Senin, 26 September 2011

KUMPULAN PUISI: AKU LAUT AKU OMBAK (3)


Watahi Maemuna*)
pucukpucuk api
nyalakan cinta puncak tinggi
tercurah lidalida lava membara
merengkuh laut menjadi kabut hujan
dahan-dahan pala
karangetang seperti paporong kemegahan
dalam hikayathikayat cinta kedatuan;

dan kora Tabukan bersinggah di siaw
dikawal bininta pasukan datuk
itu armada Delero sepulang menjemput Maemuna
putri Tabukan yang berubah telur
buat menolak tipuan cinta sultan Maluku

o, memandang negeri elok  subur, e
e, Maimuna berkenan mandi di pancuran datuk, o
dari gunung air memancur
mendinginkan hati Maemuna  sedang hancur

cantik  wangi tubuh putri berjiwa luhur
luluhkan hati Watahi diraja Siaw
dilempar cincin titah cinta leluhur
tersanjung Maemuna bersedia hidup sekamar sedapur

Dalero senang adiknya dipinang raja Siaw
perkawinan  mendamaikan dua seteru
dua kerajaan upungseupung
biar bersama hadapi musuh dari Sulu dan Maluku

Sultan Maluku tak senang dengar kabar itu
digandengnya Belanda menghajar Siaw
Watahi Maemuna ikut bertempur
karena cinta kehormatan leluhur
mereka tak mundur
meski beribu serdadu gugur
negeri Siaw ikut hancur

2007

*) Watahi (Don Fransisco Batahi) adalah raja kerajaan Siaw  yang ke V memerintah pada tahun 1640-1678. Ia menikah dengan Maemuna seorang putri kerajaan Tabukan (Sahabe).  Perkawinan mereka mendamaikan persengketaan dan dendam lama  dua kerajaan atas terbunuhnya raja Makaampo Wewengehe  (raja Tabukan yang pertama) tahun 1575 oleh Panglima perang kerajaan Siaw, Hengkeng Naung (Hengkengngunaung) dan Ambara seorang bahaning dari Tamako.  Anak mereka dinamakan Daramenusa (Pendamai Negeri). Dilain sisi perkawinan Watahi-Maemuna menimbulkan dendam bagi  Kesultanan Ternate. Karena sebelumnya Maemuna menolak cinta Sultan yang memintanya menjadi isteri. Meski sudah dibawa ke Ternate tapi Maemuna dengan kesaktiannya mengubah dirinya jadi telur. Maka perkawinan pun tak bisa dilaksanakan. Setelah dijemput Dalero saudaranya untuk pulang ia kembali berubah jadi manusia.  Atas peristiwa itu Sultan Ternate menggandeng Belanda menggempur kerajaan Siaw.  Perang ini merupakan perang terbesar kerajaan Siaw yang memakan banyak korban jiwa. 

Hengkeng Naung *)

laksamana gagah diraja Siau
pemimpin ribuan bahaning nusalaut
di atas puluhan kora, berjaya ia sampai ke laut Goa
menempur Belanda datang mencuri rempah

Hengkeng Naung seperti Hang Tua
legenda samudera ditakuti  bajak laut
dentam genderang petanda ia pulang 
berkabar negeri aman dari perusuh seberang

tersebar namanya sampai Madagaskar
dibincangkan kadet Portugis, Spanyol, dan Belanda
tak sekadar ia laksamana biasa 
titisan datuk moyang keberanian
baneha berkibar mantra terapal
di bininta depan ia memimpin perang

Walak Minahasa meminta ia
menggempur musuh di negeri Toar
mengingat ikatan saudara  Makasiow
dihancurkannya ratusan musuh
di lembahlembah kasuang

di Tanalawo,  Makaampo  undang  tanding perang
tak gentar Hengkeng Naung  bertandang
Makaampo boleh mengangkat ikan jadi bara
dipukul Hengkeng Naung  lari ia ke batu persembunyian

Hengkeng Naung dihormati Tabukan, Manganitu dan Kendar
bersahabat Ambara bahaning Tamako
bersama mereka tumpas Makaampo
bebaskan Tanalawo dari raja barbar

Hengkeng Naung sakti berperang di lautan
seakan Taghaloang bunda melahirkan
ia mengajar keperkasaan pelaut kerajaan
biar berani melayar hingga ke kutup utara dan selatan
2007

*) Hengkeng Naung (Hengkengngunaung), adalah panglima perang kerajaan Siaw sejak masa kekuasaan raja ke III, Pontowuisang tahun 1575-1612 hingga raja-raja berikutnya.  Ia  bertempur dalam sejumlah perang besar kerajaan Siaw melawan Kusultanan Ternate dan Belanda, serta melawan Kerajaan-kerajaan Mindanaow. Ia pemberani dan ahli strategi perang laut. Bersama Ambara bahaning Tamako tahun 1575 mereka mengalahkan Raja Tabukan, Makaampo yang terkenal bengis dan kejam. Tahun 1640, Minahasa menghadiahkan pulau lembeh kepada Hengkeng Naung karena jasanya membantu Walak-walak Minahasa memenangkan perang dengan musuh-musuhnya. Tahun 1643  ia menewaskan raja Bukalakombang dari Maiwogung dan Makaalo dari Talawaan.  Tahun 1644, ia memenangkan perang melawan pasukan Angkola putera dari raja Mocoagouw, dalam peristiwa itu daerah Singkil Sindulang menjadi daerah pampasan perang kerajaan Siaw. Tahun 1645 ia menaklukan Kedatuan Kaidipang dan Bolangitang hingga menjadi bagian dari kerajaan Siaw hingga tahun 1665.

Tuang Jotulung *)

Takaengetang raja Manganitu
saudara Mahengkalangi raja Tabukan
gelar Jotulung tak sembarangan 
bijak fikiran bisa ia hentikan perang

mangkat Mahengkalangi bikin dua saudara berebut kerajaan
nafsu kuasa menutup jalan keselarasan
Dalero Pandialang pecahkan tabukan jadi utara selatan
berperang siang malam  untuk tujuan tak berkejelasan

mendengar Tabukan di rundung malang
Takaengetang datang melerai persengketaan
menawar ia daripada perang lebih baik adu kesaktian
Dalero pandialang pun sepakat ke medan uji keperkasaan

kesaktian adalah kekuatan  kecekatan dan kearifan
kesaktian berasal dari Ghenggona kata Takaengetang menjelaskan
mengelilingi tanah lawo dengan kora itu persyaratan
siapa menang jadi rajanya, yang kalah jadi jogugunya
biar tabukan bebas dari bencananya

bertarunglah kedua anak raja menangkan mahkota singgasana
dua kora di dayung iringan rancak gendang
sakti Dalero memotong tanjung dengan kora hingga terbelah
menanglah ia karena direstu Ghenggona mengenakan mahkota

Tabukan tak lagi bergelimang darah
dari perang antar saudara
Takaengetang sudah membuktikan
ia Jotulung bukan sembarangan

2007

*) Jotulung (Tuan Penolong) adalah gelar dari Kerajaan Tabukan (Sahabe) yang diberikan kepada raja Kerajaan Manganitu Takaengetang atas jasanya memadamkan dan melerai perang saudara berebut tahta kerajaan antara Dalero dan Pandialang. Ia menawarkan dari pada perang sebaiknya kedua pewaris tahta  melakukan adu kesaktian lewat tanding perahu kora-kora mengelilingi pulau Sangihe. Tanding itu akhirnya dimenangkan Dalero (Markus Jacobus Dalero)  yang kemudian dinobatkan sebagai raja Tabukan yang ke VI, berkuasa pada tahun 1718-1724.  Dalam tanding itulah Raja Dalero dilegendakan sebagai manusia sakti yang bisa menabrakkan kora-koranya ke tanjung Batunang di Batunderang yang membuat tanjung itu terpisah dan membentuk  terusan. Kejadian yang sebenarnya, Dalero secara diam-diam meminta bantuan seorang bernama Daeraengkonda dari Batunderang untuk menggali terusan di tanjung Batunang, agar dalam tanding perahu tersebut ia bisa memotong jalan yang lebih cepat. Karena pekerjaan penggalian  itu dilakukan secara diam-diam oleh Daraengkonda, maka semua orang percaya bahwa Perahu Kora-kora Dalero-lah yang memotong tanjung itu hingga terbelah.
Raja Bataha *)
di bawah senja
puluhan kora tenggelam
membawa keberanian
amanah

api menjilati lautan
telah lenyap dihisap ganggang
terserap karang

Batu Mbakara
benteng terakhir itu
bertoreh bangga
putraputri Manganitu
perkasa membela tanah airnya

sebutlah Bataha… 
bila engkau ingin belajar kearifan raja
duka rakyat duka baginda
luka rakyat luka hatinya
manganitu bukan sekadar nama
di dalamnya bertahta jiwanya

jangan rampas sejengkal tanah
sebelum langkahi mayat raja dan  rakyatnya

kora bininta lambang Manganitu berjaya
berkali mampu memukul kapal Belanda
di Batu Mbakara Manganitu menang gemilang
bahaning nusa  seperti barah 
ditempa seribu dewata

menangis tanjung memandang raja
ditipu sanak saudara
taktik penjajah pecah belah Manganitu dan keluarga
bahaning beo diupah mengkhianat baginda
di bawahnya Bataha ke mahkama belanda
sekali maju Bataha pantang mundur selangkah
sekalipun merenggang nyawa di gantungan
ditolaknya ampunan
Manganitu dibelanya dengan darah dan jiwanya
meski penghianatan patahkan perlawanannya

Bataha memahat nusa dengan cinta
di bawah langit di lihatnya samudera
dititipnya rahasia pada gelombang dan cakrawala
moga di suatu pagi
ditemukan cucu cicitnya menjadi nyala jiwa

2007
*) Bataha ( Bataha Santiago) adalah putera raja Tompoliu. Ia menjadi raja Kerajaan Manganitu ke III berkuasa tahun 1670-1675. Ia raja pemberani yang mengalahkan Belanda dalam perang Batumbakara di pantai Manganitu dengan berhasil menenggelamkan kapal-kapal perang Belanda. Tapi ia kemudian ditangkap Belanda  dan dihukum gantung di tanjung Tahuna tahun 1675. Dalam persidangan di mahkamah Belanda ia menolak pemberian ampunan dari Ratu. Ia memilih mati dari pada menyerah pada Belanda. Oleh pemerintah Indonesia ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional dan namanya diabadikan pada Korem 131 Santiago.


Larenggam *)

ina ina o
yau ite tuwo mbatue
te tuwo mbatu wulaeng  o

dan darahmu cerita negeri itu
Porodisa Wowon  Duata di sayapsayap  air mata
mite kabut asap karangkarang Makatara
seperti nadi memompa darah sejarah
jadi syair para kapita ratu mbanua
mengantar kau perang di Arangkaa, Larenggam…
lalu di tangan Inanginang tambor di pukul kulano berdiri
woiwoi  menari menyulam cinta
di atas tanah  senantiasa tersembeli
kebiadaban barbar  Spanyol,  Portugis
menangkap lelaki dijual
ke tuan-tuan kebun kopi Madagaskar hingga Brasillia

dan kau namai “Porodisa”, Larenggam…
menamai tiangtiang arang di atas jasad rakyat perkasa
bersama erang bau kemenyan menyetubuhi mantra-mantra
di mata para lelaki yang tangannya terkulai dipatahkan Belanda
kearifan leluhur dibakar dipancung Jepang
lalu… sepuluh ribu lelaki  kembali ditangkap
stigma kebengisan orba
semuanya mengalir di setiap percikan darahmu
di sudut “Arangkaa” kau pun menafsir, Larenggam…
berapa pucuk api agar raung negerimu mendidih
biar pemberanipemberani kembali mengancungkan sambeang
merebut kemuliaan kakumbaeda sang Wando
karena perang tidak saja diArangkaa
juga dalam setiap keping hati terluka
elang rajawali
uda makat raya
tinonda napombalu
“arangkaa” makatara
sulit dicari dalam peta sejarah nusantara
Larenggam…beratus putra gugur di sana
dalam kisah syair manusia nusa
yang berikhtiar meraih kemenangan

2006
*) Larenggam (Larenggang) adalah pahlawan gagah berani dari Arangkaa, Talaud. Ia memimpin rakyat Talaud berperang dengan Belanda. Ia kemudian gugur dalam perang besar di Arangkaa bersamanya dibumihanguskan Arangkaa oleh Belanda. Wilayah kepulauan Talaud sejak masa Kedatuan di Nusalawo yang dipimpin para Kulano dan masa Kerajaan yang dipimpin oleh Raja, pemimpin rakyat setempat(raja setempat) di wilayah itu secara bergantian berafiliasi dengan kekuasaan Kedatuan Siaw  serta Kedatuan Tabukan. Baru pada Tahun 1922 Talaud memiliki kerajaan, dengan raja pertama Johanis Tamawiwy berkuasa pada tahun 1922-1930. Selanjutnya raja Cornelius Tamawiwy tahun 1930-1936. Wakil Raja A, Mokoagow 1936-1945. Dimasa penjajahan Belanda banyak orang dari negeri ini di tangkap dan di jadikan budak di Brasil dan  Madagaskar, termasuk raja Kerajaan Manganitu Matheos Don Lazaru 1725-1740 yang diasingkan Belanda ke Madagaskar, Afrika Selatan.
                  
 Sastrawan Tatengkeng*)

kadet spanyol portugis dan belanda
mendengar nyanyian resik nelayan Sangihe
di kegelapan samudera
mereka gembira dalam kerja
mereka berpengharapan di tanah lautnya
dan kau menulis tangisannya dua abad kemudian
sebuah kesaksian sajaksajak melepuh
di atas tanah airnya
syairsayair berdarah dalam perampokkan bersenjata
kompeni mengambil tanah laut kita
buat hosti yang mulia ratu dan pangeranpangeran eropa

dan sajakmu berperang seperti kasatria moyangmoyang
seperti Chairil diangkatan berikutnya
yang memilih jadi binatang jalang daripada hidup terjajah
lalu di pegangsaan pukul 10 pagi, ketika itu 17 Agustus di tahun 45
proklamasi diangkasakan, memerdekakan tanah dan laut kita
dari empat ratus tahun yang terus kalah

tapi kemudian  kau tulis lagi;
“kita penumpang kelas tiga di kapal bangsa”
seperti politik belanda, kemerdekaan melahirkan kasta
merobek sejarah bahari moyang kita
yang berlayar, mengemudikan kora dengan gagah berani
ke malaka, pasai, batavia, hingga afrika

dan sajakmu berperang lagi dalam rindu dan dendam
mendobrak feodalisme Indonesia lama
seperti Taufiq Ismail dan Rendra menggedor pintu kemuliaan palsu
para pemimpin pemerintahan yang hanya pandai berorasi
bodoh berdemokrasi tapi keranjingan berkorupsi

di ulu dulu kau guru
mengajar kearifan negeri laut
hingga nelayan berbagi dendang
kini runtuh jadi dongeng kekayaan laut
kapalkapal asing menangkap ikan
empat puluh ribu ton ikan di curi pertahun
dan konon tentara nasional kita tak berdaya
menjaga luasnya negara
karena keterbatasan peralatan
dan lumpuhnya kebijakan
yang menyokong program pertahanan kedaulatan
lalu pulaupulau kita menjadi negeri ringgit yang meringgis
harga pala, cengkeh, kopra dimainkan bayers
dan anakanak yang dulu kau bangga
kini tinggal menjual hak dan martabatnya
pada para politisi yang membayarnya lebih murah dari harga
seekor bibit babi untuk mendapatkan kursih
dalam pilkada dan pemilu negeri ini.

J. E. Tatengkeng…
lihatlah Tardji ia menangis dalam sajak luka…
dan seorang anak membaca puisinya di podium
perayaan hari kemerdekaan: “Tanah air mata,
tanah tumpah dukaku”

“di sinilah kami berdiri
menyanyikan air mata kami”

2006

*) Sasterawan J. E. Tatengkeng, lahir di kota Ulu Siau, Sangihe Talaud, 19 Oktober 1907. Meninggal di Ujungpandang, 6 Maret 1968. Ia salah seorang pendiri Universitas Hasanuddin.  Menjabat Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT) tahun 1949. Buku sastranya yang termasyur adalah “Rindu Dendam” terbit pada tahun 1934.


KEMBAKU*)
(sebuah sajak  perang)

kepak kembaku
kepak aum
aum gunung
aum lembah
aum tanjung
aum taghaloang
aum lukaku
di pucukpucuk pala, di pucukpucuk ombak
aum meraung
Lohoraung Melikunusa Madellu Wandoruata
aku bertanya; siapa usik  kembaku

seribu laut
seribu gelombang
seribu pesisir
seribu bimbang
seribu hampa
aku bertanya; Siapa remuk lautku

siapa ikat aku hingga aku tak bisa pulang upungku
pulang padamu memukul gendang kemenangan
mandolokang karangetang nusalawo porodisa
dengan kora berkawal bininta
nyala doa berkesiuran
keringkan lepuh perih
agar kupunya jalan pulang ke-peradabanku

aku bukan orang asing di negeri leluhurku
aku lahir dari rahim nafas pulau lautku
senantiasa mendebur, menghempas, mendentam
jangan rampas ini dariku
sekali kau ambil kembaku mengaum

                   jupung pangangumbalerang, e
                   o, timalentu mangapia

Wahai… ingangingan, o
biar  kembahatiku mengaum, e
rancakrancak tagonggong
gelegargur guruhgemuruh lava
jiwa mesambo…hati sasambo
beribu bininta
mesasahara
mesasalili
mesalo…mepasasalo
sasalo perang
perang ini perang kita
perang nusa terluka
“Dumaleng ia dumaleng
Lumempang ia lumempang
Kere lempang i wahani
Maning setang
Maning datu
Sumata ia kawasa”
kembaku  terbang dititiskan upung bara
amuk liang  wajah-wajah pecah
entah oleh apa dan kerena apa
laut tanahku  bianglala  kabut
 jiwa menguap entah oleh maksud apa
aku marah upung
marah kembaku
marah kembaku
suara kembaku
gemerincing dusun
membela lembah
amuk taghaloang
amukmengamuk  ombak  bininta
aku datang; restui aku Gengghona
menyeru  Awu ke Karangetang
berlompatan ke Wowon Mandeeta
menjaga Napombaru
ia kai nabi
ia kai Kristus
patiku kawasa
maning setang
maning datu
su mata ia kawasa
merapal ini upung
merapal kemiskinan Nusaku
seperti persemaian  disirami, ditanami
bersemi tangis gubuk pelosok mengulai

kupanggil engkau upungupungku, o
dalam kembaku, o
dalam suara kembaku, o
kembaku kini terbang, e
mengepak kuat di atas tangis bangsaku
ual patah ual
kau patah siri
ual patah ual
kau patah siri
ual patah ual
kau pata siri
beri aku kekuatan kembaku
Lasiri kukangkangi gunung
Bebalang kumandi sari patuku
Bantane kupanggil wando
bangunlah anak laut
dendang sambo; mesasalili mesasahara
dentum Tagonggong; mesasalai mesasasalo
kelung diangkat; pelonihaka sarang paka haka
baneha mengelegak seribu bininta dalam dada
kita sedang perang
perang hati  terluka
perang nasib  terbiar
Perang nusa ini  perang kemba
maiang suwowong ngalo
maentolang su tadetene
maning mekila medelu
dorongang ikami anging kansingang
kansingang tamalalawe bukide
ore lai mesasenggetang
mesengge kere apa
Wade kai weteng
tatendae witu kinalongsang duitang
nau masuhampa pesasirungan
pekekelungan selambungang
bininta di air naiklah
mamenongkati Ghengghona
anak-anak laksamana
bunda melepasmu wangi manuru dan patuku
di pintu
di jiwa
kamulah Hengkeng Nusa
putra utara anak laut
setibanya di pantai
hanya menggenggam kata menang
kerena bininta
sekali berenang
takkan pulang
tanpa
ketukan
gendang

2006
*)Kemba (Burung Kalalemba- Elang Laut). Bagi masyarakat Nusalawo purba dinamisme  hingga masa kedatuan dan kerajaan meyakini burung Kalalemba punya kehidupan mistis atau menjadi sarana para dewa atau moyang-moyang memberi pesan (kepercayaan man’na). Setiap gerak-gerik dan suaranya memberi petanda keadaan baik atau buruk.  Suaranya akan terdengar lantang dan resik jika memberi pentada malapetaka atau perang. Maka para pemimpin dan pemberani (Bahaning Nusa) segera menyiapkan diri menghadapi keadaan dengan menggelar ritual penolak bala atau ritual perang. Saat itu mantra-mantra sakti segera di turunkan.

Dukaku Duka Pingai Fansuri *)

dari laut perahu Fansuri datang ia ke dukaku
bersama airmata tigapuluhsatu sultan dan empatsultanah
dari empat  abad berkabar mereka tentang bencana:
Acehku berduka!
berduka Aceh dalam dukaku
matanya kelam
tak bercerita ia kecemerlangan Peureulak dan Pasai purba
rumah elok  sanjak memuja tarian burungburung pingai
seperti cerita datukku tentang para Syekh menulis tasawuf dan sufi
buat berbagi  cahya ke negerinegeri tersembunyi
ia memang  menangis
menangis ia dalam dukaku
sejak zaman Syiah Kuala selalu kubaca Aceh nan indah
datuk-datukku pernah bersinggah  di bandar-bandarnya
belajar kesatriaan dari kitab Teungku Chik Kuta Karang
tapi kini datang berita memilukan
ratusan ribu orang mati dihantam  tsunami di Acehku
ratusan ribu orang Acehku kumakam dalam dukaku                        
karena dukaku, duka Fansuri
bersama airmata tigapuluhsatusultan dan empatsultanah
doaku, doa Fansuri di sayapsayap pingai
terbang mengiringi perjalanan ribuan jiwa ke negeri abadi

2006
*) Puisi ini jenis kakumbaede duka. Syair penghormatan dan ucapan belasungkawa. Diajarkan pertamakali oleh Kulano tua Badolangi di abad ke XIII, dan dikembangkan oleh Mokoduludugh cucunya yang menjadi raja Wowontehu (Bowontehu). Kakumbaede jenis ini biasanya dinyanyikan dalam keadaan meratap atau menangis di depan jenazah. Peureulak dan Samudera Pasai, adalah negeri-negeri yang menjadi tempat tujuan para pelaut Nusalawo dahulu kala seiring pelayaran mereka menuju Malaka, Batavia, Manila dan Siam. Di peureulak dan pasai  mereka berdagang, belajar mantra, dan belajar agama Islam. Negeri itu memberi kekuatan pada siar Islam di Nusalawo sejak berabad-abad silam. Bahkan mantra-mantra tua dari khazanah Islam ikut memperkaya kosa sastra mantra di Nusalawo.


Ritus Toar Lumimuut *)

Opo Wananatase…

Laut utara berkisah Emung
berharum bunga sembilan penjuru
menguntum doa Karema 
di angkaangka keramat

senja naik senja turun
bulan naik bulan turun

e, royor…

bukit, gunung, lembah, sungai, laut, hutan, rimba, satwa
burung, kupu, anoa, ular, manguni, ikan, kerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar