Senin, 26 September 2011

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (2)



Raja Katiandagho
dan Sultan Mangindano

semakin tinggi ilmu,
semakin tinggi kesaktian
sultan pun menantang uji kesatriaan

Sultan Anlik menculik Nanding permata Siaw
dan pangeran Pahawuateng
ia menantang kesaktian datukdatuk selatan
apakah laut sudah menjadi guru

tantangan bersambut betapapun mangindano bukan musuh
Raja Katiandagho  berangkat dengan kora Bitapapero
empat puluh dua pendayung membawa kebesaran Manganitu
bukan mengganyang perompak Sulu
tapi beradu kasatriaan di istana mindanaow

sesampai dikibaskannya lenso
menerbangkan Nanding Pahawuateng ke perahu
Sultan pun mengutus Liungseke pertontonkan ilmu
menggentarkan hati empat puluh pemberani

Katiandagho, berarif tau matei
melihat ilmu bukan sekadar permainan sesuka hati
ilmu tertinggi membajak lahan menjadi kebun hijau
menjaga bandar agar semua pelayar bebas bersinggah
menghormati perempuan, karena hatinya
tak dapat kita ambil dengan paksa
memimpin kerajaan seperti ibu bapa menjaga anaknya

bertandang ia ke istana Sultan
dijamu beras dan air dingin
ia pun menanak nasi di atas piring
dengan api di kelima jari
tapi sultan belum mau mengakui

di sore hari Sultan mengajaknya mandi
di berinya sungai waktu kering
Katiandagho merapal mantra air pun mengalirkan derasnya
karena ingin beri pelajaran diubahnya remah lumasan
jadi lebah penyerang Sultan

Sultan ternyata tak jua jerah
di tantangnya baginda laga terbuka
ia meminta dua pasang pendekar tanding  di arena
Sultan melawan baginda
Liungseke melawan Lakauwang Bahaning Nusa

babak pertama, Sultan melecutkan api membakar segala
baginda menenggelamkan kota dan istana sebatas dagu manusia
babak kedua, tak berlangsung lama
Liungseke di belah Lakauwang menjadi dua

Sultan Anlik berserah kalah
dijawab baginda dalam perang tak ada menang
semua menjadi abu dan arang

2009
*) Katiandagho Liuntuhaseng, raja kerajaan Manganitu yang memerintah di tahun 1740-1770.  Pada tahun 1750, Kantiandagho menyanggupi permintaan  bantuan raja Siaw, Yacobus Hahontondali, untuk membebaskan putri Siaw, Nanding dan Putera Pahawuateng  yang di tawan Sultan Anlik di Mindanao.  Sultan Antik menantang Raja Katiandagho adu kasaktian sebagai syarat pembebasan, yang berakhir dengan kemenangan Raja Katiandagho.


Sambo Ghenggona*)

Tuhan sajak bungabunga, bungabunga sajak Tuhan
Dalo dalo ia medalo mesuba Ruata
sembah  syairsyair   nafas, nafas syairsyair sembah
Ghenggona Langi Duatang Saruruang
kelip bintang tepi duka, duka di kelip bintang
Iamang ianang Fattimah magenda putung
amuk ombak samuderasamudera, samudera amuk ombakombak
Su hiwang Baginda Aling
pujaan sajaksajak laut, laut sajaksajak pujaan
Dalo dalo ia medalo
Keperkasaan semesta mata ibu, ibu mata semesta keperkasaan
Ghenggonalangi medadingan su gaghenggang
hati lepuh cair di ratap mantra, mantra ratap di lepuh hati
Iamang ianang Fattimah magenda putung
ya Esa… esakan duniaku, dunia esa ya…Esa
Su hiwang Baginda Aling
dari arasaras jalan menikung, menikung jalan arasaras
Dumaleng suapeng nanging
menuju denting surga, surga harapan denting hati
Manendeng mbanua mbanua Duatalangi
menuju kupu menapsir cahya, dan cahya menafsir kupu
Sole tama sole buntuang taku makibang
yang mencari pagi punya matahari, kerena matahari punya pagi
0, Biahe sukakendagu Ruata, e

2008

*) Sambo (Sasambo) adalah syair pemujaan dan pengajaran (sasasa). Sejak Nusalawo masa purba sasambo dinyanyikan dengan mengunakan Tagonggong (alat tetabuhan). Ghenggona (Ghenggonalagi=Ruata) adalah ilahi pencipta semesta dan pemimpin para moyang tertinggi (dewa). Pesambo (orang yang menyanyikan sasambo) biasanya mengubah syairnya secara spontan mengikuti cita rasa hatinya. Syair itu dibawakan secara berbalasan antara beberapa pesambo. Estetika sasambo terletak pada ornamentasi kanon dan rima bunyi bukan pada makna diksi.

Tatimongan *)
Naiang batubatu
o, Medorong si upung dellu
o, penembali
penembali su wanua

wahai penguasapenguasa
doakan rakyatmu
doakan doa di atas doa  
ia yang beri kau kuasa
doakan kesusahannya

wahai para arif bijaksana
beri rakyat kehidupan
beri kehidupan hidup di atas hidup
pada dia yang beri kau kehidupan
beri jalan ia bertemu kesejahteraan

kepada siapa rakyat berkeluh kesah
kepada siapa rakyat memohon keadilan
kepada siapa rakyat meminta tuntunan
bila kehidupan diambil dan dipinggirkan
dipinggirkan dipinggirnya pinggir

o, penguasapenguasa, e
o, para arif bijaksana, e

bila rakyat risau
bila rakyat hampa
bila negara dianggap bencana
ia akan pergi meski tak tahu entah ke mana
pergi entah kemana pergi

o, mohon yang di langit, e
o, besertalah
bersertalah penyertaan
berpuncaklah doa di langit doa
di puncak sembahyang
kiranya meniti di air asin
kencana di lautan  emas

2008

*) Tatimongan adalah syair doa pengharapan (penolak bala) orang Nusalawo. Tatimongan biasanya dinyanyikan saat hati merasa putus asa. Sastra Titimongan yang terindah dari abad XIII karya putri Kulano Wowontehu, Uringsangiang berjudul: “Tatimongan Umbolangi”. Syair itu dituturkannya saat Bininta (perahu) kerajaan yang ditumpanginya hanyut terbawa arus angin selatan. Dalam  Tatimongan-nya  ia memohon agar ayah ibunya serta rakyat kerajaan mendoakan keselamatannya.

Syair Tangisan Uringsangiang

ya aduh kasihan
sekiranya aku burung gerangan
ya aduh kasihan
aku terbang ke pulau hakekat
ya aduh kasihan
aku tak dapat menimbang pikiran
ya aduh kasihan
aku dipangku sang keasingan

ya aduh kasihan
aku tinggal di sini
ya kamu
ya aduh kasihan
kamu tak bawa aku bersama
ya kamu
ya aduh kasihan
berharap aku angin pendorong
ya kamu
ya aduh kasihan
jangan tinggal aku sebatang kara
ya kamu
ya aduh kasihan
aku tidak menghendaki rumah
ya kamu
ya aduh kasihan
aku hendak berumah di perahu
ya kamu

2008

*) Uringsangiang, putri dari datuk Mokoduludugh, raja kerajaan Wowontehu. Ia dan perahunya  hanyut di abad XIII dan terdampar di pulau Sangihe. Dari syair tangisannya itu juga  diperkirakan nama Sangihe di ambil (Sangi=Tangis). Namun yang terpenting dalam kebudayaan tua Nusalawo, menangis punya tradisinya sendiri. Baik itu tangisan kesakitan, pedih dan putus asa serta tangisan duka, sudah ditata dalam bentuk sastra yang teratur. Jadi siapa pun yang menangis mengikuti tradisi itu. Tak heran kalau ada duka, orang yang menangis, ratapnya kedengaran  seperti nyanyian. Di Nusalawo purba tangisan adalah nyanyian.


Kakumbaede Lohong Kadadima

laut gunung tahta budaya
menyimpan wangian pusaka lama
diberi sang langit
diberi sang moyang
dapatkan untung di dalamnya

o, ambil leluhur guntur
o, ambil leluhur cahaya

jadilah untung selamat
jadikan ajaran kebaikan
menguncup di sekalian kaum kerabat
seasal seturunan sekeliling pun
ya…seasal seturunan sekeliling pun

2008

*) Kakumbaede adalah syair pemujaan dan pengajaran. Lohong Kadadima (kekayaan negeri). Berupa ajaran bertuah, hikmat ilahi, ajaran moyang-moyang suci. Bisa berupa benda berharga seperti emas, perak dan intan permata yang tersimpan dalam bumi.

Pantun Lokongbanua II *)

hidup tolongmenolong
jangan dilolonglolong
meratap siang malam
bikin hati jadi kelam
nasib bertakdir sulit disangkal
kau kan terpencil  sukar tak berpengharapan
hidup sengsara pasti berlara
makan cukup maka segala tak kurang
bila kau jadi raja bikin rakyat tak susah
sebab waktu tak lama, sebelum kematian bersinggah
seindahnya cantik manusia, tak semulia gunde kerajaan
gemulai dalam ketulusan mengajar hidup berkesantunan
berjalan di pantai purnama hendaknya mengingat ajaran tetua
lapar haus dan dahaga tak membuat kau kalah menyerah
jangan hidup seperti ayam berak di cabang tidurnya
kau diperjalanan tak seorang menghiraukannya
bila mendayung mendayunglah bersama
sebab yang sampai hanya yang setujuan

2008

*) Lokongbanua II, raja pertama kerajaan Siaw. Memerintah tahun 1510-1540. Ia anak dari Pahawonsuluge-Hiabe Lombun Duata. Lokongbanua II dikenal sebagai raja bijaksana dan ahli sastra purba. Bentuk pantun semacam ini termasuk dalam sastra “Sasasa” atau petuah.  Sebagai catatan: Dalam sejarah Nusalawo, tercatat ada tiga orang yang memiliki nama Lokongbanua yakni; Lokongbanua I anak dari datuk Binsulangi dengan istrinya Sitty Bay (putri kerajaan Ternate) Mereka tinggal di Bolaang Mangondow. Lokongbanua I kawin dengan Sinangiang (anak Kulano Mokoduludugh-Baunia)dan melahirkan beberapa orang anak, diantaranya Binangkang (Datuk Binangkang) dan Kasiliadi. Sedang Lokongbanua III anak dari datuk Mokoduludug dengan istrinya Baunia Pinontoan.  Lokongbanua III menetap di Manganitu. Lokongbanua III dikenal sebagai ahli sastra penghiburan.


Suguli Bininta *)


Menondong pato wulaeng
Dalukang komerong intang

dari alamina menuju dunia terbuka
ahung melayarkan laksamana
ingangingang laut menemui benua
upung dellu sangiangkila menaiki naga
buat bertemu sahandarumang

mebua bou hangke
benteng beong pangiladeng

o… nulasawo
kamu anakanak laut bebas
rumahmu ombak
hidupmu arus
jalanmu bintang
kamu bininta
dibangun sejak moyangmoyang
di atas batu alasan
di atas batu tumpuang
di atas doadoa mantra kemenangan
karena hidup adalah kehormatan

dalai tuluden darong
papia pudding gahagho
soletamasole

maka tak kau ambil bukan yang kau punya
sebab yang kau punya kebaikan
rencahlah ombak
rencahlah ombak
rencahlah ombak
kiri di kanan
depan di belakang
di atas di bawah
karena pucuk itu hidupnya di akar

2008
*) Saguli adalah syair pembuatan bininta (perahu). Menurut ajaran moyang-moyang (narang) setiap bininta yang dibuat harus diberi jiwa bahagia. Karena laut adalah kehidupan yang dijaga seorang dewi Ahung, maka yang bergerak di atasnya hanyalah kehidupan. Sebab yang tanpa jiwa akan dibenamkan.  Tak ada kehidupan tanpa penyatuan kosmik manusia dengan alam (Filosofi Sasahara dan Sasalili). Sejak zaman purba Nusalawo terkenal dengan sejarah bahari yang adiluhung. Orang Nusalawo dikenal sebagai para pelaut yang berani. Ini sebabnya negeri itu memiliki kekayaan khazanah sastra bahari (sasahara) yang luar biasa. Kesaksian paling dipercaya tentang kebaharian Nusalawo diungkap Ferdinand de Magelhaes yang datang ke Nusalawo pada tahun 1521, mengisahkan dimana kerajaan-kerajaan di Nusalawo telah menjalin hubungan dengan dunia barat, Amerika dan Arab ketika itu. Kesaksian yang sama muncul seabab kemudian (Tahun 1689) oleh  Pieter Alstein dan David Haak yang mengunjungi pulau-pulau Talaud.     


Bawowo*)

buat anak kekasih… Tuhan
mubarak  doadoa
mubarak doadoa
diucap syair air mata

doa berpucuk…
doa berpucuk…Tuhan
seperti pohon berdaun
o, pohon berdaun

jangan menangis…
jangan menangis… Tuhan
keindahan takkan berbagai
nyanyian takkan mengarib

tumbuhlah tinggi
jadilah pemimpin
seperti di syairkan intan
seperti dinyanyikan intan

anak doa. anak kekasih
anak Tuhan, anak terpilih
hati kuberi, impian kuberi
bertahta harapan, bermahkota kemuliaan

2008
*) Bawowo adalah sastra dendangan buat menidurkan anak.



Kakalumpang *)

kukur kelapa terkukur hatiku
anakanak gadis melepas selendang pergi ke dapur
menunggang kakiraeng  senandungkan puisi agar cinta bersampai
perjaka datang meremas minyak menanti cinta melambailambai

berdendanglah tradisi upung tautkan cinta merindurindu
puisi berganti kerlingan,  menari di mata  meresap ke impian
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan, datanglah kasili berkahi nikah
pesta di gelar tujuh malam, pertanda berkah berkelimpahan

kakalumpang lagi dipentaskan berisi syair goda menggoda
di pelaminan raja dan ratu bersanding rasa
elok pesta diukur pantun tak habis-habisnya
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan
inang bersandung tidurkan cucunya

kakalumpang seribu tahun mengkukur hatiku
dari dongengan ibunda mengajar memerah santan
menjadi minyak memoles uniknya peradaban
pabila bulan sampai ke tanggal hitungan, kurindu istriku bersyair
  serupa inanginang:
“menyatakan cintanya senantiasa terentang”


2008

*) Kakalumpang adalah tradisi sastra lisan Nusalawo purba yang dinyanyikan saat mengukur kelapa. Musik yang mengiringi nyanyian itu adalah bunyi yang ditimbulkan saat mengukur kelapa. Berisi syair-syair kelakar (Syair nalang) yang menghibur serta syair-syair cinta yang menggoda hati. Tradisi ini dimaksudkan agar para pekerja pengukur kelapa melupakan rasa penatnya menghadapi pekerjaannya. Dalam perkembangannya Kakalumpang menjadi seni pertunjukan  di kerajaan dan kenduri di masyarakat.



Gunde *)

gemerisik berbisik bayu wewangian lima perawan
gemulai sambutan bagi tamo kerajaan
lambang kehormatan tak habishabisnya
agar negeri aman dari kutuk dan kekhilafan

gemerisik berbisik bayu wewangian tujuh perawan
gemulai sambutan bagi pengantin suci pualam
lambang kehormatan tak habis-habisnya
agar turunan terbekahi kearifan dan kecakapan

gemerisik berbisik bayu wewangian sembilan perawan
gemulai sambutan bagi datu dan para dermawan
lambang kehormatan tak habis-habisnya
agar negeri tersanjung di mata segala peradaban

tagonggong rancak beriringan sambo
bersyair pujian sembah datu dan rakyat
kehormatan diberi  hanya kepada yang terpilih
kerena sekali disujud hidup mati dihormati

2008
*) Gunde (Tarian Gunde) adalah tarian adat Nusalawo untuk  penjemputan tamu kehormatan di kerajaan. Tarian ini diiringi musik Tagonggong dan nyanyian syair sasambo. Sebagai tarian magis dan sakral, tarian Gunde  pada masa purba dan dimasa kerajaan hanya boleh ditarikan oleh para perempuan suci. Di masa lalu, para penari gunde bisa menari dalam keadaan terangkat dari atas tanah (melayang) karena kemagisan dan kesakralannya.   Tarian Gunde adalah seni tradisi yang teragung dalam sejarah seni tradisi Nusalawo.


Maselihe *)

di bawahnya pancawarna betapa dalam
kota lama tenggelam di Samansialang
menara keemasan menghujam wajah perawan
bangkitkan birahi hiuhiu penjaga gerbang kerajaan

dan air menyaput batubatu dalam dongeng perih sejarah
mengalirkan hatiku ke selatan menemui pulau
dipuncaknya putri dan Jibril bersendagurau
menatap dukaku tersangkut di pucuk bakau

di pinggang Awu itu tapaku mendaki
berkehendak menggali magma
dibalik lahar  mengering
moga empung memberi sebuah batu nyala
akan kubawa buat api bara anak cucu di pulau sana

maselihe,
hidup memang terapung terombang ambing
tapi yang muncul: munculah
       yang tumbuh: tumbuhlah
       yang terapung hidup
       yang terombangambing bercahaya

2008

*) Maselihe( Laut Berarus)  adalah sebutan lain untuk kerajaan Kendar (Kendahe-Kandahar). Di masa raja ke III kerajaan kendar bernama  Samansialang(Samsu Alam) yang memerintah pada tahun 1585-1711, Istana kerajaan kendar yang berada di tepi pantai tenggelam dan  amblas ke dalam laut bersama daratan Kendar lama akibat letusan gunung Awu pada tahun 1711 dan letusan susulan pada beberapa masa berikutnya. Dalam legenda Nusalawo, kejadian ini dipercaya sebagai hukuman para dewa Moyang tertinggi atas perbuatan dosa (Nedosa) yang dilakukan raja. Dikisahkan raja Samansialang mengawini  anaknya.  

Putri Porodisa *)
laut karang
gunung karang
cinta haram
di laut tenggelam

di atasnya mentari
di atasnya langit
di bawahnya pasang
di bawahnya surut

angin  berkabar
Woi merindu Wando datang dari abadabad

anak laut pun bernyanyi:
upungupung baroa
anggile uwae
wae i pa ura
i pandamu ghati

seekor bangau menatap dengan ibah:
sio rotowe
tuarinu edoi we

ribuan tahun lewat  Wando baru tiba
ia gaib  pelangi diselip badai sesudah hujan
bukit manongga matanya kelana
rengkuh gunung puncak tiga
menanti kora gedang
dikayu, dipukul seribu hulubalang porodisa

terangkailah wangi lawa  seribu bintang
andai kau tak bimbang, biar kusuntingkan
sebelum malam sembunyikan  kecantikan
engkau  menantiku dalam  setiap detakkan

ribuan tahun tiga wowon membelukar binatang liar
karang matahari masih serupa kawan
jumpa pagi pisah senja
lama menanti ribuan bayang  mati
putri menyepi pulau odi tak bersua Wando
rindu setengah mati

alkisah ini biarlah tutup sampai di sini !
o… jangan! kata perempuan  dari waktu lain
cintaku tak perlu bertukar seribu planit
seribu  tahun tapa apa guna tak bersua kekasih disayang

“perjaka memilih menghilang
daripada cinta bertukar tapi adat tak kenan”

saat cerita itu sampai putri tak jua putus asa
dari seutas rambut dibentangkan jembatan pulau odi
siapa tahu, seribu tahun lagi
dari seribu bintang Wando  datang kembali
merangkai lawa buat cinta abadi
“serupa karang mentari 
dua kawan setia berbagi”

2008

*) Legenda Pohon Lawa (pohon mistik, yang berbau wangi, berbunga uang, berdaun kain, berbatang emas, berakar tembaga). Lenggenda purba ini mengisahkan seorang putri Talaud (Porodisa) yang jatuh cinta pada seorang dewa (Wando) penjaga pohon lawa yang bertumbuh di bukit Manongga pulau Kakorotan. Karena cinta itu melawan adat, maka Wando dan pohon lawa lenyap. Sementara putri dihukum dibenamkan ke laut. Di dalam laut ia membangun sebuah kota bernama Odi. Hingga kini masyarakat Kakorotan pada masa air surut bisa melihat ada jalan dari daratan menuju kota Odi di dalam laut. Beberapa tetua di tempat itu pernah melakukan perjalanan mistis ke negeri Odi dan berjumpa dengan putri. Kota Odi adalah tempat putri menanti Wando menjemputnya kembali.
   
Pahawo  Suluge*)

di Kanang gadis cantik lama tak berkabar
sejak ibu melayang ke khayangan
ayah pun (stresssssss buanget) terusterusan negak sipa
(katanya sih, babe) mau bunuh khayalan
kecantikan ibu terbayangbayang
andai ayah patuh aturan
bulu ayam tak perlu dibakar bersama hutan
karena hati selalu butuh pujian
semenamena ia buat kekejian
ketika ibu  diangkat awan
menangis ayah kehilangan putri khayangan (sedih de gue)
aku bertanya pada cendawan kemana jalan menuju khayangan
katanya harus aku manjat tali hutan lewati awan tujuh lapisan
berangkatlah aku ke negeri awan dipandu lalat dewa dermawan
akhirnya (wah seneng buanget)
berjumpa ibunda tersayang
netek padanya selama tujuh malam
tapi ayah tak tahan ujian (nih bacot lagi khan)
berdusta ia pada Ghenggona
Ghenggona tau segala isi hati ciptaan
hukuman kembali ditimpahkan dilempar kami ke negeri buangan

(Sebagai catatan kaki: negeri buangan itu kota Manado
Kami jadi kaki lima di sekitar pasar empat lima
Itu orangorang yang digusur itu
Menggenaskan dikenang)

sedang di Kanang gadis cantik sudah lama tak berkabar
betapa rindu aku pulang  meraih selendang di  pemandian
menangkap satu bidadari  bertandang
dan aku takkan membakar hutan 
biar cintaku tak melayang terbang

2008

*) Legenda kulano Tua Sengse Madunde dari Siaw yang mengawini putri khayangan yang di tangkapnya saat mandi di air sembilan (Ake Siow). Dari perkawinan mereka mendapatkan seorang putra yang diberinama Pahawo. Karena Madunde lupa terhadap larangan membakar bulu ayam. Suatu ketika ia menyapu halaman dan membakar rumput terbakarlah bulu ayam yang asapnya mengangkat istrinya kembali ke khayangan. Pahawo yang terus menangis mencari ibunya menimbulkan ibah seekor lalat, maka ditutuntunlah mereka ke kayangan dengan memanjat tali hutan. Sesampai dikhayangan dan berjumpa dengan istrinya, Madunde kembali melakukan kesalahan yakni berdusta pada dewa. Maka mereka di lempar dewa ke bumi dan jatuh di pulau Sulu. Ini sebabya nama Pahawo (jatuh) di tambah Sulughe (pulau suluh) yang artinya orang yang jatuh di pulau Suluh.

Watahi Maemuna*)
pucukpucuk api
nyalakan cinta puncak tinggi
tercurah lidalida lava membara
merengkuh laut menjadi kabut hujan
dahan-dahan pala
karangetang seperti paporong kemegahan
dalam hikayathikayat cinta kedatuan;

dan kora Tabukan bersinggah di siaw
dikawal bininta pasukan datuk
itu armada Delero sepulang menjemput Maemuna
putri Tabukan yang berubah telur
buat menolak tipuan cinta sultan Maluku

o, memandang negeri elok  subur, e
e, Maimuna berkenan mandi di pancuran datuk, o
dari gunung air memancur
mendinginkan hati Maemuna  sedang hancur

cantik  wangi tubuh putri berjiwa luhur
luluhkan hati Watahi diraja Siaw
dilempar cincin titah cinta leluhur
tersanjung Maemuna bersedia hidup sekamar sedapur

Dalero senang adiknya dipinang raja Siaw

Tidak ada komentar:

Posting Komentar