Minggu, 25 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (5)


BAGIAN : IV

1973

(Upung-upung baroa
angile u wae
wae I pa ura
I pandamu gati
Sio roto we
Tuarinu edoi we
Bulan wajahnya muram
Sinarnya membersit di gemawan
Bergerak
Dan bergegas
Entah
Ke mana)

(12)
            Southern California, sebagaimana negeri-negeri lain di Amerika, telah menjadi negeri impian. Adidaya yang dirakit dari suatu exodus para migram Eropa baik sebelum dan sesudah perang Napoleon pada tahun 1815. Aku membaca semua itu dari buku kiriman Yulin kepada Herkanus adiknya. Kini sepenggal hati kami tersimpan di sana, menjadi muara kerinduan keluarga.
Negeri itu kini seakan datang memperkenalkan diri dalam riwat hidupku. Kian bertambah, menjadi tempat persingahan dalam pengembaran kehidupan dari negeri pelarian di ujung Timur.  Maka merayaplah hatiku senantiasa  melintasi samudera bahkan gunung-gunung  setiap saat aku merindukan orang-orang yang kukasihi. Dari titik yang satu kemudian berkelebat ke titik yang lain, yang tempat-tempatnya kadang tak kukenali bahkan tak kumengerti. Semuanya berjalan seperti kisah rahasia yang sedang kubaca pada sebuah buku baru yang kubeli. Maksud rahasia itu kadang membuat aku terperangah memikirkannya. Tapi lebih banyak membuat aku puas. Setidaknya aku bisa membimbing keluargaku keluar dari tadir yang senantiasa menjadi pokok kekhawatiran Fanseska Matiti. Oma Tua di alam sana itu mungkin bangga melihat cucu-cucunya berhasil kuselamatkan dari takdir buruk di pulau-pulau Talaud.
Yulin dan menantuku  Jack, sudah cukup lama di California. Sudah beberapa kali Yulin menilpon dan menyurati ibunya dan adik-adiknya.  Seperti malam ini, si sulung yang telah mengantongi kewarganegaraan negeri Barat itu  kembali menilpon ibunya pas kami sekeluarga berada di ruang tamu menanti tilpon darinya. Siangnya memang Yulin sudah bicara pada Dian akan menelpon malam ini. Makanya sejak pulang pesta sunatan di rumah salah seorang buruh perkebunan, Dian telah mengingatkan pesan kakaknya.
Setelah telpon berdering, Meria dengan cepat menuju bufet dekat pintu kamar tamu.  Sofa dimana ia duduk bergeser ke kanan mengeluarkan bunyi derit yang melengking akibat sentakan tanggannya menopang tubuhnya waktu berdiri. 
“Pelan sedikit,” kataku memperingatkan Meria. Ia menatapku dan mengerling. Ah … kerlingan nan indah, pujiku dalam hati. Rambutnya yang telah dicatok lurus seirama menjuntai ke bahu, hingga menutup bagian atas T- Shirt putih tanpa lengan itu.  “Aku sangat kangen,” katanya, dan terus mengangkat telepon di atasnya dan bicara.
Seperti biasa, ibu dan anak itu akan terdengar cerewet bermenit-menit. Seperti tak ada habis-habisnya bahan dipercakapkan. Percakapan dua perempuan yang saling mengasihi, yang terpisah di dua kutup dalam planet bermanusia ini.    
“Dia sangat merindukan kita pa,” ujar Meria dengan muka cerdik, setelah meletakkan gagang telpon kemudian bersandar di tiang kunsen pintu bercat cokelat manggis itu.  
“Itu sudah pasti!” selahku, lalu kembali membaca koran yang sedari tadi kubaca. Dian menoleh ke arahku dengan senyumnya yang menggemaskan. Herkanus anak itu mungkin di ruang belakang, asyik dengan novel- bacaannya.
“Jadi kita harus ke sana. Tak apalah sekali-sekali kita pesiar ke negeri yang maju. Masa sudah beberapa tahun menikah kita masih belum diberi cucu. Kita perlu bertemu dia, bicara dengannya. Siapa tahu ia ada masalah!” ujar istriku lagi, dengan nada membujuk sambil berjalan, kemudian menjatuhkan tubuhnya di sofa di samping Dian.
Dian yang lagi asyik dengan game di tanganya berhenti sejenak dan memainkan keningnya yang mungil untuk mendorong ibunya agar menekanku terus.
“Iya. Kita harus ke kakak. Masa waktu liburan begini di habiskan di rumah,” seru Dian dengan suara merengek.
Dian memang terlihat amat merindukan kakaknya. Mereka sebenarnya sudah tahu aku akan ke Talaud mengunjungi family dan menengok perkembangan di Talaud. Pesan itu sudah kusampaikan lewat Yansen, lelaki dari Ganalo yang kebetulan mampir membawa surat dari Kerabat dekatku di Beo. Aku pun sudah mengirimkan balasannya lewat Yansen yang masih punya ikatan family dengan Meria. 
“Bagaimana kalau aku ke Talaud dulu, baru kita ke sana,” tawarku.
“Ah. Papa, California dululah, nanti kalau sekolah buka, kami tak punya kesempatan,” rengek Dian lagi.
“Tapi di Talaud, warisan kita katanya dirampas orang. Papa harus pergi mengurusnya dulu.”
“Sebulanlah kita di sana, baru sama-sama kita mengunjungi Talaud,” bantah Meria yang kemudian berdiri, berjalan menuju dapur, diikuti Dian.
“Aku pikir pendapat ibu benar,” sahut Herkanus yang mendadak muncul bergabung dengan kami.  Herkanus, anak pendiam itu memperlihatkan keinginannya juga mengunjungi negeri di belahan Atlantik sana. Mungkin ia terilhami novel-novel bacaannya. Sejak di bangku SLTA ia kelihatan menggemari novel-novel Amerika dan Eropa. Mungkin kerena di tubuhnya masih mengalir darah negeri dingin sehingga ia terpikat dengan romantisme Barat yang sarat dengan janji-janji dan pengharapan. The Old Man On The Sea, karangan Wiltman telah menjadi favoritnya. Ia bilang, kisah lelaki tua dari Amerika itu adalah kejadian biasa yang sehari-harinya di alami nelayan Sangihe Talaud.
“Sekali waktu aku suka membuktikan kadar humanisme Amerika dibanding humanisme Satal,” ujar anak itu suatu ketika padaku.  Tapi ia tidak suka dengan abad hitam kultur Eropa seperti diungkap The Scarlet Letter.
“Oke, tapi papa harus menyelesaikan beberapa pekerjaan satu dua minggu ini,” kataku pada Herkanus.
“Itu baru hebat!” seru Herkanus. Wajahnya terlihat memancarkan rasa puas.  

***
Aku sedang membaca “Vontamara” novel Ignasio Silone di ruang tamu dekat jendela sambil sesekali melihat kunang-kunang bermain di ranting mahoni ketika telepon berdering.  Jam baru menunjukkan pukul 21.00 malam. Meria dan kedua anakku sejam yang lalu sudah pamit tidur.
“Hallo,” kataku di gagang telpon.
“Kau langsung ke Davao malam ini, bawah dua orang lainnya. Di sana Paulus menantimu dengan mata-mata kita yang baru dibebaskan. Kau atur agar orang kita itu dirawat ke rumah sakit di sana,” kata suara penilpon yang sangat ku kenal itu. Suara bariton dalam tekanan yang berat dengan serak yang khas.
“Ya tuan Argava,” kataku lagi.
Seterusnya, tak banyak yang kami cakapkan, kecuali beberapa pesan penting Dagos Argava yang harus kusampaikan pada Paulus.
Setelah menjemput dua orang pekerja perkebunan, aku langsung memacu jeep yang kukemudikan menuju Davao.  Senjata otomatic pemberian Paulus tempo hari, juga ikut kuselipkan dalam tas di antara beberapa pakaian ganti yang kubawa. Pengawal yang ikut denganku keduanya bisa mengendarai mobil, hingga di perjalanan yang cukup jauh ini kami bisa saling bergantian.
Singkatnya, mendekati subuh, kami baru sampai di Davao dan langsung menuju sebuah penginapan dekat Port. Penginapan yang terlihat sederhana itu lebih banyak di huni para pelaut dari pada tamu-tamu dari profesi lainnya. Petugas Office yang sudah sangat mengenaliku langsung menyambutku dan mengatakan Paulus menantiku di kamar 24. Suasana penginapan masih sangat sepi, sama dengan keadaan di luar sampai jauh ke gerbang port yang begitu lengang. Hanya satu dua bayang orang yang sesekali melintas memasuki port. Wanita-wanita penghibur yang biasanya berseliweran di sana pada jam-jam ramai hingga tengah malam, tak kelihatan lagi.  Dua pengawalku kuperintahkan berjaga-jaga di loby saja dan sesekali memeriksa keadaan di luar, jangan-jangan ada pihak lain yang mengacaukan penjemputan ini.
Dengan cepat saja aku menuju kamar di lantai dua penginapan itu. Sesampainya aku langsung mengetuk pintunya.
“Siapa?” tanya suara dari dalam. Itu pasti suara Paulus pikirku.
“Kepas!” jawabku. Pintu agak berderit ketika dibuka dengan cepat.
“Hallo,” kataku pada Paulus.
“Silakan masuk kawan,” balasnya sambil menggandeng punggungku.
“Astaga, ternyata kamu!” seruku agak terperanjat saat melihat lelaki yang harus kujemput yang lagi duduk bersandar pada ranjangnya. Ia ternyum . Senyum yang amat kukenal. Senyum yang sudah beberapa pekan ini kurindukan
“Jadi?”
“Ya. Aku juga bekerja pada majikanmu!” potongnya.
“Kamu saling kenal?” tanya Paulus.
“Iya. Ini penyair gila yang pernah kukisahkan padamu,” kataku pada Paulus.
“Yang kau sebut kekasih sang angin?” tanya Paulus lagi.
“Sebagai kekasih sang angin, kita ditakdirkan untuk selalu berjumpa,” kata si tua penyair itu.
“Kupikir kau telah wafat,” kelakarku, ”jadi selama ini selain sebagai penyair kau juga mata-mata yang mengawasi pekerjaanku di port?” tanyaku.
“Kawan sejati adalah musuh paling berbahaya. Andaikan kau menyeleweng dari titah Argava, mungkin kawanmu ini yang menamatkan riwayatmu,” katanya sambil menepuk-nepuk dadanya dengan bangga.
“Paulus, seharusnya kau membocorkan lebih awal rahasia lelaki tua ini,” kataku pada Paulus.
“Akupun tak tahu siapa dia sebelumnya,” kata Paulus, sambil menyulut rokoknya dan duduk di kursi dekat meja berkaca disalah satu sudut kamat itu, yang langsung berhadapan dengan kami.
 “Duduklah!” kata si tua padaku. Aku memilih duduk di ranjang dekat denganya agar bisa melihat bagian-bagian wajahnya yang leban, mungkin akibat hajaran sewaktu disekap. Wajah tua itu memang nampak sedikit lecet di pelipis dan keningnya dan yang leban sudah lebih menghitam.
“Lelaki tua ini mahal harganya! Aku baru berhasil membebaskannya dari cengkraman Dinas Rahasia pemerintah dengan menukarkannya ratusan juta Peso,” kata Paulus.
“Gila! Benar-benar mahal. Berarti kamu orang yang berjasa pada Argava,” kataku.
“Tugas penting, tak selamanya harus di jalankan orang bertubuh kekar,” kata lelaki tua itu ringan, “ada kawan yang membocorkan penyamaranku pada pihak intelijen pemerintah. Tapi mereka tak mampu memaksa aku untuk mengaku. Bukti tidak kuat, makanya mereka lebih memilih uang tebusan itu,” paparnya dengan suara tegar, meski di wajahnya kulihat keperihan yang masih membekas.
“Kamu disiksa?”
“Sudah pasti. Untung tidak dieksekusi! Argava punya cenal yang bagus  di militer sini. Petinggi mereka meng-close file masalahku denga tebusan,” katanya lagi.
“Ok. Bagaimana Paulus, aku diperintahkan membawa dia ke dokter untuk dirawat,” kataku pada Paulus.
“Sebaiknya begitu! Aku malam ini langsung ke Basilan,” kata Paulus.
“Pesan Argava, Benyamin disudahi saja. Ia berbahaya katanya,” kataku pada Paulus seperti pesan Dagos Argava.
“Ia berjasa, tapi teledor! Aku berat eksekusi dia, tapi rantai kebecoron ini harus diputuskan, kalau tidak semua kita akan hancur,” papar Paulus.
“Tapi aku tak mau ke rumah sakit!” potong lelaki tua dengan sinar mata berharap.
“Lalu kau mau ke mana?” tanyaku. Ia diam saja. Pikirannya napak berkelebat kesana-kemari.
“Kalau tidak keberatan aku numpang di rumahmu saja untuk sementara,” katanya meminta persetujuanku.
“Kalau bukan untuk misi mata-mata aku setuju,” kataku. Ia tersenyum seperti biasanya.
“Aku lagi sekarat, bagaimana bisa membohongimu,” katanya memelas.
“Aku setuju!. Dan, kita berangkat malam ini saja,” kataku.
Setelah berkemas-kemas, kami langsung berangkat malam itu juga. Sementara Paulus, langsung ke Basilan dengan Fusunya.
Aku dan lelaki tua lebih milih duduk di jok belakang. Sementara  jeepku dikemudikan salah seorang dari dua pengawal yang kuajak dari Cotabato.
Di jalan yang sudah mendekati perbatasan Davao City, lelaki tua itu tiba-tiba memintahkan agar mobil di putar ke kanan mengikuti arah jalan sempit yang beralas batu-batu kasar, yang di sisi-sisinya rumput liar begitu rimbun dan menjorok ke tengah jalan.
“Kita mau ke mana, “ tanyaku.
“Menyelesaikan tugas yang belum tuntas!” katanya, “ikuti saja perintahku.”
Tak beberapa lama aku melihat kira-kira limaratus meter di depan ada cahaya lampu kecil. “Kita berhenti di sini,” pintah lelaki tua.
Setelah mobil berhenti ia mengajak aku dan seorang pegawal berjalan menuju arah cahaya itu. Sedang seorang lagi diperintahkannya untuk memutar arah mobil ke jalan besar, agar mudah lari jika terjadi sesuatu yang membahayakan. Dua pengawalku sudah sejak dari Cotabato sudah kuperintahkan untuk menyelip  dua pucuk AK47 di casis bawah mobil. Aku pun sudah meminta mereka mengambil senjata itu dan siap-siap.
Melihat itu, situa mengangkat jempolnya ke arahku dan tersenyum. Langit tampak sudah mulai terang. Daun-daun rumput liar bergerimis di jalanan  itu membuat celanaku basah dan kakiku kedinginan.
“Aku pinjam senjatamu,” kata pak tua.
“Kau tahu aku punya senjata?”
“Semua orang Argava punya senjata,” katanya dingin. (Bersambung ke bagian berikutnya...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar