Senin, 26 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (7)


BAGIAN : VI

September 1974

Dendam Yang Mulai Berdaun

(18)
Empat bulan kemudian.
Di Ganalo, hari itu aku menyempatkan diri mampir di rumah sahabatku Nixon Andere.  Lelaki itu beberapa kali datang ke rumahku di Cotabato, ketika aku masih bekerja di sana. Aku memang sempat menolong dia membuka jaringan perdagangan dengan beberapa kawan di Filipina. Akhir-akhir ini aku tahu usahanya sedikit merosot. Tetapi ketika aku dalam belitan kesulitan seperti sekarang ini Nixon Andere tak pernah lupa menolongku.
Melihat kedatanganku ia tampak gembira. Kami bercakap di warungnya yang kebetulan lagi sepi dari pembeli, di beranda rumahnya yang berhalaman luas. Dari sana aku bisa melihat laut luas di sebelah timur yang membentang tanpa ujung. Angin laut bisa langsung menyeruput ke dedahan di atas tebing karang yang tidak begitu tinggi.
Setelah menyuguhkan aku segelas kopi, ia berkata, “seharusnya kau tak usah pulang ke sini lagi Kepas.” Ia menatapku dengan air muka sedih. Setelah menyorongkan bangku dari papan Nangka mendekat ke meja di depanku, ia berkata lagi, ”aku tak habis pikir kau ketimpah juga.”
“Semuanya sudah terjadi, aku mau bilang apa!” potongku, sambil berharap ia tidak perlu terbawa kesedihan memikirkan nasibku.
“Aku masih ingat ketika aku mengantar koprah ke Cotabato. Aku lihat hidupmu sangat bagus di Filipina.  Seharusnya kau sudah kaya raya sekarang. Apalagi, Yulin ikut menjadi pewaris Dagos Argava!” kata lelaki itu panjang lebar.
Aku diam saja. Aku memang mulai tak begitu tertarik mencakapkan masa laluku.
“Istrimu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Lagi opsi di Beo!” jawabnya dengan suara agak kurang enak. Tapi aku paham arti dari tekanan suaranya yang kurang mengenakkan itu.
“Sebaiknya Desy tidak lagi opsi. Kan hidup kalian saat ini sangat cukup,” ujarku. Saran itu kuberikan karena aku mulai mencium ada bau tak enak dari pekerjaan yang dilakukan Desy istri Nixon. Desy tampaknya sedang menjalin hubungan gelap dengan seorang tentara di Beo.
“Aku sudah memintanya berhenti opsi, tapi ia menolak. Ya, dari pada bertengkar soal itu, lebih baik biarlah dia melakukan pekerjaanya.”
“Aku berutang budi banyak padamu Nixon. Pada saat sulitku kau selalu memperhatikan kehidupan keluargaku,” potongku lagi agar tidak berlarut-larut membicarakan masalah istrinya.
“Di Filipina tempo hari, kau juga banyak berbuat baik padaku. Kau yang buka jaringan perdagangan koprahku di sana. Jadi, sudah sewajarnya aku melakukan sesuatu bagimu saat sekarang,” tandasnya ringan.
Aku tiba-tiba kasihan melihat nasib sahabatku yang dikhianati isterinya itu. Waktu kami sekeluarga masih tinggal di Beo, aku beberapa kali berpapasan dengan Desy bersama tentara itu di pasar kopi. Di Beo, arong-orang pasar sebenarnya sudah ramai membicarakan hubungan Desy dengan kekasih gelapnya yang bernama Pace itu. Tapi apakah Nixon mengetahuinya pula? Aku tak berani menceritakannya.
Tak beberapa lama kami bercakap, kulihat Desy, istri Nixon, bersama beberapa orang buruh yang sedang memikul barang-barang muncul dari tikungan jalan tak jauh dari halaman rumah Nixon. Melihat aku sedang bercakap dengan Nixon, wajah perempuan keturunan Tionghoa itu agak menegang.
“Hai, Kepas, sudah lama?” sapa Desy, diiringi senyumannya yang dibuat-buat. Aku tahu ia sedang tegang karena  rahasia yang ia simpan, sudah kuketahui. Ketika berjumpa di Beo tempo hari, Desy memang sudah memintaku untuk merahasiakan hubungannya itu pada Nixon.
“Ya. Aku cuma mampir sebentar. Kami sedang mencari kayu pesanan.  Kau dengan perahu?”
“Ya kebetulan, ada kapal patroli tentara dari Beo, maka aku menumpang!” Jelas Desy. Wajah Nixon memerah. Ada rasa kurang enak terpancar di wajahnya.
“Sebentar!” potong Nixon, “aku tadi membeli babi hutan. Aku ambil untuk ole-ole buat istrimu,” kata Nixon padaku, sambil berlalu ke dalam rumahnya. Aku tahu Nixon menghidar dari percakapan selanjutnya.  Melihat Nixon pergi, Desy mendekatiku.
“Aku mohon kau tidak menceritakan apa-apa pada Nixon,” pinta perempuan itu memelas.
“Aku tidak mau masuk dalam urusan kalian. Urusanku sendiri sudah sedemikian pelik!” ujarku meyakinkannya. Wajah Desy berobah ceria kembali.
“Ya. Syukurlah Kepas.”
“Tapi sebaiknya kau tidak mengambil resiko Desy. Kalau ketahuan, persoalan itu makin kian merepotkan kalian berdua,” ujarku.
“Sebenarnya aku juga sudah mau melepaskan lelaki itu. Tapi ia mengancam akan  memenjarakan Nixon. Aku kasihan pada Nixon.” jelas Desy dengan suara agak berbisik.
“Kau sudah terperangkap, mau apa lagi,” sungutku.
“Tapi aku akan berusaha meninggalkannya satu saat.”
Bunyi langkah kaki Nixon, membuat kami menghentikan percakapan.  “Salam buat istrimu Kepas,” kata Desy kepadaku. Aku mengangguk. Desy kemudian meningalkan aku dan Nixon sambil berkata, “Aku mau atur barang-barang dulu.”
“Aku memang tidak lama. Sudah mau pamit,” balasku.  Setelah menerima potongan paha babi hutan pemberian Nixon, aku pamit pada mereka.

Perahu yang memuat kayu yang kami naiki akhirnya merapat di Essang ketika  hari menjelang malam.  Kami baru pulang dari hutan sebelah utara mencari bahan ramuan rumah, berupa balok-balok kayu bersama para tapol lainnya.
Kayu-kayu itu diambil di belakang kampung Ganalo. Setelah selesai menurunkan semua muatan yang langsung ditampung di gudang tak jauh dari pantai, aku sempat mampir di rumah menjenguk Meria. Sepotong daging babi hutan mentah kubawa untuknya. Daging babi yang diberikan Nixon, temanku di Ganalo. Meria tampak senang melihatku, meski di tempat yang lain kesedihan terus terukir di wajahnya..
“Bagaimana kabar Nixon  di Ganalo,” tanya Meria.
“Ia titip salam padamu. Kehidupannya terbilang lumayan.”
“Selama kau di sel, kawan sekolah dasarmu itu selalu mampir ke sini menanyakan keadaanmu.”
“Ia punya warung besar di sana. Istrinya giat melakukan opsi.”
“Tapi apakah Nixon tahu kalau istrinya selingkuh?”
“Mungkin tahu, tapi ia memilih diam. Tak ambil resiko. Ia takut jadi seperti aku.”
“Iya. Apalagi hubungan gelapnya  dengan seorang tentara,” keluh Meria. Nixon masih saudara dekatnya.  Meria tentu ikut khawatir dengan nasib Nixon, jika mencoba menggubris masalah istrinya itu.
“Tentara, apa maunya, semuanya mesti tunduk,” desah Meria.
“Jangan terlalu dipikirkan,” kataku tegas.
Usai menyesap kopi dan makan beberapa potong Uwi yang disuguhkan Meria, aku ikut membantu dia menyusun potongan-potongan kayu api ke atas para-para di atas Tungku memasak.
Tak banyak yang aku dan Meria cakapkan, kecuali wajah perempuan itu yang tiada henti memancarkan kesedihan.  Kesedihan yang justru memunculkan kekuatan dalam diriku untuk tetap hidup.  Ia belum lama kehilangan putrinya, sedang diriku masih terpenjara.
“Seandainya kita bisa makan bersama seperti kemarin-kemarim,” ujar Meria membatin. Aku tak bisa menjawab kecuali menyaput pundak wanita yang kukasihi itu, ketika kami mengaso di bale-bale di sisi kiri dapur. Wajah cerianya yang pernah kulihat di Cotabato telah sirna. Ia menjadi sedikit lebih tua dari usianya yang baru 40-an. Rambutnya nampak kusut dan agak kering.
“Bertahanlah selagi bisa,” bisikku padanya. Dari mulutnya mendesis nyanyian Kakumbaeda yang meninggi kemudian mengayun rendah, laksana suara angin di dedahan. Aku tahu ia sedang meniduri dukanya.
Herkanus yang baru pulang dari kebun tampak senang melihatku. Ia memberikan aku beberapa bungkus rokok. Anak itu sangat memikirkan keadaanku.
“Sudah menyurati Broke?” tanyaku mengalihkan pikirannya tentangku. Ia mengangguk, sambil menjatuhkan tubuhnya di bale-bale. 
“Lagi musim dingin di sana,” katanya.
“Dia menyuratimu?” Ia mengangguk lagi.
“Anak itu sangat cantik ya.” Herkanus mengulum senyumnya.
“Jika punya waktu kau pergilah padanya,” kataku begitu saja. Tapi aku pikir Herkanus lebih baik menjumpai Paulus Barahama. Aku berharap ia memiliki keinginan itu. Ia harus meninggalkan tempat ini secepatnya, sebelum terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan dan menambah beban yang kini menindihku.
“Ingat Pak Paulus Barahama?” tanyaku memancing.
“Yang mengajari papa senjata itu?”
“Iya. Mungkin Paulus bisa mengatur pekerjaan untuk kamu di Basilan!” Anehnya, tiba-tiba terlintas dipikiranku keinginan agar Herkanus jadi tentara. Sebab kupikir, kini hanya di negeri lain ia bisa menemui kebanggan sebagai manusia. Tidak di negeri ini. Di negeri ini anak tapol telah ditakdirkan jadi sampah. 
 “Aku masih ingat!”
“Mungkin kau harus menemui dia sebelum mencari Broke,” ujarku lagi. Herkanus terdiam, tapi matanya menerawang. Ia sedang memikirkan sesuatu.
“Sudah. Mandilah kau,” kataku untuk memutuskan pikirannya yang lagi mengembara. Ia meninggalkan aku dan ibunya di bale-bale di ruang dapur itu sambil berjalan agak gontai ke kamarnya.
Karena sedemikian lelah, setelah menyesap sisa kopi yang sudah agak dingin di atas meja, aku cepat-cepat pamit kembali ke Koramil.
Dari jalanan aku masih bisa melihat dimana harapanku tergantung di mata anak itu. Anak lelakiku yang kuharap bisa memperjuangkan kehidupan kami kembali. Seperti biasa wajah istri dan anak lelakiku itu tampak muram menyaksikan kepergianku.
Belum sempat membersihkan badan, aku beristirahat sambil meluruskan tubuhku  di sebuah bangku panjang di belakang Koramil. Aku agak bebas malam ini istirahat di luar sel, karena Yuda sedang jam jaga. Sementara kawan-kawan tapol lainnya mereka sudah pulang ke rumah, karena mereka hanya menjalani hukuman  wijib lapor saja. Suara jangkrik dan cahaya kunang-kunang yang berseliweran di kegelapan membuat aku bertemu sedikit kedamaian.
 Selama empat bulan ini, para tapol mendapatkan pekerjaan mencari bahan-bahan ramuan untuk pembangunan perumahan pemerintah yang akan di kirim ke ibu kota kabupaten, Tahuna. Sesekali, aku di suruh mencari ikan. Meskipun agak berat, tapi pekerjaan ini minimal membuat aku bisa bersentuhan langsung dengan lingkungan di luar sel. Ya, setidak-tidaknya sedikit waktu luang itu masih dapat kugunakan menjenguk Meria, dan meskipun hanya beberapa menit, aku masih bisa bercinta dengannya. Merasakan pelukan hangatnya. Saat-saat seperti itu, membuat aku sejenak bisa istirah dari kenyataan menyakitkan yang kuhadapi.
Sudah sekitar dua atau tiga jam aku tertidur ketika Herkanus datang menemuiku bersama Yuda. Kantor koramil lagi kosong. Hanya kami bertiga di kantor ini. Tentara muda itu mengutarakan niatnya yang membuat aku terkejut. Ternyata ia telah mengatur serangkaian rencana pembalasan bagi para pemuda anti PKI yang memperkosa Dian. Ia mengaturnya bersama Herkanus.  Mereka tinggal menanti hari yang tepat untuk melakukannya. Dan malam ini adalah hari yang menurut mereka sangat tepat untuk melancarkan aksi itu.
            “Mereka saat ini sedang mencari ikan di laut,” papar Yuda, sehabis menyulut rokoknya yang baru dipasang. Herkanus, diam saja. Ia nampak menanti penuturan Yuda lagi.
“Herkanus, kau susul mereka. jangan sampai ada yang tahu.  Kau harus berhasil membunuh mereka semua. Sementara sebentar lagi aku lepas jaga. Aku akan berada di pinggir hutan sebelah selatan Geme. Setelah kau selesai mengerjakan mereka. Kau susul aku ke sana. Mereka tidak akan menyangka kalau kau membunuh mereka, karena kita akan langsung berburu babi hutan. Pada keesokan harinya kita pulang sama-sama dengan hasil buruan kita,” kata Yuda mengatur strategi. Rupanya rencana aksi pembalasan itu sudah mereka rencanakan berhari-hari. Dari percakapan mereka, kukira rencana itu sudah begitu matang disiapkan. Ada kemungkinan, babi yang akan menjadi hasil buruan sudah disiapkan pula.
“Apakah aksi pembalansan ini sangat perlu dilakukan?” tanyaku menguji rencana mereka.   Herkanus menatapku. Matanya membersitkan sinar ketidak sukaan atas pertanyaanku. Jika diandaikan pohon, dendam di hati anak itu telah mulai berdaun.  Yuda menyodorkan aku sebatang rokoknya, sekaligus menyalakan stekernya. Aku menyulut rokok itu.
“Pembalasan ini perlu dilakukan, dan ini penting. Setiap orang harus diingatkan lagi bahwa siapa yang memainkan pedang akan terluka oleh pedang,” kata Yuda mengutip ayat dari bible.
            Aku sebenarnya ingin melarang mereka, tapi kulihat Herkanus sangat bernafsu membalas sakit hatinya atas kebiadaban yang menimpa adik kesayangannya.
“Papa jangan melarang saya, sebab mungkin inilah satu-satunya kesempatan dalam hidup saya untuk melakukan sesuatu yang saya anggap berarti bagi hidup saya,” ujar Herkanus. Ia seperti membaca hatiku. Dan hatiku berderit.
            Malam itu, Herkanus  pergi, kecuali Yuda yang masih menunggu petugas aplos. Aku lebih memilih tidur dalam Sel, tapi mataku sulit terkatup. Apakah anak itu bisa menunaikan tugasnya? Kalau sampai ada yang menyaksikan semua itu lalu bagaimana nasib anak lelakiku ini?
Dua ekor cecak berwarna coklat kehitam-hitaman dengan bintik-bintik putih di punggungnya  sedang bercinta di langit-langit kamar. Kamar sel yang akrab dengan bau amis. Mereka seakan menemaniku melepas waktu yang rasanya bergerak teramat lamban. Aku seperti ingin cepat-cepat melihat cahaya pagi merembes ke selku. Aku ingin selekasnya mendapatkan kabar tentang kejadian itu. Dua ekor cecak itu, terus kejar-kejaran. Terus bercinta. Sedang hatiku menjadi hamil perasaan was-was yang membuat aku berpeluh meski udara dingin ini sebenarnya telah membekukan minyak urut dalam kaleng susu di sudut sel. Dan kudengar seperti biasanya bunyi embun yang menggumpal  yang jatuh dari atas atap menimbulkan klenengan di selokan. Mungkin air itu menimpa lempengan logam. Suara itu sangat indah. Kadang-kadang seperti orkestra masuk ke dalam mimpiku di hari-hari yang lain. Tapi malam ini, suara itu berganti semacam horor yang menegangkan.   Sebungkus rokok yang ditinggalkan Yuda sudah habis kuhisap. Berkali-kali aku mencoba menenangkan diri. Aku berdoa. Tapi kegelisahan di hatiku mendebam seperti suara ombak musim angin selatan di tanjung karang sana. Karang yang pernah meremukkan perahu ayahku. Ambora yang senantiasa menggelegak. Bergelegak dan mendebam menabrak pikiranku.
“Tuhan jagalah anakku sesuai kehendakMu!” pintaku. Dan kuucapkan kalimat itu berkali-kali, hingga aku tak yakin bahwa aku tertidur atau terjaga. Tapi suara klenengan logam itu tetap terdengar. Bergemerincing-rincing, menjadi semacam bunyi dunia kesepian.

Keesokan harinya, kegemparan terjadi. Mayat ke tiga korban itu ditemukan terdampar di pantai. Tapi mereka sulit menebak siapa pembunuhnya. Begitulah cerita yang kudengar. Kebetulan hari itu aku disuruh membersikan halaman Koramil. Setiap orang yang lewat membicarakan peristiwa kematian itu. Perasaanku menegang seperti kawat yang sulit dibengkokkan.
Tak berapa lama, aku melihat Herkanus sedang memikul seekor babi hutan remaja bersama Yuda memasuki kantor Koramil. Kedatangan mereka yang terlihat begitu santai, mebuat hatiku sedikit terhibur. Mariala dan Mamewe yang sedang duduk di pos jaga melihat Herkanus dengan tatapan curiga. Yuda yang baru datang bersama Herkanus langsung bergambung dengan para tentara lainnya membicarakan peristiwa pembunuhan ke tiga pemuda anti PKI itu. Aku menyaksikan sandiwara Yuda dengan dada yang berdebar.  Aku begitu cemas. Jangan-jangan ini juga suatu jebakan yang sengaja diciptakan Yuda. Sebab bagaimana pun baiknya Yuda di mataku, ia tetap seorang tentara.
Sekitar satu jam kemudian, Herkanus tampak keluar dari belakang koramil dengan sepotong daging babi hutan. Ia menghampiriku. Anak itu nampak tenang.
            “Jangan takut papa, semuanya aman,” ujar Herkanus, seraya menyodorkan aku beberapa batang rokok Comodore-nya.
            Aku melihat ada perasaan puas luar biasa membias di wajah anak lelakiku ini.  Aku masih tegang ketika Herkanus, pergi. Perasaanku baru bisa lega, ketika Yuda menghampiriku mengatakan, “semuanya aman.”
***
            Sebulan setelah kejadian balas dendam itu, Yuda, mengabarkan padaku kalau ia akan pindah tugas ke Tahuna. Ia menyarankan agar Herkanus harus pergi juga dari Essang. Aku pikir saran Yuda ada baiknya cepat dilaksanakan.
            “Berangkatlah kau ke Cotabato, dan kalau ada kesempatan temui kakakmu. Jangan katakan apa yang telah menimpa kita. Katakan saja Dian meninggal karena sakit. Kau tahu siapa kakakmu. Jika ia dengar, ia pasti akan melancarkan perang dengan cara-cara kelompok mereka,” bujukku, ketika Herkanus mengujungi selku.
            “Aku justru baru mau mengatakan niatku untuk pergi. Aku akan menyiapkan pembalasan yang lain bagi mereka,” kata anakku. Suaranya begitu tegas. Ia agaknya menyimpan sakit hati yang mendalam. Sepekan setelah kepindahan Yuda, Herkanus pun bertolak ke Cotabato.
Kematian yang menggenaskan tiga pemuda anti PKI menjadi kejadian yang misterius. Banyak orang mengganggap, kejadian itu sebagai pembalasan roh-roh leluhur atas ulah mereka.
“Mereka pikir Tuhan itu buta!”
“Kita memang pendosa. Tapi yang menuduh kita PKI itu lebih berdosa.”
“Tanpa kita lawan, alam akan menghancurkan mereka. Kalau bukan hari ini, mungkin besok, atau suatu hari.”
“Hari keadilan Tuhan itu ada.”
Aku diam-diam merasa terharu juga mendengar percakapan kawan-kawan Tapol yang lagi membersikan selokan air di depan kantor Koramil. Suatu ragam berpikir utopia, tapi justru menjadi energi hidup. Padahal kebenaran itu tak akan pernah terwujud jika tak diupayakan. 
Upaya mengungkap siapa di balik pembunuhan ke tiga pemuda anti PKI itu terus berlangsung. Sedemikian rapinya pekerjaan Herkanus dan Yuda, membuat kejadian ini menjadi teka-teki yang teramat sulit. Banyak orang telah diperiksa, hasilnya semuanya nihil.
Setelah keberangkatan Herkanus, dan kepindahan Yuda, aku kembali diinterogasi. Malam ini, aku dipanggil Mariala dan Mamewe. Dua interogator itu menyuruh Aku  mengaku kalau yang membunuh ketiga pemuda anti PKI adalah Herkanus anakku.
“Bagaimana aku harus mengakui keinginan kalian, sedang aku tak tahu kejadian itu. Aku selama ini terkurung dalam sel,” jelasku pada mereka.
“Seharusnya kalau kalian curiga kepada mereka, mengapa bukan mereka yang diinterogasi. Mengapa harus aku,” kataku lagi.
“Begini. Kalau kau mengaku, kami akan mengusahakan keringanan hukumanmu,” bujuk Mariala.
“Aku sendiri dihukum untuk sesuatu yang bukan saja tidak aku lakukan, juga tidak aku mengerti,” sindirku sisnis.
“Jangan mempersulit dirimu. Mengakulah!” bentak Mamewe. Aku diam saja. Tak tahan melihat sikapku yang tak kompromi, Mariala melempari aku dengan puntung rokonya. Api rokok itu masuk dalam kaosku. Dengan cepat aku meremas api yang telah membakar kulit perutku. Tak di sangka, Mariala menendang punggungku. Aku terguling.
“Mengakulah binatang!” teriak Mariala.
“Bunuh saja aku!” balasku dengan teriakan.
Mamewe, lelaki sombong itu, dengan cepat menghajarku dengan kursi di sampingnya. Malam ini, mereka kembali menyiksaku. Berbagai deraan yang dulunya menyakitkan kembali mereka lakukan.  Tapi aku seakan-akan tak lagi merasakan rasa sakit. Mungkin sudah kenyang dengan rasa sakit, maka aku sendiri tidak lagi bisa mengartikan makna rasa sakit itu sendiri. Tidak puas karena aku bungkem saja, mereka membenamkan aku ke dalam lubang septiktank di belakang kantor Koramil.
Ya Tuhan, pernahkah kalian membayangkan dibenamkan dalam Septiktank?  Tak ada peristiwa yang lebih memualkan dari ini. Semalaman tubuhku digerayangi cacing-cacing yang menggelikan. Bau busuk yang sulit dirangkum penyebutannya. Tapi harus kujalani. Sebenarnya aku sudah berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan menenggelamkan diri dalam kotoran ini. Kemudian aku urungkan niat bodoh itu. Bagaimanapun aku tidak mau mati tengelam dalam tai. Bila ini terjadi, mungkin menjadi sejarah kematian paling hina di muka bumi.
***
(19)
Karena mungkin tidak berdaya memaksa aku untuk mengaku perbuatan  Herkanus, mereka akhirnya memutuskan mengirimkan aku  ke Tahuna.
Dari Essang, aku dikawal oleh dua orang tentara dengan menumpang sebuah perahu pamo milik penduduk yang akan ke kota Beo. Tanganku diborgol laiknya seorang penjahat kakap, atau seorang pencuri yang kebekuk.
Meria, dengan air matanya seperti biasa perempuan itu akan selalu menyimpan rasa sakit di dadanya. Ia mengantarku hingga ke pantai. Setelah perahu bergerak, aku masih melihat lambaian tangannya. Lambaian yang mengisyarat harapannya untuk bisa melihatku lagi. Senyumnya yang kukira begitu kudus direkahnya di bibirnya seperti memberi tenaga hidup bagiku. Tiba-tiba aku ingat desisan nyanyian kakumbaeda-nya, aku yakin, perempuan sana selalu merindukanku.
Dalam perjalanan, aku terus membayangkan Meria. Betapa menderita perempuan itu. Seandainya masa muda itu dapat dikembalikan ke asalnya, aku akan meninggalkan perempuan ini begitu saja, bukan karena aku tak mencintainya, tapi agar ia tak mengalami, tak terlibat dalam  penderitaan seperti sekarang ini. Sikap Paulus yang tak lagi menikah setelah kematian istrinya yang diceritakannya padaku ternyata memiliki kebenaran. Seandainya Meria punya keberanian menceraikanku, dan menikah dengan lelaki lain yang bukan tapol aku segera akan setuju. Tapi mengapa ia tak punya inisiatif seperti itu. Toh seorang wanita punya hak untuk menentukan nasibnya, bukan pasrah pada keadaan yang membelitnya.
“Seharusnya ia meninggalkanku!” desisku tiba-tiba. Pikiranku yang berblingsatan itu akhirnya diredahkan kenyataan bahwa kultur kami tak memungkinkan perempuan punya niat seperti itu. Wanita selalu ibu bagi peradaban. Ia berada di sisi menjaga bukan pengubah.
Dari perahu aku memandang lautan lepas. Burung-burung laut berkeliaran bermain di atas buih. Beberapa perahu dengan layar-layar yang mengembang mengayun–ayun di atas gelombang. Mau kemana mereka. Adakah mereka sedang menuju daratan cita-cita, atau sedang berlayar ke negeri yang tidak di kenal?
“Tidak mungkin. Para pelayar itu pasti punya tujuan, bukan seperti diriku yang sedang melayari nasib entah ke dermaga mana,” bisikku pada langit kosong dengan awan putih yang berarak-arak.
Sudah senja kami sampai di Beo. Aku langsung dipindahkan ke kapal Rantepao. Kapal tua yang dioperasikan Pelni, sebagai kapal perintis yang melayari jalur-jalur yang terisolir di kepulauan Tinonda-Napombalu setelah menyinggahi tanah-tanah di jazirah Sangihe.
Selama di kapal, kendati tanganku sudah terborgol, petugas-petugas itu masih mengurungku dalam sebuah kas ukuran satu kali satu meter di atas dek yang terbuka. Keadaanku layaknya seekor babi yang biasa dikirim ke tempat penjegalan di Manado atau Tahuna.  Ini salah satu bentuk penyiksaan tentara kepada para Tapol. Semalam-malaman tubuhku dilumuri gerimis. Pakaian yang kukenakan menjadi basah bukan saja oleh gerimis, tapi oleh air kencingku sendiri. Hanya aku sendiri tergolek di dek terbuka sepanjang malam itu, berjuang melawan kesakitan yang meremas-remas bukan saja dalam tubuhku, tapi hingga ke perasaanku. Sepajang malam aku tidak tertidur, hingga terlihat cahaya-cahaya lampu yang kian lama kian mendekat dari daratan itu. Stom kapal yang keras, menandakan kami telah sampai di kota yang terletak dalam teluk itu.
Tahuna, kota yang menurut mitos dibangun dari segengam pasir yang ditaburkan seorang lelaki penuh kesaktian. Leluhur orang-orang perkasa Sangihe yang bernama dotu Tatehe. Kota ini berada di daratan pulau Sangir Besar. Sebuah pulau pada masa penjajahan Belanda sangat dikenal hingga ke Eropa karena memiliki kerajaan yang kuat pertahan lautnya yaitu kerajaan Tabukan.
***

 

 

 



 

BAGIAN : VII


Perkenalan Dengan Sasinduan
















(20)
Sabtu, pekan terakhir September 1974, kapal yang membawaku sampai di pelabuhan kota Tahuna. Langit masih beku. Gerimis jatuh dari celah-celah kabut. Kabut yang masih sebentuk halimun, bergelantung melumuri tepi-tepi tebing bukit.
Kota ini tak begitu luas. Dermaga batu menjorok ke laut di teluk itu. Hanya sebentuk cerocok. Kapal-kapal tidak bersandar, tapi membuang sau puluhan meter dari cerocok. Penumpang harus turun lewat perahu Pamo yang akan membawanya hingga ke tepi cerocok itu.
Sebaris ke depan menegak gunung Awu. Tinggi, dan angker. Gunung itu gunung vulkanik masih aktif. Jalan-jalan yang dilalui mobil menikung di tebing-tebing bukit terjal yang di bawahnya tumbuh pohon-pohon Dahiango berdaun-daun kecil, dan pohon Gomu yang daunnya bisa dipakai menjadi layang-layang penangkap ikan Sallong.  Jalan yang penuh lekuk itu senantiasa menguji keahlian, kehati-hatian, dan kesabaran seorang sopir.  Kubayangkan jika ada mobil yang terperosok dari jalanan tebing itu akan meluncur seperti Heli dan kemudian mendarat di salah satu atap rumah penduduk di bawahnya. Di samping dermaga, pasar tradisional ramai dengan orang belanja dan suara-suara para penjual ikan. Tenda-tenda para penjual obat dengan atraksi akrobat dan sulap menggunakan pengeras suara  membisingkan pasar kecil itu. Pesulap-pesulap itu biasanya orang Makassar atau Gorontalo yang datang dari Manado. Para pedagang dari pulau-pulau sibuk dengan perahu mereka yang tertambat di pantai di samping pasar, mereka datang dari pulau Para, Mahangetang, Kahakitang, atau dari pesisir daratan besar Tampunganglawo. Suara-suara keras kadang melengking. Itu suara para bandar ikan yang punya kebiasaan mabuk. Mereka  sejak pagi sudah menegak minuman alkohol Pinaraci. Mereka menjadi begitu menonjol dan piawai ketika menawari ikan yang di bawa nelayan yang datang dari pulau sekitar dengan perahu-perahunyaa.  Kulit mereka hitam berminyak. Tapi lebih terbakar lagi kulit para nelayan-nelayan itu. Rambut mereka kering menguning. Tapi urat-urat mereka tampak kuat seperti kawat baja.
Bagaimana pun kecilnya Tahuna, kota ini merupakan pusat kegiatan perekonomian dari kawasan paling utara pulau-pulau yang berbatasan dengan negara tetangga Filipina itu. Kota ini pun menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Sangihe Talaud.
Bunyi sepatu lars tentara yang mengantarku  menggemerisik menginjak dermaga berbatu kerikil. Tanganku masih terikat. Sedang tubuhku terasa lunglai. Semalam-malaman aku terkurung dalam kerangkeng sempit. Meskipun sakit, tapi kupaksa  berjalan, hingga kadang langkaku terseok-seok. Orang-orang, dan para buruh lalu lalang dengan kesibukan masing-masing. Orang-orang itu, setiap kali berpapasan dengan rombongan kami, mereka surut menyelinap sedikit menjauh. Ada semacam desis penghinaan yang kumudian terbawa angin dari mulut orang-orang itu. Desisan yang sama, yang selalu kudengar dari mulut siapapun di manapun aku berpapasan. Desisan yang berkali-kali membuat anakku menangis terhina. Desisan yang membuat dada istriku selalu bergetar marah. Tuhanku! Andaikan ini hanya sebuah mimpi, aku ingin ada orang cepat-cepat membangunkanku, agar aku segera terhindar dari pikiran-pikiran buruk yang keluar masuk dalam hatiku. Sebab setiap kali kudengar desisan itu, setiap kali pula niatku untuk membunuh memercik-mercik.
Kota ini seperti kehilangan rasa cinta atau tatapan memelas, kecuali pohon-pohon berjejer di kedua tanjung yang memeluk dataran ini terus melambai-lambai seperti mengguratkan sapaan kehidupan kepada siapapun. Apakah juga untuk aku? Truk tentara yang menjemput di pintu dermaga, membawaku ke penjara tak jauh dari pelabuhan itu.

Hari pertama mendekam di penjara Tahuna, aku ditempatkan satu sel dengan seorang lelaki yang kemudian kukenal bernama Sasinduan.
Sasinduan perawakannya sedang-sedang saja, namun tubuhnya nampak kuat. Dari sinar matanya yang tajam memancar semacam suatu tenaga yang jauh berada dalam pikirannya. Sasinduan, tapol golongan “B”.  Lelaki umur 50 tahun itu kelihatan begitu senang dan iba melihatku. Itu bisa kubaca dari cara ia menatap, dan ketika menyambut aku bergabung dalam selnya.
“Kau orang ketiga yang dimasukan satu sel denganku,” katanya seusai kami berkenalan dan lama berbasa-basi apa adanya. Secangkir kopinya dibagikannya padaku. Setelah menyesap kopi dari pemberian yang kupikir teramat ihklas itu, timbul keinginanku  bertanya tentang apa yang baru ia ungkapkan.
“Apa keduanya sudah pulang?” tanyaku. “Apa keduanya sudah bebas?”
Sasinduan mengernyitkan dahinya. Dari mulutnya mengepul asap rokoknya, yang kelihatan begitu dinikmatinya. Ia seperti memikirkan sesuatu.
“Mengapa kau masih ditahan, sedang kedua kawanmu sudah di lepas?” tanyaku lagi.
“Aku belum dibebaskan Tuhan,” katnya pendek. Ia menyeringaiku dengan tatapannya yang tajam. Ia memperhatikanku, seakan ingin menemukan sesuatu dalam diriku.
“Keduanya sudah dibebaskan Tuhan,” ucapnya kemudian, dengan suara yang terdengar serak. Pedih. Wajahnya berubah  getir setelah mengatakan itu.
“Mereka tewas ketika bekerja. Mereka tertimpa tanah galian batu,” paparnya lagi. Ia nampak tercenung sejenak, dan menarik nafas yang kemudian dihempas seperti bunyi lenguhan.
“Oh…,” kataku dalam gumam. Melihat air mukanya, aku memahami, ada suatu rasa kehilangan yang melepuh di lubuk hatinya.
“Kenangan menyakitkan! Semoga, kisahmu lain. Tidak seperti Gustaf dan Willy,” katanya dengan suara yang terdengar parau lagi.
“Gustaf dan Willy? Mereka orang mana?” tanyaku.
“ Siau,” jawabnya singkat. “Katanya kau dari Talaud?” tanyanya lagi.
“Tepatnya dari desa Essang. Sedang tempat asal keluargaku dari Makatara,” jawabku.
“Pada masa lalu, antara Siau dan Talaud punya hubungan silaturahmi yang bagus. Banyak anak-anak yang berasal dari Talaud diangkat anak oleh warga Siau,” kisah Sasinduan. Aku mengangguk saja. Sebab aku tahu cerita itu. Berapa dari familiku juga diangkat anak oleh orang-orang Siau. Mereka di asuh dan dididik berbagai pengetahuan. Sejak dahulu, pulau itu dikenal sebagai daerah yang masyarakatnya sangat makmur karena tanaman pala yang harganya mahal di pasar Eropa. Tempat itu juga memiliki kerajaan yang sangat maju. Beberapa dari raja mereka lepasan perguruan tinggi di Manila Filipina.

Seorang sipir penjara lewat di sel kami. Wajahnya begitu mengasihankan. Wajah seorang bodoh yang berlagak cerdik dan begitu berkuasa. Lenggang jalannya pun diaturnya agar terlihat seperti gaya seorang penguasa penuh wibawa. Padahal, tubuhnya  pendek. Perutnya bongsor. Ia kelihatan seperti mobil tua yang terseok-seok.
“Trinnnng…ting…ting…” Sipir itu menggesekkan terali sel dengan pentungan hitamnya. Suara berisik itu menusuk telinga.
“Kau orang baru?” tanya sipir itu padaku.
“Ya pak!”
“Berdiri!” bentaknya. Ia mungkin merasa direndahkan ketika aku menjawabnya dalam posisi duduk. Kuikuti saja permintaannya.
“Kau jangan macam-macam di sini. Kau itu PKI…PKI busuk. Perusak negara. Tahu!”
“Tahu pak!”
 Sipir itu membelalakkan matanya, seperti mau menakuti kami. Dan aku tahu orang seperti ini membutuhkan pula ekspresi rasa takut dari kami. Ia membutuhkan ketegasan itu untuk memupuk ketinggian hatinya. Sasinduan membalasnya dengan senyuman. Merasa berhasil menakuti kami, ia kemudian berlalu seperti seseorang yang baru meraih kemenangan besar. Tak lupa, kembali digeseknya pentungan hitamnya di terali secara berurutan hingga menimbulkan kebisingan yang memekakkan telinga. Bangsat!
“Dasar tikus,” pekikku pelan.  
            “Jangan kaget. Sipir di sini selalu seperti itu jika melihat orang baru. Mereka akan berusaha agar kau bertekuk lutut di kaki mereka. Suatu ketika mereka akan mencobaimu,” kata Sasinduan, setelah petugas penjara itu berlalu.
            “Apa hebatnya mereka?”
            “Tidak ada yang hebat. Hanya mereka didukung oleh sistem penindasan yang hebat dan terencana”.
“ Kau PKI ?” tanya Sasinduan.
“Parkindo,” jawabku.
“Berarti kau korban sistem penindasan yang terencana itu. Berbeda denganku. Aku  orangnya  Front Marhaenis. Dituduh sebagai anggota partai kiri yang mendukung pemerintahan  Bung Karno.” Setelah berkata demikian, ia naik ke ranjangnya. 
“Istirahatlah kau. Kau harus pandai menggunakan waktumu di penjara ini.” Suasana menjadi hening sejenak, kecuali gelak tawa yang menyerupai keributan terdengar dari barak para napi. 
Sasinduan kemudian bersiul-siul menyanyikan sebuah lagu. Siulannya terdengar merdu. Lagu Koes Plus, atau mungkin Panbers, atau penyanyi lainnya, yang pasti liriknya antara lain’ “Tak kusangka kau berbuat begitu, kau ingkari janji setiamu” dan seterusnya, aku tak hafal.
 “Istrimu bagaimana?” tanya Sansinduan setelah menghentikan siulannya sejenak.
“ Baik saja. Ia di Essang!”
“Ia pasti wanita yang menderita”
“ya”.
“Anak-anakmu?”
“Yang tertua perempuan, di California. Yang kedua, seorang lelaki. Ia entah di mana saat ini. Mungkin di Filipina, atau sudah bersama kekasinya di Amerika. Anak lelakiku itu melarikan diri, setelah membunuh tiga orang pemuda anti PKI,” kisahku. Sasinduan dengan cepat bangkit dari ranjangnya. Kakinya di juntai ke lantai.
“Siapa nama anak lelakimu itu?”
“Herkanus!”
“Ia seorang pahlawan!” ujar Sasinduan spontan. Aku tertegun saja.
“Herkanus seorang pahlawan. Kau pantas bangga padanya,” kata Sasinduan lagi, lalu merebahkan kembali tumbuhnya ke ranjang.
“Anakku yang bungsu, bunuh diri!” 
“Itu sungguh menyakitkan!” potongnya dingin. Sejenak kemudian ia berkata lagi, “Banyak anak PKI bunuh diri. Mereka anak-anak yang malang, tak mampu menahan malu.”
“Ia bunuh diri karena malu diperkosa pemuda anti PKI”.
Sasinduan bangun lagi dengan cepat, “ Herkanus kemudian membunuh para pemerkosa itu?”
“Ya”.
“Bagus! Anak itu telah menunaikan tugas sucinya. Ia memahami makna dari sebuah martabat dan harga diri. Bangsa ini telah kehilangan itu semua. Seribu anak muda seperti Herkanus, membuat kita memiliki pengharapan untuk negeri ini,” ujarnya berapi-api. Lagi-lagi otak lelaki itu seperti berkelebat kemana saja mencari sesuatu untuk dipercakapkan. Di menit kemudian, Sasinduan terdengar bersiul-siul  lagi. Lagunya, lagu kepedihan. Matanya menjadi berkaca-kaca.
“Kau beruntung dikelilingi orang-orang baik. Aku kehilangan semuanya,” tutur Sasinduan.
“Maksudmu?”
“Istriku menyeleweng. Ia wanita dengan moral yang rapuh”.
“Apakah dengan kondisi kita seperti ini, masih patutkah kita menyalahkan mereka?”
“Seorang istri adalah rusuk kita. Seorang istri yang menyeleweng bukan berasal dari rusuk kita. Ia perempuan kebanyakan. Mungkin berasal dari rusuk yang tak berguna. Sebab jika seorang istri itu merupakan rusuk kita, maka setiap sakit kita, menjadi sakitnya pula. Jika seorang istri tidak merasakan dan memahami sakit kita, ia bukan rusuk kita. Istri seperti itu dapat dibuang sesuka hati kita. Ia tak punya tempat di hati kita, juga dalam kenangan dan mimpi-mimpi,” kata Sasinduan dengan nada suara yang terdengar pahit.
“Kau merasa kehilangan dia?”
“Tidak. Hanya merasa dikhianati.”
“Apa bedanya?”
“Berbeda kalau ia  menikah dengan pria lain. Tapi justru ia menikah dengan orang yang melapori aku. Diam-diam ia memang berencana mau mengenyahkan aku. Karena ia telah lama berselingkuh dengan lelaki itu. Itu pun baru kuketahui kemudian.”
Aku merasa tidak penting membicarakan itu lagi. Kupikir kian dalam membicarakannya, takutnya akan menimbulkan salah tafsir. Sebab, aku tidak menemukan kekurangan yang mencolok dalam diri Meria istriku, apalagi dalam hal moral. Kupikir Meria sangat mencintaiku. Jadi jika aku mengacu ke latar belakang istriku untuk menilai istri Sasinduan, tentu akan dipertemukan pada kenyataan-kenyataan yang berbeda. Biarlah aku mengalihkan pembicaraan ke masalah anaknya.
“Anakmu?”
Sasinduan tersenyum getir. “Anak-anakku, jangankan menjadi pahlawan seperti Herkanus, menjenguk aku saja mereka seakan malu,” kisahnya lirih.
“Mereka ikut ibunya?”
“Mereka merantau ke dunia yang jauh. Bisa di Jakarta, atau mungkin di luar negeri. Pokoknya, mereka pergi menjauhi aku. Bagi mereka, aku adalah momok busuk yang membuat mereka malu.”
“Pernah terima kabar dari mereka?”
“Masih pentingkah aku, sehingga mereka mesti memberi kabar?”
“Tapi kau ayah mereka.”
“Bagi mereka aku malapetaka,” ujar lelaki itu, sambil menelan ludahnya yang mungkin terasa pahit. Betapa getir wajahnya ketika mengungkapkan semua itu. Memang sungguh menyakitkan bagi seorang lelaki yang dikhianati istri. Bagaikan seseorang yang kucurian makanan di piring yang sedang ia makan. Lebih menyakitkan lagi jika seorang ayah dibenci anak-anaknya. Padahal untuk menjadi ayah, kadang-kadang bahkan sering  untuk mendapatkan sesuap nasi, kita tidak hanya tega mendustai sesama manusia, tapi juga kepada Tuhan.
Keriuhan para napi yang sedang bermain-main di lapangan penjarah membuat percakapan kami terganggu. Hawa panas siang hari masuk lewat terali. Tapi aku berusaha untuk tidur. Namun sampai jam makan tiba, pikiranku yang terus mengawang tak mukin ditidurkan. Sasinduan terdengar mendekur. Lelaki itu terlelap. Suatu perjuangan yang paling berat untuk melupakan dirinya. Diri yang penuh kisah keterhilangan.
***
(21)
 Siang ini, dipojok kiri penjara, perkelahian para napi baru berhasil dilerai, setelah sipir mendatangi dan membubarkan mereka.  Seorang dari mereka babak belur dikeroyok beberapa rekannya. Penjara memang suatu komunitas yang keras. Semacam tempat mukim orang-orang dengan frekwensi ketersinggungan yang tinggi. Orang-orang dengan tingkatan stress yang mendekati gila.
Tak jauh dari tempat aku dan Sasinduan duduk, di lapangan sebelah selatan, beberapa napi lain berkumpul sambil merokok di bawah rumpun Bougenville yang rindang. Bunga merahnya mengimpresikan sayatan hati orang-orang di bawahnya. Mereka tampak ramai.  Masalah yang mereka bicarakan pun seruh. Ini tentang paha seorang perempuan petugas penjara yang belum lama melintas di depan mereka. Mereka berandai-andai jika paha mulus petugas itu bisa mereka remas. Yang lainnya, membayangkan jika kepalanya bisa direbahkan sejenak di kasur paha empuk perempuan itu. Yang pasti setiap kali, secara berganti atau juga bersamaan, ada dari mereka yang meremas penisnya sendiri.  Akupun meremas milikku.
“Jika aku bisa melidahnya. Adodo eee…sedape we!” ujar yang lainnya dengan diikuti gerakan yang erotis. 
“Akan ku gigit dan kutelan paha itu,” ujar seorang kawannya dengan gaya melucu yang serius. Sasinduan, iseng, memperhatikan juga percakapan mereka.  Aku yakin, penis Sasinduan juga berdiri.
“Sasinduan!” panggil salah seorang napi kepada Sasinduan. “Bilang sama teman barumu, ia yang pas merobek barang bagus itu!” seru napi itu. Aku tahu yang dimaksudkan napi itu adalah aku. Mungkin karena badanku kekar dan besar, jadi mereka membayangkan bila aku yang meniduri perempuan itu pasti bakal seruh. Sesaat di otakku melesat bayangan perempuan Filipina yang payudaranya besar yang mengerang nikmat ketika kutindih dengan kuat dan kasar pada sebuah kamar  hotel dengan port Davao City tempo hari.
Aku menjawab kelakar mereka dengan senyuman ramah. Tapi, tiba-tiba kurasa ada cairan yang termuntahkan dari lobang kepala penisku.
“Jika kau bisa mengaturnya, tentu dia siap merobeknya!” balas Sasinduan, dalam kelakar yang lebih sengit.
“Gampang! Nanti aku atur, jika aku sudah bosan hidup!”
“Sudalah, jangan pikir yang bukan-bukan, nanti onani lagi,” seru Sasinduan.
“Dia bukan onani, tapi bakal ayam yang kita makan besok diperkosanya dulu,” sambung salah seorang napi di sampingnya.
“Ah, itu malah kelakuanmu!” tangkisnya.
“Waktu kita di dapur, apa kau bilang, pantat ayam itu mengoda juga,” ejek temannya lagi. Mereka lalu tertawa bersama. Percakapan mereka kemudian berlangsung kian seruh dengan celoteh-celoteh segar yang bisa membuat mereka melupakan sejenak  kenyatan bahwa mereka sedang menderita di penjara. Satu dua bunga Bougenville jatuh di tengah mereka. Mereka tak peduli.

Setelah  jam makan malam, Sasinduan bercerita padaku. Menurut ceritanya, katanya, ia pernah akrab dengan orang-orang PKI seperti Subandrio. Hampir setiap malam sebelum tidur, kami lewatkan dengan percakapan-percakapan menarik. Ini satu-satunya cara menghapus penat setelah seharian ikut kerja paksa pembuatan lapangan terbang Naha, atau pekerjaaan lain di kota Tahuna.  Sasinduan menceritakan banyak kawannya yang mengalami nasib nahas seperti dirinya. Padahal mereka tidak tahu-menahu dengan peristiwa G30S. Apalagi itu terjadi jauh di sana, di tanah Jawa.
Teman-temannya seperti Maniku dan Selekede di pemerintahan provinsi ikut juga diciduk. Pencidukan orang-orang kiri di pemerintahan katanya merupakan salah satu cara penguasa  melumpuhkan mereka. Penguasa hanya punya satu cara dalam melanggengkan kekuasaannya yaitu dengan dar der dor.  Mereka tidak mengenal kekuatan diplomasi selain hak paksa. Diplomasi mereka adalah diplomasi senjata. Diplomasi senjata  itu tidak saja dilancarkan kepada kaum kiri tapi kepada seluruh penentang-penentang kebijakan penguasa. Rakyat pun dipaksa untuk bersatu di bawah todongan senjata.
“Aku memang salah satu tokoh Front Marhaenis. Kau tahu apa itu Marhaenis?” tanyanya, suatu malam saat kami lagi menunggu kantuk. Aku mengeleng.
Seekor kecoak melintas di dinding dekat terali lubang udara. Udara di luar yang dingin menghimpit masuk lewat terali tua sel itu. Sasinduan bangung menegak sisa kopinya yang sudah dingin. Setelah menyalakan sebatang rokok Oskar-nya, ia menghisapnya dalam-dalam. Setiap tarikan hisapan rokoknya, ia seperti membayangkan sesuatu yang sangat menentramkan yang jauh tersimpan dalam setiap kepul yang masuk ke rongga mulutnya. Lalu dihembuskannya asap itu dari hidungnya, seperti melepas butiran-butiran amarah yang menyesak pikirannya. Asap itu membumbung ke langit-langit sel seperti asap kapal Rantepao tua yang tertatih-tatih dalam potongan-potongan yang tidak bersambung.
“Marhaenis adalah kaum tani. Kelompok akar rumput yang sebenarnya pemilik sah negeri kita ini. Sembilan puluh sembilan persen rakyat di negeri ini adalah kelompok itu. Mereka kaum miskin. Kaum yang bakal makin miskin dan menderita jika tidak ditolong segera. Musuh-musuh marhaenis sesungguhnya adalah kaum kapitalis linta darat. Merekalah yang disebut Soekarno sebagai kaum kolonial narsis,” jelas lelaki itu panjang lebar.
Lelaki yang rambutnya mulai menguban itu menarik nafas dalam-dalam setelah menghisap rokoknya kembali. Ia melemparkan sebatang Oskar-nya. Aku bangkit dari ranjangku dan menyulut rokok itu. Aku tiba-tiba merasa sangat beruntung bertemu dengannya. Paling tidak sejak malam pertama aku mendekam di penjara Tahuna ini, aku bisa mendapatkan pelajaran berharga yang baru kudengar. Salah atau benar , itu bukan urusanku.
“Penguasa saat ini, berada di belakang kapitalisme. Rakyat Indonesia bagi mereka hanya sekedar obyek eksploitasi. Mereka membangun sistem pemerintahan elitis sentralistik. Rakyat adalah obyek. Sementara penguasa dan konco-konconya adalah subyek. Penguasa saat ini juragan sekaligus raja. Apa yang dikatakannya harus dipatuhi. Yang membangkang, nasibnya tak lain kematian. Aku beruntung dipenjara karena memang aku musuh kapitalisme. Aku seorang sosialis radikal. Karena bagiku sebuah negara adalah rakyat. Suara dan kehendak rakyat harus menjadi sumber segala sistem bernegara. Mengapa Soekarno menolak kapitalisme. Karena kaum kapitalis tidak akan dan tidak pernah memikirkan rakyat selain mengurus isi perutnya sendiri. Mereka akan terus mengejar peluang jadi kaya. Dan rakyat terus ditekan untuk miskin agar tidak menjadi ancaman bagi kehidupan usaha-usaha mereka. Dan aku kasihan padamu, menjadi korban permainan anjing-anjing  yang kini berkuasa di kepulauan kita,”  papar Sasinduan panjang lebar. Ia terus mengatakan banyak hal, layaknya seorang nabi kepada umatnya. Aku pun seperti umat yang lapar suara kenabiannya
Langka kaki seorang penjaga penjara terdengar lagi seperti suara gajah yang tertati-tati, menggesek lantai kasar berpasir. Sasinduan diam sejenak.
“Dia akan membentak kita. Tapi kau harus ingat, kau harus terbiasa dengan suasana ini,” ujar Sasinduan memperingatkan. Tepat di depan sel kami, penjaga gemuk itu mendongakkan wajahnya seperti meneliti kami.
“Hai binatang… kalian berdua, sekarang jam tidur!” bentak lelaki itu sambil memukulkan tongkatnya ke terali yang menimbulkan bunyi denting yang menyakitkan telinga. Kami pun naik ke pembaringan. Lelaki itu kemudian berlalu dengan langkah lambannya yang pongah, seperti seorang pemburuh yang berhasil menaklukan buruannya. Padahal lelaki itu, jika berhadapan dengan seekor kambing kurus saja belum tentu ia berhasil mengalahkannya. Jika seandainya ia dihadapkan denganku dalam suatu panggung perkelahian yang adil, kupikir aku cukup membutuhkan beberapa detik saja untuk segera mematahkan batang lehernya yang bergelambir itu.
“Tak usah dipusingkan. Begitulah gaya tikus-tikus itu. Mereka selalu menjadi raja-raja kecil di sarang masing-masing. Padahal mereka tak lebih dari pada kecoa yang segera melutus jika terinjak kaki-kaki kemanusiaan,” ujar Sasinduan yang kembali bangkit dari ranjangnya dan menyulut sebatang rokok lagi. Lagi ia memulai tradisi kenabiannya.
Aku ikut bangkit. Rasa tertarikku kepada lelaki yang belum lama kukenal ini tiba-tiba begitu besar.
“Kau suka dengan ceritaku?”
 “Ya,” jawabku singkat.
“Bagus! Baru lima tahun kekuasaan diambil alih dari Soekarno, sudah banyak orang yang tidak lagi berkeinginan jadi cerdas. Semua seperti tersihir menjadi burung beo atau cecak Tingkaru yang hanya pandai mengeja kata orang. Sedangkan kata hatinya sendiri tak ia mengerti. Syukurlah kau mau belajar. Kau memang buta politik. Namun seorang buta sekalipun bisa jadi cerdas jika ia ada keinginan untuk cerdas. Adalah yang paling sial jika seorang buta matanya, juga menolak membuka mata hatinya.” Kami banyak bercerita malam itu. Banyak, hingga dijemput kantuk.(Bersambung ke bagian berikutnya...)

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar