Senin, 26 September 2011

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (4)


Ritus Toar Lumimuut *)

Opo Wananatase…

Laut utara berkisah Emung
berharum bunga sembilan penjuru
menguntum doa Karema 
di angkaangka keramat

senja naik senja turun
bulan naik bulan turun

e, royor…

bukit, gunung, lembah, sungai, laut, hutan, rimba, satwa
burung, kupu, anoa, ular, manguni, ikan, kerang.
melontarkan warna ke udara
menjadi kuba pelangi mengindahkan senyap
menyambut kereta langit mengantar seorang dewi
Lumimuut…
kamu datang
datang kamu
datang  sajaksajak Emung
dirapal Karema siang malam
dihadapan Empung Wangko
jadi ibu sejarah Minahasa 

E royor…

bersinar kecantikan elok bumi
detak Emung di jantung waktu
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
muaikan rahim
syairsyair pernikahan purba
menjadi  Toar  yang kau lahir

Opo Wananatase…
Empung Wangko kau punya rahasia Agung
punya Kau kehendak waktu
berkisah tongkat tuis
tumbuhkan nafas Emung yang gaib
ToarLumimuut…
kamu dari satu menuju sembilan
ritus  Minahasa  puisi purba anak cucu

2004

*) Toar-Lumimuut adalah legenda Purba Minahasa yang mengisahkan kedatangan leluhur orang Minahasa. Leluhur ini melahirkan sembilan orang anak yang menjadi pemimpin Walak (Sub suku) Minahasa. Di Nusalawo dikisahkan seorang putri Minahasa keturunan Toar-Lumimuut bernama Abunia, dari klan Tonaas Pinontoan, menikah dengan putra Nusalawo, Mokoduludugh pada abad ke XIII. Dari pernikahan itu mereka mendapatkan tiga orang anak masing-masing:  Yoyubongkay (Raja Kerajaan Bolaang Mangondow pertama), Lokonbanua II (raja kerajaan Siaw pertama), Bulango (Perintis kerajaan Tagulandang, yang kemudian mendudukan anak perempuannya bernama Lohorauang, sebagai raja pertama). Pada beberapa fase kemudian, keturunan Mokoduludugh dan Abunia ini menjadi raja-raja di semua kerajaan di Nusalawo.


Alabadiri *)

tarian istana diciptakan baginda raja
buat membaca gerak hati rakyat

memanglah berbeda bila membaca kisah rajaraja Eropa
berbudak banyak berselir banyak, berkuasa tiada batas
berkuda melintas desa membuat malu debu mendekat

putriputrinya berkereta kencana dihela kuda ras dewa
menatap anggun ke depan seakan di sekitarnya tak ada kehidupan
gaunnya bersantin bersulam benang emas
karena bila dipinang jadi pengantin hanya oleh bangsawan berkelas

tersiarlah berita baginda Dalero mengelilingi desa
mau mendengar ia keluhkesah rakyatnya
didapatinya semua orang mengatup bicara
bersila taklim  dihadapannya serendah gulma

sekembalinya di istana hatinya diremas duka rasa bersalah
bagaimana bisa hidup ia di tengah rakyat tanpa suara
bagaimana bisa menimbang salah benar bila rakyat tunduk semata

di depan istana, baginda raja memandang laut tropis yang panas
mengenang datukdatuknya menantang gelombang angin selatan
bumi tua mewariskan ajaran keselarasan tanpa kelas bangsawan

datang malam ia memandang bintang bumi utara
moyangmoyang yang menjelma cahaya
menuntun pelayar bertemu pantai purnama

berhari berbulan tapa hati mendaki lampawanua
menyusur kecuraman sahandarumang yang lelah
burungburung menyimpan kicaunya di kegelapan hutan

beginda pun bermimpi moyangmoyang tinggi
memasuki istana memancung kepalanya
yang mengenakan topi besi berumbai bulu berwarna pelangi

malam itu baginda terjaga
diambilnya tinta dan alat penulis
di lembaran kertas putih diguratkannya kreografi

kerja semalaman menggetarkan kerabat kerajaan
karena baginda ternyata mengeluarkan titah
dalam gambargambar gerak hati rakyatnya

di kenduri kerajaan Alabadiri pun dipentaskan
kerabat raja dan pemerintah eropa tertunduk lemah
sebab baginda telah mengundangkan;
rakyat berhak menundukkan raja
bila hidupnya tak selurus garis lautan
bila kekuasaannya tak setulus keihklasan bintang

2004

*) Dalero, adalah raja kerajaan Tabukan. Memerintah di tahun 1892-1898. Ia mencipta tari “Alabadiri”. Tari Alabadiri adalah tari pemerintahan yang dilakukan di istana  Raja dimana rakyat menyampaikan kehendaknya melalui gerak tari dan alat – alat yang dipakai pada jari telunjuk, ditunjuk kelangit dengan pengertian bahwa seorang Raja atau pemimpin harus hidup putih bersih sebagaimana cicin yang dipakai pada jari talunjuk menunjuk ke langit sebagai suatu sumpah. Kemudian pisau yang ada di pinggang diangkat juga kearah langit untuk menyatakan bahwa jika Raja berlaku tidak adil maka rakyat akan melawan / memberontak. Gerakan tari ini mengikuti bunyi tambur. Tarian ini pun menjadi dasar inspirasi penghapusan perbudakan di kerajaan-kerajan Nusalawo, serta membangun semangat perlawan rakyat dan pemerintahan kerajaan-kerajaan terhadap kekuasaan Belanda yang feodalis, militeristik, menuju kemerdekaan bangsa Indonesia.



Talaud *)


puncak piapi menyimpan rahasia hutan
magma gunung telah lama mati tertimbun humus
melecutkan pucuk kayu hitam dan besi menjejar langit
dalam barisan pohon, batang rotan dan semak pakis
bertempur seperti serdadu kelembaban
mengalahkan angin kering melayukan urat

nyanyian luri di resik zaman
mengabar gemuruh lebat hujan tropis
mengkilapkan sayapsayap merah hijau birunya di labirin awan
memayungi kebun palawija, kacangkacangan yang gemuk
kelapa, cengkeh, cokelat, kopi, sagu, aren tegak bahagia
kegembiraan petani bertebar seperti sumur harta kaisar dan ratu
penuh manikam permata  tak habis terpakai seumur waktu

Maleo bertelur di gembur pasir
membiarkan matahari mengarami anaknya
menetas di pangku pengasihan alam
buat kemeriahan pesta langit
di tepi bumi yang alami

ketang kenari mengerat kelapa menyisahkan remah
buat satwa yang lemah
anaianai melobangi tiang rumah
bertengkar dengan semut hitam yang mencuri telurnya
di balik dentum ambora, tanjung ombak abadi
yang terus bergelora
menggairahkan anakanak penyu belajar berenang
melecut gairah semangat kebaharian anak nusa

o, di dataran pulaupulau indah ini…
harusnya tak menetas rinai geram perbudakan
luka terbuka abad silam menanah di gema nanaungan
pengudusan kenduri Mahadia Ponto-Pasilawewe
menjatuhkan Kabaruan seharga kepingan logam mas kawin
lalu memborgol kepak gagah bangsa raja Elang
menjadi tekukur taklukan di kerangkeng pasar jual beli
di mangsa makaampo, dihisap lintah kopeni 
persis di lekuk pantai molek menggeriapkan warnawarni ikan

tataplah dari Wowonduata pelampung air mengangkat pulau
seperti tangan Tuhan langsung membentuk lekuk tubuh anak gadis
meliuk gemulai membersitkan kecantikan sempurna hamparan karang
yang menebing dan datar atau menggembul
di dada benua berkilau perak pasir putih
pulaupulau tropis Pasifik yang dimasak dua musim
menjadi nona berpinggul padat memancar gairah
di ranjang beludru hijau pepohonan hutan
yang merebahkan tubuhnya membuka terusan jembatan pulau
dari tinonda sampai napombalu laksana kereta surga
menuju kutai, philipina, malaka, batavia
dan dunia baru di abad yang belum tiba

kelelawar terbang di tengah malam
suruk mengintai dengan gigi yang tajam
anakanak muda mabuk di gigir zaman
kakerlak mencari kesunyian di lemari pakaian
o, marilah keluar dari kamar kekhilafan
menjahit zaman yang disobek keangkuhan
bermalasan tak membuat kenyang
mencangkul ladang, menangkap ikan mencahayakan martabab
mengejar ilmu dan kearifan mendatangkan kebijaksanaan
hingga lantai bumi tak menjadi lebih tua dari umurnya
karena retak  oleh nafsu dan sesumbar kuasa

jangan biarkan anak dimangsa ular di tepi jalan
buayabuaya di sungai biarlah mereka memakan babi hutan
bukan perempuanperempuan kita yang dulu melangir rambutnya
buat keharuman peradaban

bukankah di nanusa samudera masih mendengar suara manusia
mengisi ikan di lumbung doa di cekukan karang
gelatik, beo dan elang masih menggetarkan angkasa
dalam nyanyian tambur di pentas manee dan sawakka
ini waktunya mabua ton,na zaman
udah makat raya bukan payung air mata
tapi benteng utara yang gagah
buat sejarah baru
setelah zaman kesatria Arangkaa

2004

*) Talaud adalah sebuah gugusan pulau di jazirah Nusalawo. Saat ini telah menjadi Kabupaten Talaud.  Tanahnya subur, lautnya kaya ikan. Hasil tambang yang berlimpah tapi belum dieksploitasi.Di zaman purba, sejarah orang-orang Talaud selain punya persinggungan erat dengan Mindanou, juga punya persentuhan yang dekat dengan kerajaan Kutai di Kalimatan dan Majapahit di tanah Jawa. Serta kesultanan Ternate dan Tidore. Bermula di akhir abad XIII, di masa raja-raja Nusalawo, kepulauan ini merupakan daerah taklukan. Baik dalam status pampasan perang atau takluk karena diserahkan raja setempat menjadi mas kawin (Laekeng). Pulau Kabaruan misalnya adalah mas kawin dari pangeran Talaud Mahadia Ponto kepada putri kerajaan Siau, Pasilawewe, anak dari Raja Lokonbanua II yang memerintah di tahun 1510-1540. Penaklukan itu memunculkan masa perbudakan di kawasan ini, dan terus berkembang seiring datangnya orang Eropa, terutama Spanyol, Portugis dan Belanda, yang ikut mengambil untung dalam bisnis perbudakan. Tapi perbudakan tidak saja terjadi di Talaud, juga di Sangihe dan Siau Tagulandang, akibat politik pecah-belah Kompeni Belanda.  Manee, adalah tradisi tua di pulau Kakorotan, menangkap ikan dengan daun kelapa. Sawakka, adalah upacara menolak bala. Mabua Ton’na adalah pesta adat buka tahun baru. 



Siau *)

meletus lobang magma
cahaya belerang merah
kepundan pongah
dua pangeran berebut tahta
melelehkan lava
menghanguskan darah
di lereng kebun pala

ini sejarah arang menyemburkan debu
menjadi kubah batu
menggilas Katutungan
melongsor dari puncak gunung
Karangetang yang terpancung
menembus Ulu menjadi padang pasir
mendidihkan hati tak jerah bertarung

darah siapa yang tergenang di Liwua Daha
kalau bukan sejarah tua yang lusuh
rakyat diperadu menggali sumur harta para datuk

abu turun dari angkasa
memberi makan akar pala
yang hanya menyisakan asam pekat
di hati para kuli yang terus meratap

pertapa tua itu bersila
dengan punggung yang letih dan luka
karena digali buat rumah bersembunyi
kota di bawahnya tak lagi tempat canda
anakanak dara, kecantikkan taman raja
orangorang asing menguasai kebun pala
menguasai kehidupan sudut kampung
yang dulu bermandikan kerlip kunang
yang menabung phosphor buat cahaya malam

Sempurnalah kegelapan di atas batubatu
yang terus digelindingkan gempah
menimbun cerita lama
yang naifnya
sekekar gelombang menggempur ulu
dibawa taufan abad
yang abadi melancarkan peperangan

2004
*) Siau adalah salah satu kerajaan besar di kawasan Nusalawo purba. Pengaruhnya tidak saja di wilayah Nusalawo, tapi menembus Mindanao Selatan, daratan Minahasa dan Bolaang Mangondow, serta pinggiran Gorontalo. Kerajaan ini termasyur dengan cerita peperangan laut yang banyak meraih kemenangan, terutama di zaman laksamana laut Hengkeng Naung. Berdiri pada tahun 1510, dengan raja pertamanya Lokongbanua II (1510-1540). Lalu digantikan putranya Posuma, lewat peperangan besar melawan saudaranya sendiri, Akumang. Dalam perang saudara ini ribuan orang mati dan kawasan peperangan yang terletak di sekitar desa Mbeong, Siau Barat menjadi kolam darah (Liwua Daha).  Memiliki gunung api yang aktif dengan ketinggian 1784 meter yang menjadi penyebab gempa sepanjang tahun. Tanaman pala bertumbuh subur di sini. Menjadi daerah pemasok terbesar kebutuhan pala dunia. Karena Kekayaan pala itu, dimasa penjajahan, daerah ini menjadi arena rebutan pengaruh antara Spanyol, Portugis dan Belanda. Peperangan pun terjadi dalam beberapa babak yang mengorbankan banyak nyawa.



Sehangbalira *)

betapa nista dayang wanita bila jatuh cinta
kepala raja bisa dipancung membayar asmara

Alahumbeli menidurkan raja Tolosang di pangkuannya
rebah pula langit Manganitu di gua purba
o, betapa mahal rias keindahan rupa perempuan ini
hingga wangi gunung lembahlembah Manganitu
tersuruk di pucuk dada dalam liar ombak teluk
yang penuh gairah menghujam liangliang batu
dan lelap bersama raja di punggung khianat Sehangbalira

raja Buntuang mengirim algojo
menebas batang leher raja Tolosang
tertebas pula batang tiang Manganitu
menampiaskan darah ke pipi adinda ratu dan pengeran
meleleh di kakikaki sejarah rakyatnya

orgasme penghianatan menghamilkan pikiran jadah
raja Buntuang dayang Alahumbeli berpesta rasa
kepala raja Tolosang telah dibawa ke Tahuna
dari medan perang tanpa keperkasaan

tersebutlah budak sahaya Salompito
mengambil pulang kepala rajanya
bukan karena ingin menjadi orang merdeka
semata pengabdian seorang hamba
mengubur tuannya dengan penuh kehormatan

Raja Buntuang geram kehilangan kepala tawanan
malu ia dicemooh seisi kerajaan
dikirimnya Pulungtumbage adiknya berperang
Lantemona menenggelamkannya di rawa Manganitu

hutan gunung Sehangbalira pun mengetarkan
nyanyian kekalahan yang resik di rimbun bambu
menebarkan merang memerahkan hati Buntuang
ditebasnya pula batang leher semua laskarnya
menutup kisah Sehangbalira penuh darah

2004

Sahangbalira, adalah sebuah gunung kecil di wilayah Manganitu, pulau Sangihe. Tempat ini sempat dipersengketakan antara kerajaan Manganitu dan kerajaan Tahuna.  Pasalnya, Raja Buntuang  (1625-1665) dari kerajaan Tahuna menjadikan Sahangbalira sebagai tempat persembunyiannya dari ancaman tentara VOC akibat tenggelamnya kapal perang VOC di pantai Kolongan, oleh pasukan kerajaan Tahuna dimasa ayahnya, Raja Tatehe Woba, berkuasa (1580-1625). Sebagai pemilik gunung Sahangbalira, kerajaan Manganitu di bawa raja Tolosang  (Liuntolosang) yang berkuasa pada 1600-1645, tentu tidak bisa menerima daerah kekuasaannya diambil begitu saja oleh raja Buntuang. Mereka pun berperang, dan berakhir dengan terbunuhnya raja Tolosang karena penghianatan Dayangnya sendiri (Alahumbeli) yang telah bekerjasama dengan raja Buntuang.  Kepala raja Tolosang di pancung algojo kerajaan Tahuna ketika ia tertidur lelap saat Alahumbeli dayangnya mencari kutu di kepalanya (tahun 1645). Kepala raja Tolosang pun di bawah ke Tahuna, tapi kemudian diambil secara diam-diam oleh Salempito (seorang budak raja Tolosang). Kejadian itu, membuat raja Buntuang mengirim adiknya  Pulungtumbage memimpin pertarungan di Manganitu. Tapi Lantemona, anak dari Raja Tolosang berhasil mengalahkannya di rawa Manganitu. Kekalahan itu membuat Raja Buntuang membunuh semua laskarnya yang tersisa. Semenatara raja Manganitu, Tompoliu  (anak dari raja Tolosang),yang memerintah tahun 1645-1670,  memberikan kemerdekaan pada Salempito dari posisinya sebagai budak.  



Tagulandang 1870 *)

raja fasik menghina langit
membangunkan ombak menyebar mautnya

rubuhlah tiangtiang kedatuan
oleh kata lancang rajanya
dalam bau amis kemabukan semalaman
yang paginya tumpah jadi serapah di depan gereja

lagi di senja berkabut ia menuding langit
seakan Tuhan seorang terpidana
bersujud kalah di depan kebesaran seorang raja
seperti sejarah sultansulatan menyembah leluhurnya

imam Kelling seduka Johanes  di gelegar ombak pulau patmos
melihat Roma memancar kemilau, lampu percabulan kuasa
di menaramenara kota yang menyilaukan langit
mengkaparkan doadoa para imam ke lantai becek kotoran zaman

dan wahyu mengetuk pintu samudera
menaikan pasang yang menumpakkan ombak
melompati ketinggian batang kelapa
menghujam ketinggian kuasa raja
hingga remuk bersama kotanya

450 ratap ditangisi rumah duka
di siang hari ketika orang rajin dan saleh
usai menyiangi kebunnya

2004

*) Kisah pelayanan Imam Zending F. Kelling di Kerajaan Tagulandang.  Dimana pada tahun 1870 daerah itu dihantam ombak pasang (tzunami) yang tingginya melebihi pohon kelapa tua (sekitar 25 meter lebih), yang menyaput habis kota Tagulandang dan pantai-pantai sekitarnya. Dalam kejadian ini 450 orang meninggal, ratusan rumah hancur, ratusan orang lainnya mengalami luka-luka. Ajaibnya, rumah Imam F.Keling yang hanya terletak 400 meter dari pantai tidak terkena gempuran ombak itu. Dikisahkan air bah itu seakan menghindar rumah sang imam dan keluarganya, Sementara di sekitar rumahnya semua bangunan dan kehidupan luluhlantak. Kejadian ini dikaitkan dengan sikap raja kerajaan Tagulandang pada waktu itu, yang sehari sebelum kejadian mengeluarkan serapah dan menghujat-hujat Tuhan di depan gereja.

Raksasa Bakeng

terkisahlah cerita lama di kabut mega
selaksana anak taufan menghamburkan pasir
menerjang mata para raja dan sultan
yang tak nanar menatap buana

begini ceritanya; ada keluarga raja raksasa
hidupnya pesta pora dan semenamena, Bakeng namanya
penyantap manusia dan peminum darah
tak hanya rakyat biasa atau pengelana
juga pegawai istana dan pembantunya dilahapnya

ini budaya, mungkin mengeritik raja atau penguasa
bisa di mana saja,  waktu kapan saja
atau di saat ini, penguasa di sini
ya…terserahlah, membuka fikiran kan ada faedahnya
ketersinggungan merendahkan kearifan
ketersinggungan pun bukan budaya orang lautan
apalagi kisah bijak ini datangnya
pasti dari rakyat yang hidupnya terhimpit kuasa
tak apalah mendengar keluh mereka:

tersebutlah Pangaia Pangelawang 
begitu nama si jelata bersaudara
mereka punya dua adik perempuan
yang masih kecil dan disayang
orang tua mereka telah lama menghilang
di telan perang mempertahankan kerajaan

kedua jelata mungkin bukan pahlawan
mereka hanya nelayan berumah gubuk di pesisir kerajaan
menjadikan laut sebagai ladang hidup dan kekayaan

senja datang dikayuh perahu ke lautan
di kailnya ikan untuk santapan pagi petang
sisanya ditukar dengan umbiumbian
melengkapi menu keseharian

begitulah gambaran orang sederhana
tak bermimpi memetik bintang
meski bintang tak lebih tinggi dari puncak sembayang
yang sehariharinya dicapai mereka dalam doadoa malam

tapi di manamana kekuasaan tak punya mata
mengisi gudang makanan, harta berlimpah menjadi  tujuan
Raksasa Bakeng tega menangkap kedua adik mereka
buat menu utama pembuka pesta malam istana

Panggelawang Pangaia sontak melawan
karena sekuningnya kulit pinang
bila dilumat akan memerahkan lidah
usai menyiapkan jebakan, menyamar mereka jadi koki kerajaan
menyuguhkan makanan berlauk daging anak tuannya

Bakeng dan istrinya naik pitam
bagaimana bisa ada yang berani membunuh pangeran
keduanya langsung mengejar Pangai Panggelawang
yang sedang berlari menuju jembatan jebakan

begitulah sifat penguasa, bila dikeritik langsung berang
semut sekalipun bila melawan akan dilindas dengan alat perang
hati berlumur kalap bagaimana mata mampu melihat jalan
di tengah jembatan mereka menggelongsor ke dasar jurang

akhir kisah, dari dasar jurang muncul gunung Awu berperangai garang
yang selalu memuntahkan amarah tak alang kepalang
di tahun 1892 memakan 2000 jiwa dalam serangan gas panas
dan memuntahkan lava meluluhlantakkan 3 kerajaan.

2004

*) Raksasa Bakeng, adalah legenda orang Nusalawo tentang terbentuknya gunung Awu di pulau Sangihe.  Raksasa Bakeng, seorang raja buas, karena ia dan keluarganya suka menyantap daging manusia dan meminum darahnya. Mereka akhirnya terbunuh dalam jebakan Pangaia dan Panggelawang, yang berjuang membebaskan kedua adiknya yang di tawan Raja Bakeng di kandang makanannya. Pangeran Batairo, anak Bakeng juga terbunuh saat Pangaia dan Panggelawang menyamar jadi koki di istana Bakeng. Keduanya menyembeli Batairo sebagai pengganti orang yang akan di sembeli saat itu. Bakeng dan istrinya yang mati di dasar jurang kemudian berubah menjadi gunung Awu Sangihe. Sebuah gunung api aktif yang dalam sejarahnya telah berkali-kali meletus dan memakan banyak korban jiwa, serta menenggelamkan beberapa sisi pulau Sangihe hingga membentuk pulau-pulau kecil di dekat daratan Sangihe. Letusan tahun 1892 meluluhlantakkan  kerajaan Tabukan, Tahuna dan Kendar, serta menebarkan debu panas ke berbagai penjuruh hingga ke pulau Siau dan Tagulandang. Korban jiwa karena awan panas dan lahar mencapi 2000 orang. Letusan sebelumnya, lebih dasyat dari letusan terakhir ini.



Manusia Pulau *)

ombak tempias di muka
mengasinkan sejarah manusia pulau

dan mengkristal garam keringat di pori pelayaran
mengilaukan rancak budaya burungburung lautan
doa, menghela matahari menggaris khatulistiwa
di batas wilayah terutara kita namai: Indonesia

di sini perahu merayapi wajah laut
mendaki keanggunan gunung pulau
tebing batu lincin, ketajaman karang
dengan keuletan arus mengajar kearifan

kearifan punya indra mata dan telinga
membaca pesan angin atau derap perahu perompak
agar mulut bisa merapal mantra keteguhan
diisyaratkan langit di uraturat badai

malam tiba, burung hantu memucatkan bulan
di dahandahan rimba, anjing tanah menggerisik
menggali ceruk dasar bumi mengeluarkan kengerian
perang tak berkesudahan para bahaning nusa

dan bayangan sejarah suram selalu tiba di pagi buta
dikisahkan pengkhianat menyeret raja ke tiang gantungan
menghancurkan rakyat dalam politik adudomba
buat segepok uang sekerat daging sebutir nasi
di belanga peperangan berseduh air ludah

berlarilah anakanak  di pasir kotor
sejarah buram yang terhempas ombak selatan
memunculkan kemelaratan di liar laut
angin kuat yang mematahkan batang kokoh tiang rumah

manusia pulau
selalu hitam dan ringkih
terbakar pergulatan nasib
seperti anak tiri yang menghuni rumah belakang
yang di depannya berdiri istanah megah Indonesia Raya

2004

*) Tradisi Sasahar (budaya Laut) dan tradisi Sasalili (budaya pulau) orang-orang Nusa Utara membentuk filsafat keseimbangan yang disebut “Jalan sasambo”. Filsafat Manusia Pulau ini terdiri dari lima unsur penting yakni: Pertama, tembo (kepala) atau wisdom. Kedua, seba kuaneng (dada kanan) humanity. Ketiga, seba kuihi (dada kiri) believe for god atau keimanan. Keempat, tiang (perut) power. Kelima, manu kadio (penis) regeneration. Dengan pelbagai syair dalam lagung (bentuk irama ,isi syair) sasambo manusia Nusa Utara diajarkan berbagai kearifan (wisdom) hingga apa yang dilihat, didengar, dan diucapkan adalah kebenaran. Proses pembentukan kearifan ini sudah dilakukan sejak seorang anak masih kecil dalam lagung Kakumbaeda atau Sasahola. Namun, kearifan belumlah sempurna jika manusia itu tidak memiliki rasa percaya diri (to be) dan berkembang menjadi humanity yang dilafaskan syair-syair lagung sesonda. Dua unsur sebelumnya harus pula diteruskan dengan unsur ketiga yaitu keimanan (Believe for God). Masyarakat Satal purba dinamisme meyakini adanya Tuhan (Ghenggonalagi, Duata). Unsur ini dilafaskan dalam lagung Duluhang/Balang. Unsur ke empat yakni tiang (perut) merupakan aspek ekonomi (kesejahteraan) atau power. Ketiga unsur sebelumnya akan distortif jika manusia tidak mampu menciptakan kesejahteraan bagi kehidupannya. Kearifan akan bengkok penerapannya, dan keimanan serta harga diri akan luntur. Maka aspek kesejahteraan menjadi penting untuk menopang jalannya tiga unsur terdahulu. Pengajaran ini ditemukan dalam syair Kakumbaeda dan Sasahola, yang diajarkan sejak masa kanak-kanak. Unsur terakhir adalah Manu Kadio (penis) merupakan aspek regenerasi dan cinta kasih. Dalam syair lagung Bawine, manusia Nusa Utara diajarkan pentingnya suatu upaya penyiapan generasi baru yang penuh rasa kasih sayang terhadap alam, lingkungan dan manusia, untuk melanjutkan jalannya peradaban.



Pertapaan Gunung
(mengenang E.T. Steller)
petakpetak kebun cabangcabang hutan manganitu
menyaksikan perjamuan asya matahari
mengubah setitik embun jadi mutiara, gema syukur
di rumah tawa sangkarsangkar yang dulu gelap

inilah tapa pendakian ilmu seperti anak burung
melepas tubuh dari cakangnya
dan terbang setinggi rajawali
dalam migrasi zaman mencari terang


ketika itu pintu  asrama gunung di buka di suatu pagi
seorang zending berjubah putih seperti nabi Daud
menyanyikan mazmur  anakanak tak beralas kaki
yang berbaris diakarakar laut senyap pulau

“marilah belajar membaca biar bisa menulis Nusa Utara-mu
karena di atas ladang lautmu akan melintas sejarah panjang
tanamlah pohon lurus untuk lunas perahu di hutan ini
hingga jelajahmu bisa sampai ke pantai luas yang baru”

sepertinya langit mendengar doa pucukpucuk bunga hutan
menurunkan hujan menggemburkan tanah kering buat kecamba
padepokan pertapaan gunung, ruang kelas mereka adalah kebun,
bengkel mesin, arsitektur rumah, kamar orang sakit,
marifat doa dan sebuah papan bertuliskan:
“ilmu adalah jendela dunia”

ratusan orang belajar di sana
membolak balik kitab injil sosial
dari seorang imam untuk dunia
yang kini menjadi jejak ziarah
bahwa dia bukan penjajah

zending memang bukan VOC
meski datangnya di kapal yang sama
satunya membuka cahaya lainnya mengejar laba
seperti racun dan obat berasal dari pohon yang sama

2004

*) Missionaris  Zending tukang E.T. Steller, seperti juga missionaries tukang lainnya, dalam pengabdiannya di Sangihe selama 40 tahun, menerima banyak anak pribumi di dalam rumahnya untuk dilatih dan belajar berbagai kemahiran kerja, seperti perbengkelan mesin, bercocok tanam dalam teknik modern, arsitektur, ilmu perawatan, dan guru. Usaha  ini dilakukan  karena keterbatasan kaum pribumi menyekolakan anaknya di sekolah pemerintah yang sangat mahal biayanya. Kegiatan ini dikemudian hari dilanjutkan anaknya Mr. K.G.F. Steller, dengan membuka model pendidikan padepokan yang disebut “Asrama Gunung”, yang berhasil melepaskan banyak lulusannya yang trampil di bidang masing-masing, dan mendorong kemajuan di Nusa Utara ketika itu, dan masih terasa manfaatnya hingga kini khususnya dibidang pertukangan.  E.T. Steller, adalah seorang Zending Gossner Jerman,  mengabdi di Sangihe sejak 25 Juni 1857 meninggal  pada 3 Januari 1897 dan dikuburkan di Manganitu, Sangihe, di samping makam istrinya. Ia adalah salah satu dari sekian orang Eropa yang berjasa besar dalam mencerdaskan kehidupan orang-orang Nusa Utara. Sejak kedatangannya pertama ia tak lagi melihat negerinya. Ia menganggap Sangihe adalah tanah airnya yang baru.

Tingkaru*)

aneh kelakuan binatang satu ini
mengangguk bijak setenang langit
seselidik buaya memancar aura kebuasan
lidah berliur selicik biludak

tapi bukan ia binatang berbahaya zaman hawa
seperti adam perawakannya lemah penuh sahaja
retakkan pohon tua rumahnya, sekadar serangga makananya
lucu ia ditanya segala, karena jawabnya mengangguk saja

apakah kau binatang perkasa?
ya… jawabnya.
apakah kau keturunan gotzila atau dinosaurus?
ya… jawabnya
bila berhadapan tentara takutkah kamu?
ya… jawabnya
matamu mebara seperti saga, beranikah kamu pada Tuhan?
ya… jawabnya
lidahmu bercabang, apakah kamu politisi?
ya… jawabnya

cicak tingkaru di cermin waktu
menorehkan tapak debu di hutan sisak batuline
kini merayap di tikar pandang di anyam bokiboki
mengoyak serat daun pesisir, bersujut kalah datudatu tampa
menyingkap ironi sejarah: Ambia, Kuma, Maririt, Essang, Lalue, Bulude,
Mamahan, Bambung, Taturan, Geme, Arangkaa, Bune, Malat, Banada,
Apan, Lahu, Ganalo, Amat, Dapalan, Riung, Binalang, Toabatu,
Tabang, Bantane, Rainis, Matahit, Tarohan, Niampak, Ruso,
Pampalu, Tarun, Sawang, Melonguane

tengkorak di totombatu, balangingi dengan perahu
tamawiwy jadi pesuruh, Mokoagow diculik sekutu
dari zaman spanyol, portugis, belanda hingga jakarta
mengapa talaud hanya mengangguk saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar