatku yang terkasih! Inilah saatnya Tuhan menguji iman kita,” kata pendeta dalam khotbahnya. Khotbah dalam ibadah di rumahnya sendiri. Rumah yang sejak kemarin dipenuhi bunga-bunga kepedihan.
Lelaki berpakaian jubah hitam yang berdiri di mimbar itu dengan senyuman tabah seperti tak kehilangan semangat menyalakan api pengharapan yang mulai mengecil dalam jiwa setiap penduduk. Berhari-hari sebelumnya juga, pada setiap khotbah perkabungan seperti ini, lelaki itu seakan mau mengatakan, “kita harus bertahan dalam perahu nasib yang sudah rapuh ini!” Dan kali ini, ia mengucapkan khotbah itu lagi, meskipun yang terkapar dalam tidur abadi itu adalah  istrinya sendiri. Ia berusaha mengucapkan khotbahnya dengan gemilang. Tapi hati nuraninya tak mungkin terbohongi. Hati nurani kemanusiaannya mengucap dalam bahasa lain yang jujur dalam setiap serpih air mata yang tak henti meloncat dari kelopak matanya saat khotbah yang terasa mubasir itu diucapkannya lagi. Orang-orang menangis melihatnya.  Tapi ia terus berkata seperti irama hujan dalam badai yang mengguncang di lubuk hatinya.
“Kepulauan ini tercipta dari rasa cinta Tuhan. Tuhan sendiri yang memercikkan rahmatnya ke laut hingga muncul segala daratan di sini. Karena Tuhan bermurah kepada malaikat tanah Porodisa yang berlayar dalam Pato sendiri tanpa negeri tujuan. Daratan ini negeri tujuan sang malaikat itu. Ia beranak pinak di sini, dalam legenda itu. Dan seharusnya kita adalah putra-putra rahmat Duata. Kita tak pernah terhancurkan dan terkalahkan kecuali kita sendiri yang menyerahkan diri kita pada  kehancuran dan kekalahan itu sendiri.”  Udara menjadi dingin. Dingin oleh sembab air mata.
Aku turut mengantar jenazah istrinya ke tempat pemakaman. Dan aku menjumpainya di tempat pemakaman itu ketika keadaan sudah sedikit sunyi. Para pelayat sudah pergi, kecuali beberapa orang pembuat kubur yang masih menuntaskan pekerjaan mereka.
“Kami sekeluarga turut berduka Tuan Pendeta,” kataku sambil menjabat tangannya.  Tangannya terasa dingin dan sinar matanya tampak kelam.
“Banyak yang sudah pergi oleh malapetaka ini,” gumamnya, sambil menatap ke bongkahan tanah yang di bawahnya istrinya tercinta  sedang tidur dalam keabadian.
“Kami sangat kehilangan nyonya!”
“Moga kebaikannya tak pernah pergi dari hati kalian,” balasnya. Aku mengangguk dan menepuk bahunya memberi kekuatan.
Setelah pamitan kepada para pekerja kuburan, pendeta mengajakku pulang. Sepanjang jalan menuju rumahnya, ia masih terus mengkhotbahi aku dengan nasehat-nasehat yang indah.  Padahal aku pun tahu, bagaimana suasana hatinya sendiri yang baru mengantar jenazah istrinya ke liang lahat.  Diam-diam aku begitu kagum pada ketabahan lelaki ini. Ia seperti nabi Daud, namun di bawah sedikit dari ketabahan Ayub seperti yang dikisahkan Bible.

***
 Si  gumpalan hitam yang berarak seperti setan bermata gelap di langit itu, kemudian mulai mengirim jutaan bahkan miliaran binatang yang menjijikan. Binatang itu memangsa pohon-pohon kelapa. Hama Sexava, kiriman awan hitam  menggunduli daun-daun. Mereka seakan binatang paling kelaparan di dunia ini. Hama belalang hijau itu, seperti tula yang tersesat dari zaman nabi Musa ke kepulauan kami. Menjijikan dan menakutkan. Buah-buah kecil kelapa ikut dimakannya juga.  (Bersambung ke bagian berikutnya....)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar