Rabu, 28 September 2011

MAJELIS BADUT BIRU PIRUS (Cerpen Iverdixon Tinungki))

Angela, bukan malaikat. Tapi, kecantikannya sempurna. Kulitnya putih natural. Layaknya kulit gadis-gadis tanah Minahasa. Sesungguhnya tak perlu bedak pemutih atau lulur. Sebab, kulitnya lebih putih dari semua bahan pemutih.
Suatu ketika, pada umur belasan tahun, Angela melintas di pematang sawa milik ayahnya yang baru di tanam, dan masih digenangi air. Bayangan betisnya tampak merayap seperti ikan leleh putih menyelam ke dasar sawah yang masih penuh lumpur. Pada ketika yang lain saat umurnya masih juga belasan tahun, Angela ikut lomba pancing di pinggir danau Tondano. Angin danau yang memainkan anak-anak rambut Angela, kadang-kadang mengebas kuat hingga rambut berwarna mayang jagung itu pias ke belakang, dan lesung pipinya terlihat seperti telaga kecil yang memancar eneka rona. Mata Angela, teduh. Hidungnya meruncing seindah lekuk kelopak pinang yang sedang hamil bakal buah. Menjuntai ke depan seperti mau mengatakan ia bisa menangkap harum bauh segala bunga di tanah Minahasa. Badannya semampai dan montok. Ketika berjalan di bawah sinar purnama di pinggir danau, Angela, seperti salah satu dari bidadari sembilan dalam cerita dongeng Minahasa yang menggoda Mamanua, lelaki yang beruntung mencuri baju sang bidadari.
Kecantikan dirinya itu, benar-benar disadari Angela. Dan ia memelihara kecantikan itu sekuat-kuatnya. Dengan segala cara. Sebelumnya, dengan cara tradisional. Kini, dengan cara modern. Sejak terpilih sebagai none Kampus semasa ia kuliah di Manado, Angela, sudah meninggalkan tradisi mandi bunga dan daun Siri. Semasah kuliah itu Angela, telah mengantongi beberap kartu members dari beberapa salon terkemuka dan studio kebugaran yang memang mulai menjamur di Manado.
Modal kecantikan itu ternyata membawa berkah. Laiknya barang bertuah. Angela tidak perlu uring-uringan cari kerja. Semasa kuliah, tawaran kerja dan magang sana-sini silih berdatangan. Bahkan beberapa direktur perusahaan dari yang bonafid hingga yang kelas teri lokal langsung turun gunung, ikut berlombah mendapatkan Angela, dengan berbagai cara. Ada yang berani bayar gaji tinggi asal Angela mau bekerja sebagai sekretaris pribadi. Ada yang menawar gaji buta asal Angela mau bergabung di perusahaannya biar tak perlu sama sekali bekerja. Anak gadis petani kecil yang mengarap lahan sawah itupun kebanjiran rejeki. Dengan modal kecantikan ia pikir menyelesaikan kuliah tak perlu lagi. Baru semester empat Anjela akhirnya meninggalkan Fakultas ekonomi di mana ia selama ini menimba ilmu.

***
Sebelum menjadi anggota Majelis Badut, di negeri Nyiur Meliuk ia sempat berprofesi laiknya Evita Peron. Archimedik confius-nya jauh di bawah cumlaude. Artinya, isi kepalanya pas-pasanlah untuk ukuran Majelis Badut negara dunia ketiga.
Karir politiknya bermula dari gaun biru pirus yang setia dikenakannya sebagai satu-satunya koleksi di atas harga 20 US$ di almari kamarnya. Gaun ini membuat ia jelita di mata Beto, ketua partai Binatang Kuat. Gaun itu dibeli dari duit cukong judi buntut yang menidurinya seminggu.
Malam itu hujan rintik diselingi angin pantai menggelitik kuduk. Beto dan Angela, pendeknya, melaksanakan ritus primata di sebuah hotel pinggir pantai. Keduanya asyik-masyuk melupakan bini dan laki masing-masing. Enak gila!
Pas ejakulasi, Beto berbisik, “Kau kujamin dilantik.” Engela, menggayung pinggangnya kian cepat dalam himpitan Beto dan melepas ovumnya. “Takkan hamil. Spermatosoidku di kondom,” bisik Beto. “Hamilpun aku berani,” rengek Angela sambil meremas (maaf) penis Beto yang sudah ringsek. “Jangan! Kau harus jadi majelis. Tapi, jangan lupa aku,” kata Beto, sambil menyeka keringatnya di wajah dan tubuh tuanya.
Benar! Pelepasan ovum itu tidak sia-sia. Angela akhirnya dilantik jadi Majelis Badut. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, hubungan intim Angela dan suaminya tetap harmonis. Tapi, sebagai kewajiban, ia harus membagi ovum dengan Beto. Ritual itu terus terjadi, dan sudah menjadi rahasia umum orang partai binatang kuat.
Sebagai wakil rakyat, Angela tampil juga sebagaimana mestinya anggota majelis badut. Ia tiba-tiba bisa bicara kritis di berbagai media massa. Rakyat Nyiur Meliuk yang memang lagi neurosis menurut analisis psycoanalisa humanistik-nya Freud mulai percaya, meski semua itu hanya lips service-nya Angela. “Angela boleh juga!” ujar orang-orang partai. “Tidak semata modal lendir,” ujar yang lainnya.
“Katanya majelis badut akan memperjuangkan perbaikan fasilitas publik. Nyatanya pelayanan dan fasilitas publik bobrok semua,” omel salah seorang warga. “Omong kritis itu kan cuma trik cari duitnya para mejelis badut,” jelas temannya.
“Jadi majelis badut itu memang badut beneran?”
“Kita kan negeri dengan kultur badut, jadi ya pemimpin kita juga badut, wakil-wakil rakyat kita juga badut.”
“Gila! Kayak negeri dongeng aja.”
Di rumah, Angela memeluk suaminya. Suaminya membelainya. “Apakah kamu masih cinta saya?” tanya Angela pada suaminya. Suaminya tidak menjawab, tapi mencium Angela dengan nikmat sambil membayangkan wajah salah seorang perempuan di PUB yang menjadi langganan setianya. “Aku sayang kamu,” bisik Dendi suaminya pada bayangan itu.
Malaikat pencatat salah dan dosa manusia yang lagi nonton kejadian itu di televisi monitor di ruangannya tersipu-sipu menyaksikan kejadian itu. “Dasar badut!” serunya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar