Senin, 26 September 2011

MEMBURU IMPIAN DI CEROCOK (Cerpen Iverdixon Tinungki)

Beo. Aku belum pernah ke kota itu. Apakah di sana ada cerocok kapal karam, dengan gadis beraut sebening langit menantiku? Apakah cinta dapat berisyarat dari wilayah kegaiban mimpi? Ataukah memang benar kata Kahlil Gibran, bahwa cinta memiliki tenaga memanggil, dan seseorang tak berdaya kecuali luluh dan pasrah mengikuti panggilan cinta?
Sepekan ini waktuku lebih banyak dibingungkan mimpi ini. Ferry kawan sekantorku belum juga pulang dari Makassar. Ia ditugaskan mewawancarai aktivis-aktivis anti AS. Padahal, aku berharap, dari Ferry-lah misteri mimpi ini akan terkuak. Akhirnya aku berangkat ke Talaud, dan jika mungkin menyusup ke selatan Filipina. Tak mungkin lagi aku menanti Ferry. E-Mail-ku juga belum dibalasnya. Jujurnya, perjalanan jurnalistikku kali ini lebih didorong rasa penasaranku akan mimpi itu. Lalu, bagaimana dengan Erina?
“Ini hanya perjalanan jurnalistik,” jelasku pada Erina berbohong. Tapi kulihat sinar keraguan di mata malaikat mungilku Erina. “Aku tak percaya kak. Tak biasa kau gelisah. Kau sosok apa adanya. Tapi kali ini lain. Kau sedang memburu sesuatu,” keluh Erina. “Nanti balik aku cerita padamu,” tegasku. Di pintu kulihat resah mengantung di wajah jelita yang begitu mencintaiku. Aku memahami cintanya, tapi jauh di desir perasaanku, lebih perfect jika Erina menjadi friend ideal semata. Ia lebih pas jika pacaran dengan lelaki seusianya atau yang lebih tua sedikit. Tapi denganku yang bertautan 22 tahun, Oh Tuhan. Aku merasa tidak adil padanya. Namun, aku tak mungkin juga dengan semena-mena menghempaskan cintanya.
***

Buruh itu menunjukannya padaku. Dengan bergegas aku ke sana. Sesampainya di cerocok, aku coba menemukan segala yang mampir di mimpiku. Aneh, semua yang ada dicerocok ini persis sama dengan gambaran mimpiku. Hanya saja, di mana gadis itu? Ia tak di sana.
“Kau di situ Pra?” seseorang mengagetkanku. Suara itu sangat kukenal, aku berpaling. Ferry melemparkan senyuman khasnya. “Gila! Kau kan di Makassar. Lalu mengapa di sini Fer?” tanyaku penasaran. “Aku baca emailmu, saat aku di Davao City. Dari Makassar, aku langsung terbang ke Davao City lewat Jakarta. Dari email aku tahu, kau akan ke Beo. Makanya aku menyusur laut saja, agar bisa bertemu denganmu di sini. Tadi kita satu kapal dari Lirung,” jelas Ferry. “Seharusnya kau menegurku sejak dari Lirung!” kataku kesal. “ Ini surprise friend!” katanya.
“Aku sudah baca cerita mimpimu di emailmu,” Kata Ferry ketika kami sedang meluncur dengan mobil ke rumahnya. “Mengapa mimpiku itu seperti nyata?” tanyaku. “Dian memang adikku. Ia pengagummu. Ia mencintaimu. Semua mimpimu itu nyata friend,”
“Mengapa bisa begitu?”
“Aku mengirim semua itu ke dalam mimpimu dengan jalan mistik. Maaf. Ini harus kulakukan demi adikku. Aku tak mungkin menceritakannya secara langsung padamu!”
“Mengapa?”
“Aku tak ingin terjadi apa-apa antara kau dan Erina. Jadi jangan karena adikku lalu aku membuat cinta Erina padamu tersakiti,” jelasnya. Aku tertegun sejurus. “Apakah Dian sakit?” tanyaku. “Ia Leukimia!” tegas Ferry. Kontan hatiku berderit dan haru.
Setibanya di rumah Ferry, ia ada di sana. Ia seperti malaikat dalam dongengan ibuku “Kau pasti Pra. Prananda Widya!” kata gadis itu ketika kujabat tangannya “Kalau tak salah, ini pasti Dik Dian,” balasku. Ia mengangguk dan tersenyum manis. Oh Tuhan, betapa sempurna senyum itu. Hatiku kembali berderit seperti layar perahu dikibari badai.
Malam ini aku telah sepakat dengannya pesiar ke cerocok. Sekitar pukul tujuh kami sampai di cerocok kapal karam. Debur ombak bersahut memukul pantai. Sedang rona sinar bulan menerangi pipinya yang putih. Ia begitu natur dan menawan.
“Kau bilang akan mengatakan sesuatu di sini padaku,” kata Dian mengingatkanku.
“Ya. Aku bermimpi tentang kita di cerocok ini,” jawabku.
“Tentang Leukimia yang siap mengambil diriku?”
“Kakakmu telah mengatakannya!” tegasku.
“Lalu?” tanya Dian. Dadaku sedikit tercekat. Tapi kemudian aku memutuskan untuk mengatakannya. “Aku ingin kau menjadi istriku!” kataku begitu saja. Dian tertawa mendengar ucapanku.
“Kak Pra, sejujurnya aku hanya menemukan cinta pada dirimu. Tapi aku wanita. Aku tak mungkin mendahuluimu. Apalagi kak Ferry menceritakan tentang Erina.” Aku diam saja. Kubiarkan ia melepas perasaannya. “Benar kita baru saling kenal. Tapi aku tak pernah merasa asing dengan Kak Pra. Aku tahu tentang kakak lebih banyak dari Kak Ferry. Aku begitu kagum pada kakak. Seandainya aku bisa menjadi istrimu…” katanya agak malu.. “Sekarang kau bisa jadi istriku. Ternyata aku memang menyukaimu dik,” kataku. Dian tertawa lagi. Ia tampak seperti bunga yang mekar dalam kegelapan di bawah bulan. Bunga yang sebentar layu diserubut Leukimia.
“Pernyataan cinta kakak padaku telah mengobati rasa berharap yang bersemi sekian waktu. Ternyata Tuhan begitu baik, telah memenuhi doa-doaku.” Dian berhenti sejurus, kemudian berkata lagi, “ Saat ini, di cerocok ini, kita telah menikah kak Pra. Sebuah pernikahan bathin. Dan karena aku tidak punya banyak waktu mengisi hari-hari kak Pra. Saat ini pula kuceraikan kakak, agar kakak bisa mengambil Erina sebagai istri kedua kakak yang sah.” Aku tertegun mendengar ucapan Dian. Rasa haru memancar di jiwaku. Menit-menit kemudian, sunyi meliputi kami. Aku merangkulnya. Dan kami berciuman di bawah gerimis di cerocok itu. Ciuman pernikahan dan perceraian, seperti yang diucapkannya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar