Senin, 26 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (6)


“Kau mau membunuh seseorang?”
“Penghianat perjuangan itu harus diakhiri,” katanya dengan suara cukup bergetar. Kuserahkan senjataku padanya. “Aku minta kau hati-hati. Apalagi kakimu yang pincang itu,” pesanku.
Setelah agak dekat, ternyata lampu itu dari sebuah gubuk yang tidak begitu besar. Kira-kira lima puluh meter dari gubuk itu, ia memintah kami berhenti. “Kalian berjaga-jaga di sini saja,” katanya.
Dengan kakinya yang terseok ia terlihat mengendap-endap mendekati gubuk itu. Beberapa saat kemudian, terdengar letusan senjata dua kali menggetarkan pagi yang mulai membuka dirinya itu.
Lelaki tua kembali kulihat berjalan menuju kami. Setelah sampai, “tugasku sudah usai,” katanya.
“”Mengapa dua kali menembak?” tanyaku.
“Ia dan kekasih gelapnya yang juga kaki tangannya,” kata pak tua.
Setelah mengembalikan senjataku, kami kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

***
Dian memekik,. “kak Yulin bilang, ia akan mengajakku melihat Holly Wood. bertemu bintang-bintang film ternama.” Dian kemudian memperlihatkan surat yang baru diterimanya dari Yulin. Meria juga muncul di sana dengan segelas kopi dan meletakkannya di meja kecil dekat kursiku. Hari ini aku agak capek sepulang mengantar penyair tua ke Davao. Si tua itu hanya menginap tiga hari di rumahku, kemudian minta permisi kembali dengan tugasnya di Davao. 
Melihat aku belum bereaksi, anak itu kemudian merengek minta dukungan ibunya. Ibunya yang sudah terbakar rindu tentu mengiyakannya. Mereka bagai dua sekutu yang paling siap menghempaskan keinginanku ke Talaud. Aku tak lagi bisa menolak, meski aku sudah janji pada family di Beo untuk mengunjungi mereka pada kesempatan pertama. 
“Ok, kalian tidak tahu, semuanya sudah papa urus. Lusa kita berangkat!” kataku memberi surprise. Dian dengan cepat melompat-lompat girang.
Memang sudah sejak dua pekan lalu aku meminta bantuan kawanku di biro perjalanan untuk mengurus segala sesuatunya untuk keberangkatan kami ke California. Dan kemarin aku sudah dapat kabar dimana semua persuratan yang dibutuhkan sudah selesai. Soal pasport juga tidak masalah. Pihak keimigrasian katanya bisa disogok.
Waktu yang tinggal dua hari kupergunakan untuk mengatur pengalihan sementara tugasku sebagai mandor kepada seorang pembantuku yang sangat kupercaya. Akupun meminta dia untuk menjaga rumah selama kami di California.
Sekitar bulan April, kami bertolak ke California. Tak ada bayangan suram lagi di mata kedua anakku. Monic, tupai kecil yang kini sudah seperti kucing milik Yulin yang diperlihara Dian dan Herkanus juga disiapkan untuk ikut menjelajah dunia. Mereka lupa bahwa hewan manis itu habitatnya di khatulistiwa, apakah sanggup ia menahan dingin Amerika. Tapi aku tak melarang, meski aku tahu Monic tak akan lolos berangkat, sebab akan sulit bagi Monic melewati sensor petugas dari badan perlindungan satwa di Bandar udara. Dan Monic sudah pasti nasibnya akan berada dikarantina selama menunggu kami pulang, dan menjemputnya lagi. 
Mereka gembira, dan menggebuh-gebuh  ingin segera melihat kakaknya, tapi dalam otak kedua anak itu yang terpenting adalah justru melihat Amerika. Meria, malahan matanya telah berkilat-kilat berhari-hari setelah aku mengiyahkan keinginan mereka. Bukan saja karena kerinduan alamiah seorang calon nenek yang selalu bergegas-gegas ingin bertanya; Apakah aku bakal segera punya cucu?
“Siapa tahu Yulin sudah hamil. Aku harus mendengar kabar itu yang pertama kali,” semburnya. Meski aku sendiri menyimpan keinginan yang sama apinya dengan istriku itu, tapi Meria adalah seorang ibu. Ibu yang secara alamiah ingin menemukan situasi anak perempuannya yang mampu memasuki ritus alamiah seorang perempuan, yakni seorang perempuan yang berhasil menjalani ritus melahirkan seorang anak. Aku sendiri lebih digelitik lolucon tentang sosok cucuku yang mungkin sama sekali tak mecerminkan identitas diriku sebagai manusia timur lengkap dengan asesoris pigmen hitam dan kultur sopan santun yang kadang-kadang terperosok menjadi inferior sindroma. Dalam bayanganku, cucuku bukankah berpotensi lahir seperti seorang santa claus. Putih dan babar. Dan jika anak itu apabila dijumpakan dengan sederet leluhurnya di Talaud, menjadi semacam sumber ketakutan. Bukankah manusia putih telah mentakdirkan mitenya yang selalu bermakna penjajah? Ware-ware! Selama 350 tahun kaum kulit putih datang mengambil apa-apa yang menjadi milik kaum kulit sawo matang di negeri kami. Bukankah itu cukup menjadi mite bahwa putih selalu pigmen dari penindas? Mereka kaya karena telah memiskinkan orang-orang di belahan benua-benua lainnya. Semoga bumi di abad-abad depan menjadi singgasana generasi yang memuliakan kejujuran, bisikku pada diri sendiri
Herkanus dan Dian adiknya, tampaknya seperti kebun bunga yang sedang dalam musim semi. Hati mereka teramat riang menyambut undangan kakaknya dari California. Ini bukan sekedar perjalanan liburan. Tapi petualangan menuju negeri yang selama ini hanya dijumpai dalam lirik lagu-lagu hits di pasar Filipina. Entah apa yang dipikirkan Herkanus. Anak lelaki yang lebih lekat dengan sifat tradisional itu juga menunjukan keriangan yang berlebih saat menyebut Amerika. Apakah betul, Amerika telah berhasil menyihir intuisi kawula muda sebagai negeri tujuan akhir dari suatu kebanggaan menjadi manusia.
“Aku merasa sangat mulia bila menjadi warga Amerika,” ujar Herkanus.
“Apakah karena negeri itu memiliki cerita indah tentang keju dan daging renyah? Apakah karena negerimu sendiri hanya punya bete dan panggi?” tanyaku. Herkanus terbahak.
“Bukan itu. Bukan itu penyebabnya,” potong Herkanus.
“Karena di Amerika tak ada orang bodoh kata kakak,” sahut Dian.
“Amerika menghancurkan Jepang dengan bom atom. Ribuan orang mati di Hirosima dan Nagasaki. Kedua kota itu menjadi kota hantu dengan bau mayat busuk di segenap langitnya. Apakah semua itu bagian dari kecerdasan Amerika?,” tanyaku. Herkanus tertunduk. Setelah berapa saat ia berusaha menatapku. Ia mungkin sedang membayangkan apa yang ada di otak lelaki separoh usia dengan dagu yang keras di depannya itu.
“Tak perlu menjawab nak,” selahku, “manusia lebih butuh kearifan dibanding kecerdasan. Tapi, bawalah mimpi-mimpi kalian ke sana, ke negeri paling demokratis namun janganlah ikut menghalalkan penghancuran,” tegasku lagi. Semuanya memang harus kutegaskan sejak awal, sebelum anak-anakku menjadi manusia yang tak punya tanah air. Tanah air yang mengilhami gagasan-gagasan mereka menjadi munusia.
Dengan menumpangi pesawat milik maskapai penerbangan Filipiness Air Lines. Pesawat jenis Air Bus itu, dengan cepat mengantar kami ke Los Angeles, setelah singga di sebuah bandar udara yang lain. Di bandar udara, Jack Dagos Jr. dan Yulin telah menanti. Udara dingin langsung menyergap ketika kami turun dari pesawat, padahal aku telah mengenakan jas wol yang tebal. Upacara peluk-pelukan gaya Asia berlangsung sesaat, menandahkan betapa kami semua saling merindukan.
“Monic, tidak bisa serta. Ia ditahan di bandar udara. Sayang ya, ia tidak bisa lihat kakak,” kata Dian bersungut. Yulin tertawa merasa kasihan melihan kesedihan adiknya. Ia dengan gemas mencubit pipi Dian sambil berkata, “masuk Amerika tak muda bagi Monic. Kita harus menyiapkan habitatnya dulu di sini. Dan itu mahal. Kalau tidak, Amerika tak berkenan ada binatang menemui ajalnya dengan sia-sia di Amerika.” Setelah berkata begitu dia mengandeng ibu dan adiknya ke mobil. Sementara Herkanus lebih memilih mendempeti Jack.
Pada hari itu, kami tidak langsung, ke Fentura, ke villa milik keluarga Dagos, yang menjadi tujuan kami diundang berlibur. Jack menyarankan kami menginap semalam dulu di Hilton Hills Los Angeles. Betapa megahnya hotel itu. Kubah dan interior yang artistik memperlabangkan situs kemegahan modernisasi Amerika. Tiba-tiba kata-kata menjadi sangat sedikit di sini untuk mampu mengambarkan karya budaya orang-orang di negeri ladang ilmu pengetahuan itu. Talumisi tidak berkicau dari reranting pohon di hutan basah yang hijau. Di Amerika, nyanyian burung-burung terdengar semerdu suling tapi kuluar dari seperangkat alat canggih lengkap dengan detektor dan mikrochips.
Melihat Amerika, aku ingat Jepang. Pernah sekali waktu di pekan pertama bulan Mei 1971, aku berkunjung kebeberapa prefektur di Jepang dengan Dagos Argava. Itu perjalanan yang menyenangkan. Dan aku haruslah menyebut Jepang sebagai raksasa Asia yang berhasil merangkum yang tradisional dan yang moderen hingga menjadi Jepang yang eksotis. Tapi Amerika bagaimana pun harus disanjung sebagai menara kemajuan dunia tehnologi.
Di sepanjang jalan dari bandar udara menuju  hotel, aku dan juga semuanya sedemikian takjub melihat kota yang sedemikian modern. Jalan-jalan yang lebar dan bertingkat. Terowongan dalam tanah untuk kereta listrik. Gedung-gedung besar seperti raksasa yang lagi tegap memikul langit dengan angkuh.
California bagiku adalah sebuah negeri yang berasal dari dongengan ibuku. Sebuah kota dengan para peri dan pangeran yang gagah dan cantik-cantik. Dan inilah pengalaman itu. Pengalaman yang tak perlu mengusik kecintaanku pada bau becek di kampung-kampung tanah Porodisa di Talaud sana. Wajah-wajah sederhana orang-orang yang terpanggang matahari menjijing bika berisi panggi dan uwi.  Tapi, bagaimanapun aku berharap, pengalaman ini menjadi guru bagi anak-anakku. Bahwa Amerika adalah sebuah bangsa yang mampu mewujudkan mitos dari semua impian mereka menjadi manusia yang berkelas diantara bangsa-bangsa.
“Kamu harus bisa mengubah tanah becek menjadi ladang yang subur dan hijau, Lahan tandus menjadi kebun nan gembur, agar kamu pula menjadi bangsa yang dihormati di tengah bangsa-bangsa,” ujarku pada Herkanus dan Dian. “Sebab hanya bangsa yang bisa memancarkan kemakmuran bagi rakyatnya yang bisa menjadi negeri impian,” tegasku lagi.
“Papa terlalu perfect melihat Amerika. Amerika juga seperti bangsa kita, punya kelebihan dan kekurangannya. Disini yang lebih hanya kerena manusia dihargai menurut hak kemanusiaannya. Setiap warga negara menjadi sama di mata hukum. Kebebasan yang diberikan sepenuhnya justru menjadi tali pengekang yang kuat untuk kami bisa menjaga hak antar pribadi,” potong Yulin.
“Sudalah. Ini urusan diskusi seorang ayah dengan adik-adikmu. Dan kau sendiri tak tahu bab lain dalam diskusi-diskusi kami sebelumnya,” tampikku. Yulin tersenyum. “Aku juga masih tetap anak papa kan?” Aku mengangguk. Limosin hitam yang mengangkut kami melaju kencang, dikendarai seorang negro.
 Aku melihat istriku begitu gembira. Ia tampak tak henti-henti bercakap dengan Yulin mengunakan bahasa Talaud yang terdengar mulai sengau. “Tuhan, beginikah kau mengubah kami, dengan riwayat-riwayat yang tak pernah terbayangkan?” gumamku dalam hati karena ketertakjuban ini.
            Di hotel, kami mendapatkan kamar masing-masing, satunya untuk aku dan istriku dan satu lagi yang bersebelahan dengan kamar kami untuk anak lelakiku. Sedangkan anak perempuanku yang bungsu, yang  mulai remaja, menempati kamar bersama Yulin kakaknya. Jack Dagos, menantuku kebetulan katanya, punya urusan di San Diego, jadi hari itu, ia harus terbang ke sana.
Meski banyak orang kegerahan, tapi aku lebih memilih menyalakan hite eater dan fire place di kamar. Spring times tetap terlalu dingin buat orang-orang khatulistiwa.  Tak pernah kubayangkan bagaimana jika winter times, orang-orang pasti seperti dalam film-film natal bersalju mengenakan jaket panjang dan topi berbulu, dan membuat sekat di mulut serta hidungnya yang mengingatkanku akan para pembuat Sagu di Sangir yang sedang menakule yang kadang mengenakan karung untuk menutup tubuhnya di subuh yang menggigil.  
            Setelah istirahat sejenak, mandi dan berganti pakaian, sesudah makan kami diajak Yulin berkeliling kota Los Engeles. Kami mendatangi beberapa park yang megah dan asri. Yosemite dan Giant Forest sangat mengesankan, lalu berbelanja di oriental market. Di tempat itulah  keperluan bahan makanan orang-orang Asia tersedia. Sedang di tempat lainnya di luar Los Engeles, sangat sulit ditemukan super market yang menjual kebutuhan orang Asia. Aku begitu terperangah ketika Yulin menceritakan kalau harga seikat kangkung di California sekitar Rp. 5 ribu hingga Rp. 7500, jika dihitung dalam kurs rupiah. Ku bayangkan kalau membelinya di Satal, itu bisa membayar satu telaga kangkung.
            Sehari di Los Enggeles, telah menghadirkan banyak kesan menarik. Ketakjuban itu telah membuat aku harus mengisahkannya lewat surat kepada Yansen temanku di Ganalo, Karakelang. Mereka butuh kisah-kisah pembanding kehidupan semacam ini. Mungkin akan menjadi kenangan tentang sebuah dunia lain yang memiliki kisah sendiri dari dunia  tempat kami di lahirkan. Sebuah kawasan hutan yang sunyi dengan hantu-hantu di malam hari, dan babi-babi hutan yang ganas. Buaya-buaya mistik yang tetap siaga memangsa seorang pencuri ayam atau para pesundal ketika melewati andaara. Dunia ini memang begitu luas, dan tak terkirakan. Bagaimana pun suatu teknologi yang termodern selalu tak kuasa mengungkap dunia. Dunia selalu tak terbatas, dan tak terbahasakan. Sebab di balik dunia, selalu ada dunia lain yang berkembang dalam proses dan kebaruan-kebaruannya.

            Sepekan di Fentura, aku sudah bisa menyesuaikan diri dengan kota itu. Saat ini, lagi musim semi. Pemandangan bunga-bunga indah di beberapa park sangat mengesankan. Beberapa anak muda, berpasang-pasangan berciuman di sana. Suatu perbuatan yang tabuh bagi ukuran moral di desaku. Jika perbuatan itu dilakukan secara terbuka di desa kami, mereka akan dilampari batu seperti melempari anjing gila tanpa tuan. Namun di Amerika, seperti kata Yulin, berciuman itu suatu ekspresi yang manusiawi. Katanya setiap manusia punya privasi untuk melakukan itu di mana saja dan di tempat mana saja di Amerika Serikat. 
Yulin makin tampak dewasa dan cantik. Ia mulai kehilangan garis-garis kultur leluhurnya, kecuali bahasa yang sudah sedemikian melekat di otaknya. Sikapnya telah berubah menjadi perempuan Amerika. Terbuka, polos, praktis dan efisien dalam segala hal. Ini baru kesanku ketika sepekan tinggal di Villa mereka yang tak jauh dari Gereja Aplan Indonesia.
 Namun perasaan hormatnya kepadaku dan istriku tak jua luntur. Masih seperti kemarin, ketika ia kami besarkan.
Yulin nampak riang, setiap kali mengajak kami jalan-jalan menikmati  spring times. Ini mungkin ekspresi aslinya karena ia sudah sangat merindukan berdekatan langsung dengan keluarganya. Adik bungsunya, Dian, didandaninya laiknya remaja Amerika. Mengenakan blue jeans, dengan kaos kuning ketat yang mencolok. “Betapa cantiknya anakku,” pujiku dalam hati melihat Dian.
Anakku laki-laki, ia agak lain. Ia lebih suka mengenakan mantel panjang, untuk menutupi tubuhnya. Herkanus, memang mewarisi sikapku yang keras, dan tak banyak maunya. Sebagai seorang pemuda ia termasuk cukup tampan. Tubuhnya kekar dan atletis. Di umur 16 tahun ia sudah begitu tinggi hampir menyamaiku. Di sekolahnya di Cotabato, ia tergabung dalam tim basket ball.
Seorang gadis, yang masih keluarga dekat menantuku, kelihatan suka mengoda Herkanus. Gadis remaja Amerika itu, tak segan-segam mengajak Herkanus, ke beberapa park dan ke diskotik di disekitar Fentura. Hubungan mereka kian hari tampaknya kian dekat.
Broke, nama gadis cantik seperti boneka itu. Ia seperti juga remaja Amerika, memiliki ekspresi sendiri dalam menerjemahkan cintanya pada Herkanus. Ia tak segan-segan menciumi Herkanus di depan kami. Hingga pada suatu malam, aku memergoki, anak lelakiku itu berseranjang dengan kawan Amerika-nya. Herkanus, agak malu melihatku. Tapi gadis remaja itu biasa saja. Tidak ada ekspresi apa-apa, malah ia melemparkan senyumnya yang khas Amerika kepadaku. Aku memang sulit memahami makna kebebasan ala Amerika. Apalagi dalam urusan kebebasan seks. Tapi aku tahu, mereka sudah saling jatuh cinta. Herkanus memilih berjalan bersama Broke, kekasihnya selama di California. Aku dan istriku serta si bungsu Dian lebih percaya di antar Yulin bertemu keluarga-keluarga asal Satal di sana. Beberapa kali kami diundang makan keluarga David dari Siau yang sudah lama menetap di Fentura. Selain itu aku bertemu beberapa mahasiswa kedokteran asal Sangir yang kuliah di Lomalinda University atas bantuan misi gereja Advent. Banyak tempat yang kami kunjungi, seperti  Universal Studio, yang merupakan pabriknya film-film dunia. Melihat dari dekat artis Merilyn Monroe di sekitar Holly Wood Boulevard. Berfoto di Golden Gate, jembatan raksasa yang panjang. Melihat jembatan itu, aku membayangkan kalau di suatu saat nanti pulau-pulau di Satal akan dihubungkan jembatan seperti ini, betapa menajubkan.

             Kepadaku dan ibunya, Yulin banyak bercerita tentang kemajuan usaha perhotelan mereka yang dibangun di Las Vegas dan di San Diego. Namun aku merasa aneh, ketika pada suatu malam mendengar percakapan menantuku dengan beberapa tamunya. Percakapan itu terdengar amat rahasia. Insting pemburuku mengatakan, menantuku itu terlibat serentetan pembunuhan misterius. Ada kemungkinan ia terlibat dalam suatu organisasi mafia yang sangat rahasia.
Selama di rumah anakku, aku banyak menyempatkan diri menonton film-film produksi Amerika yang bercerita tentang para koboi di Texas, dan film action tentang kegiatan organisasi-organisasi mafia. Percakapan menantuku dengan beberapa temannya itu seperti menyebut-nyebut beberapa target pembunuhan. Apakah Jack juga terlibat dalam bisnis senjata seperti yang dilakukan ayahnya? Ah… kutepis pikiran buruk itu. Meski aku kasihan membayangkan nasib Yulin jika suaminya terlibat bisnis ilegal dan berbahaya. Ia akan menjadi target buruan para penegak hukum. Dan yang paling menyakitkan jika membayangkan anakku ikut menjadi sasaran kelompok-kelompok dalam persaingan bisnis gelap mereka. Aku pernah melihat bagaimana menderitanya Sandiana, istri Dagos Tua, ketika punggunya robek diterjang peluru pada sebuah pesta di Manila. Penembakan tersebut  dilakukan kelompok-kelompok kontra bisnisnya. Sandiana, wanita berbudi luhur itu harus terkapar tanpa daya di rumah sakit Manila. Untung Tuhan masih memperpanjang umurnya. Tak dapat ku bayangkan jika kejadian  yang sama menimpa Yulin. Pasti ia akan sangat menderita.
            “Aku mencurigai menantu kita itu bisnis senjata!” kataku  pada Meria pada suatu malam.
            “Jangan mengada-ada. Kita berharap saja tidak seperti itu,” tampik istriku. Suatu sikap pasrah yang datang dari rahim kultur Timur. Harapan yang selalu disandarkan pada sesuatu tanpa mempertimbangkan aspek rasionalnya.  Untuk tidak mengganggu ketenangan istriku, aku tak kuasa lagi mendiskusikan kecurigaanku itu lebih panjang.
            Jack menantuku, lelaki gagah dengan sinar mata biru, yang kukira memancarkan sikap yang baik. Seperti ayahnya, ia memiliki tubuh atletis dengan rambut coklat yang terawat.  Ia meminta maaf karena tak bisa menemani kami lama-lama selama liburan. Katanya, ia punya banyak perkerjaan mengurus bisnisnya. Namun setiap sepekan ia selalu pulang sekitar dua kali ke Fentura untuk menemui kami. Pertemuan itu selalu berlangsung singkat. Jack kelihatan selalu terburu-buru, atau lebih terkesan berhati-hati. Kedatangannya selalu dikawal 3 lelaki bertubuh kekar yang bersenjata. Mereka bertiga tampak siaga di luar rumah, jika Jack bersama kami. Jack memang pandai menyembunyikan masalah yang bersikutat di otaknya. Tapi sebagai ayah, aku bisa membaca kegelisahan di mata biru menantuku ini. Ada sesuatu yang sangat rahasia dan menakutkan tersimpan di sana.
***
(13)
            Musim semi di California sungguh menyenangkan, bunga-bunga di taman yang terletak di seputar Villa keluarga Dagos yang kini di warisi menantuku, tampak terawat dengan baik. Beberapa tukang kebun sekali dalam setiap pekan akan menata tanaman-tanaman itu. Bagunan villa ini kata seorang tukan kebun kepadaku merupakan bentuk villa abad pertengahan. Ada sentuhan corak kotak-kotak yang mereka bilang gaya kubisme pada penataan interiornya. Di beberapa dinding dan pilar terdapat ukiran dan relief meniru karya-karya para pematung dari Roma. Lukisan- para pelukis Amerika menghiasi beberapa sudut dinding. Lukisan itu konon di beli keluarga Dagos pada pameran gudang senjata seabad lalu.
            Seni memang sesuatu yang berharga di Amerika. Seharga kehidupan itu sendiri. Di kampungku, seni adalah ritual. Setiap kegiatan ritual untuk menghormati roh-roh leluhur serta roh-roh sakti di dalam alam, selalu diantar oleh seni budaya mistis. Karya seni seperti lukisan  tidak ada harganya. Malahan para pembuat lukisan itu suka dituduh sebagai penganggur, tidak ada pekerjaan. Menyanyi, hanya berguna kalau di gereja. Selebihnya menghibur orang yang sedang ditimpah duka kematian, atau yang punya hajatan perkawinan dan ulang tahun, sambil meneguk Cap Tikus dan Sipa.

            Dering telpon di subuh itu tiba-tiba membuat seisi rumah menjadi tegang. Meria, dan ketiga anakku sudah di ruang keluarga ketika aku muncul di sana. Mereka duduk di sofa dengan wajah gelisah.  Aku masih membasuh muka ketika Meria berteriak memanggilku. Sambil mengeringkan air di mukaku dengan tangan aku mendekati mereka. Yulin, anak itu terlihat teramat tegang. Wajah pucat pasih dengan nafas sedikit tersengal. Dengan cepat pikiranku berkelebat mengira-ngira jangan-jangan kecurigaanku itu benar. Sebab, sejak di Cotabato bulan-bulan terakhir aku seperti merasakan keanehan-keanehan dan beberapa kali didatangi mimpi buruk di kejar awan hitam dengan sinar merah yang aneh. Tapi sungguh aku memahami ini lebih merupakan tarikan dari kekuatan kutuk dari seberang dunia yang jauh di Timur sana. Waktu liburan kami sebenarnya masih panjang sampai akhir musim semi. Tapi secara mendadak pagi itu Yulin meminta kami untuk segera pulang. Aku heran melihat air muka Yulin yang aneh. Ia amat ketakutan.
            “Apa yang terjadi hingga kau menyuruh kami pulang secepat ini. Apakah kau sudah bosan dengan kami?” tanyaku sambil berharap persoalan yang dihadapi anakku bukan seperti yang kuperkirakan.
            Yulin memeluk ibunya. Ia mulai terseduh. Suasana sunyi mencekam beberapa saat, kecuali suara tangisan Yulin yang memerihkan. “Jack tertembak!”  kata Yulin sesaat kemudian sambil menarik nafasnya yang terdengar berat. Mendengar itu Meria agak shock, tubuhnya oleng. Herkanus dengan cepat memeluk ibunya dan menenangkannya. Sementara itu, bayangan kegelapan langsung menyergapku. Dian dengan cepat berkelebat mengambil air putih untuk mamanya, dan meminumkannya. “Kasihan anakku,” desisku dalam hati. Kuingat awan kutukan itu. Awan hitam yang menempel di langit di kepulauan kami. Apakah kutukan itu terus memburu kami hingga ke negeri asing?
            “Di mana dia sekarang?” tanya Meria setelah ia agak kuat.
            “Diamankan di San Diego mama!” jawab Yulin.
            “Mengapa dia kena tembak?” tanyaku.
            “Itu resiko dari pekerjaannya. Pekerjaannya memang sangat rahasia dan berbahaya,” papar Yulin dengan nada yang terdengar pahit.
            “Apakah ia ikut bisnis ayahnya memasok senjata gelap ke pasar teroris?” kejarku.
            Yulin mengangguk. “Berarti kau juga dalam bahaya anakku!” kataku dengan perasaan sedih dan was-was.
            Yulin mendekatiku dan memelukku. Kurasakan betapa dingin tubuh putriku ini.
“Papa, mama dan adik-adik harus pulang hari ini. Aku harus ke San Diego melihat Jack!” ujar Yulin dengan gusar. Meria kian prihatin. Ia kelihatan panik dan sulit menenangkan hati. Di wajahnya diam-diam membersit air mata dukanya.
“Bagaimana keadaan Jack saat ini?” tanya Meria yang lagi memeluk Yulin.
            “Kabarnya, ia dalam kondisi kritis mama. Kami memang punya banyak musuh. Jack terlibat perdagangan senjata gelap ke Filipina dan di beberapa tempat di Timur Tengah. Ia juga berdagang kokain.” Yulin diam sejenak. Kami semua seakan tak bisa mengatakan apa-apa lagi.
“Aku menyuruh kalian pulang, karena aku sayang kalian semua. Musuh-musuh Jack pasti akan ke sini memburunya. Dan aku minta, sesampainya di Cotabato, kalian segera berkemas dan pulang ke Talaud.”  Mertuaku saat ini ada di Libia. Kalian tidak perlu pamit padanya. Nanti semuanya akan diurus sekretaris mertuaku di Cotabato!”
            “Apa di Cotabatu juga terjadi ketegangan?” tanyaku.
            “Sudah lebih awal. Mertuaku terpaksa mengungsi.”
            “Sebaiknya kau ikut kami,” bujuk Meria memelas. Ia amat cinta dan mengasihi putra-putrinya.
“Tidak mama. Aku harus menolong Jack. Ia butuh aku. Aku istrinya,” Jawab Yulin.
            Sebagai ayah aku tidak mau kehilangan anakku. Tapi bagaiman pun, suaminya pasti membutuhkannya di saat-saat menderita. Aku harus mengiakan keinginan Yulin. Meski jauh di lubuk hatiku sedang berkibar semacam bendera hitam. Sebuah lambang perkabungan di kampungku.
            Dengan cepat kami berkemas kemudian sarapan. Hari itu juga kami bertolak ke Manila. Yulin mengantar kami sampai ke air port. Sepanjang jalan ia banyak bercerita tentang keadaan sebenarnya rumah tangganya yang mengalami banyak teror menakutkan.  Herkanus, diantar Broke. Aku melihat perpisahan yang pahit dan menyakitkan di wajah kedua anak muda itu. Aku berdoa, semoga di suatu hari mereka dipertemukan Tuhan lagi.
***
            Di Cotabato, sekretaris tuan Dagos Argava menjemput kami bersama beberapa pengawal bersenjata.
“Tuan tak perlu lagi ke rumah. Langsung saja berangkat hari ini,” jelas sekretaris Dagos. Wajah perempuan cantik itu memancarkan kekhawatiran yang dalam.
“Semuanya sudah disiapkan?” tanyaku.
“Sudah tuan! Perahu kami akan segera mengantar tuan langsung ke Talaud,” ujarnya lagi.
Kami tidak lagi pulang ke rumah di perkebunan, tapi langsung diantar ke port. Dari penjelasan seorang tentara, barang-barang penting milik kami juga sudah mereka kemas dan dimuat dalam pambut. 
Sebuah pambut besar telah siap menanti kami di port. Tanpa henti, hari itu juga kami diantar oleh beberapa tentara  untuk kembali ke Talaud. Sayang aku tak bisa lagi pamit pada Boas dan si penyair tua di Davao. Orang-orang baik hati itu tentu bingung mencari kami dalam keadaan segenting ini. Perjalanan kali ini mendebarkan. Tidak seperti waktu kami datang beberapa tahun silam. Dua pambut lainnya ikut mengawal kami.
Ketika sejam perjalanan, sebuah boat yang memotong dari Saranggani membuntuti kami. Boat itu begitu mencurigakan. Kami semua agak panik, setelah dua pambut pengawal kami menghadang boat itu. Meskipun pambut kami terus melaju meninggalkan perairan perbatasan negara Filipina. Dari kejauhan aku menyaksikan serentetan tembak- menembak antara boat dan dua pambut pengawal kami itu. Aku yakin, mereka adalah musuh-musuh tuan Dagos dan anaknya, yang kini jadi menantuku. Boat itu akhirnya, tampak meledak.
“Jangan takut. Itu cuma hal biasa,” ujar seorang tentara yang mengantar kami. Tentara itu kemudian menyodorkan aku rokok eskortnya. Setelah menghisapnya beberapa kali, perasaanku menjadi lega kembali.
Kami diturunkan mereka di pantai Bowombaru. Dari Bowombaru, kami menyewa perahu dan melanjutkan perjalanan ke Beo.
Ini suatu kepulangan yang sangat mendadak, misterius dan mengerikan. Waktu itu akhir Mei Tahun 1973. Setelah tinggal beberap hari  di rumah family istriku, akhirnya aku bisa membeli sebuah lahan dengan rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu.

 ***




BAGIAN : V


Kesaksian Pertama


Sebagai kekasih sang angin
Kini ia mengusapku dengan badai















(14)
            Suara bentakan membuat aku berhenti dan menoleh  ke kanan jalan dari mana asal suara keras itu terdengar.  Di sana, di lapangan kecil itu,  puluhan  lelaki dengan pakaian kumal tampak sedang berbaris di bawah terik matahari yang sedang merambat naik. Di depan mereka, berdiri seorang lelaki lainnya. Mereka berada sekitar lima puluh meter dari jalan yang akan segera memutar ke arah kiri menuju pasar Beo yang terletak di samping kanan pelabuhan perahu dan kapal-kapal membuang jangkar. Udara panas pukul 11.00  sudah terasa menggigit kulit.
Jalanan aspal dengan batu-batu bergerigi yang menebar di permukaannya memantulkan pecahan-pecahan fatamorgana.  Tapi orang-orang itu, mereka terjemur begitu saja. Pakaian mereka  basah oleh keringat.  Di depan mereka terus saja mondar mandir  lelaki bertubuh tegap berambut ceper dengan langkah pongah. Ia mungkin seorang tentara, atau petugas keamanan. Lelaki itu hanya mengenakan kaos berwarnah hijau dan celana gelap, lengkap dengan lars yang membungkus kakinya yang nampak kuat.
Suara keras itu mungkin datang dari mulut lelaki atletis itu, karena di sana, di wajahnya, sisa gusarnya masih bersinar. Dengan wajah penuh ketakutan, puluhan orang di depannya tegap diam seperti patung yang siap diledakkan.
“Apakah ini korban stigmatisasi PKI yang dilakukan penguasa seperti yang diceritakan Boas dan para familiku itu?” tanyaku dalam hati. Sejenak pemandangan baru ini menyita perhatianku. Diam-diam, aku jadi ingin menyaksikannya. Sambil berteduh di bawah rindang ketapang di pinggir jalan. Agar tak dicurigai, aku pura-pura menanti seseorang sambil merokok. Kejadian itu membuat aku membuang waktu seidikit menyaksikannya, padahal keperluanku adalah membeli beberapa bahan rumah tangga pesanan Meria.
Dari sana, lelaki atletis itu menatapku dengan mukanya yang jahat, tapi aku pura-pura tak melihatnya. Merasa tak diperhatikan, lelaki itu kembali ke kumpulan orang-orang itu. Terdengar ia mengucapkan beberapa kata yang samar–samar sampai ke telingaku, mungkin berupa makian. Dua orang yang ditunjuknya kemudian maju menghampiri lelaki itu. Dengan cepat lelaki itu menampar keduanya. Ada jerit yang sengaja ditahan dari mulut dua lelaki itu ketika tamparan keras mendarat di pipi mereka yang mengeluarkan bunyi derak seiring tersodoknya kepala mereka ke samping. Kulihat raut  wajah mereka sangat kesakitan. Tiba-tiba rasa sakit itu begitu saja menyusup ke hatiku membuat semacam perih yang mengiris-iris.
Sejurus kemudian, lelaki atletis itu kembali memaki-maki, sementara dua lelaki yang kena tampar sudah diperintahkan kembali ke barisan mereka.
Kejadian menarik ini sontak membuat aku muak. Dengan sedikit menyelip geram ke hatiku, dengan cepat kutinggalkan tempat itu sambil memekik kecil, “ya Tuhan ke sinikah Engkau membawa pulang kami?”
 Meria baru meletakkan pulpen ke mejah baca di ruang tengah yang terbuat dari papan kayu nangka dimana ia duduk, ketika aku tiba dari pasar. Selama di pasar tadi hatiku begitu tawar dan mungkin terluka oleh kejadian tanpa perih yang terjadi di lapangan kecil itu.
“Sudah pulang?” tanyanya sejenak mendongak menatapku, kemudian  memasukkan beberapa lembar kertas yang telah di tulisnya dalam beberapa emplop. Aku berharap, Meria tidak menangkap sinar perih di wajahku. Ia sudah terlalu banyak terseruput berbagai ketegangan yang kami alami selama ini, baik sebelum kami ke Filipina dan selama di sana hingga pada waktu kepulangan kami yang begitu menegangkan.
“Ya. Kebetulan semua pesananmu ada. Tapi harganya, minta ampun. Mahal.”
“Tapi kau beli kan?” katanya sambil menyongsongku dan mengambil bahan-bahan pesanannya dalam  dua tas dari tanganku, dan berlalu ke dapur.
Aku kembali ke beranda depan. Sambil duduk di kursi bambu di ruang sempit itu. Pikiranku masih dengan peristiwa yang baru kusaksikan. Bau busuk politik dalam negeri ternyata telah menebar ke sini, ke pedalaman ini.
Enam tahun meninggalkan tanah air, rupanya telah terjadi banyak perubahan. Tapi perubahan itu bukan bernama kemajuan. Namun semata pemarjinalan, pemiskinan, penindasan, yang mengatasnamakan pembangunan dan stabilitas politik.
Sementara awan hitam petaka itu masih saja di sana. Menggelayut di langit seperti pintu gaib dari arwah-arwah para pembunuh yang selalu datang dan pergi setelah melakukan teror dan pulang dengan wajah kemenangan nan angkuh. Kini, tarikan takdir dari kegaiban itu telah berhasil mengusir kami dari tanah pelarian menuju panggung pengadilan. Kami telah ditariknya seperti para penjahat yang berhasil diringkus para pemburu keadilan. Boas, Paulus, dan sederetan nama lain tak mampu membuktikan intuisi mereka tentang kebenaran rasional yang mereka pelajari dari berbagai teori, bahwa manusia bisa melarikan diri dari takdir. Di sini, segalanya berhubungan dengan yang absurd. Tak ada yang bisa lari. Dan tak ada yang luput ketika takdir itu telah tercantum dalam riwayat kita. Seperti riwayat daun-daun yang beritus dari kuncup ke gugur.
Di pantai sana, dari beranda, kulihat  awan itu seperti menyeringaiku dengan mata hantunya yang merah. Kepongahannya, seperti menggemerincingkan ejekan: “Kau kini tertangkap Kepas!”.
Lihatlah, katanya lagi, “kultur kelapa kalian telah kubuat merana. Saudara-saudaramu kubuat orang-orang terpenjara, dan engkau adalah pemilik penderitaan ini!”
Selama sepekan lalu, di pelosok-pelosok desa  memang kutemui orang-orang seperti kehilangan gairah mengurusi kelapa. Hama Sexava kiriman sang gaib  seakan momok yang sulit diberantas. Dan awan itu, mengapa  tak jua pergi, padahal aku telah mendengar serangkaian kejahatan dan kepedihan yang menimpa saudara-saudaraku di kampung dan kepulauan ini? Apakah tangan hitamnya masih menginginkan korban lebih banyak lagi?
Meria membawakan aku segelas air putih sambil berkata, “aku menulis surat buat istri Boas dan beberapa kenalan di Cotabato. Besok ada perahu akan ke sana. Kau ada pesanan untuk Boas?”
Aku baru ingat, senjata angin buatan Amerika pemberian Dagos lagi dipinjam Boas. “Tolong tambahkan pesananku pada Boas untuk mengirimkan sejata yang ia pinjam,” kataku.  Meria mengangguk tapi kemudian berkata, “kau mengunakan senjata itu untuk berburuh? Apa sudah lupa menggunakan sambeang?”
“Sudahlah. Mungkin sewaktu-waktu bisa dipergunakan untuk melobangi kepala orang,” potongku dengan rasa geram yang tersimpan, yang terbawa dari kejadian yang memuakkan di dekat pasar tadi. Mendengar ucapanku, dahi Meria berkerut, “astaga!” pekiknya tiba-tiba. Ia memilih duduk di sampingku sambil menyapu-nyapu rambutku. Ia tahu aku sedang memikirkan sesuatu. Kejadian tadi kuceritakan pada Meria. Ia agak merinding mendengarnya.
“Kau tak usah masuk campur urusan mereka. Kita kan baru datang, nanti jadi persoalan,” kata Meria mengingatkanku. Aku diam saja.
***
(15)
Dari para sanak family dan tetangga aku sudah mendapat penjelasan tentang berbagai kejadian yang terjadi sepeninggal kami. Dari Sere, Ganalo dan Rainis ada beberapa orang menjadi gila karena tak mampu menahan deraan. Di Rainis sendiri ada yang pilih mengakhiri hidupnya dengan mengantung diri. Kejadian yang sama juga menimpa penduduk pulau-pulau di Nanusa.  Tapi aku belum bicara dengan  Datu Mbanua. Aku ingin mendengar dari dia peristiwa-peristiwa beruntun yang mengerikan itu.  Pada saat ke pasar aku ketemu lelaki tua itu. Aku berjanji akan menemui dia.
            “Isyarat burung-burung itu, sudah terjadi anakku,” tutur Datu Mbanua, ketika aku mampir ke rumahnya malam itu.
Kami duduk di dego di bagian depan rumahnya. persis di pesisir pantai Marumun. Baru pukul 20.00, tapi sepi telah menyaput desa ini. Warga desa satu-satu mulai memadamkan lampu petromax di rumah mereka dan menyisahkan lampu lentera kecil yang terbuat dari botol. Kopi yang masih menguap disodorkan seorang kemenakan Datu terasa hangat saat kusesap. Kopi ini tiba-tiba membuat aku seperti menemui kenyataan  keterdamparanku kembali ke negeri ini lagi. Bertemu orang-orang yang ku kenal dan awan hitam itu.   Di depan kami, terlihat sisa-sisa ombak yang disinari bulan masih membui pecah di atas hamparan karang. Dan aku yakin, mahkluk-mahkluk kecil pemikul rumah warna-warni ramai mengingsut kaki-kakinya yang tajam di karang itu. Kerang-kerang indah yang senantiasa membuat aku takjub sejak masa aku kecil hingga kini.  Masih seperti dulu. Sementara jika ku tatap ke selatan, kearah tanjung, atau ke kiri ke arah desa Lobo, di sana, pohon-pohon kelapa menjulang laksana hantu yang membeku di sepi malam.
            “Aku amat sedih Datu. Tapi mengapa kejadiaanya semacam ini?”
“Sebagian besar penduduk kampung ini telah di tuduh sebagai anggota partai terlarang PKI. Mereka telah di siksa, dipenjarakan, dan dipekerja paksa seperti budak,” papar lelaki tua itu menjawab pertanyaanku, dengan suara yang menyimpah bergumpal-gumpal lara. Dari nada bicaranya, aku bisa menangkap ringkih pilu yang sedemikian resik menikung-nikung di hatinya. Sejenak kami terdiam. Aku menyibukan diri menghirup kopiku agar ada waktu bagi rasa pedih itu pergi. Datu menggulung tubaku-nya yang baru kuserahkan  sebagai ole-ole, lalu disulutnya. Tubaku itu kubeli di sebuah warung dekat port Cotabato secara terburu-buru sebelum perahu kami bertolak dari sana dalam perjalanan pulang yang mendadak itu.  Asap yang dihembuskannya membumbung di seputar wajahnya. Kertas bufallo tipis yang terbakar di rokok itu tercium bersama wangi tembakau Brasil. Tangannya yang kurus menepis-nepis asap itu, seperti menghalau bebintik perih yang tersimpan di bilik ingatannya. Sia-sia. Kian kuat ia menepis, kuyakin sekuat itu pula bayangan-bayangan menyakitkan itu menindihnya. Hati nurani, bagaimanapun kita membohonginya, ia selalu berpihak pada kebenaran.  Kebenaran yang dipihaki hati nurani bagaimanapun selalu muncul dengan panji kemenangannya meski kita merantainya, atau membuangnya ke kegelapan hati. Lelaki tua itu sejurus kemudian menatapku lagi. Aku tahu, ia gagal mengusir rasa getir yang telah bertahun-tahun memenatinya.
“Ini sangat menyedihkan. Aku menjadi angkatan dari generasi leluhur yang mesti mempertanggungjawabkan semua ini di negeri seberang sana,” lenguh Datu.
“Di Port Cotabato, aku punya teman seorang  penyair tua. Ia bilang, manusia itu adalah kekasih sang angin. Kekasih itu selalu rindu pada kita. Jika ia rindu, ia akan datang mengusapkan jemarinya dengan lembut.”
“Kini kekasih itu datang dengan badai,” potong Datu cepat.
            “Bagaimana itu bisa terjadi. Padahal di kampung kita ini tidak ada anggota partai itu sebelumnya?” tanyaku. Aku penasaran dan kesal. Datu berusaha santai dari gulana yang menghimpitnya. Rokok dari tubaku yang dihisap kelihatan sedikit membuat ia lega. Meski perasaan itu kutahu tak bisa melindungi kepungan kegetiran dalam pikirannya. Sedang di hatiku ada duka yang terus tersayat dan melolong.
            “Aku juga tidak mengerti! Entah bagaimana jalan pikiran penguasa, jalan pikiran tentara-tentara itu  sehingga bisa semena-mena memperlakukan rakyatnya seperti ini,” kata Datu.
            “Seharusnya Datu bisa menjelaskan ke mereka bahwa di kampung ini tidak ada anggota PKI!”
            “Sudah ku jelaskan. Tapi mereka tak peduli. Malahan mereka mengancam akan melibatkan aku juga,” katanya, dan diam sejurus, kemudian berkata lagi, “memang diam-diam, di kampung ini ada juga kader PKI. Di seluruh kepulauan Talaud ada sekitar lima belas orang saja.”
            “Sebenarnya penduduk kampung harus bersatu melawan sikap penguasa yang sewenang-wenang itu. Bagaimana bisa jadi, orang yang tidak tahu apa-apa dilibatkan.”
            “Banyak orang yang cari muka dan cari selamat sendiri,” potong Datu. Ia berpikir sesaat lalu berkata lagi, “mereka ikut memihak tentara dan penguasa sipil. Banyak pegawai yang tak mereka senangi juga di PKI-kan”.
“Budaya dari mana itu?” ucapku dongkol. Datu hanya menunduk. Ada duka baru kukira meledak di sana, di hatinya.
“Tapi, bagaimana rasanya di perantauan? Katanya Yulin menikah dengan Amerika,” potongnya mengalihkan pembicaraan. Aku mengangguk.
“Ya. Yulin kawin dengan anak majikanku. Pengalaman di perantauan memang banyak. Tapi, kemanapun aku pergi, kukira hatiku ada di sini, tertanam bersama pusar, dan suara tangis pertamaku waktu mampir ke dunia.”
“Aku senang dengar itu,” kata Datu.
“Di Amerika, dan Filipina, sikap itu disebut nasionalisme!” jelasku. Agak lama kami bercakap soal pengalamanku di Filipina hingga peristiwa kepulangan yang mendebarkan dari California.
“Rupanya kita semua sulit mengelak dari kutuk di atas sana,” ujar datu lagi.
“Mungkin begitulah Datu,” kataku.
“Menurutku, demi kebaikanmu sebaiknya kau pindah saja dari sini agar bisa selamat dari tuduhan-tuduhan yang kini membabi buta itu. Ini memang sudah kutukan bagi kita. Kita harus menjalaninya dengan tabah,” ujar datu  memperingatkan aku.
Suatu kepasrahan yang naif, pikirku. Namun jika melihat kenyataan ril, memang tak mungkin melawan penguasa bersenjata di tengah sikap masyarakat kampung yang terbelah seperti ini. Masyarakat yang mengalami cacat yang terpola secara sosial. Masyarakat yang berhasil dihisap ke dalam sistem moral standar ganda. Masyarakat yang bisa menjawab ya dan tidak dalam detik yang sama. Masyarakat yang mulai kehilangan ikatan komunal.  Suatu cacat tanpa terlihat sakit, namun terasa perihnya. Mereka menjadi manusia-manusia yang bersandar pada keajaiban, tapi tidak berusaha memperjuangkan perbaikan.
Mengapa banyak dari saudara-saudaraku sekampung ini menjadi Judas. Rela menjual saudaranya demi keselamatan dan kesejahteraan dirinya sendiri. Dan haruskah aku menjadi Petrus, yang bungkam saja, dan menyangkali atau menutupi semua kejadian yang pernah terjadi? Akankah aku menjadi bagian dari kelompok yang tidak kuat menentang arus?
Angin malam menerpa kian dingin. Kelelawar-kelelawar bersijumplitan di pohon mangga.  Kami baru sadar, bahwa malam sudah larut. Banyak hal telah kami bicarakan, tapi tak ada satupun yang bisa diambil menjadi solusi untuk melawan persoalan-persoalan yang kini menindih. Kian berat.

***
Sisa uang dari Filipina aku ganakan membeli beberapa lahan kebun. Aku membelinya di Kecamatan Essang.  Setelah menetap di Beo sekitar 4 bulan, kami sekeluarga akhirnya pindah ke Essang. Sebelum ke Essang, kami sekeluarga menyempatkan diri sekali lagi mendatangi kuburan Franseska Matiti. Meria seperti biasanya selalu menitikkan airmatanya memandangi kuburan ibunya itu.  Pada kunjungan pertama, sepekan setelah kami kembali dari Filipina, Meria menanam lagi empat batang bunga oliander di setiap sudut kuburan itu. Oliander yang ditanamnya sebelum kami berangkat ke Filipina ternyata tak mampu melawan musim panas yang menggosongkan kepulauan ini di tahun-tahun itu. Bekas batangnya pun sudah tak ada. Meria tak lupa meminta Herkanus membawakan sejerigen air untuk menyirami batang-batang oliander yang sudah ditanamannya beberapa waktu lalu. Kami tak begitu lama berziarah. Setelah semua halamannya selesai dibersikan dan menyaput debu yang menempel di nisan, kami langsung pulang, sebab masih banyak barang yang belum di kemas untuk keberangkatan besok.

Essang, kota kecamatan itu tampak sepi, namun mencekam. Tanahnya subur dan meliputi kawasan yang agak berbukit di tepi pantai. Sekitar 20 meter mendaki, di atasnya dataran yang rata membentang luas ratusan hektar yang hanya diselingi bukit-bukit kecil yang tidak begitu tinggi, kecuali bagian hutan rimbah di belakangnya yang angker sudah menanjak ke atas.
Seperti juga di Beo, beberapa tentara setiap saat terlihat berpatroli ke sepanjang kampung. Baju loreng mereka seakan lambang elmaut yang siap menjemput nyawa. Pemandangan ini mengingatkan aku akan hal sama di Cotabato dan Basilan. Tapi di sana, tentara yang berjuluk pemberontak justru sangat akrab dengan rakyat. Di sini lain.  Mereka tampak angkuh dan angker. Senjata-senjata mereka selalu bergelantungan di bahu, di bawah kemana saja. Sesekali dalam keadaan mabuk, tentara-tentara itu menembaki binatang-binatang peliharaan penduduk seperti babi dan ayam. Hasilnya konon mereka makan sambil mabuk-mabukan di markas Koramil atau di tempat lain, sesuka hati mereka.
Dari beberapa warga, kudengar, tentara-tentara itu suka mempermainkan anak gadis orang.
“Sudah ada beberapa yang jadi korban kebuasan nafsu birahi mereka,” kata Simon suatu ketika. Jika keadaan ini bisa kuceritakan pada Paulus Barahama, lelaki Filipina itu pasti terpingkal-pingkal. Paulus pasti berkata “Itu bukan tentara! Sebab tentara pasti berada dipihak rakyat. Yang berpihak pada kekuasaan tiranik hanyalah para penjilat dan sang dungu”.
             Rumah yang baru kami tempati jaraknya sekitar 20 meter di belakang kantor Koramil. Setiap paginya aku melihat puluhan orang berdiri berjejer di depan kantor tentara itu. Mereka adalah para penduduk yang di tuduh PKI. Pemandangan kontradiktif dengan cita-cita kemerdekaan suatu bangsa setiap paginya  tergambar di sana. Orang-orang itu. Manusia-manusia tak berdaya itu di cambuk dan dipukuli dengan pangkal senjata. Pekik kesakitan sesekali terdengar seperti suara babi saat disembeli. Tak dapat kubayang, betapa sakitnya deraan itu. Dadaku sendiri sampai ngilu membayangkan keperihan mereka. Kadang-kadang aku berpikir jika orang-orang itu punya senjata, maka keadaannya akan ramai. Sebab, aku tak melihat adanya keberanian sejati dalam diri tentara-tentara itu. Kecuali keberanian yang muncul karena mereka bersenjata. Tapi jika dihadapkan pada medan pertempuran yang sesungguhnya, mereka itu tak lebih dari para pengecut yang siap dipanen nyawanya oleh sang lawan. Di Basilan dan pantai Selatan Mindanao, tentara-tentara mereka terlatih. Disiplin, dan bermartabat. Tapi para pemabuk ini. Sosok-sosok yang berani karena menggenggam senjata dihadapan rakyat yang kulturnya siap tunduk, bukan militer profesional. Aku tiba-tiba menemukan kemuakan tersendiri melihat badut-badut itu. Tapi aku yakin ini bukan kultur tentara nasional kita. Ini penyimpangan disiplin militer. Dalam buku sejarah perjuangan bangsa aku membaca betapa luhurnya cita-cita jenderal Sudirman, dan patriotisme para pahlawan. Militer Indonesia kecamba awalnya dari laskar rakyat. Maka tak mungkin militer menyakiti rakyat yang dipandang sebagai rahim lahirnya angkatan bersejata kita. Tidak mungkin, dan tak akan mungkin, kecuali penyimpangan oknum-oknum.

Pada suatu hari, orang-orang itu dijemput sebuah perahu Pamo besar, dan berlayar entah ke mana dengan dikawal beberapa tentara bersenjata. Kemana mereka itu dibawa?      Dari kepala desa aku diberitahu para tertuduh itu, akan diberangkatkan ke Melonguane untuk mengerjakan pembangunan lapangan terbang. Kata para penduduk, sudah sekian tahun pengangkutan para tertuduh PKI itu berlangsung. Mereka diangkut dari berbagai pelosok desa di sekitar pulau-pulau di Talaud. Dari mereka yang pergi, banyak yang tidak kembali. Dan kalau ada yang dipulangkan, biasanya mereka tidak bertahan hidup lama. Mereka sudah sakit parah dan tak lama mati.
            Di Essang, hampir setiap hari aku melihat penderitaan yang luar biasa sedang terjadi. Hampir setiap saat aku melihat perempuan-perempuan menangis, mendengar kabar dari Koramil, dimana suami mereka yang di bawah tentara mati dalam kecelakaan. Dalam hatiku terlintas pertanyaan: apa arti merdeka bagi bangsa ini. Tapi pertanyaan seperti itu menjadi klise dan tidak menarik. Kebanyakan orang yang kutemui di Essang hampir tidak mau membicarakan arti kemerdekaan itu. Padahal aku berpikir, jika ada yang berani, aku siap mengorganiser mereka dalam suatu gerakan perlawanan. Toh, jauh sebelum kemerdekaan Indonesia di capai, para pendahulu Talaud yang gagah berani telah membuktikan bahwa dengan bersatu, maka penjajahan dapat dilawan. Dan rakyat yang bersatu tak akan pernah terkalahkan. Mereka mungkin boleh musnah semuanya. Tapi semangat itu, tak akan mati. Malahan hidup sebagai sejarah. Namun, mengapa kini kita tidak bisa bersama untuk melawan penguasa jahat, kaki tangan suatu rezim tiranik? “Benar-benar sebuah renungan yang menyedihkan,” bisikku pada hatiku sendiri.

***
            Aku mempekerjakan beberapa buruh upahan untuk kebunku. Hasil panennya cukup baik. Sesekali aku menyuruh Meria, membagikan beras dan keperluan makanan kepada beberapa janda dari tanahan politik yang disebut dalam panggilan yang disingkat Tapol. Kehidupan para keluarga Tapol ini sangat memprihatinkan. Mereka dikucil dari pergaulan masyarakat. Ke gereja pun mereka tidak diperkenankan. Pengucilan ini terjadi secara terstruktur. Bukan saja oleh pihak militer, tapi sudah diikuti oleh golongan pegawai sipil, kalangan gereja dan masyarakat umum.
Faham komunis digembar-gemborkan sebagai sebagai suatu idelogi anti Tuhan. Tapi kenyataannya, di Talaud aku sulit membedakan siapa sebenarnya yang anti Tuhan. Apakah orang-orang tertuduh beserta keluarganya yang dilarang ke gereja,  atau pihak penguasa yang melarang tapol dan keluarganya itu untuk beribadat. Betapa di sini kusaksikan cita-cita politik telah membelenggu semangat religiositas. Kultur ini seperti semut yang berdikdaya menangkap gajah. Padahal keyakinan agama tidak pernah berurusan dengan kedangkalan politik dan teritorial suatu negara. Keyakinan itu tetap ada meskipun seseorang tak bernegara. Lalu untuk apa semua ini?
Lebih dari itu, anak-anak Tapol menerima olok-olokan yang menyakitkan dari teman-temannya. Kata Herkanus, nasib anak dan istri para Tapol laiknya kisah menjijikan yang ditunjukan masyarakat borjuis puritan Inggris dalam novel The Scarlet Letter. Aku pikir, penilaian putraku itu benar. Betapa suatu penderitaan yang lebih menyakitkan dibanding rasa sakit dari tusukan tombak sekalipun. Anak-anak perempuan mereka yang dewasa terbiar menjadi nona tua yang tidak laku. Hampir tak ada pria muda yang suka memacari gadis-gadis anak Tapol. Apalagi menikah dengan mereka. Setiap mata melemparkan tatapan sengit dan tak bersahabat. Orang-orang seperti melihat seekor hantu jika berpapasan dengan mereka. Sesungguhnya mereka juga terpenjara dalam penjara yang lebih menyakitkan, meskipun mereka tidak berada di balik terali besi seperti ayah mereka.
***
(16)
Aku kian yakin kini, setelah menyaksikan semua yang terjadi di kepulauan ini. Awan hitam sialan itu ternyata terus membuntutiku. Kemana pun, dan kapan pun.  Aku memang termasuk orang yang suka menghindar berjumpa dengan para tentara yang menurutku tidak manusiawi dan sewenang-wenang di kota kecamatan ini. Tapi mereka sesekali mendatangiku dan meminta berbagai sumbangan. Agar tidak terjadi sesuatu, aku memberikan saja permintaan mereka. Permintaam itu kadang-kadang berupa uang atau ternak. Aku tahu, tindakan mereka  ini semata-mata mencari suatu alasan yang bisa menarikku ke dalam persoalan.
            Kesialan-kesialan itu mulai nampak ketika seorang tentara muda entah berasal dari daerah mana, kelihatan menyukai anakku. Lelaki berpangkat Kopral itu, dengan sombongnya mendatangi rumah keluargaku dan mengajak Dian keluar.  Ia pun tak segan-segan memegang-megang anakku. Dan memberikan pujian kosongnya yang memuakkan. Dian tidak menyukai lelaki hitam cerewet itu. Kadang-kadang ia datang dalam keadaan mabuk ke rumahku. Merasa tidak di terima, suatu ketika ia dengan sombongnya menembaki babi peliharaanku. Aku tahu ia sedang menakut-nakuti aku. Tak tahan melihat kebiadabannya itu, aku mengusirnya dari rumahku. Ia tampak tersinggung dan mengancam akan membuat perhitungan denganku. Banyak tetangga menyarankanku untuk tidak bersoal dengan tentara agar tidak mendapatkan kesulitan, kata mereka. Namun sudah terlanjur. Memang aku tidak mau diperlakukan semena-mena seperti itu.
            “Seharusnya kau tidak berbuat begitu. Ini namanya mencari kesulitan,” kata Meria istriku. Aku tahu sikap protes perempuan yang kukasihi ini sebagai ekspresi dari lubuk hatinya yang begitu mencintaiku. Ia takut jangan-jangan akan terjadi sesuatu pada diriku.
            “Tapi tindakan tentara setan itu sudah keterlaluan. Di dunia ini banyak tentara. Dan tentara tidak dilatih untuk berbuat jahil seperti ini. Tentara itu orang-orang profesional dan terhormat. Bukan seperti anjing busuk tadi!”
            “Carilah waktu untuk minta maaf padanya,” bujuk Meria.
            “Itu tak perlu kulakukan, jika ia punya hati sebagai manusia,” kataku.
            Pada suatu malam tiba-tiba kami dikejutkan suatu keributan di kandang babi. Aku dan Herkanus langsung keluar mendengar jeritan babi-babi. Tapi kami kemudian urung melangkah ke kandang karena dihadang terjangan batu bertubi-tubi dari orang-orang yang tak dikenal. Lemparan itu dilakukan dari semak-semak tak jauh dari kandang. 
            “Ini pasti ula pemuda anti PKI,” ujar Herkanus.
            “Jangan menuduh sembarangan,” sergah Meria.
            “Pasti mereka,” bantah Herkanus. Dan dengan cepat anak lelaki itu melesat keluar dengan parang.  Terdengar bunyi kaki-kaki berlarian di antara semak. Akupun menyusul ke sana. Tak ada seorang pun yang kami temui. Sedangkan kandang  yang terbuat dari tiang-tiang kayu bulat telah rusak dan kosong. Ada bercak darah di mana-mana.
“Mereka telah membantainya,” kataku. Kulihat Herkanus tertunduk dalam marah yang amat sangat.
“Sabarlah. Mereka memang sengaja memancing kita,” kataku menghiburnya.
            Di Essang, tentara memang telah mengorganiser para pemuda untuk melakukan gerakan anti PKI. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam gerakan anti PKI adalah kelompok yang justru lebih buas dari tentara. Mereka dengan sembarangan menuduh orang-orang yang tak mereka sukai untuk dijadikan turtuduh PKI. Mereka  membuat berbagai alasan yang tanpa dasar, lalu menangkapi penduduk yang menjadi inceran mereka. Mereka melakukan berbagai huru-hara di kampung. Tidak ada orang yang berani melawan mereka.
            Untuk menghindari bentrok dengan para pemuda anti PKI, aku menyuruh Herkanus berdiam diri di kebun. Herkanus  pernah mengutarakan maksudnya untuk membunuh para pemuda anti PKI  yang semena-mena itu. Untuk mencegah niatnya yang berkobar-kobar dan ditambah frustasinya mengingat kekasihnya yang jauh di California, maka aku lebih baik mengungsikan dia ke kebun. Untung dia mengerti dan menurut saja permintaanku.

***
Hari berlalu dengan berbagai teror yang tak berkesudahan. Pada akhir pekan pertama bulan Mei 1974, aku mendapatkan panggilan dari Koramil yang ditanda-tangani Letnan Yunus. Aku mendapatkan firasat bahwa sesuatu yang sangat buruk akan segera terjadi. Berat hati Meria melepas ketika aku pamit ke Koramil. Herkanus dan adiknya Dian juga di pintu  mengantarku dengan wajah getir mengasihankan.
Sesampainya di Koramil, tanpa banyak tanya, aku langsung digebuk para pemuda anti PKI. Dengan penuh semangat mereka berteriak-teriak bahwa aku PKI. Aku kaget dengan tuduhan itu. Semua alasanku tidak digubris. Setelah dipukuli, aku langsung di dikurang dalam sel isolasi. Badanku rasanya pecah berkeping-keping. Rasa sakit yang tak tertahankan membuat aku langsung pingsan.
            Nasib yang menimpaku merupakan kabar buruk bagi keluargaku. Dian yang datang menjengukku, mengatakan Meria istriku beberapa kali mengalami pingsan. Sedangkan Herkanus sempat mengamuk di Koramil. Tapi ia kemudian dihajar tentara hingga babak belur, lalu dipulangkan.
            “Papa harus tabah!” ujar malaikat kecilku itu.
            “Keadaan mamamu?”
            “Tidak apa-apa!” jawab Dian dengan suara yang dibuatnya semanis mungkin. Aku tahu, malaikat kecilku ini sedang menghiburku.
            “Jaga mamamu ya !” Gadis kecilku mengangguk. Ada linangan bening berguguran di matanya. Linangan itu ikut gugur ke hatiku.
            “Bilang Herkanus, ia harus sabar. Jangan emosi!” pesanku lagi.
            Kulihat punggung anakku berlalu dalam gerakan penuh beban ketika meninggalkan selku. Ku tahu hatinya menangis. Jeritan hati itu terasa di sini, di jiwaku.
Ya Tuhan, betapa perih penderitaan ini. Inikah wujud kutuk itu. Kutuk yang setia membuntutiku kemanapun aku pergi. Betapa busuknya politik. Luka-luka yang diberikannya seperti borok tua yang menahun yang sulit tersembuhkan. Politik seperti juga agama bisa membuat orang menjadi waras, dan juga bisa menjerumuskan pengikutnya ke dunia gila, pikirku dalam kesakitan yang amat sangat.

***
Hari sudah mulai senja, saat aku tiba di taman itu. Sangat sepi di sana. Kecuali suara seorang gembel yang kelaparan mendengus seperti suara sapi kesakitan. Tubuhnya penuh borok. Aku mendekati lelaki yang sekarat itu. Ia menoleh ke arahku dengan mata mengasihankan. Seperti cahaya kunang-kunang di kegelapan.
“Beri aku makan,” pinta lelaki buruk itu. Tapi aku tak punya apa-apa. Aku sendiri kelaparan. Perut dan tubuhku sebegitu lemas.
“Aku mengerti. Kau juga kelaparan,” katanya. Mungkin dia memahami reaksiku.  Aku mendekat dan duduk disampingnya, lalu berusaha memperbaiki letak jubah lelaki itu agar menutupi tubuhnya yang terus merinding. Dalam hatiku, aku ingin menanyakan siapa lelaki ini. Namun sebelum kukatakan ia lebih dulu mengatakan, “Aku manusia paling sial yang pernah lahir. Tiada kesialan manusia lain yang melebihi kesialanku.”
Rasa penasaranku kian memuncak. Kata-kata lelaki itu sangat misterius.
“Pulanglah kau. Hanya aku yang ditakdirkan menjadi lambang penderitaan,” kata lelaki itu. Tiba-tiba, lelaki itu melayang ke langit dan meledak seperti mercon. Aku terkejut, dan terjaga. Aku bermimpi.
Aku seorang diri di sel ini, dalam rasa lapar dengan tenggorokan yang kering dan tubuh yang rasanya remuk.
            Setelah sepekan aku terkunci dalam sel, baru aku dikeluarkan untuk diinterogasi lagi. Petugas interogator telah menantiku di ruang khusus. Ku kira ruang ini kedap suara. Jadi apapun yang terjadi di ruang ini tidak akan diketahui dari luar. Ku baca ada niatan tidak baik di mata para interogator itu.  Mereka tampak buas dan licik.
“Kau anggota PKI sebelum berangkat ke Cotabato. Mengakulah!” paksa Mariala, salah seorang anggota Satgas yang melakukan interogasi. Lelaki separoh baya itu sangat ku kenal, karena kami pernah sama-sama jadi buru tambangan di pelabuhan Beo sebelum aku berangkat ke Cotabato. Bahkan waktu penguburan Franseska Matiti, ia hadir dan turut menjadi salah seorang pengusung keranda.  Ia sempat tinggal di rumahku hampir sepekan membantuku menyelesaikan pembuatan kuburan mertuaku. Tapi kini ia memandangku seperti tak mengenalku sama sekali. Benar-benar keterlaluan. 
            “Tidak, Aku Parkindo!” jawabku jujur. Mendengar jawabanku, salah seorang Satgas yang lain bernama Mamewe, dengan cepat melayangkan tendangan berat langsung menghujam ulu hatiku. Aku terjungkal dari kursi, langsung menghantam meja di belakangku.  Dada dan usus perutku terasa tersobek. Aku muntah seketika. Tapi aku berusaha bangkit dan duduk di kursi pesakitan itu.
            “Mengaku saja, agar kau tidak disiksa seperti ini,” ujar Mariala.
            “Bagaimana aku mengakui sesuatu yang tidak benar?” bantahku, dan berkata lagi, “kau kan kenal aku. Kita sama-sama orang sini dan pernah sama-sama jadi buru tambangan di Beo.  Masa kau tidak tahu aku partai apa.”
            Mamewe kembali melayangkan sebuah tendangan ke wajahku.  Mataku langsung berkunang-kunang. Aku terhempas ke lantai seperti sebuah bantal yang dibanting. Rasah perih yang panas menyerang wajahku. Kurasa beberapa gigiku tanggal. Darah segar memancar dari mulutku.
“Mengakulah!” teriak Mariala. Suaranya kudengar samar-samar.
Aku tak bergeming. Mariala menggapai tanganku dengan kasar, dan memaksaku menandatangani sebuah surat. Aku tidak tahu apa isi surat yang kutanda-tangani dengan tangan yang lemas itu. Di kemudian hari aku baru tahu kalau surat yang kutanda tangani itu adalah surat pernyataan pengakuan sebagai anggota PKI.
Badanku sudah hancur, dan tak ada tenaga lagi untuk bertahan. Dua petugas menyeretku kembali ke  kamar isolasi. Sekujur tubuhku memar dan luka-luka. Dalam kesakitanku, kulihat lelaki gembel dalam mimpiku datang padaku dari balik jeruji. Bau busuk yang kukenal tercium, ketika angin tipis ikut menyusup bersama kibasan jubahnya.
“Siapa engkau,” teriakku.
“Pedagang kebenaran!” jawabnya. Aku bingung mendengar jawabab itu.
“Aku begitu sayang padamu. Maka aku senantiasa mendatangimu,” katanya lagi. Ia kemudian duduk di sampingku. Bau khasnya kembali tercium dan memualkan.
“Aku lelaki tanpa rumah. Terusir, dan terus terusir,” omel lelaki itu lagi. Tiba-tiba timbul niatanku mengusir lelaki gembel ini. Rasa kasihan yang pernah muncul berganti kebencian.
“Aku paham perasaanmu. Aku memang akan diusir siapapun yang mengerti kebenaran. Tapi bagi para penjahat, aku adalah kawan,” ujarnya.
“Judas!” teriakku spontan. Nama itu tiba-tiba muncul begitu saja dalam otakku dan meluncur begitu saja dari mulutku. Lelaki itu beringsut dari tubuhku, kemudian meledak seperti mercon dan melesat ke langit lewat jeruji. Tapi baunya menempel di dinding sel, seperti bau kencing yang mengering.

***
Ada seorang tentara yang bersimpati padaku, setiap malam mengunjungiku dan memberikan beberapa batang rokok dan makanan. Aku agak tertolong oleh kebaikan tentara itu.
            “Aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membelamu. Banyak saksi yang memberatkanmu. Aku tahu kau tak terlibat PKI. Tapi banyak orang di kampungmu ini yang telah kehilangan rasa kemanusiaan. Mereka memberatkanmu. Sudah ratusan orang mengalami nasib sepertimu di Talaud ini. Tabahlah. Banyaklah berdoa!” kata tentara yang berhati baik itu, ketika pertama kali mendekatiku.
            “Tuhan, aku bersyukur padaMu, karena Kau masih menghadirkan orang berhati sebaik engkau Kopral,” ujarku.
            “Tidak Kepas !. Seekor babi tidak akan pernah menjadi lembu. Aku tak mungkin menjadi manusia baik di tengah sistem yang biadab. Doakan, suatu saat aku bisa melawan rekan-rekanku sendiri!” kata tentara itu. Suara tentara itu, seperti suara aneh di tengah kebisingan suara-suara jahat. Aku merasa, tentara itu menyimpan ratapan tersendiri menyaksikan nasib kami. Aku teringat Paulus, lelaki Moro, yang bersedia mengorbankan dirinya untuk memperjuangkan keadilan. Ia relah kehilangan istri, dan kemudian memilih tidak menikah lagi, karena tidak ingin mengorbankan banyak orang bagi pewujudan  idealismenya demi kebenaran.
            Lewat kebaikan tentara yang bernama Yuda itu, aku masih bisa bertemu Meria istriku dan anak-anakku. Pada jam jaganya, ia memperkenankan mereka mengunjungiku. Aku melihat penderitaan yang amat sangat di wajah orang-orang yang ku kasihi itu. Mereka membawakan aku obat-obatan dan baju. Meski mereka berusaha menunjukan senyuman kesabaran, tapi mereka tak mampu menyembunyikan raut hati yang sesungguhnya. Hati yang penuh sayatan-sayatan menyakitkan.
            “Ya Tuhan jika ini memang cawan yang mesti dipertanggung kepada kami, maka kami hanya bisa mensyukurinya. Namun jika ini bukan kehendakMu, bebaskanlah kami dari derita ini ya Tuhan! Atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus kami mohon ampun dosa dan celah kami. Amim.” Itulah doa istriku setiap berjumpa denganku. Dari doa itu, dalam penderitaan ini tak ada yang kuingat dengan baik selain bayangan Lelaki di tiang palang, yang berwajah lembut. “Ya Yesusku, beginikah derita itu harus ku tanggung?” Lelaki itu selalu tersenyum melipur dukaku. Senyum yang datang dari luka deritanya di atas tiang itu.
            Kudengar doa istriku itu seperti air yang tiba-tiba menghapus dahagaku yang teramat kering. Meria, Dian, dan Herkanus, mereka memelukku seperti bayi kecintaan mereka. Air mata mereka membasuh punggungku.
            “Aku senang kalian masih punya kekuatan untuk menghadapi ini. Tegarlah terus!” ujarku menghibur mereka.
            Atas pertolongan Yuda, aku tak banyak lagi disakiti sampai semua luka dan perasaan nyeri di tubuhku hilang.
***
            Di hari yang hitam, tak kusangka penderitaan yang lebih besar lagi segera menghantamku. Kuku-kukunya yang tajam mencengkeram jantungku hingga terasa perih sekali. Pada malam itu Yuda mendatangiku. Ia tampak gugup. Membaca air muka lelaki itu  hatiku berderit. Ia seakan menyimpan sesuatu. Suatu rahasia yang sulit diungkapkannya padaku. Ia datang ke selku sambil membawa se mok air putih.
“Aku akan menceritakan sesuatu, tapi kau minumlah dulu,” katanya seakan menenangkanku. Diperlakukan seperti itu rasa ngilu di hatiku justru kian teriris.
“Ini memang kabar menyedihkan tapi kau harus tenang mendengarnya,” sambungnya lagi dengan suara ringan namun gurat di wajahnya membersitkan pilu. 
“Sebenarnya apa yang terjadi,” tanyaku was-was. Ia menyodorkan sebatang rokok dan menyalakan steker. Setelah memasangkannya padaku, ia menyulutnya sebatang pula. Setelah beberapa saat, ia menatapku dengan senyum dan berkata, “Dian anakmu sudah diambil Tuhan.”
Hatiku tiba-tiba tercekik mendengar kabar itu. Sebelum aku bicara lelaki itu kembali melanjutkan, “kematian seperti juga kelahiran adalah anugerah Tuhan. Jadi kepergian Dian harus dipandang sebagai semata kehendakNya yang di atas itu.” Aku tertunduk sejenak. Tapi tiba-tiba aku ingin bertanya sebab kematian anakku.
“Apa yang terjadi padanya?”
“Dian  diperkosa tiga pemuda anti PKI.”
Mendengar itu, perasaanku seperti dihujam sebuah gunung yang jatuh dari langit. Betapa berat dan meremukkan diriku.  Aku terhuyung kehilangan keseimbangan mendengar kabar buruk itu.
            “Lalu bagaimana kabarnya?” tanyaku dengan gelisah seperti tak percaya dengan kabar yang disampaikannya.
            Yuda menarik nafas panjangnya sambil duduk si sampingku. Tanganya yang kekar menempuk-nepuk punggungku. 
“Setelah diperkosa, Dian melakukan tindakan bunuh diri dengan mengantungkan dirinya di rumahmu. Rupanya ia tak tahan menanggung malu,” ujar Yuda.
            Mataku menjadi gelap. Aku meraung-raung seperti gila. Dunia seperti berputar, tanah-tanahnya amblas. Dadaku terasa terbakar dan terguncang. Yuda membujukku untuk tenang. Lama aku baru bisa menenangkan perasaan yang sangat tersayat itu. Sebagai ayah untuk pertama kali aku menangis tanpa perasaan malu sedikit pun. Sebagai orang kepulauan, haram bagi seorang lelaki menangis. Tapi aku tak bisa menahannya lagi. 
Yuda kembali menyalakan aku sebatang rokok dan memberikannya padaku. Aku mengisap rokok itu di tengah air mata yang tiada henti mengalir bukan saja dari batin tapi dari mata air di mataku sendiri.
Aku tahu, Yuda meskipun ia seorang tentara ia tak punya energi yang kuat untuk melawan atasannya yang telah mengatur semua skenario kejahatan itu, begitu pikirku.
            “Mereka sudah mengaturnya. Ini direncanakan oleh tentara setan yang kau usir dulu itu. Ia sakit hati, Dan kini ia membuktikan ancamannya padamu,” jelas Yuda dengan suaranya yang bergetar. Ada amarah yang dasyat menyelinap dalam getar suara lelaki itu.
            Yuda masih banyak bercerita, tapi aku tidak tahu lagi. Aku tidak mendengarnya lagi. Aku telah pingsan.
***
            Burung-burung hitam terbang di langit seperti sebuah prosesi mengantar pergi arwah kecil ke seberang gemawan. Kian ke sana, ketingkap-tingkap yang tersebunyi, kemudian tinggal sebentuk noktah hitam yang kemudian lenyap tersaput awan. Noktah kecil yang terangkat dari jiwaku menuju surga dan meninggalkan sebuah ruang kosong yang berisi gemah suara tak beraturan nan berisik.  Air mataku jatuh tanpa suara membentur tanah gembur di depanku. Kakiku serupa pacak seakan tertanam berabad-abad sebagai saksi dari sebuah kejadian. Pacak yang kemudian kutemukan tanpa sengaja. Sesuatu yang sangat berharga yang baru kutemukan di senja yang beku.
Beberapa daun kemboja kembali jatuh di atas makam-makam tua. Tapi di makam ini, bebunga masih segar dan wangi. Aku menaburkannya dengan tangan-tangan kasihku bersama seribu tangan malaikat yang mengasihinya. Aku seakan kehilangan keinginan untuk beringsut dari gundukan tanah di depanku. Tanah yang di bawanya tertidur anakku di alam keabadian. Tiba-tiba aku ingat Monic, tupai kecil yang disayanginya, yang dengan iklas akan diantarnya ke kakaknya di California tapi ditahan imigrasi bandar udara. Tupai itu tak sempat kami jemput lagi karena kupulangan yang mendadak. Aku ingat T-Shirt kuning yang didandani kakaknya padanya, yang membuat ia bagaikan boneka Asia di antara boneka pohon-pohon natal di Amerika. Bayangannya yang mungil sejak bayi. Matanya yang jenial seperti mata kelinci yang lucu ketika mentertawakan mulut omanya yang berlepotan kuah siri-pinang merah. Segala hal tentangnya tiba-tiba menjadi masa silam yang datang menyapa silih berganti. Manis tapi mendedah hatiku.
Meria istriku telah pergi bersama para pelayat, kecuali pekerja kubur yang masih terus membenahi bagian-bagian yang belum selesai dikerjakan. Meria sangat terpukul dan sulit menahan diri. Aku telah meminta Herkanus untuk membawa ibunya pulang.
“Pergilah anakku. Ayahmu akan setia mengenangmu, sehingga engkau tetap hidup di jiwaku. Aku takkan pernah kehilangan dikau, karena kau tak pernah mati dalam hatiku,” bisikku pada tanah merah  di depanku.
            Burung-burung telah menjauh. Matahari terbenam. Aku tak jua beringsut. Aku ingin memasangi lampu di kuburan anakku. Aku ingin ia masih melihat terang di sini, di dunianya yang baru.
“Jika kau mau, kau boleh datang pada ayahmu dalam mimpi. Ayah berjanji suatu hari akan mencarimu jika ayah pergi menyusulmu di keabadian.”
            Kelelawar-kelelawar hitam beterbangan di kegelapan. Jangkrik dan Kongkoriang mengeluarkan bunyi dari dunia kesepian. “Aku ingin di sini anakku, di sini,  hingga matahari datang,” desisku.

***
            Aku hanya diijinkan sepekan tinggal di rumah. Perkabungan ini begitu menyakitkan bagi kami sekeluarga. Tapi bagi tetangga, bagi orang sekampung, bagi penduduk kepulauan ini, kematian tragis seorang anak PKI, tak lebih berharga dari kematian seekor ayam. Tidak ada rasa belasungkawa di wajah mereka. Malahan cibiran, ringkihan tawa mengejek dan mengutuk yang menyakitkan. Semua itu memedihkan hati kami sekeluarga, dan juga hati para keluarga Tapol yang merasa senasib.  Tapi apa yang dapat kami lakukan untuk mengubah itu semua? Kami telah ditempatkan menjadi manusia tanpa hak kemanusian, tanpa hak hidup, tanpa hak berpikir, tanpa hak membela diri, apalagi mencari kebenaran. Siapa kami ini di mata kalian? Keluhku tak habis-habisnya. Hanya kesunyian jawabannya. Hanya kesunyian yang sedemikian sepi mendengarkannya. Tak ada gunanya mencakapkannya dengan manusia, ketika kemanusiaanku sendiri telah dikuliti.
Sekali waktu aku merindukan bercakap dengan ciptaan Tuhan yang lain, selain manusia. Tapi tidak. Kecoa di selku cuma bisa menatapku dalam ketidak mengertian. Atau tikus-tikus itu, yang di malam hari mengagetkanku dengan melintasi tubuhku untuk merebut remah-remah di piring makanku. Tuhan, dengan siapa aku bisa bercakap. Dengan siapa aku bisa bercerita kejadian-kejadian keji ini, kecuali dengan kesunyian. Kami menjadi orang-orang yang berkali-kali tersesat di jalan buntu. Atau pelaut yang tergelincir di tebing laut, yang perahunya karam di dinding langit, tanpa pulau, tanpa daratan dan tiang-tiang untuk digapai. Menyesakkan sekali mengartikan hidup kami. Kami siapa? Tanyaku lagi-lagi, berkali-kali pada bayanganku di leper alpaka yang kubersikan dengan ludah. Berkali-kali dan selalu kulihat wajahku di kolam air hujan, di parit, atau pada embun yang tersisa di dedaunan. Tapi wajah siapakah itu? Apakah seorang manusia, atau hanya sebuah bayangan dalam impian seseorang yang tertidur pulas. Atau manusia imajinir yang dihidupkan seorang pengarang novel sebagai protagonis bagi karyanya.
Aku harus kembali. Kembali ke sel. Ruangan sempit dengan jeruji besi yang menghitam tempat angin dan udara masuk membagi kehidupan. Selama sepekan, belum bisa menghapus kepedihan di hati istiriku, tapi hukumanku harus kembali ku jalani.
***

(17)
Hari-hari berlalu dalam perasaan yang menyakitkan. Perasaan sakit hati itu seperti membiusku. Sebulan, dua bulan, tiga bulan, bayangan tragis kematian Dian terus mampir memberi irisan luka di hatiku. Inikah makna menjadi ayah? Ketika menjadi ayah, seseorang diberi kehormatan menjaga kehidupan anaknya. Seorang ayah tak pernah menginginkan kehilangan seorang anak. Seorang ayah selalu beriktiar mati di tengah anak-anaknya, dan tak kuasa menyaksikan kematian anaknya. Tapi seorang ibu akan lebih rapuh lagi menyaksikan itu semua.
Namun itu semua telah digenapkan padaku, menjadi lukisan kesedihan yang abadi ya Tuhanku. Di mana harus kugantung lukisan ini, agar sekali-kali  dapat kutinggalkan pabila aku penat menjijingnya. Tidak mungkin. Dan tak ada yang bisa memungkinkan semua ini terlepas, karena ini memang pahatan yang terukir di dinding perasaan, di ruang jiwa.
Lalu bagaimana nasib Yulin dan Jack menantuku? Apakah ia sudah sembuh? Meria hari ini mengunjungiku di Sel. Ia memberiku sepucuk surat dari Yulin.

Papa dan Mama
Salam kasih.

            Ketika membaca surat ini, Aku dan suamiku mungkin telah tiba di Libia. Kami terpaksa mengungsi ke sana. Surat ini kukirim ketika mampir di Davao. Aku berharap semuanya baik-baik. Suamiku kini sudah sembuh. Mama dan papa tidak perlu kuatirkan kami.
            Salam buat Herkanus. Bilang padanya, Broke merindukan dia. Jika ada waktu, suruhlah Herkanus ke Fentura, nanti aku atur biayanya lewat Om Boas di Cotabato.
            Bagaimana kabar adik kecilku Dian. Tentu ia telah tumbuh manis-manisnya. Mungkin sudah seperti malaikat natal. Cium dari kakak buat Dian.
            Aku dan suamiku lagi cari waktu untuk mengunjungi papa dan mama. Mungkin kami akan lewat jalur Jakarta, biar aman.

Salam
Yulin Dagos Jr

Surat itu seperti siraman hujan di hatiku. Hati yang kerontang tanpa pohon, selain tunggul-tunggul hitam dari negeri yang terbakar. Aku menangis bersama istriku.
 “Ia tidak tahu apa yang menimpa kita,” bisik Meria.
“Sebaiknya ia terus tidak tahu.”
“Kupikir juga begitu. Yulin baru lepas dari masalah yang hampir merenggut nyawa suaminya. Kini mereka menjadi pelarian di Libia.”
“Bagaimana Herkanus?”
“Dia sangat terpukul.”
“Surulah dia berangkat menemui Boas di Cotabato.”
“Aku berpikir juga demikian.”
“Katakan, aku yang suruh.”
Meria terdiam. Kulihat betapa mata istriku ini mulai kehilangan genangan. Air matanya mulai mengering. Ia terlalu banyak menangis untuk peristiwa demi peristiwa yang silih pergi yang selalu meminta basuan air yang hulunya di bathin itu.
“Aku bukan Bunda Maria, tapi mengapa dukanya bertatah di hatiku,” keluh Meria.
“Bernyanyilah dan berdoalah, meski mereka melarang kita untuk itu. Bukankah Bapa di surga pernah kehilangan seluruh anaknya se bumi. Dan untuk mendapatkannya kembali dari para perampas-perampas itu, ia harus menjadi Seseorang yang terpidana, dan menjalani hukuman mati di salib?”
Meria menatapku seperti seseorang yang baru terjaga dari sebuah mimpi buruk. Di mata itu ada keteduhan lain yang pelan-pelan bergeriap.
“Kau selalu punya kata yang bisa menghibur diriku. Tapi apa kau punya sebaris lagi untuk menghibur dirimu?”
“Menghibur diriku?” Pertanyaan itu tiba-tiba datang juga dari lubuk batinku. Semalam-malaman kucari, kubuka setiap halaman pikiranku, jiwaku, perasaanku. Tidak. Tak kutemukan kata atau sesuatu yang bisa menghibur diriku. Kecuali amarah yang diam-diam kian meninggi dan mulai memunculkan ranting-ranting. (Bersambung ke bagian berikutnya...)
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar