Senin, 26 September 2011

DI BAWAH GERIMIS KOTA BEO (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Aku masih berdiri di cerocok bekas kapal karam ketika gadis itu lewat di jalan sempit di hadapanku. Tubuhnya semampai dengan sinar kecantikan putri desa nan natur tanpa pernik. Tak ada Anyelir dan hiasan lain di kenakannya. Tapi…oh Tuhan…dari debu apa Kau ciptakan keindahan di wajah perempuan itu? Sesaat ia menoleh kearahku. Tatapan itu secepatnya memberi degupan indah. Dari celah-celah daun Ketapang aku masih melihat rambutnya dikebas-kebaskan angin yang membawa gerimis, dan sekali ia menoleh ke arahku, kemudian berlalu.
Kapal yang mengantarku ke daratan ini masih membuang sauh di sana. “Selamat bertemu kota Beo. Aku hanya pendatang yang di damparkan nasib ke daratan ini. Tapi siapakah perempuan manis yang tiba-tiba kau perkenalkan itu ?” tanyaku pada langit di atas tempatku berdiri. Tak ada jawaban, kecuali bunyi debur ombak, dan riuh para buruh di perahu-perahu tambangan. Di bawah kakiku, di batu-batu corocok dan dinding kapal tua ini, siput-siput kecil merayab memikul rumahnya berwarna warni.
“Pra, kita berangkat sekarang!” teriak Ferry dari terminal penumpang. Aku mendekati Ferry. “Kau jangan berdiri di cerocok itu lagi ya,” kata Ferry seperti memperingatkan sesuatu. “Memangnya ada apa?” tanyaku. “Nantilah kita bicarakan lain waktu,” jawabnya. Tiba-tiba kurasa ada sesuatu yang aneh dalam nada bicara Ferry. Namun sebelum aku lebih jauh meminta penjelasannya, ia telah menarikku berjalan meninggalkan terminal. Sesampainya di depan pertokoan yang menjadi stasiun mikrolet, tiba-tiba saja aku menjadi ingin menatap lagi ke arah cerocok dan jalan sempit di depannya. Astaga! Gadis itu ada di sana. Ia menatapku dengan reka nan renyah. Ia di sana serupa foto perempuan tergantung di bingkai langit. Teramat indah.
“Aku sudah bilang, jangan menatap ke corocok itu!” “Memangnya ada apa dengan corocok itu ?” Ferry tidak menjawab. Ia mengajakku langsung naik sebuah mikrolet. Tak berapa lama kami telah sampai di rumah Ferry.
“Itu rumahku Pra!” tunjuk Ferry, ketika mikrolet berhenti tepat di rumah yang ditunjuknya. “Ini desa Marumun,” jelas Ferry lagi.
***
Sudah sepekan aku di kota kawanku ini, aku telah membuat beberapa catatan untuk tulisanku di koran tempatku bekerja. Tapi semua kesibukanku meneliti dan melakukan wawancara dengan nara sumber tulisan tidak membuat aku lupa pada pertemuan sesaat di cerocok dalam siraman gerimis itu. Malam ini aku telah berkeputusan mencari gadis itu. Tanpa setahu Ferry aku berangkat sendirian ke sana. “Kau pasti Pra. Prananda Widia,” kata gadis itu yang cepat menyongsongku. “Kau mengenaliku?” “Ya. Aku mengagumimu!” ujarnya. “Tapi kita baru bertemu kali ini,” kataku lagi. “Tidak. Kita sering ketemu,” jawabnya. “Tapi kita kan baru kali ini bersua!” “Kau tidak mengerti maksudku. Aku selalu berjumpa denganmu lewat karya-karya puisi, cerpen dan novelmu,” paparnya. “Ow!” Aku baru mengerti. Ia tersenyum. “Bolehkah aku mengajak engkau ke tepi cerocok itu?” tanyanya dengan sinar mata berharap. Aku mengangguk. Dengan cepat ia menggandeng tanganku. “Namaku Dian. Dian Lembayung,” katanya dan terus menarikku ke tepi cerocok. “Kau senang berjumpa denganku?” tanyanya lagi. “Aku pasti senang bertemu seseorang yang menyukai karya-karyaku. Malahan pertemuan ini betapa sangat berharga bagiku,” kataku. Di tepi cerocok kami duduk sambil menatap laut lepas yang menghitam. Bunyi debur bergerisik dari celah-celah batu. “Gadis semanis engkau apa tidak takut jalan malam,” tanyaku. “Dalam puisimu kau menulis; Jika cinta memanggilmu ikutilah dia,” jawabnya. “Itu suatu metafor. Tapi kenyataan keseharian kita harus bersesuai dengan lingkungan, adat, budaya, dsbnya,” jelasku. “Tidak Pra. Puisimu juga berkata; Segalanya bermula dari cinta. Cinta yang memberi kehidupan dan nama kepada segala sesuatu. Maka tak adil jika kita menempatkan cinta dalam persesuaian yang kau maksud. Kau sendiri yang mengatakan pada lirik yang lain yaitu; Cinta adalah rahim dari segala yang ada. Aku hanya nokta kecil yang berjuang menjadi sesuatu dalam cinta itu Pra!” ujarnya panjang lebar. Ia menatapku dengan kehangatan yang teramat lembut. “Dapatkah kau menciumiku Pra?” desahnya tiba-tiba. Aku terkesiap. Tak terduga, entah oleh apa aku dengan cepat menciuminya. Ia merangkulku. Detik-detik kemudian, ditepi cerocok itu, kami seperti rembulan dan gemawan di kasur langit. “Ah…Dian, betapa sempurna dikau,” bisikku. “Aku cinta padamu Pra,” kata mulut munggil nan indah yang masih basah oleh kecupan. Ia kemudian pergi, dan lenyap di kegelapan.
“Aku tahu, kau pasti kesini!” Suara yang sangat kukenal itu membangunkan aku dari kenikmatan yang belum lama pergi. “Siapa wanita itu Fer. Ada apa dengan cerocok ini?” desakku pada Ferry, yang telah berdiri tepat dibelakangku.
“ Dia menantimu bertahun-tahun di cerocok ini. Ia adik tingkat kita di kampus dulu. Ia pengagum karya-karya sastramu. Ia pernah mengutarakannya padaku kalau ia jatuh cinta padamu. Tapi aku tidak setuju kalau ia berhubungan denganmu. Aku melarangnya, dan tidak menyampaikan surat-suratnya padamu,” jelas Ferry. “Ia tinggal dimana?” tanyaku. “Mungkin di Surga. Ia telah meninggal. Ia adikku Pra. Saat-saat akhir hayatnya ia masih berkata; Pra. Aku cinta padamu!” Kulihat di wajah Ferry ada segaris air sesal menetes. Aku tiba-tiba tercekat oleh perasaan keterhilangan yang teramat hitam. “Jika aku tahu…” desisku.
“Aku mengajakmu kemari, karena dia memintanya Pra. Kau sudah bertemu dengannya. Semoga dia berbahagia bersama cintamu di surga sana,” kata Ferry. Diam-diam hati dan cintaku pergi mengikutinya ke kegelapan. Dan yang tersisa di dadaku hanya segumpal senyap yang basah oleh gerimis. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar