Senin, 26 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (8)


BAGIAN : VIII

Kesaksian Kedua


(22)
            Di lapangan Naha, langit begitu terik. Kami serupa Romusha. Selalu demikian setiap harinya. Sejak subu hingga pukul lima petang kami bekerja.  Bekerja tanpa kebanggan. Kecuali penghinaan dan tekanan fisik. Beberapa orang telah menyelinap ke rerindangan pohon-pohon di pinggir lapangan. Panas begitu menyengat. Sejak bekerja di sini, kulitku kian melebam. Tapi untuk apa memikirkan kulit? Sejenak aku menyelinap ke rerindang pohon Nangka, tak jauh dari timbunan balok-balok kayu Linggua. Rasa sejuk langsung menyerangku. Rasa teduh memang menjadi mahal di sini, di lapangan penghukuman ini.
Sejak pagi tadi, kami bekerja menyelesaikan fasilitas gudang bandar udara itu. Sasinduan masih asyik dengan pikulan baloknya. Ia tertatih melintas ke tepi lapangan tempat penimbunan kayu yang siap digunakan. Tak ada bunyi burung, meski kawasan ini terbilang masih belantara. Di langit beberapa ekor elang yang kepanasan hanya sesekali keluar dari rerimbunan pohon Kenari hutan.
Beberapa tentara berjaga-jaga depan barak. Mereka harus menjaga, karena kami tapol. Sebutan yang paling gampang untuk menghimpun tenaga kerja suka tapi tak rela. Ratusan kami di sini. Datang dari berbagai pulau. Orang-orang tertuduh yang menjadi binatang perah sebuah rezim.
Setelah melepas pikulannya, Sasinduan mendekatiku. Ia tampak lelah. Keringatnya membanjir membasahi semua kaos hitam yang dikenakannya. Ia berhenti sejenak, menyalakan dan menghisap rokoknya, lalu berkata sambil duduk di dekatku.
“Keadaan negara kita saat ini, seperti seorang yang membangun bangunan bertingkat-tingkat  mewah tapi tanpa batu pondasi. Jika tiba saatnya, tekatan berat itu meminta tumpuan yang kuat, maka bangunan itu akan roboh, amblas meluluhlantakkan segala isinya.” Ia diam sejenak, lalu berkata lagi, “kau tahu apa artinya itu?” tanya Sasinduan. Aku menggeleng saja. Memang agak berat bagiku mencerna alur pikiran lelaki dengan sorot mata tajam ini.
“Lihat saja. Kita disuruh bekerja mati-matian, tanpa gaji. Padahal duitnya ada, tapi diambil bangsat-bangsat itu memelihara anak-istri mereka.”
“Kau bilang jangan mengeluh!” potongku seenaknya.
 Sasinduan menatapku. “Tapi aku tidak bilang padamu jangan bicara,” keluhnya lagi. Aku diam saja sambil menyalakan sebatang rokokku.
“Padahal, berapa utang luar negeri kita, untuk alasan pembangunan ini.  Kita menjadi bangsa pengemis terbesar di dunia. Katanya kita dalam orde pembangunan berhasil swasembada beras. Padahal semua itu, akibat suntikan pinjaman luar negeri yang jika tiba saatnya kita membayar, kita tak punya kekuatan cukup untuk itu. Karena lebih dari separoh utang itu telah dimakan penguasa. Pada saat itu bangsa kita akan terjerembab dalam kemiskinan yang luar biasa. Kita akan kehilangan harga diri sebagai bangsa karena tidak bisa membayar hutang. Itulah sebabnya saya memilih berada di sebelah kiri jalan. Membangun komunitas sosialis. Guna mengontrol kemaksiatan kapitalisme yang diagung-agungkan itu,” katanya  dengan suara bergetar. Matanya menyaput lurus ke depan, ke arah para tapol yang masih bekerja di bawah terik sana.
“Kita ini dungu semua,” selaku, “seharusnya kita bersatu. Tentara di sini tidak seberapa!” pancingku.
            “Itu tindakan yang lebih dungu! Sebab, dengan perlawanan kita, tentara-tentara itu makin mendapatkan alasan untuk menangkap orang-orang tak berdosa lainnya, lalu dijebloskan seperti engkau,” balasnya dingin.
Ia menyeringai ke arahku, lalu berkata lagi, “segala seuatu di negeri ini dapat didramatisir menjadi alasan. Kita sedang berada dalam sistem pemerintahan yang gila. Keadilan itu racun bagi mereka. Yang selamat hanyalah mereka yang ikut menjadi tak waras.”
Aku mengangguk saja. Kantukku mulai naik disaput angin kering. Melihat aku sudah mulai ngantuk, Sasinduan, menyuruhku membaca sebuah surat, sementara ia mulai disibukan dengan menulis buku kecilnya. Aku tidak tahu apa yang ia tulis. Mungkin saja, suatu kesaksian dari penjara.
“Dikirim isterimu. Petugas di gerbang menyerahkannya padaku tadi,” jelas Sansinduan tentang surat yang diberikannya padaku. Tak berlama-lama aku langsung membaca surat itu, apalagi aku memang sudah kagen pada Meria.

Kepas, Suamiku Terkasih

Aku dapat kabar dari Boas, Herkanus berangkat ke California bertemu Broke. Ia sudah bergabung dengan kelompok Dagos Argava. Kupikir kau mengerti maksudnya. Ia berpesan, agar kau bisa bertahan dan tabah.
Aku sendiri sehat saja. Aku berkebun apa adanya. Aku terus mendoakanmu, semoga kau baik dan sehat juga. Aku sependapat dengan Herkanus, kau harus kuat. Kau harus hidup demi kami semua.
Kabar lainnya, Nixon kini sudah ditangkap tentara. Nixon sempat berselisih dengan tentara yang menjadi kekasih gelap Desy istrinya itu.  Istrinya kini sudah serumah dengan kekasihnya. Nixon di tahan di Beo.
Demikian dulu, aku amat kangen padamu.

Isteri yang mencintaimu
Meria.

Membaca surat ini, sebutir air mataku pergi melintasi kelopaknya, dan mengering di rerumputan.
“Kasihan Nixon, manusia baik itu ternyata dijerumus juga,” desisku. Tiba-tiba aku ingat bagaimana kebaikan Nixon ketika mengurus semua keperluan penguburan anakku Dian.  Dia pula yang dengan setia menemaniku saat-saat aku begitu tertekan. Dia  satu-satunya orang yang berusaha menyogok Mariala dan Mamewe demi kebebasanku. Tapi sayang, uang yang diserahkannya kepada Mariala dan Mamewe, menguap begitu saja, tanpa disertai pembebasanku. Keberangkatan Herkanus ke Filipina pun atas bantuan dana dari dia. “Desy, kau telah melakukan kejahatan buat orang yang dititipkan Tuhan padamu.”
“Ada yang penting?” tanya Sasinduan, mengagetkanku dari lamunanku tentang Nixon.
“Seorang sahabat baikku ditangkap lagi!”
“Mereka memang akan menangkap sebanyak-banyaknya. Lebih banyak lebih menguntungkan mereka!”
Bunyi lonceng panjang yang terdengar membuat kami mesti melangka menuju barak tempat makan. Sasinduan yang tak tahan karena lapar, langsung saja bangkit dan berlari agak cepat menuju barak..  Tapi karena pikiranku begitu berat mengingat nasib Nixon, aku memilih balik lagi ke rerindangan pohon nangka, dan berbaring di situ. Untung, tak berapa lama Sasinduan muncul membawa jatahku.
“Seberat apapun persoalan, kau harus makan. Dunia ini harus kita hadapi, bukan diratapi!” katanya sambil mulai mengunya makanannya.
***
            Udara subuh begitu dingin menerpa kulit. Burung-burung belum juga mencicit. Kucuali ayam jantan yang kokoknya bersahutan dari berbagai sudut-sudut desa yang kami lewati. Dari beberapa tapol yang diangkut subu ini, ada yang tampak menggigil, mungkin ia belum begitu sembuh dari sakit. Sementara bunyi batuk dari beberapa orang terdengar berkanon-kanon. Truk tua itu terus saja mendaki jalan dengan raungan mesin yang memekakkan telinga. Perjalanan dari penjarah Tahuna ke Naha, selalu seperti ini. Sekitar tiga puluh orang yang diangkut di bak belakang mobil truk yang jalannya sering mogok.  Ini jenis Ford yang sudah sangat tua. Dari beberapa yang bertubuh kekar, tampak tidak begitu menderita diterpa udara dingin. Sementara lainnya, kelihatan begitu tersiksa. Ada yang sampai muntah, karena fisiknya lagi lemah, atau memang suka mabuk perjalanan darat. Hukuman ini tidak memiliki klasifikasi. Yang penting orang itu masih memiliki nafas, maka ia akan dipaksa bekerja. Bekerja untuk sesuatu yang tidak berguna bagi diri sendiri, juga bagi keluarga masing-masing. Jika pun itu dipandang sebagai  pengabdian untuk masyarakat, tak ada yang peduli.
Di sepanjang jalan, mobil kami berpapasan dengan orang-orang kampung yang akan ke kebun dan ada juga yang ke pasar memikul dagangan mereka berupa hasil kebun. Mereka bukannya iba melihat kondisi kami. Malahan meneriaki kami, “mampus PKI!”. Ada juga yang tak segan-segan melempari kami dengan telur busuk. Kejadian semacam ini sudah menjadi peristiwa biasa bagi kami. Kami tidak begitu tersinggung jika dicemooh orang-orang. Sebuah kultur sudah terbentuk. Kultur kebencian yang di tanam para penguasa. Seperti pohon sudah memiliki akar kuat, bahkan berbuah lebat. Dan masyarakat yang lugu sudah memakan buah kebiadaban itu. Bagi mereka, para tapol adalah binatang-binatang berbahaya yang tidak layak menjalani kehidupan di dunia ini.  Mereka tidak sadar bahwa, apa yang mereka lakukan itu, kebencian yang mereka ekspresikan itu hanyalah buah dari permainan politik penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan biadabnya. Dan semua itu telah mereka telan mentah-mentah. Kasihan!
            Di dalam kelompok tapol sendiri, bukan sedikit orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling membeci. Rupanya sari nikmat yang diperah dari bua itu dan  dihidangkan penguasa  yang bisa memabukkan pikiran jernih manusia ini telah ikut menetaskan kultur baru, kultur kekerasan. Semuanya seakan-akan tak luput dari kontaminasi virus penguasa yang hegemonik tiranik itu. Terutama pihak-pihak yang bukan dari PKI atau partai kiri lainnya. Mereka sangat marah kepada kelompok yang memang anggota PKI, atau orang-orang dari front Marhaenis. Menurut pendapat mereka, orang-orang PKI dan partai kiri-lah yang membuat nasib mereka sungsang seperti ini. Mereka adalah hantu berbahaya. Kalau bukan karena pemberontakan PKI, kata mereka, nasib mereka tidak akan seperti ini. Jadi? Mereka harus dilenyapkan.
Kebencian itu terkadang berlangsung dalam sindir-menyindir selama perjalanan pergi atau pulang kerja. Tak urung, terkadang terjadi perkelahian di atas bak mobil. Di tempat kerja juga, akibat suasana saling benci itu, kadang-kadang terjadi baku hantam. Menurut Sasinduan, persengketaan itu sudah beberapa kali menelan korban tewas.
            Pagi ini tak terkecuali. Lelaki bernama Besal, tampak sendang menyindir Sasinduan.
            “Kalau aku bebas nanti, semua orang PKI kubunuh. Mereka harus menebus penderitaan yang kita alami!” ujar Besal, memprovokasi teman-temannya. Kawan-kawan Besal menyambutnya dengan tawa yang dibuat-buat.
            Wajah Sasinduan menjadi merah. Beberapa kali Besal menyindir lagi dengan ucapan yang kian menyakitkan hati Sasinduan.
            “Jika saat ini ada PKI atau Marhaenis yang berani menegurku, akan kupatahkan batang lehernya,” kata Besal makin memancing amarah Sasinduan. Sementara beberapa orang yang memang anggota PKI asli, tampak berjongkok ketakutan. Tubuh mereka begitu kurus dan seakan tak bertenaga. Mereka memang diperlakukan lebih sadis lagi dalam penyiksaan oleh aparat dibanding yang sekadar tertuduh biasa. Perlakuan itu tentunya membuat mereka menjadi sakit-sakitan.
Besal kian pongah saja melihat Sasinduan yang tidak menanggapi pancingannya. Kebetulan, tidak ada pengawal yang ikut di bak belakang mobil, mengakibatkan sindir-menyindir itu mendapat ruang gerak yang lebih terbuka. Dua orang pengawal karena menghindar udara dingin, mereka berlindung di depan bersama sopir. Karena kawan-kawannya seperti memberi dukungan, Besal makin menjadi-jadi. Seorang PKI kurus yang berjongkok di dekatnya, ditendangnya. Lelaki kurus itu tersungkur di lantai mobil. Saat itu Sasinduan dengan cepat menghajar Besal. Ia rupanya tak tahan lagi melihat tindakan Besal yang semena-mena itu. Besal agak terhuyung ke kiri akibat terjangan Sasinduan. Besal karena tubuhnya kekar, dengan sekali balas memukul, Sasinduan terlempar ke pinggir, dan membentur dinding bak mobil bagian kanan. Melihat Sansinduan terjerembab, Besal dengan penuh amarah meringsek Sansinduan dengan kakinya ke arah dada Sasinduan. Aku tak bisa diam begitu saja melihat nasib karib satu selku. Ku sodok kaki Besal dengan kaki kananku. Besal terjengkang. Dengan cepat ia bangun dan menendang ke arahku. Kakinya kutangkap, lalu kupelintir dengan cepat. Ditambah dengan sebuah hentakan kuat, Besal terangkat dan jatuh keluar mobil. Tubuhnya melayang, lalu jatuh menggelinding ke tebing. Kami mendengar Besal mengerang keras. Beberapa orang terlihat bergidik mendengar erangan nyerih yang memilukan itu. Setelah kegaduhan itu diketahui petugas, mobil pun berhenti.
            “Ada apa?” tanya petugas yang bergegas keluar dari pintu depan mobil.
            “Ada yang jatuh,” jawab seseorang, sambil menunjuk ke arah jatuhnya Besal. Petugas itu berjalan ke tempat jatuhnya Besal, sekitar seratusan meter dari tempat mobil kami berhenti. Semuanya seakan menahan nafas. Bayangan-bayangan tentang kejadian berikutnya sebagai akibat perkelahian itu mulai melindap-lindap dalam pikiranku. Aku sendiri sudah pasrah saja, ketika mobil itu diundurkan mendekati tempat jatuhnya Besal. “Apa boleh buat, kejadian itu terjadi diluar rencanaku,” desisku pada Sasinduan. “Diam saja,” kata Sasinduan dengan suara yang sedikit dicekik ke lehernya. Sejurus kemudian, petugas memanggil kami untuk turun. Seorang petugas bersenjata terus mengawasi kami dari belakang, saat kami semua turun. Beberapa orang, dengan cepat turun ke dalam tebing yang tidak begitu dalam itu. Sebagian kami menunggu dengan kecemasan.  Sesaat kemudian, mereka telah berhasil mengangkul Besal, ke tepi jalan.
“ Ia tewas,” ujar petugas, setelah memeriksa tubuh dan nadi Besal. Besal ternyata tewas, karena kepalanya menimpa batu  runcing. Kepalanya pecah. Beberapa orang bergidik melihat itu. Aku lebih merinding lagi.
            “Mengapa ia jatuh?” tanya petugas itu. Semuanya hening. Tidak ada yang berani menjawab.
            “Mengapa ia jatuh?” tanya petugas itu marah.
            “Melompat mau melarikan diri,” jawab Sasinduan. Semua tapol saling tatap, tapi tak ada yang berani memberikan keterangan lain. Aku sendiri bungkem saja. Toh, tiada gunanya memberikan kesaksian yang benar kepada para petugas yang sudah kita ketahui tidak memahami makna kebenaran. Kebenaran toch hanya milik orang-orang yang menegakkan kebenaran. Tapi aku sendiri mengetahui akan kesalahan yang telah kulakukan meski itu tidak kusengajakan.
            “Angkat mayat ini. Kita kembali ke penjara,” kata petugas itu. Wajahnya terlihat gusar. “Kalau ditanya, katakan saja ia melompat melarikan diri. Dan jangan katakan kalau kami tidak mengawasi kalian di bak belakang,” ujar petugas, itu lagi. Raut wajahnya berubah agak ketakutan. Perubahan air muka petugas itu dapat dipahami. Sebab, jika ketahuan mereka berdua tidak mengawal di belakang truk, maka kejadian ini merupakan kelalaian mereka. Dan tentu mereka akan tahu apa ganjaran dari kelalaian itu. Karena itulah mereka tidak mau memaksa mengetahui lebih dalam lagi kejadian yang menyebabkan tewasnya Besal.  Mereka juga membutuhkan dukungan dan kerjasama para tapol ini agar mereka terbebaskan dari kosekwensi kelalaian mereka. “Sebuah konspirasi kebohongan yang paling sering dilakukan petugas-petugas negara kita,” kata Sasinduan sambil nyengir ke arahku.
Kepulangan kami ke penjarah ternyata menimbulkan keriangan lain di wajah beberapa tapol. Aku memahami, itu artinya satu hari ini mereka terbebas dari pekerjaan berat. Namun begitu, berpasang-pasang mata sering melirikku dengan tatapan ketakutan. Apa yang mereka  pikirkan? Mungkin di hati mereka kini membersit perasaan was-was jika aku akan menjadi bahaya lain yang siap mengincer mereka setelah kematian Besal. Sementara aku sendiri, merasa begitu bersalah telah melakukan tindakan yang membuat Besal terbunuh.
            “Ini hanya suatu risiko. Kau tak perlu terlalu memikirkannya. Jalan hidupnya memang harus berakhir seperti itu,” bisik Sasinduan membesarkan hatiku.
            Aku berjongkok di depan mayat Besal yang masih tergeletak di bak mobil. Dalam hatiku aku meminta maaf. Aku memang tidak ada niatan mau membunuhnya. Ini semata-mata suatu kejadian refleks yang tak dapat kuhindari demi menyelamatkan Sasinduan, dari ancaman kematian. Air mataku menetes ke tubuh Besal yang sudah kaku. Semua tapol di bak truk dengan serempak berjongkok mengitari mayat Besal. Mereka mungkin memahami penyesalan dalam hatiku.
            Hari itu, setelah melakukan apel dan mendapatkan berbagai pengarahan dari pihak tentara dan petugas penjara,--pengarahan yang lebih bagus disebut sebagai peringatan untuk menakut-nakuti para tapol agar tidak melarikan diri-- kami hanya disibukkan oleh pekerjaan kecil yaitu mempersiapkan petih mati Besal. Mayat itu dipersiapkan untuk dikembalikan kepada keluarganya di kampung.
***
(23)
            Dalam waktu yang sedikit panjang, kematian Besal, menimbulkan penyesalan yang mendalam di hatiku. Aku menjadi suka termenung memikirkan itu. Wajah lelaki besar yang selalu garang itu seakan tak henti-henti melintas kesana-kemari dalam otakku. Sasinduan, dan beberapa teman tapol sudah berkali-kali mengingatkanku agar tidak terlalu menyesali tindakanku itu. Malahan tindakan itu sebagai suatu perbuatan terhormat, kata mereka. Sebab bagi mereka, Besal adalah sumber masalah. Bukan sedikit kawan-kawan tapol yang telah diperlakukan semena-mena olehnya.
            “Sebenarnya, jika aku punya peluang, seharusnya aku yang lebih dulu membunuhnya,” kata Sahe, lelaki yang kaki kanannya pincang, ketika kami sedang mengaso makan.  “Gara-gara ulahnya, kakiku ini sampai pincang,” tambah Sahe. 
            “Apa yang ia lalukan padamu?” tanyaku, Ingin mengetahui lebih dalam lagi.
            “Kejadiannya tahun lalu. Melihat aku lagi istirahat di bawah pohon Mangga. Diam-diam ia usil menggelindingkan gelondongan kayu dari tumpukannya. Gelondongan kayu menghantam kakiku hingga tulangnya remuk.  Kalau aku tidak cepat menghindar, mungkin tubuh dan kepalaku yang remuk. Bagi Besal, nyawa orang itu seperti tidak ada harganya. Jadi orang seperti dia pantas mati. Untung dia tidak ditakdirkan jadi tentara. Baru jadi tapol saja sudah jahat, apalagi kalau menjadi penguasa,” turu Sahe, berapi-api.
            “Kita semua boleh menyalahkan tindakan dia. Tapi jika kita pikirkan keluarganya, istrinya, anak-anaknya, betapa orang-orang itu akan begitu kehilangan dia,” ujarku. Dalam pikiranku berkelebat wajah Meria , bagaimana bila kejadian semacam ini menimpaku, istriku itu pasti akan sangat menderita
            “Jika begitu, seharusnya dia juga berpikir seperti kita. Bahwa kita juga punya keluarga, punya istri, punya anak-anak,” sanggah Sahe.
            Tak berapa lama, seusai makan, lonceng kerja berbunyi lagi. Dengan cepat kami menuju tempat kerja masing-masing. Udara siang ini, seperti biasa, begitu panas. Sedang kami harus bekerja di tengah terik tanpa pelindung. Keringat mengucur ke tanah kering. Terus mengucur berkali-kali entah untuk apa, selain menjalani hukuman dari kesalahan yang bukan saja tak kami buat, namun sungguh-sungguh tak kami mengerti.

***
            Mungkin Tahlil atau mazmur, yang pasti lagu yang terdengar dari ruang ibadat itu betapa indah membisiki hatiku.
Allah hadir bagi kita
 dan hendak memberi berkat
 dilimpahkan kuasa rohNya
 bagai hujan  yang lebat
 dengan roh kudus ya Tuhan
 UmatMu berkatilah
 baharui hati kami
 Oh curahkan kurnia
            Aku melihat lelaki berjubah hitam itu dari lubang angin selku. Kedua tanganya yang lembut terangkat, menahbiskan harapan hati kaum terpenjara di depannya.
Hari Minggu penuh rahmat.  Ruang ibadat penuh. Orang-orang penjara di sana menanti kabar paskah dari sang pendeta, kecuali tapol PKI. Aku termasuk yang tak berhak mendengar kabar keselamatan Kristus-ku itu. Larangan ber-Tuhan yang diciptakan suatu rezim, bukan oleh Tuhan sendiri. Lelaki berjubah hitam itu kemudian berkotbah. Kupasangkan telinga, tapi suaranya tak kudengar jelas.
“Aku punya khotbah untukmu!” kata Sasinduan, sambil memberikan beberapa lembar kertas tulisan tangannya. “Bacalah. Itu khotbahku hari ini. Setiap paskah, aku memberi lembaran-lembaran yang sama kepada Gustaf dan Willy tempo hari. Itu surat terbuka yang kusalin dari buku kecil yang ditulis sahabatku, di Makassar. Semoga suatu hari kau dapat mengkhotbahkannya kepada orang lain,” ujarnya.
Kupikir, ada betulnya juga jika aku membaca khotbahnya ini. Begini isinya: Kup gestapu hanyalah istilah palsu karangan golongan kanan AD. Mereka berpura-pura melakukan gerakan 30 September untuk melenyapkan saingan mereka di golongan tengah AD. Sebab dengan begitu, telah merintis jalan menuju penumpasan golongan kiri sipil. Tujuan mereka adalah menegakan suatu diktator militer. Jadi, G30S PKI itu palsu. Sebab, tidak ada bukti-bukti pengambil alihan kekuasaan pada tahap ini oleh PKI.
Kup golongan kanan ini terdiri dari tiga tahap: Tahap pertama,  Gestapu “kup” sayap kiri gadungan yang dilakukan  Kolonel Untung cs. Kedua, respons anti Gestapu, yaitu tindakan balasan golongan kanan dengan membunuh PKI secara massal. Ketiga, pengikisan secara terus menerus terhadap kekuatan Soekarno yang masih tersisa.
Pada tahun 1965, Staf Umum Angkatan Darat Indonesia pecah menjadi dua kubu. Kubu kelompok tengah yaitu Jenderal Yani cs yang bersifat menentang Presiden Soekarno tentang persatuan Nasional yang PKI termasuk di dalamnya. Kubu kedua, golongan kanan yang di dalamnya  Nasution dan Soeharto cs, yang sikapnya menentang kebijakan Yani yang bernafaskan Sukarnois. Jadi, kunci perebutan kekuasaan, adalah penghancuran kekuatan Yani CS oleh sayap kanan yang bersekutu dengan Soeharto dalam apa yang dinamakan G-30-S yang berdalih untuk menyelamatkan Soekarno, namun sesungguhnya justru ditujukan kepada anggota terkemuka AD yang paling loyal mendukung Soekarno.
Pada bulan Januari 1965, ada rapat penyatuan AD yang diikuti Soeharto oleh kelompok yang memendam rasa tidak puas terhadap Jenderal Yani. Rapat itulah yang diperkirakan menjadi latar G30S. Sebab yang menjadi korban adalah semua yang loyal pada Soekarno. Dan tak seorang pun jenderal anti Soekarno yang menjadi sasaran Gestapu. Apa sebab jenderal Soeharto tidak di culik, padahal Nasution juga diculik, kemudian lolos? Alasanya, menjelang 1961, CIA dikecewakan oleh Nasution yang waktu itu menjabat Kastaf AD. Kendati Nasution adalah modal CIA yang andal selama ini, tapi ia setia pada Soekarno dalam berbagai kebijakan penting. Kekecewaan CIA itu kian meningkat menjelang 1965, atas sikapnya yang oposisi terhadap keterlibatan AS di Vietnam.
Hubungan Soeharto-Nasution juga bersifat dingin, disebabkan pemeriksaan Nasution terhadap kasus korupsi yang dilakukan Soeharto pada tahun 1959 ketika menjabat Pangdam Diponegoro.
Tampak jelas bahwa sejak 1953, AS membantu mencetuskan krisis di Indonesia yang menjadi penyebab Soekarno pada tanggal 14 Maret 1957 mengakhiri sistem perlementer Indonesia dan menyatakan berlakunya keadaan darurat militer serta memasukkan korp perwira secara resmi ke dalam kehidupan politik.
Program khusus dari AS yang mendukung pemberontakan regional PRRI Permesta secara resmi telah disetujui di Washington, kendati para perwira dan agen CIA sudah melakukan kegiatan di kalangan kaum pembangkang jauh sebelumnya.
Menjelang tahun 1953 National Security Council AS menyerukan tindakan yang tepat bekerja sama dengan negeri-negeri lain yang bersahabat untuk mencegah kontrol tetap komunis di Indonesia. Keputusan NSC 171 pada tahun 1953 sudah mempertimbangkan latihan militer sebagai suatu cara untuk meningkatkan pengaruh AS, meskipun usaha-usaha utama CIA ditujukan pada partai-partai politik berhaluan kanan khususnya masyumi dan PSI. Jutaan dollar yang telah diberikan oleh CIA untuk Masyumi dan PSI pada pertengahan 1950 merupakan faktor yang mempengaruhi peristiwa-peristiwa 1965, dimana seorang bekas anggota PSI, yaitu Syam Kamaruzaman dimainkan sebagai otaknya Suwarto, dan Sarwo Edhie berperan penting dalam tindakan basmi PKI karena “Gestapu”
Pada 1 Agustus 1958, setelah gagalnya pemberontakan-pemberontakan yang disponsori CIA, AS mulai melaksanakan suatu program bantuan militer kepada Indonesia hingga mencapai jumlah $ 20 juta setahun.  Sebuah memo Joint Chief of Staff  (JCS) sebulan kemudian memperjelas bahwa bantuan militer ini diberikan kepada AD Indonesia sebagai suatu perangsang kepada KASAD Nasution supaya melaksanakan rencananya untuk mengendalikan komunis. Pada dasarnya JCS hanya bisa menyatakan secara  tidak langsung tentang taktik-taktik yang membuat Nasution menjadi terkenal di mata AS selama penghancuran PKI dalam peristiwa Madiun 1948, yaitu pembunuhan massal, minimumnya terhadap PKI setelah adanya provokasi dari AD.
Para peneliti Southwood dan Flanagen, David Anderson  menyimpulkan bahwa peristiwa Madiun 1948 bukan merupakan “suatu percobaan golongan kiri untuk mencetuskan revolusi total di Indonesia, melainkan merupakan bagian dari perjuangan antara kesatuan pedesaan Jawa yang bertekad untuk mempertahankan suatu tentara laskar rakyat, dan komando tinggi, juga menentukan unit-unit lapangan di bawah kendali pusat yang lebih besar.
Nasution, membenarkan provokasi dari pihak AD tersebut, pada bulan November 1965 ketika menyerukan pembasmian PKI sampai keakar-akarnya, sehingga tidak akan mungkin terjadi Madiun ke-3. Pernyataan Nasution di depan mahasiswa tanggal 12 November 1965: “Kita berkewajiban dan ditugaskan untuk melenyapkan mereka (PKI) dari muka bumi Indonesia. Namun demikian sejak 1958 PKI telah tampil sebagai gerakan massa yang besar di Indonesia. Maka dalam peroide ini sekelompok peneliti akademik AS yang dibiayai CIA mulai menggalakkan kontak-kontak terbuka dengan AD Indonesia melalui media pers ilmiah agar merebut kekuasaan dan menghancurkan PKI.
Guy Pauker pengajar di Universitas California-Barkeley dan sebagai konsultan Rand Corporation melakukan kontak-kontak berkala dengan “teman-teman mereka dalam AD”. Pauker ini membawa Suwarto ke Rand pada tahun 1962. Pauker menitikberatkan kontak-kontak dengan kalangan militer untuk memikul tanggung-jawab penuh terhadap negaranya, supaya melaksanakan misinya dan karena itu supaya menyerang, membersihkan rumah lingkungannya.  Sahabat karib Pauker dalam AD Indonesia adalah Jenderal Suwarto yang dididik di AS, dan yang memainkan peranan penting dalam mengubah AD dari berfungsi revolusioner menjadi kontra-revolusioner. Dalam tahun-tahun sesudah 1958 Suwarto mendirikan SESKOAD di Bandung yang menjadi pusat latihan untuk merebut kekuasaan politik di Indonesia. Dalam periode ini SESKOAD menjadi pusat perhatian pentagon dan RAND Corporation, dan secara tidak langsung juga menjadi pusat perhatian Ford Foundation.
Di bawah pembinaan Nasution dan Suwarto, maka SESKOAD mengembangkan suatu doktrin strategis yang baru, yakni doktrin “Perang Wilayah”, yang memberi prioritas kepada kontra pemberontakan sebagai peranan Angkatan Darat. Terutama sesudah tahun 1962, ketika pemerintahan Kennedy membantu AD Indonesia dalam mengembangkan program CIVIC MISSION, maka ini berarti organisasi dan infra-struktur politiknya atau organisasi wilayah dalam berbagai jenis telah menjangkau ke tingkat desa. Sebagai suatu akibat dari rekomondasi Kemlu AS pada tahun 1962 yang dibantu oleh Pauker, maka didirikan suatu MILTAG (Military Training Advisory Group = Kelompok Panesahat Latihan Militer) di Jakarta untuk memberikan bantuan dalam melaksanakan program Civic Mission SESKOAD. Walaupun program Civic Mission dihubungkan dengan proyek-proyek sipil (membangun jembatan, memperbaiki saluran, mengeringkan tanah rawa, membuat sawah baru, jalan dan sebagainya), namun sebuah memo dari Menlu Rusk, 17 Juli 1964, menegaskan bahwa pada waktu itu arti utama MILTAG adalah karena kontaknya dengan unsur-unsur anti komunis dalam AD Indonesia beserta organisasi wilayahnya. “Bantuan kita ke Indonesia bukanlah membantu Indonesia secara militer. Akan tetapi bantuan ini membuka peluang bagi kita untuk memelihara hubungan tertentu dengan anasir-anasir di Indonesia yang berkepentingan dan berkemampuan melawan pengambil-alihan kekuasaan oleh komunis” (memo Deparlu untuk Presiden 17-7-1964).
 SESKOAD juga melatih para perwira AD di lapangan ekonomi dan administrasi (kepemerintahan), dan dengan demikian ia sesungguhnya beroperasi sebagai suatu para negara (negara bayangan), yang berdiri bebas dari pemerintah sipil Soekarno.
Dengan demikian AD mulai bekerjasama dan bahkan menandatangani kontrak-kontrak dengan perusahaan AS serta dengan negeri-negeri asing lainnya yang kini berada di bawah kendali Angkatan Darat. Program latihan ini dipercayakan kepada para perwira serta orang-orang sipil yang dekat dengan PSI. Para pejabat AS membenarkan bahwa orang-orang sipil tersebut juga mengikuti suatu program latihan yang dibiyai oleh Ford Foundation, mulai melibatkan diri dalam apa yang oleh Atase Militer AS ketika itu dinamakan "perencanaan siap siaga untuk mencegah pengambil alihan kekuasaan oleh PKI.
Jenderal Suwarto secara terus-menerus meningkatkan pembinaannya terhadap seorang murid baru, yaitu Kolonel Soeharo yang masuk SESKOAD pada bulan Oktober 1959. Menurut Sundhaussen, pada awal 1960 an, Soeharto dilibatkan dalam penyusunan Doktrin Perang Wilayah serta dalam kebijaksanaan AD mengenai Civic Mission (artinya penyusupan perwira-perwira AD  kedalam semua lapangan kegiatan pemerintah dan tugas-tugas kepemerintahan).
Soeharto berbeda dengan bekas gurunya yaitu Suwarto dan bekas kepala stafnya yaitu Achmad Wiranatakusumah; ia tidak pernah belajar di AS. Namun demikian peran-perannya dalam Civic Mission yang oleh AS disebut Civic Action, menempatkan dia dan opsir-opsir yang condong pada PSI, di pusat kegiatan pendidikan dan latihan AS di Indonesia, dalam suatu program yang terang-terangan bersifat politik. Penyempurnaan Doktrin Perang Wilayah dan Civic Mission Doctrine menjadi suatu doktrin strategik baru tentang intervensi politik AD menjelang tahun 1965 telah menjadi suatu proses idiologi yang mematangkan AD untuk melakukan pengambil-alihan kekuasaan. Hal ini menjadi jelas pada bulan-bulan sesudah Gestapu, ketika Soewarto menjadi orang penting sebagai penasehat politik Soeharto, bekas muridnya di SESKOAD, dan doktrin strateginya melatar belakangi ideologi pernyataan Soeharto pada tanggal 15 Agustus 1966 untuk memenuhi desakan Pauker secara umum dan secara diam-diam, bahwa “AD harus memainkan peranan kepeloporan di semua lapangan”.
Dalam periode ini SESKOAD digunakan untuk melakukan pendidikan kembali terhadap jenderal-jenderal, seperti Suryo Sumpeno, dimana mereka meskipun bersifat anti-komunis, namun telah berbuat salah karena bersifat loyal terhadap Soekarno. Oleh karena itu rapat penyatuan dari kelompok-kelompok AD pada bulan Januari 1965, yang diselenggarakan setelah Soeharto, mendesak KASAB jenderal Nasution supaya mengambil sikap yang “lebih menyesuaikan diri” terhadap Presiden Soekarno, sesungguhnya merupakan suatu langkah yang dibutuhkan dalam proses yang rumit, dimana Soeharto akan menggantikan Yani dan Nasution sebagai Panglima Angkatan Darat. Langkah ini mendorong diadakannya seminar bulan April 1965 di SESKOAD untuk mengusahakan suatu doktrin strategis yang bersifat kompromi, yaitu Tri Ubaya Sakti yang menegaskan kembali tuntutan AD untuk memiliki peranan politik yang berdikari (mandiri).
Pidato tanggal 15 Agustus 1966 Soeharto mempertanggung jawabkan ketokohannya semakin meningkat dalam arti  “Misi Revolusioner” dari doktrin Tri Ubaya Sakti. Dua minggu kemudian di SESKOAD, Ubaya Sakti ditinjau kembali atas dorongan Soeharto, namun dalam susunan “yang telah disusun secara teliti oleh Soewarto “hingga secara lebih tegas lagi mengejawantahkan penekanan Pauker mengenai AD dalam Civic Mission atau dalam peranan kontra revolusionernya.
Menjelang Agustus 1964, Soeharto telah mulai mengadakan kontak politik dengan Malaysia, dan akhirnya dengan Jepang, Inggris dan AS. Melalui kelompok intel OPSUS (Ketuanya Ali Moertopo). Soeharto (Komandan Kostrad) mengadakan hubungan dengan para pemimpin Malaysia; dalam 2 peristiwa, bekas personil dan PSI dan PRRI/Permesta berperan dalam menegakkan hubungan politik yang sensitif ini.
Walaupun pemerintahan Eisenhover (USA) menentang regim apapun yang berkuasa di Indonesia yang bersikap bersahabat terhadap blok Cina-Soviet, tetapi pemerintahan Kennedy meningkatkan bantuannya baik kepada Soekarno maupun AD. Namun  setelah Johnson menjadi Presiden, pada bulan Desember 1964 bantuan ekonomi dihentikan sehingga keadaan ekonomi Indonesia semakin memburuk. Menurut kenyataan, walaupun Soekarno menggunakan subsidi yang sangat besar jumlahnya dari Uni Soviet untuk berkonfrontasi dengan Inggris dan Malaysia, pada bulan Maret 1964 Presiden Soekarno mengatakan kepada AS; “Go to hell with your aid!”. Tapi, Kongres AS setuju memberi bantuan dana kepada militer AD Indonesia yang bersifat rahasia. Bantuan yang lunak ini kepada AD dan Polisi adalah untuk adu kekuatan dengan PKI yang sedang jaya.
Sampai akhir bulan Juli 1965 bantuan militer berupa 200 pesawat Aero Commander kepada AD Indonesia, pesawat ringan yang cocok untuk “Civic Action” yang digunakan oleh AD yang lebih tepat guna daripada alat komunikasi sipil di bawah Soekarno. Dan  ternyata pada tanggal 1 Oktober 1965 Soeharto mampu melaksanakan pembasmian secara kilat kaum loyalis Soekarno-Yani dan kaum kiri. Sedangkan para perwira “Civic Action” membentuk inti yang kokoh di kalangan para perwira Gestapu pada tingkat bawah di Jawa Tengah.
Dengan adanya perjanjian minyak tahun 1963 yang telah dirundingkan dengan AS, maka terlihat peralihan yang serupa dalam lalu-lintas pembayaran dari perusahaan-perusahaan minyak AS. Sebagai iuran basa-basi kepada pemerintah Soekarno, dua perusahaan minyak AS di Indonesia, Caltex dan Stanvac melakukan pembayaran yang jauh lebih besar kepada perusahaan minyak AD Pertamina yang direkturnya adalah Jenderal Ibnu Sutowo,  sekutu politik dari Soeharto. Majalah Fortune menulis bahwa perusahaan minyak yang dipimpin oleh Sutowo memainkan peranan kunci dalam membiayai operasi-operasi yang kritis dan AD tak pernah melupakannya.
Telah diketahui bahwa beberapa bulan sebelum Gestapu, seorang utusan Soeharto yang mempunyai hubungan lama dengan CIA, Kol. Jan Walandouw telah menghubungi Pemerintah AS. Sejak awal bulan Mei 1965 pemasok-pemasok militer AS yang mempunyai hubungan dengan CIA terutama Lockheed sedang merundingkan penjualan perlengkapan dengan komisi-komisi lewat perantara sedemikian rupa sehingga seakan-akan menciptakan hadiah-hadiah bagi orang-orang bukan pendukung Nasution dan Yani (pimpinan resmi ABRI/AD). Sebaliknya terjadi yaitu mengalir pendukung-pendukung faksi ketiga AD yang hingga saat ini kurang dikenal, yaitu May. Jen. Soeharto.
Seorang pedagang perantara  di Indonesia, yaitu Agus Munir Dasaad yang sejak tahun 1950 an memberi bantuan finansial kepada Soekarno, pada tahun 1965 menjalin hubungan dengan Soeharto melalui  seorang anggota keluarga Jenderal Alamsyah Ratuprawira yang dalam waktu singkat bekerja di bawah pimpinan Soeharto, setelah Soeharto menyelesaikan masa tugas belajar di SESKOAD sebagaimana kemudian dicatat dalam memo Lockheed pada tahun 1968, ketika terjadi kup Soeharto menggantikan Soekarno. Alamsyah yang menguasai dana-dana besar, secara serta merta menyediakan dana-dana ini untuk Soeharto yang jelas membuat Presiden baru itu merasa berhutang budi kepadanya. Dalam waktu singkat Alamsyah diangkat menempati kedudukan terpercaya “andalan” dan menjadi orang kedua terpenting setelah Presiden. Pada tahun 1966 Kedutaan AS menasehatkan Lockheed supaya menggunakan terus hubungan Dasaad-Alamsyah-Soeharto. Namun dalam tahun 1968 ketika Alamsyah mengalami kemerosotan kekuasaan, maka Lockheed telah menyingkirkan perantara itu dan membayar uang keagenannya langsung kepada sekelompok perwira militer.
Pada bulan Juli 1965 ketika hubungan AS-Indonesia/Soekarno sangat renggang, Rockwell Standard mengadakan satu kontrak untuk mengirim 200 pesawat ringan (Aero-Commander) kepada AD Indonesia (bukan kepada AU) dalam waktu dua bulan berikutnya. Komisi penjualan tersebut jatuh pada cukong Cina Bob Hasan yang adalah sahabat politik Soeharto dan akhirnya menjadi mitra usahanya.
Secara lebih khusus lagi, Soeharto dan Bob Hasan telah mendirikan dua buah perusahaan pelayaran yang harus dioperasikan oleh Devisi Diponegoro. Sebagaimana diketahui Divisi Diponegoro-lah yang menyediakan sebagian terbesar personil bagi kedua belah pihak dalam drama Gerakan 30 September ini, baik mereka yang melakukan usaha kup maupun mereka yang menumpasnya. Salah seorang dari 3 pemimpin G-30-S di Jawa Tengah adalah Letkol. Usman Sastrodibroto, kepala bagian yang mengurus fungsi-fungsi ekstra militer Divisi Diponegoro.
Jadi dari dua buah kontrak penjualan AS yang bersifat militer menjelang G-30-S, keduanya menyangkut pembayaran yang bernafaskan politik kepada orang-orang yang sesudah G-30-S itu tampil sebagai sekutu-sekutu Soeharto yang dekat.
Satu telegram rahasia mengungkapkan bahwa perusahaan Freeport Sulphur menjelang April 1965 telah mencapai suatu pengaturan pendahuluan dengan para pejabat Indonesia mengenai satu investasi sebesar $ 500 juta di bidang tembaga di Irian Barat.
Dalam bulan September 1965 dilaporkan bahwa industri Gas dan Minyak Bumi Indonesia semakin merosot tajam, maka Presiden ASAMERA dalam suatu usaha patungan dengan Pertamina-nya Ibnu Sutowo, membeli saham-saham dalam perusahaan yang pura-pura terancam bangkrut itu, seharga $ 50.000. Pembayaran dilakukan pada tanggal 9 dan 21 September 1965. Menjelang tahun 1967 usaha patungan Asamera yang berwarganegara Kanada menelorkan perusahaan besar dari Allied Chemical, yaitu PT. Union Texas Indonesia.
Dapat diasumsikan bahwa Untung adalah penulisnya  atau setidak-tidaknya telah menyepakati pernyataan yang telah diumumkan via RRI atas namanya sendiri dan dia hanya mempunyai pengaruh kecil atau sama sekali tidak mempunyai pengaruh terhadap satuan tugas yang telah menduduki sisi-sisi Medan Merdeka kecuali dekat markas KOSTRAD. Peneliti-peneliti Wertheim dan Holtzappel, menyimpulkan bahwa pribadi Untung adalah jujur dan ia telah dimanipulasikan oleh dalang-dalang seperti Kamaruzaman.
Pertemuan pertama para komplotan Gestapu dalam urutan peristiwa di Indonesia telah ditentukan pada suatu waktu sebelum 17 Agustus 1965, tetapi menurut studi CIA pertemuan ini diundurkan pada tanggal 6 September 1965. Tak satupun dari kedua catatan nara sumber tersebut memberi waktu lebih lama dari beberapa minggu untuk merancang suatu kup di negeri kelima besar penduduknya di dunia ini.
Nara sumber akademik dari Soeharo telah memberi ringkasan yang bersifat problematik bahwa “pada tahun 1965 golongan kiri menyerang golongan kanan (dinamakan putsch Gestapu) yang membawa restorasi kekuasaan dan kemudian pembersihan golongan kiri sebagai hukuman oleh golongan kanan”.
Sedangkan penulis PD Scott beragumentasi bahwa golongan kanan (justru) dari Angkatan Darat Indonesia yang berkedok gerakan Gestapu (G-30-S) telah melenyapkan saingan mereka di kalangan golongan tengah AD, dengan demikian merintis jalan menuju penumpasan golongan kiri sipil yang telah lama dipersiapkan dan akhirnya menuju pengukuhan dan penegakan suatu diktatur militer.
CIA dan pers AS lama sebelumnya telah menyetempel Yani dan Nasution (Pimpinan ABRI/AD) sebagai orang-orang yang tidak bersedia untuk bertindak melawan Soekarno.
Denis Warner dalam Reporter, 28 Maret 1963, menyesalkan sikap AH Nasution dan Yani yang pro Soekarno dalam mengganyang Malaysia. Tuan Brackman dan para mahasiswa lain dari Indonesia menjadi bingung dan susah atas sikap pimpinan AD Indonesia waktu itu yang dianggapnya kurang bertanggung jawab.
Menjelang tahun 1961, pihak garis keras dalam politik kunci, khususnya Guy Pauker, telah juga membalik melawan Nasution. Selanjutnya dukungan AS terhadap faksi Soeharto, antara lain tentang komisi pasokan perlengkapan militer dari Lockheed (Dasaad Alamsyah) dan pengiriman 200 pesawat ringan (aero Commanders) kepada AD Indonesia oleh Rockwell Standard (kontrak dengan cukong Bob Hasan) untuk kepentingan Soeharto/Divisi Diponegoro.
Pada peristiwa penculikan/pembunuhan sebagai tahap pertama atas jenderal Yani cs menuju penggulingan Soekarno dan seluruh golongan kiri, khusus PKI, Soeharto sesungguhnya mengerti bahwa pembunuhan itu dilakukan oleh unsur-unsur AD yang ditunjuk Untung, yang pernah ditempatkan di bawah Komando Soeharto. Juga keputusan Gestapu untuk menjaga semua sisi lapangan Medan Merdeka, kecuali markas KOSTRAD-nya Soeharto, adalah konsisten dengan keputusan Gestapu untuk menjadikan jenderal-jenderal AD sebagai sasaran tunggal, yaitu  para jenderal yang diperkirakan akan menentang usaha perebutan kekuasaan oleh Soeharto. Lagi pula, pengumuman ambil alih kekuasaan yang diumumkan Gestapu atas nama “Dewan Revolusi” seluruhnya bersifat khayalan, dimana Soekarno dikucilkan, sedangkan sebaliknya Soeharto diberi peluang untuk berkedok sebagai pembela Soekarno yang sebenarnya menghalangi Soekarno untuk memegang kembali kendali pemerintahan.
Dari sumber yang netral atau yang dari Pro Soeharto khususnya dari satu studi CIA tentang Gestapu (G-30-S) yang diterbitkan tahun 1968, bahwa sedikitnya pasukan yang dilibatkan baik di Jakarta maupun di Jawa Tengah, Batalyon-batalyon yang itu-itu juga yang menyediakan kompi-kompi untuk memberontak, yang malah kemudian justru digunakan untuk “menumpas pemberontak itu. "Dua pertiga dari suatu Brigade Para yang telah diperiksa oleh Soeharto sebelumnya ditambah satu kompi dan satu peleton merupakan seluruh kekuatan pasukan Gestapu di Jakarta. Kesemua kesatuan itu (kecuali satu) dipimpin oleh para perwira atau para bekas perwira Divisi Diponegoro yang dekat dengan Soeharto; dan kesatuan yang disebut belakang itu berada di bawah komando seorang sekutu politik Soeharto yang akrab, yaitu jenderal Basuki Rachmat. (Studi CIA: pada saat puncaknya petualangan kup itu maka pasukan-pasukan pemberontak di Jateng diperkirakan hanya berkekuatan satu balayon, selama 2 hari berikutnya kekuatan ini secara berangsur-angsur telah lenyap).
Soekarno, Panglima AURI, Omar Dani, Ketua PKI Aidit (3 sasaran pokok dalam tindakan balasan anti gestapu Soeharto), bersama-sama dengan Komando Resimen Untung, kesemuanya telah dikumpulkan tengah malam oleh komplotan Gestapu, dan kesemuanya dibawah kepangkalan AU Halim Perdana Kusumah, kira-kira 1 mil dari sumur mayat di Lubang Buaya. Motif dari tindakan ini adalah “untuk mengunci rapat pangkalan tersebut di tangan komplotan dan untuk membujuk Soekarno supaya mau menyetujui rencana-rencana komplotan ini. Tentu saja hipotesa alternatifnya ialah bahwa dengan mengumpulkan orang-orang ini di luar kehendak mereka, yang nantinya akan dipergunakan sebagai dalih oleh Soeharto. Sebagaimana kemudian ditulis oleh Hughes (1968): Kehadiran Soekarno di Halim menjadi salah satu senjata paling ampuh bagi para pengeritik Soekarno. (sedangkan PKI-AURI-Soekarno justru tidak tahu-menahu tentang penculikan dan pembunuhan itu ). Jadi ada kelanjutan (kontinuitas) antara : hasil yang telah dicapai, baik oleh Gestapu maupun jawaban yang telah diberikan oleh Soeharto terhadap Gestapu yang dengan dalih membela Soekarno dan menyerang Gestapu, namun sebenarnya: meneruskan tugas Gestapu dalam menyingkirkan anggota-anggota SUAD yang pro Yani, dan, kemudian menyingkirkan pendukung Soekarno yang masih tersisa.

Dari ke-enam perwira SUAD telah diangkat bersama Yani, yakni 3 orang : Suprapto, D.I. Pandjaitan dan S. Parman yang telah dibunuh. Dari 3 orang yang selamat (Mursyid dan Pranoto) telah disingkirkan oleh Soeharto dalam 8 bulan berikutnya. Anggota terakhir dari stafnya Yani adalah Jamin Ginting yang telah digunakan oleh Soeharto selama menegakkan Orde Baru  dan tugas tersebut diatas secara pasti adalah melenyapkan PKI dan pendukung-pendukungnya melalui pertumpahan darah yang kini diakui oleh beberapa sekutu Soeharto, yang mungkin telah mengambil korban lebih dari setengah juta jiwa (oleh CIA sendiri dinamakan “salah satu pembunuhan massal paling buruk dalam abad ke-20”).
Ketiga peristiwa tersebut: Gestapu, tindakan jawaban Soeharto dan pertumpahan darah, hampir selalu ditulis di negeri ini (Indonesia) sebagai jalan cerita yang masing-masing memiliki motivasinya sendiri-sendiri. Gestapu dilukiskan (di Indonesia) sebagai suatu komplotan sayap kiri, dan pertumpahan darah dilukiskan sebagai aksi massa yang membabi-buta. Para pejabat, wartawan dan ilmuwan AS, yang beberapa diantara mereka mempunyai hubungan cukup penting dengan CIA, mungkin, pada dasarnya bertanggung-jawab terhadap pertumpahan darah yang merupakan reaksi rakyat secara spontan sebagai pembantaian besar-besaran terhadap PKI. Walaupun tentu PKI ikut memberikan andilnya dalam histeria politik tahun 1965, namun catatan  tentang “ beberapa ratus korban” oleh teror PKI, ditolak oleh Crouch sebagai hal yang sangat menyesatkan. Nyatanya peristiwa pembunuhan yang sistematis di bawah hasutan AD dalam tahap-tahap yang sangat menyedihkan, yang paling dahsyat terjadi ketika para komando RPKAD Kol. Sarwo Edhie bergerak dari Jakarta ke Jateng dan Jatim, dan akhirnya ke Bali. Dalam kasus Bali, seorang wartawan yang dekat dengan sumber-sumber resmi USA mengakui bahwa “Angkatan Daratlah yang telah mencetuskannya”. Pembantaian di Jatim juga baru mulai ketika RPKAD tiba. Bukan hanya di Jateng dan Bali, seorang pengamat yang pro Soeharto mengatakan bahwa ia tidak membantah penegasan ini. Orang sipil yang terlibat dalam pembunuhan massal ini telah dikerahkan atau dilatih setempat oleh AD, atau dikerahkan dari kelompok-kelompok (SOSKI dan organisasi mahasiswa Gemsos yang disponsori oleh AD dan CIA) yang selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan AD mengenai masalah-masalah politik. Dari catatan Sundhaussen menjadi jelas, bahwa di sebagian besar daerah-daerah pembunuhan massal secara terorganisir (Sumatra Utara, Aceh, Cirebon, seluruh Jateng dan Jatim), terdapat komandan-komandan setempat AD, yang anti-PKI-nya terbukti sangat kuat.  Banyak diantara komandan setempat ini selama bertahun-tahun telah bekerja sama dengan orang-orang sipil, melalui apa yang dinamakan “Civic Mission” yang disponsori AS, dalam operasi-operasi yang ditujukan terhadap PKI dan sering juga terhadap Soekarno.
Dengan demikian bisa dicurigai adanya suatu komplotan dengan melihat kenyataan bahwa “respon sipil” yang anti PKI telah dimulai pada tanggal 1 Oktober 1965, saat itu AD mulai membagi-bagikan senjata kepada mahasiswa-mahasiswa Islam dan anggota serikat buruh Islam, sebelum adanya pembuktian yang benar tentang tersangkutnya PKI dalam Gestapu. Sekalipun Sundhaussen berusaha memperkecil peranan AD dalam mempersenjatai dan menghasut gerombolan-gerombolan pembunuh rakyat, ia telah menyimpulkan, bagaimana kuatnya rasa benci dan rasa takut terhadap PKI, namun tanpa propaganda anti-PKI oleh AD, pembunuhan massal itu tidak akan terjadi. Anggapan bahwa Gestapu, tindakan Soeharto, dan pertumpahan darah itu merupakan bagian dari skenario tunggal dalam usaha perebutan kekuasaan oleh militer, sebuah skenario yang kemudian dalam waktu yang dekat terjadi di Chili, juga di Kamboja. Tentu saja Soeharto adalah anggota komplotan penting dalam skenario ini: dalam perannya yang berwajah dua itu berlagak sebagai pembela status-quo konstitusional yang pada kenyataannya justru bergerak secara berencana untuk merebut kekuasaan yang bisa dipersamakan dengan peran Jenderal Pinochet dari Chili. Namun demikian peranan yang langsung dalam mengatur pertumpahan darah telah dimainkan oleh orang-orang sipil dan perwira-perwira yang dekat dengan kader-kader dalam pemberontakan CIA yang gagal pada tahun 1958, yang kini bekerja dalam program “Civic Mission” yang dibiayai oleh AS dan dilatih di AS, membuktikan bahwa unsur-unsur dalam skenario itu pasti disediakan, dan pada kenyataannya memang telah disediakan oleh negara-negara lain yang mendukung Soeharto, a.l. Jepang, Inggris dan Jerman, dan mungkin juga Australia. Pada tahun 1965 Jerman Barat (yaitu BND atau Dinas Intel Republik Federasi Jerman) telah membantu dinas Intel  Militer Indonesia dengan menumpas putsch sayap kiri di Jakarta, dengan menyediakan senapan-senapan, perlengkapan radio dan uang sebanyak 300.000 mark.

Bau anggur dari sakramen paskah di bawah angin ke ujung hidungku. Aku menelan bau itu hingga menyusup ke jiwaku. Aku yakin Yesus juga memberiku seteguk dari cawan imajinir darah penebusanNya. Dan khotbah itu sudah kubaca.
Di sana, ibadat sudah usai. Sang pendeta tak lagi mengenakan jubah hitamnya. Setelah lewat di sel kami, lelaki dengan wajah agung itu menatap ke langit. Ditepiskannya harapan kami menengok sinar matanya, yang siapa tahu kulihat wajah Kristus-ku di sana. Tidak. Tidak ada kesempatan bagi kami untuk melihat Kristus dalam dirinya.  Tapi syukurlah aku baru membaca rupa bangsaku, meski pikiranku tetap penuh tanda tanya.

***






BAGIAN : IX

Kesaksian Ketiga








(24)
            Blok sel para tapol dengan narapidana dipisahkan satu blok yang lain. Bagian yang memisahkan dua ruang yang sekaligus membedakan status dua jenis orang hukuman itu, dipakai sebagai ruang serbaguna penjara. Meskipun demikian,  semua keadaan ruang sel dalam penjara ini terbilang sama saja, baik kebersihannya dan terutama bau amis dari beton tua yang sering basah oleh air hujan dan  air kencing serta keringat dalam periode yang panjang. Tentu, ruang-ruang ini pun telah sama-sama kenyang menyaksikan dan menyimpan berbagai kejadian dalam kurun yang panjang. Mungkin ruang-ruang ini telah pula menyimpan sejarah seorang anak manusia yang mesti menghabiskan hidupnya dalam kerangkeng dengan bau amis ini, entah karena dia benar-benar seorang penjahat, atau  orang baik yang menjadi korban penjegalan hukum, seperti lazimnya terus berlangsung di negeri ini.
Kaleng tua  yang selalu bertengger di bawah dipan pembaringan itu misalnya, adalah warisan dari Willy, dan Gustaf. Mereka, dua lelaki yang dilepas dari penjara ini ketika sudah tinggal nama. Kaleng tua yang selalu mengkilap namun telah menipis itu, mungkin sudah dibersihkan dan digosok-gosok dalam jumlah jutaan kali. Mungkin, sejak penjara ini dibangun, kaleng itu  sudah ada di ruangan ini. Mungkin milik penghuni pertama yang menempati ruangan ini dan mewariskannya secara berganti, hingga masih kugunakan saat ini untuk setiap harinya mengambil air hangat di dapur umum.
Hari-hari belakangan, aku sering termenung. Banyak hal yang kupikirkan.  Percakapanku dengan Sasinduan, telah  memberikan berbagai pelajaran yang memicu penghayatan baru yang lebih terang tentang hidupku. Hidupku ternyata sebuah lintasan yang lebih memanjang dalam garis-garis penderitaan yang silih berganti, dibanding kesenangan yang denyutnya selalu saja hanya sesaat, lalu pergi. Hari ini, sejak pagi segala gambar masa silam  seperti mendapat tempat berpusing dalam pikiranku, seperti mosaik-mosaik yang wujudnya begitu samar, tapi degup deritanya senantiasa mendebam dalam dadaku.
Nafasku agak sesak digempur masa silam itu. Tapi ada saja kejadian-kejadian keseharian dalam penjara ini yang bisa mengantar aku menepihkan penat itu, seperti bunyi keroncong dan nyanyian para narapidana yang terdengar sayup dari blok mereka, yang mampu menghablur ke dalam kesejukan senja yang mulai menelungkup di sini.
Para napi itu menyanyikan lagu: “Oh kasiang pirua ana kasisi, metahendung ghaghurang maka sasangi”. Lagu itu sering kudengar pada saat acara pemakaman orang mati. Sejak kecil aku sudah hafal betul lagu itu, karena aku sering dibawa ayahku untuk menghadiri pesta penghiburan pada keluarga yang berduka. Selama di penjara, setiap kali mendengar lagu itu, hatiku seperti menangkap suara tangisan yang tak henti menyusup ke perasaanku.  Lagu tersebut  dari liriknya, menceritakan tentang kepedihan hati seorang anak yatim piatu yang ditinggalkan mati oleh kedua orang tuannya. Lagu menyedihkan itu  membukakan luka di hatiku. Wajah istriku dan anak-anakku melintas dalam benakku. Wajah-wajah dengar sebaris penderitaan yang sedemikian menyesakkan. Kadang-kadang aku membayangkan bagaimana anakku yang bungsu Dian ketika harus mengakhiri hidupnya di tali gantungan. Sungguh malang nasib buah kasihku itu. Gadis dengan kecantikan yang bagiku begitu sempurna, yang padanya aku berharap akan terbit cerita kehidupan yang penuh kebahagiaan.
“Ah…jika hidup hanya berupa jebakan, mengapa aku harus dilahirkan,” gumamku sesal pada hatiku sendiri. Mungkin juga pada Tuhan!
            “Kita memang ditakdirkan sebagai manusia dalam kutukan. Tak usalah banyak berpikir. Jika kau ingin berpikir, pikirkanlah bagaimana cara mengalahkan kutukan itu, bukannya menyesali nasib. Kita harus bisa menyusun kekuatan untuk menghancurkan penguasa-penguasa busuk yang memimpin negeri ini,” ujar Sasinduan, mematahkan lamunanku. Rupanya, ketika aku berguman, lelaki itu sudah terjaga dari tidurnya dan sempat membaca apa yang kupikirkan. Rokok yang dihisapnya sudah sampai ke batas tengah. Berarti sudah sejak tadi ia mengamatiku.
            “Sejak tadi kuperhatikan kau melamun tak karuan Kepas. Kepas seharusnya mengepak sayap seperti Elang! Terbang tinggi dan jauh. Kalahkan dunia!” katanya sambil melemparkan sebatang rokoknya ke arahku bersama sekotak korek api. Dengan memitingkan kaki, punggungku disandar pada sudut beton di belakang dipan.  Aku memasang rokokku, ketika lelaki itu berkata lagi, ”lamunan akan membuat orang cepat bunuh diri.  Kalau kau mau bunuh diri, gampang! Bakar saja penjara ini!”
            “Tak ada niat seperti itu,” kataku.
            “Makanya, jangan berpikir membalikkan waktu. Biarkan segala persoalan yang sudah terjadi berlalu sebagaimana adanya. Yang harus kita pikirkan adalah bergerak ke masa depan!”
            “Apa kita masih bisa berharap masa depan?”
            “Masa depan tak bisa diharap jatuh dari langit. Harus diupayakan. Harus direbut dari para perampok masa depan kita itu. Penguasa-penguasa busuk itu!”
            Tiba-tiba, di balik terali sel, muncul lelaki bergelambir yang setiap malamnya sok pamer kekuasaan. Ia rupanya mengendap-endap, dan mendengar percakapan kami.
“Dasar PKI. Kalian telah menghina pemerintah! Kalian harus kubunuh!,” teriak si gelambir garang. Tampaknya ia amat bernafsu mau menghajar kami. Matanya berkilat. Gelambirnya bergetar, ketika kutatap matanya dengan tajam.
“Mengapa, kau menantang?” teriaknya lantang ke arahku. Aku tak bergeming, tapi terus kutatap matanya, agar ia mengerti dimana tak ada rasa takut sedikit pun dalam hatiku jika berhadapan dengannya.
“Kami tidak bicara apa-apa,” terangkan Sasinduan. Kawanku itu agaknya mulai membaca niatku menantang si gelambir memuakkan itu.
“Aku mendengar sendiri apa yang kalian percakapkan!”
Ia kemudian langsung membuka pintu sel, dan  menyerang Sasinduan, dengan tongkat hitamnya. Namun dengan cepat kusodok kakinya. Tak pelak, ia jatuh terjerembab ke lantai. Menyadari aku yang menyodok dia, ia bangkit dengan muka yang sengit memerah. Tak dinyana, ia langsung menabrakku. Aku melompat ke samping, dan menarik tangannya yang menjulur kedepan, seperti memelintir kaki babi hutan. Terdengar pekikan sakit yang keras. Dengan kuat kudorong kepalanya yang mulai gundul itu  membentur tembok. Ia tampak seperti raksasa mabuk, terhuyung-huyung kemudian terkapar. Ia tak sadarkan diri.
Begitu cepat kejaidan itu. Kegemparan pun terjadi. Beberapa petugas penjara bersenjata mendatangi sel kami. Derap bunyi sepatu mereka ketika menginjak lantai mesel terdengar berseliweran sana-sini. Mereka dengan cepat pula langsung berhamburan ke sel kami. Melihat rekan mereka terkapar pingsan. Tanpa basa-basi, mereka langsung menyerang dan memberondong kami dengan pentungan dan pantat senjata laras panjang. Tidak puas menghajar kami di dalam sel, mereka menyeret aku dan Sasinduan, ke lapangan terbuka penjara lalu dihajar lagi. Tak sedikit teriakan sakit ku dengar keluar dari mulut Sasinduan.  Suara keperihan Sasinduan itu menyakitkan hatiku. Tapi aku sudah terbiasa dengan penyiksaan semacam ini. Bahkan ada yang jauh lebih menyakitkan lagi yang sudah kulewati.
“Siapa yang memukul Derek?” tanya salah seorang sipir.
“Aku,” jawabku.
“Bukan dia, tapi aku,” teriak Sasinduan. Aku menoleh ke arah Sasinduan, dengan hati yang iba. Dalam kesakitannya yang tak tertahankan itu ia masih  bisa solider. Diam-diam aku menyimpan kebanggaan pada lelaki idealis itu.
“Jadi kalian berdua ya?” teriak sipir yang lain.
Beberapa orang sipir lalu menyeret kami, kemudian mencampakan kami berdua ke selokan yang berada di pinggir lapangan penjara. Kami jatuh seperti babi yang dibanting. Selokan itu satu setengah meter dalamnya. Samping kiri dan kanan selokan sudah dibeton untuk menahan tanah. Sedangkan dasarnya tetap tanah yang selalu becek akibat air dari dapur umum yang memang  dialirkan menuju got pembuangan di luar penjara.
Nasib kami sejak senja hingga malam itu harus berlalu dalam selokan becek hitam yang baunya keras. Sudah dua hari hujan menguyur agak lebat, makanya selokan ini sedikit penuh, karena jalan air di luar penjara tersumbat oleh longsoran tanah dari bukit di atas penjara. Kami direndam seperti merendam bangkai babi. Rasanya tak terperihkan.
“Kalau ada negara yang sistem hukumnya paling buruk di dunia adalah negara kita saat ini. Bagaimana negara bisa memenjarakan rakyatnya tanpa kesalahan, dan tanpa proses pengadilan. Bagaimana negara bisa melancarkan tuduhan tanpa bukti. Tetapi memenangkan tuduhan itu? Di seluruh negeri ini, jumlah orang-orang yang senasib dengan kita lebih dari sepuluh juta orang. Tiga juta di antaranya dianiaya dan mati. Mungkin sebentar lagi kita akan menyusul yang mati itu,” kisah Sasinduan getir, sambil menahan tubuhnya yang mulai menggigil hebat.
“Ini ringan,” bisikku padanya. Sisinduan, berusaha menoleh ke arahku.
“Aku pernah direndam dalam septiktank.”
“Gila.”
“Ya. Memualkan. Aku muntah jika mengingatnya.”
“Lalu cacingnya?”
“Mengerubuti tubuhku.”
“Geli?”
“Seperti saat orgasme.”
“Otakmu selalu di selangkangan.”
“Habis. Bayangkan saja, bagimana jika kau masuk dalam telaga cacing.”
“Aku memilih mati.”
“Berarti ini ringan kan?”
“Apa yang ringan?”
Beberapa petugas penjarah nampak menjagai kami. Mereka sesekali mondar mandir di atas beton selokan. Salah seorang dengan tingkahnya yang iseng melempariku dengan puntung rokoknya yang masih menyala. Orang-orang itu seperti mahkluk tanpa perasaan. Jika mungkin memberaki kepala orang bisa dilakukan, tentu akan mereka lakukan.
“Itulah kultur pegawai negeri di negara ini. Mereka akan merasa senang jika bisa mempersulit kehidupan rakyatnya. Dan mereka akan merasa bangga jika mampu menyenangkan atasannya kendati dengan mengorbankan kehormatan istri atau suami mereka sendiri, dan mungkin juga dengan menjual anak-anak mereka bagi pemuasan nafsu seksual para atasan. Dan kultur pegawai negara ini telah tersistem sedemikian rupa dengan menempatkan rakyat sebagai musuh. Sungguh-sungguh sesifat cecak tingkaru: Yes bos, Siap pak,” bisik Sasinduan padaku dengan nada sinis.
“Cecak Tingkaru?”
“Ya. Binatang sejenis cecak yang hidup di pohon dan semak-semak yang kepalanya selalu bergerak ke atas dan ke bawah seperti mengangguk,” jelas Sasinduan. “Hanya gerak itu yang bisa dilakukan binatang itu,” tambahnya.
 Hatiku tiba-tiba geli merenungi personifikasi yang sedemikian sederhana tapi mengena.
Meski perasaanku cukup terhibur oleh anekdot-anekdot bikinan Sasinduan, tapi malam ini adalah malam yang memuakkan. Perasaan sakit, nyeri dan kedinginan telah menyatu, menyayat kami. Untung cuaca sangat cerah. Bintang-bintang bersinar penuh dan awanan yang berarak di bawah bintang-bintang cukup menghibur. Seperti tarian malaikat di langit di bawah kedipan bintang-bintang diiringi musik sunyi yang merdu menawan.. Namun kadang-kadang bayangan istri dan anak-anakku masuk ke pikiranku, saling berganti dengan bayangan seram yang entah berwujud apa, yang pasti menakutkan.  
Pada pagi harinya, kupikir kami akan segera dibebaskan dari selokan busuk ini. Ternyata kami dipindahkan dalam ruang isolasi yang gelap. Ruang isolasi itu ukuranya kira-kira hanya satu setengah meter bujur sangkar. Ruangan berupa bungker dalam tanah.
“Aku sudah tiga kali dimasukkan dalam bungker ini. Dulunya aku sendiri melewati kegelapan berminggu-minggu di dalam ruangan kecil ini. Tak ada cahaya. Syukur, sekarang kita berdua. Ya, paling tidak aku punya teman bicara. Jika engkau ingin menemukan cahaya di ruang ini, segera nyalakan lilin dalam jiwamu. Atau pasangi matahari di otakmu. Kau akan segera melihat segalanya,” ujar Sansinduan, menguatkan hatiku. Perasaan ngeri tiba-tiba menjilati sekujur tubuhku.
“Ruangan bawah tanah ini telah memakan banyak korban sebelumnya. Mereka mati mengenaskan,” tambah Sasinduan lagi. Dengan berhimpit-himpitan kami berdua berupaya mencari posisi duduk yang agak enak. Aku mencium bauh bangkai yang masih membekas.
“Kau tak takut hantu?” tanya Sasinduan.
“Aku malah sangat bersahabat dengan hantu!” jawabku.
“Berarti kita aman. Kita akan tidak dihantui perasaan takut.”
Selama dua hari kami di dalam kamar sempit itu bersama tikus-tikus yang menggerayangi kaki, tanpa diberikan makan. Perasaan lapar yang amat sangat tak terkisahkan lagi. Tubuhku mulai terasa lemas. Sekujur tubuh yang dipenuhi memar dan luka. Sasinduan, yang mengalami batuk basah sejak di cebur ke parit, tiba-tiba mengalami deman tinggi. Melihat keadaan Sasinduan yang mulai mengigau, aku menjadi panik.
“Tolong-tolong,”  teriakku sekuat tenaga, meminta tolong, setelah melihat kodisi Sasinduan, yang kian berat. Tubuhnya menjadi kejang. Dua orang petugas mendatangi kami. Mereka menyalakan lampu di depan sel. Setelah melihat kondisi Sasinduan, dari luar, jawaban mereka hanya siraman air dingin.
“PKI, biar mampus sekalian,” bentak salah seorang petugas. Sepeninggal dua petugas brengsek itu, ada seorang petugas berbaik hati memberikan beberapa penggal roti dan air yang masih hangat dalam kantong plastik. Ia juga memberikan beberapa butir tablet. “Ia masih family dengan istriku,” ujar Sasinduan, setelah demamnya agak redah. Petugas itu pun tak lupa meninggalkan beberapa batang rokok dan korek api. Berbekal pemberiannya, kami berdua bisa melewati hari-hari siksaan ini dengan perasaan yang agak enak.
Setelah hari ke tiga, kami baru dipindahkan lagi ke sel umum, sambil bergantian diinterogasi Kepala penjara. 
Untung kasus itu berakhir begitu saja, setelah kami berhasil meyakinkan Kepala penjara kalau si gemuk itulah yang menyerang kami, namun kami menghindar dan dia membentur tembok lalu pingsan. Soal tangannya yang patah, kami katakan karena sebelum membentur tembok ia tersangkut di ranjang kami.  Kepala penjarah rupanya menaruh kasihan melihat kondisi kami, dan ia tak berselera memperpanjang kesulitan kami.

Hari pun terus berlalu dalam berbagai suasana lain yang menyakitkan. Menurutku, Sisinduan adalah seorang yang memahami politik secara benar. Ia, katanya di ciduk di Siau, sepulangnya dari sebuah seminar partai di Makassar. Setiap waktu luang di sel, kami pergunakan untuk diskusi dan berbincang-bincang soal politik. 
“Kita sama-sama hanya korban para monster yang tidak tahu politik. Mereka itu, lebih jahat dari Westerling. Mereka dalang G30S. Tapi, ia mengkambing hitamkan PKI,” ujar Sisinduan kepadaku. Aku diam saja, karena bagaimanapun aku tak begitu yakin dengan penjelasan Sasinduan.
Ia juga menceritakan bagaimana presiden Soeharto secara sistematik telah mengatur kup terhadap presiden Soekarno. Dan untuk mencapai tujuan itu, ia membutuhkan banyak tumbal, termasuk partai-partai yang dituduhnya sebagai ekstrim kiri, yang berfaham sosialis.
“Kau bayangkan bagaimana nasib generasi kita di masa depan. Jutaan manusia Indonesia dilibatkannya sebagai Tapol. Anak-anak mereka tidak bisa bersekolah tinggi-tinggi. Dilarang berkerja di instansi pemerintahan. Mereka terkucil dan mengidap inferior sindroma. Apakah begini membangun sebuah negara bangsa? Saya memperkirakan, negara bangsa ini akan mengalami suatu gelombang kehancuran luar biasa sesudah jatuhnya rezim  ini,” ujar Sisinduan.
Wawasanku tentang politik menjadi terbuka lebar lewat berbagai penuturan Sisinduan.  Tapi apakah isi tuturannya itu benar? Aku tidak tahu! Bagimanapun hal ini harus dibuktikan dan diluruskan lewat catatan sejarah. Sebab bagaimanapun mahirnya manusia membengkokkan sejarah, tapi kebenaran sekali waktu akan tiba juga.
***
(25)
Di penjara manapun waktu terasa beringsut teramat lamban. Menunggu terbit dan terbenamnya matahari betapa menggelisahkan. Seperti kegelisahan seorang perempuan yang menanti jemputan kekasihnya di suatu stasiun. Menurut para napi, kalau ada sesuatu yang paling mereka benci di dunia ini tak lain adalah almanak. Sebab menghitung hari dalam almanak, menanti saat-saat kebebasan membuat mereka menjadi gila. Tapi kupikir seorang napi bagaimana pun mereka sangat beruntung di banding para tapol. Seorang napi bisa menanti hari kebebasan. Sedangkan hukuman seorang tapol tak memiliki waktu pembebasan yang pasti. Semuanya tergantung permainan hati sang penguasa. Satu-satunya kekuatan yang harus dimiliki seorang tapol adalah pengharapan. Bagaimana pun gelapnya jalan kehidupan di depan sana, kita harus terus melaluinya dengan pengharapan. Siapa tahu kita akan segera tiba di gerbang kebebasan. Dan ini bisa saja terjadi meski tak disangka-sangka. Begitulah kubangun penghayatan kehidupanku selama di penjara. Ku rangkai pengalaman walaupun itu bernama segala yang menyakitkan, dengan ketelatenan tersendiri, seperti ketabahan seorang perempuan perangkai bunga yang menyusun satu demi satu tangkai dan daun-daun ke dalam vas hingga mencapai keharmonisan keindahan. Kupeluk rindu, untuk mengenyahkan gelisah dan kekosongan. Kulawan tangisan batin dengan senyuman pada langit, matahari, bulan, dan bintang-bintang. Ku dengar angin sebagai nyanyian untuk mengisi mimpi-mimpi. Ku cari Tuhan dalam sujud dan tangan yang tergenggam erat. Jiwaku kubiarkan bersenandung di tengah bunga-bunga di pinggir lapangan penjara, atau di tengah semak di tempat kerja paksa. Kupandang manusia di jalanan sebagai sahabat yang menantiku dengan kasih. Semua itu kulakukan untuk mengalahkan waktu yang beringsut lamban.

***
Bulan tidur di atas bebukitan meneroboskan cahya di lubang angin.  Perempuan cantik itu datang bersama cahya. Tanpa gaun atau sehelai benang. Ia telanjang. Tubuhnya putih, montok, berbau nangka.
“Kau masih di situ Kepas?” tanya perempuan itu padaku.
“Ya!” jawabku. Kuserongkan sedikit badanku agar ia bisa berbaring di sisiku. Perempuan itu lalu merebahkan dirinya disampingku. Ia memelukku dengan tangan-tangannya yang lembut. Aku menjadi bergairah. Ia mencumbuku dengan memagut punggungku disertai hisapan hangat. Hatiku menyala. Liurnya menetes di dadaku ketika ia menjilati bagian itu.
“Lakukanlah Kepas,” bisiknya dengan bunyi nafas melengu. Ia menanggalkan seluruh pakaianku. Aku menjadi telanjang. Ia menyentuh bagian atas selangkanganku dengan tangannya yang gemulai. Tangan itu menari di sana. Perasaanku bergeriap seperti alang-alang diterjang badai, dan bunga-bunga putihnya melayang bertebaran ke angkasa. Ia menghelaku ke atas tubuhnya. Kubiarkan tubuhku dibimbingnya. Dan aku menciumnya dengan sengit. Tapi ia tertawa hangat. Hangat dan mengairahkan.  Penisku kencang dan ingin. Telah berbulan-bulan aku tak merasakan perempuan. Aku laki-laki. Harus kusenggamahi perempuan ini, pikirku. Ia terus memagutku. Menciumi puting dan dadaku yang menegang.
“Lakukanlah Kepas. Kau laki-laki normal!” Aku tertantang. Dengan cepat kurengkuh dia. Kutarik tubuhnya sehimpit mungkin. Kurasakan panas buah dadanya yang bengkak berisi. Ia begitu lembut. Terus kupacu, dan berpacu. Ia memelukku dengan teramat erat ketika aku telah tiba di puncak orgasme. Penisku memancarkan mani ke dinding sel dan meleleh melukisi garis-garis di dinding yang menghitam, bersama lenyapnya bayangan perempuan itu.
“Aku juga sering melakukannya, agar aku tetap waras,” ujar Sasinduan, ketika mendapati aku sedang onani. Aku agak malu ketangkap seperti itu. 
“Kau lihat, dalam ruang ini banyak bentuk garis satu senti yang memanjang dan menghitam itu?”
“Ya!” jawabku sambil kembali mengunci ressleting celana pendekku yang tadinya kulorotkan ke bawah,  kemudian berjalan menuju dipanku dan duduk si sana sambil menyandarkan kepalaku ke dinding.
“Kepala garis-garis hitam tebal itu sudah pasti bentuknya seperti bulatan uang logam kan?”
“Apa maksudmu?”
“Itu hasil perbuatan yang sama, seperti yang kau lakukan barusan! Semua orang di penjara melakukan itu sebagai hal yang wajar!” katanya. Aku tertegun.
“Bersenggama dengan bayangan bukan dosa, tapi tindakan manusiawi,” katanya lagi. Aku manggut-manggut saja.
***
Sudah satu bulan kami tinggal dalam kam darurat yang diperuntukan bagi tapol yang akan mengerjakan pembangunan lapangan Naha. Kam itu  dibangun di pinggiran lokasi pembangunan lapangan terbang Naha.  Lapangan terbang ini dapat dikatakan dibangun dengan mengandalkan tenaga manusia. Peralatan berat hanya beberapa buah wals yang sudah tua dan suka mogok. Sedang untuk membongkar bukit dan menebang pohon harus dikerjakan manusia.
Sejak subu sekitar pukul lima, lonceng selalu berbunyi. Semua tapol  yang jumlahnya ratusan orang sudah harus apel di lapangan. Bagi yang terlambat diganjar pukulan penyiksaan.  Sesudah apel, kami langsung disuruh menuju lokasi pekerjaan dengan dikawal beberapa tentara yang selalu siap siaga jangan ada yang sampai melarikan diri. Di antara para pekerja itu, ada juga para napi, dan para pekerja upahan yang menjadi bas atau tukang. Biasanya, mereka melakukan pekerjaan-pekerjaan yang lebih ringan.
Aku dan Sasinduan, karena berbadan cukup kekar ditugaskan mengangkut balok-balok batang kelapa kepenimbunanya di pinggir lapangan. Pekerjaan itu sangat berat dan meletihkan. Selama sebulan, sudah tiga kawan kami di unit pengangkutan tewas di tempat karena kecapaian. Mereka tertindih dengan balok yang dipikulnya. Di unit-unit kerja yang lain tidak sedikit juga yang telah mengalami nasib sial, terutama yang bertugas sebagai penebang pohon. Pernah sekali lima orang tewas tertimpah pohon yang roboh. Melihat  korban berjatuhan, para petugas tampak biasa-biasa saja. Tidak ada ekspresi keprihatinan di wajah mereka. Bagi mereka kematian para tapol itu, tidak lebih dari kematian seekor tikus saja.
Banyak juga orang-orang yang kondisi kesehatannya buruk, masih dipaksa bekerja. Peristiwa para pekerja pingsan sudah menjadi hal lumrah kedengarannya. Paling-paling diangkut ke pinggir dan disiram air dingin. Ketika siuman, dengan beristirahat sejenak, para petugas kembali memaksa mereka bekerja lagi. Meskipun kami sudah bekerja keras, penyiksaan terus berlangsung jika ada tapol yang melakukan kesalahan sedikit saja.
Pada suatu malam, Sasinduan, mengalami demam. Ia tampak begitu kesakitan. batuk basahnya kian berat. Beberapa hari yang lalu, sebenarnya ia sudah tak kuat lagi bekerja. Tapi oleh petugas ia terus dipaksa bekerja. Malam hari itu juga, karena kondisi agak kritis, ia dilarikan ke Tahuna. Sepekan kemudian, Sasinduan, muncul kembali di antar petugas. Tapi melihat kondisi tubuhnya, aku tahu Sasinduan, belum bisa bekerja berat. Tapi oleh petugas, ia tetap di suruh bekerja. Beratnya pekerjaan yang ia lakukan mengakibatkan Sasinduan, beberapa kali mengalami pingsan. Tak tahan deraan dan penyiksaan di lokasi kerja paksa, ia akhirnya menjadi gila.
Sepanjang waktu Sasinduan bicara tak karuan. Berteriak-teriak. Berlari-lari di sepanjang lapangan yang sedang kami bangun. Ia menjadi liar dan buas. Pada akhirnya, Sasinduan dikirim pulang ke keluarganya di Siau. Aku tak sempat mengantarnya. Tapi kubiarkan hatiku mengikutinya.
Aku sungguh kehilangan seorang sahabat yang baik. Seorang yang telah membuka kesadaranku akan masalah-masalah yang sebulumnya kurang aku pahami. Membayangkan nasib Sasinduan, aku menjadi ingat David Ogelan. Lelaki itu juga menjadi gila karena tak tahan menanggung penyiksaan para interogator di koramil Essang. Beberapa tetanggaku di Essang, malah lebih tragis lagi, mereka memilih bunuh diri saja, untuk menghindar rasa sakit yang tak tertanggungkan. Mereka tak tahan melihat anak-anak perempuan mereka, istri-istri mereka di ganggu tentara dan orang-orang anti PKI. 
Banyak anak tapol juga bunuh diri karena tak tahan menerima ejekan orang. Mereka malu, dan memilih menghabiskan nyawanya di tali gantungan atau menegak racun.  Anak-anak Tapol ada beberapa yang bisa lolos kerja di kantor pemerintah, karena mereka membuat akta kematian orang tua mereka. Padahal orang tua mereka masih hidup. Aku sendiri pernah dihajar cuma karena seorang tentara mendapati aku sedang berdoa dalam sel. Oh… Tuhan, aturan macam apa ini? Negara macam apa ini?
Di penjara tanpa pengadilan ini, aku juga banyak bertemu dengan para pentolan PKI. Mereka orang-orang hebat. Mereka banyak bercerita tentang konsep politik sosialis yang sesungguhnya. Aku menjadi tahu dasar-dasar pemikiran Karl Max, Stalin dan Mao. Dari mereka kuketahui pula sisi gelap kapitalisme. Aku teringat menantuku yang terjerumus dalam becek kapitalisme yang menghalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan. Ia berdagang senjata gelap. Ia tahu senjata-senjata itu akan dipakai untuk membunuh orang, tapi demi keuntungan, ia tak peduli pada akibat yang akan ditimbulkan dari usaha gelapnya itu.
 Dari para pentolan PKI itu pun aku menangkap bercak hitam komunisme. Lalu aku bertanya pada diriku, mengapa aku dipenjara oleh sebab dua sistem yang tak kupahami? Sisinduan benar! Aku bukan korban politik. Tapi semata karena pekerjaan seekor setan yang rakus kekuasaan. Seekor setan bagaimana pun dalam hidupnya membutuhkan banyak tumbal. Akulah antara lain dari tumbal itu.

***
(26)
Sudah tiga bulan aku di Tahuna dalam apa yang disebut sebagai kam kerja paksa. Aku mengalami penyakit ambeyen yang menyakitkan. Penyakit itu dikarenakan pekerjaan memikul balok-balok kelapa yang berat. Ususku menjadi turun. Aku mengajukan permohonan untuk pulang ke Essang, bersama beberapa tapol yang juga sakit. Setelah sepekan menanti, keputusan pemulangan kami akhirnya datang juga.
Penjara itu harus kutinggalkan bersama banyak kenangan. Aku terbayang Sasinduan, seorang idealis sejati yang menjadi gila dalam tahanan itu. Ia seperti orang kesurupan  dan berteriak memaki-maki tentara  sebagai  anjing kudis. Dari dia aku tahu kalau lewat tangan penguasa daerah yang sedang berkuasa, di Talaud saat ini ditargetkan sekitar 10.000 orang akan dilibatkan dalam apa yang disebut sebagai program stigmatisasi PKI. Apakah keterangannya itu benar atau tidak? Yang pasti saat ini banyak orang yang telah menjadi korban dari program tercelah itu. Mereka adalah kaum lelaki di atas umur 17 tahun. Kata Sasinduan, peristiwa stigma ini memang sudah direncanakan penguasa, agar mereka bisa mengkorup berbagai proyek pembangunan di kabupaten, karena dikerjakan Tapol. Jadi dana gaji perkerja menjadi milik penguasa, karena Tapol tidak diupah. Beberapa guru dan camat dari Talaud yang turut dilibatkan sempat bertemu aku di penjara Tahuna. Nasib mereka lebih buruk lagi. Sudah biasa hidup senang, kemudian ditimpa kemalangan. Sungguh menyakitkan.
Dari balik terali penjara, sesungguhnya banyak suara dan ide-ide perlawanan yang muncul. Tapi seperti kata Sasinduan, Orde Baru dengan sistem-sistemnya yang represif adalah mesin pembunuh yang tangguh. Suara-suara itu tak lebih serupa angin yang melintasi kekosongan demi kekosongan.
            Hari itu Selasa. Aku dan beberapa tapol yang dipulangkan sudah berada di atas geladak kapal. Tangan kami diikat, dan didukukan dalam satu kelompok. Dua orang tentara bersenjata menjagai kami. Sekitar pukul tujuh malam kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tahuna. Sebuah kota kabupaten, tempat para kaki tangan penguasa lalim beranak cucu. Penguasa daerah yang mungkin lebih lalim dari penguasa di pusat.  Mereka ada di sana di lembah bukit-bukit yang memagar dalam sepotong lingkaran. Mereka bergenerasi menceritakan kesaksian palsu tentang suatu kejahatan yang kami lakukan. Setiap saat dan waktu, mereka akan berusaha dan berjuang meyakinkan anak-anaknya, keturunannya, dan siapapun bahwa kamilah setan jahat yang harus terus diawasi dan kalau perlu dilenyapkan dari negeri ini. Dan generasi kami, akan ikut menjadi bagian dalam sistem pelenyapan yang telah mereka programkan. Ribuan anak-anak tapol akan berada dalam kubang kemiskinan, tanpa harapan. Maka kupikir benar, apa yang pernah diutarakan Sasinduan, bahwa kita harus melawan. Sebab suatu perbaikan nasib tidak akan datang begitu saja. Tapi kita harus menciptakan perubahan itu. Kalau perlu kita merebutnya dari tangan-tangan para pengekang, dalam hidup atau mati.
Laut begitu teduh, dan angin malam mulai menggigit kulit. Aku tidak sedikit melepas pandanganku dari kota yang turut mengoreskan pengalaman pahit dalam hidupku itu. Terbayang wajah kawan-kawan yang merenggang jawa di kam kerja paksa. Sasinduan, yang melompat-lompat seperti seekor mawas besar yang gila. Betapa Sasinduan, telah menjadi sebuah lukisan kepahitan yang begitu abadi dalam ingatanku.
Mercusuar di unjung tanjung kian lama kian samar kelipnya. Aku tahu aku sedang berlayar menuju penderitaan yang lain. Gabi, salah seorang tapol yang juga dipulangkan, dengan senandung kecilnya seperti meratapi cerita nasibnya yang tercecer di daratan Tahuna sana. Matanya seperti tak mau melepaskan bayangan kota yang kian mengecil itu. Ia seperti mau mengabadikan semuanya agar tidak terlupakan di kemudian hari. Mungkin ia sedang menyusun suatu cerita bagi anak cucu. Apakah kisah yang akan dituturkannya juga bermakna perlawanan? Entahlah! Yang pasti setiap tapol punya kisah dan pengalaman batin sendiri. Dan setiap orang punya kiat untuk perbaikan nasib di kemudian hari. Tapi apakah cita-cita seperti itu dapat terwujud? Atau sekadar menjadi kenangan saja. Aku ingat kata-kata Sasinduan, “Setiap manusia punya masa, dan setiap masa punya manusia”.
Gabi, duduk persis disampingku. Air matanya berjatuhan seperti hujan di hutan sepi. Pelan-pelan orang-orang dalam kelompok kami itu mulai mengikuti senandung Gabi, “dalang su runia, manambo pengane…”  dan seterusnya lagu itu tak kuhafal betul. Namun, syair lagu ini begitu liris, menceritakan larah nasib menjadi seorang manusia, yang ketika terlempar ke dunia diharuskan memilih banyak jalan. Satu-satu pengharapan adalah sekiranya sang pencipta menunjukkan jalan yang benar.
Dari geladak kapal yang terbuka itu, kutatap langit  yang memeluk kesunyian bintang-bintang. Namun sunyiku lebih senyap dari segala angkasa kehidupan di atas sana.
“Kita sudah pulang. Jangan terlalu sedih!” ujar Gabi. Lelaki enam puluh tahunan itu seperti nabi yang tiba-tiba memecah kegelisahan pencarian makna dalam diri kami.
“Kita memang pulang. Tapi menuju dermaga penyiksaan yang lain!” tukas salah seorang yang duduk paling pojok dengan suara agak memelas. Suasana kembali menjadi sunyi. Angin laut yang kian waktu kian dingin seperti mau membimbing perjalanan pikiran kami ke mana kami suka. Pikiranku sendiri melayang jauh. Bayang-bayang kerinduan, bayang-bayang kepedihan silih berganti menghampiriku.
Riak air laut yang diterjang kapal, dan bunyi mesin yang mendentam, terdengar seperti  suara sepasukan babi hutan yang menyerbu, melindasi kampung-kampung. Suara ini seperti meyakinkanku dimana benar kami sedang menuju padang penderitaan baru.
“Jika aku tidak dilahirkan di masa ini, tentu aku tidak memiliki sejarah seburuk ini. Atau jika aku tidak dilahirkan di tengah bangsa ini, aku mungkin tak pernah merasakan kejahatan penguasa di sini. Sejak kecil aku bercita-cita jadi seorang pahlawan seperti dalam dongengan ibuku. Tapi aku tak lebih dari nasib babi-babi tempat roh-roh jahat menyembunyikan diri,” ujar Gabi memecah sepi.
Beberapa orang penumpang yang melintas di dekat kami memperlihatkan tatapan jahatnya yang melukakan hati. Mereka berlalu sambil berbisik-bisik, mencemooh kami. “PKI….PKI…!” desis mereka.
“Orang-orang itu tidak salah Kepas. Yang salah adalah para pengajar, para guru yang menjadi alat penguasa untuk menebar pelajaran kebencian di hati setiap orang di negeri ini. Kita termasuk salah satu obyek yang diajarkan untuk dibenci. Jutaan guru di negeri ini, telah diperosok oleh penguasa dalam kubang dosa sejarah yang sulit terampuni. Jika engkau marah pada tatapan sengit itu, engkau telah salah alamat. Seperti kata Yesus, mereka itu tidak tahu apa yang mereka perbuat. Tapi kepada para Pilatus. Para Herodes.  Para Judas, akan dipertanggung kesalahan dan dosa-dosa mereka itu!” kata Gabi lagi. Aku mengangguk mengiyakan pernyataan lelaki tua itu.
“Bapa masih punya keluarga?” tanyaku mengajak Gabi bercakap.
“ Tidak ada lagi. Istriku sudah meninggal”.
“Anak-anak bapa?”.
“Aku punya dua orang anak. Mereka berkerja di Tahuna sana,” katanya dengan nada yang menyimpan rasa sakit.
“Tadi bapak bilang tidak ada keluarga lagi”.
“Ya! Kedua anakku telah kehilangan ayah mereka sejak mereka bekerja sebagai pegawai pemerintah. Mereka tidak salah jika kemudian mereka memutuskan membuat akta kematianku. Mereka harus menyangkali kehidupanku agar mereka dan anak-anak mereka bisa hidup. Jadi meski aku masih punya anak. Tapi anak-anakku telah menyatakan kematianku. Aku punya keluarga. Tapi aku telah mati,” papar Gabi sambil menyaput matanya yang membasah.
“Seharusnya mereka tidak melakukan tindakan itu!” ujarku.
“Tidak Kepas. Mereka harus lakukan itu. Mereka sudah melakukan apa yang bisa mereka lakukan agar mereka bisa meraih kehidupan. Aku merestui tindakan mereka.,” katanya cepat, sambil melepas nafas kepahitan yang mengusik dadanya. Aku tercenung. Gabi, lelaki tua itu menatapku dan tersenyum. Bintang-bintang mengedipkan matanya ke mataku. Ya Tuhan….betapa Engkau selalu mengabarkan rahasia-rahasia ketabahan yang begini dasyat. Gabi, kembali bersenandung, “Dalang surunia manambo pengane…dst”, dan para napi yang lain kembali mengikutinya. Terdengar serupa orkestra dalam nomor-nomor stanza terluka.
            Gelombang mulai menggoyang kapal. Aku berusaha sebisanya untuk tidur, namun sia-sia. Hatiku seperti terus mengejar bayang-bayang penderitaan apa yang sedang menyongsongku lagi di esok pagi.  
Setelah mampir beberapa jam menurunkan penumpang di pelabuhan Lirung, kapal Rantepao, kembali bertolak mengantar kami sampai ke Beo. Kawan-kawan kami sudah ada yang diturunkan di Lirung, sedangkan yang lainnya di Beo. Para Tanahan yang akan ke Essang telah dijemput sebuah perahu Pamo besar.
Berita kepulangan kami agaknya telah tersiar di Essang. Dari laut aku melihat para penjemput yang bergerombol di tepi pantai. Yang pasti mereka itu terdiri dari dua kelompok. Pertama kelompok para istri dan anak-anak  Tapol. Kedua, adalah kelompok masyarakat yang biasanya menaruh perasaan benci yang mendalam bagi para tapol. Suatu kebencian tanpa alasan yang dipelihara lewat sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadat, dan pertemuan-pertemuan adat dan kekeluargaan.
Lambaian tangan yang sarat penderitaan kulihat di antara kerumunan para keluarga tapol. Anak-anak kecil, kelihatan melompat kegirangan melihat ayahnya pulang. Padahal jauh di lubuk hati ayah dari anak itu,  sedang terjadi penyesalan  kelahiran sang anaknya.  Setiap lompatan anaknya, terasa seperti gempuran benda keras yang menghujam uluh hati sang ayah. Aku sedang mencari-cari wajah Meria istriku di antara kerumunan perempuan-perempuan dengan wajah menderita di pantai sana. Tidak ada. Meria tidak menjemputku. Apa yang terjadi padanya? Apakah ia tidak gembira dengan kedatanganku? Apakah ia sudah berubah pikiran dan kemudian memilih melupakanku? Seperti istri sahabatku Sasinduan, dan Nixon, yang lebih memilih mengubah nasib dengan lelaki lain? Banyak pikiran buruk tiba-tiba melintas dalam otakku. Pikiran-pikiran buruk itu tiba-tiba muncul begitu saja karena mengingat kisah-kisah  rumah tangga sahabatku di penjara. Istri mereka yang pada akhirnya menyeleweng karena tak bisa menanggung penderitaan hidup. Tapi, apakah mungkin Meria akan melakukan tindakan serendah itu? Tidak. Aku yakin tidak. Meria mencintaiku. Aku yakin ia  lagi sakit. Dan mungkin sakitnya begitu serius. Aku tahu cinta Meria padaku. Tak mungkin ia mengabaikan saat-saat penuh kekangengan seperti ini. Ia akan selalu ada. Kecuali jika ia memang sakit.
Sungguh kami telah sampai di pantai Essang. Pantai yang dikemudian hari menerbitkan penderitaan yang lebih menyiksa. Setelah berlabuh, kami melapor ke Komandan Koramil. Makawoka, komendan Koramil itu masih saja galak dan congkak. Dari suara dan tingkahnya ia seperti mau menjelaskan bahwa dirinyalah satu-satunya orang benar dan berkuasa. Suara dan titahnya adalah hukum.
Dengan suara lantang ia meneriaki kami untuk apel. Kami pun berbaris dengan rapi. Beberapa anak buahnya mondar-mondir memeriksa kami dan sesekali menendang kaki para tapol dengan sepatu larsnya.
“Hari ini kalian kuperkenankan pulang. Namun setiap pagi selama tiga bulan kalian wajib lapor. Yang tidak melapor akan tahu apa akibatnya,” instruksi Makawoka dengan suaranya yang lebih merupakan teriakan. “Kalian mengerti?” bentaknya. Kami semua mengangguk.
“Kalian mengerti?”
“Ya!” jawab kami serempak.
Setelah mendengar banyak pidato dan pengarahan yang sebenarnya salah alamat itu, tak berapa lama kami   diperkenankan  pulang ke rumah.
Dengan bergegas aku setengah berlari menuju rumah. Beberapa tentangga yang mendengar kedatanganku dengan cepat membuka pintu dan menatapku seperti tatapan waktu-waktu kemarin sebelum ketinggalkan kampung ini dengan mata mereka yang jijik. Aku tidak peduli, meski hatiku sebenarnya muak dan ingin mencekik leher bangsat-bangsat itu. Sesampainya di rumah aku mendapati Meria istriku terbaring sakit. Wajahnya nampak pucat, dan tak terurus.
“Aku sudah pulang Meria,” sapaku sambil memeluk tubuh istriku yang kurus.
“Syukurlah kau masih selamat!” sambutnya dengan suara yang terdengar sesak. Tangannya yang lemah berusaha menggapai mukaku. Betapa dingin tangan yang dulu indah dan padat ini. Di matanya mengolam genangan air yang sulit kumaknakan apakah ini tangisan gembira atau semacam keharuan yang menyakitkan. Aku tak tahan melihat Istriku menangis. Kupeluk wanita yang kukasihi itu dengan cintaku yang tulus. Kurasakan dekapannya yang lemah memancarkan tenaga cinta yang masih tersisa.
“Aku akan terus mencintaimu meski dalam penderitaan ini,” bisik Meria. Kami sunyi sejenak, terbang bersama perasaan haru yang sulit terbahasakan.  Jika ada perasaan cinta paling sejati hanyalah yang kita temukan dalam saat-saat paling menderita seperti ini. Cinta yang bercerita dari setiap air mata yang jatuh melumuri tubuh sang terkasih tanpa kata. Tanpa sepotong kata namun sarat makna.
“Tuhan, betapa engkau telah ciptakan wilayah keindahan yang sulit terpenjarakan oleh kuasa siapapun yang bernama cinta!” bisikku kepada Tuhan. Jika cinta pun bisa terpejarakan, maka seluruh manusia hanya punya satu pilihan dalam hidupnya yaitu berjalan ke kematian!
 Selama aku di Tahuna, Meria rupanya hanya diurus oleh famili secara sembunyi-sembunyi. Memang sudah menjadi semacam peraturan dimana jika kedapatan ada orang membantu para keluarga Tapol, akan segera di tangkap dan dijadikan Tapol juga.
            Sesaat kemudian, aku memasak air dan memasak ubi yang masih tersisa. Mungkin ini sisa pemberian para famili. Meria, dengan sisa-sisa tenaganya berusaha memancarkan keriangan. Aku tahu ia ingin aku tidak bersedih melihat kondisinya. Ia kadang-kadang mengolokku dengan kelakar. Bibirnya yang pucat berusaha diberinya senyum. Siang ini kusaksikan ia makan bubur yang telah kumasak hingga habis. Ia seperti menemukan kekuatannya kembali ketika aku pulang. Cinta sejati telah memberinya kembali daya hidup. Hingga malam hari, aku berusaha untuk tidak berpisah berlama-lama dengan Meria. Aku ingin selalu dekat dengannya. Mendengar ceritanya. Atau aku yang bercerita kisah-kisah menarik di penjara.
Dari Meria aku baru tahu kalau seluruh tanah kami di Essang telah dirampas Camat dan di jual kepada warga keturunan Tiong Hoa. Tapi pajaknya, tetap menjadi tanggungan kami. Kebun kelapa kami di Beo juga mengalami nasib yang sama. “Negeri macam apa ini!” pekikku dalam hati.
            Dari Meria pula aku baru mengetahui kalau Yulin dan Jack Dagos Jr menantuku pernah datang. Meria telah menceritakan semua kejadian yang menimpa kami. Mereka mengabarkan kebangkrutan usaha mereka di California. Namun mereka saat ini bergabung dengan pihak Moro di Mindanao Selatan.  Herkanus juga sudah tergabung di faksi yang menetang penguasa Filipina, Ferdinan Marcos. Mereka berjanji akan kembali, untuk menyatakan perang dengan pihak penguasa Indonesia.
            Meria menyodorkan sebuah surat Herkanus. Aku membacanya dengan linangan air mata:

Papa,

Aku telah keluar sebagai warga bangsa Indonesia, karena aku ingin berhenti menjadi pribadi yang penakut. Aku memilih menjadi anak tanpa tanah air. Sebab apalah artinya memiliki tanah air jika kita dilarang mencintainya. Satu saat aku akan datang sebagai musuh. Akan kuhancurkan tanah air papa yang lama. Dan semoga aku bisa menyiapkan tanah air yang baru bagi generasi anak-anak kami. Aku telah menikah dengan Broke. Sekarang kami ada di kam pelatihan militer Moro. Kami saling mencintai. Doakan kami. Kami mendoakan papa dan mama.

Herkanus

            Aku memahami pergumulan anakku. Jika mereka menjadi sang lain. Karena mereka memang harus memiliki riwayat sendiri. Pemekaran pribadi mereka menuntut suatu pembebasan atas keterbelengguhan kehidupannya. Namun membayangkan malapetaka yang akan menyusul jika gerakan perlawanan generasi baru ini terjadi. Oh Tuhan. Akan banyak catatan di surgaMu dari mereka yang mati dalam kengerian yang menakutkan dan tanpa arti.
Hari ini sebuah keputusan yang teramat beresiko harus kuambil. Sakit istriku kian parah. Tubuhnya sedemikian lemah. Kulitnya tampak kian kuning. Kadang-kadang ia mengalami deman yang hebat. Tadi malam,  tubuhnya panas tinggi dan mengigau sepanjang malam. “Tuhan jangan ambil dulu wanita yang kukasihi ini”. Rambutnya yang biasa tergerai lebat, kini menjadi kaku dan mulai rontok. Wajahnya mengeriput dengan sorot mata yang tak lagi memberkaskan sinar kehidupan. Ia membutuhkan obat. Tapi dimana aku menemukan uang untuk membeli obat. Selama aku di penjarakan di Tahuna, semua hartaku berupa kebun kelapa telah di jual oleh penguasa setempat kepada warga keturunana Tiong Hoa. Meminjam ke tetangga itu adalah suatu kemustahilan. Jangankan meminjamkan aku uang, melihat saja wajahku mereka seperti melihat mahluk jelek yang menjijikkan. Meminjam kepada famili juga tidak mungkin karena mereka juga terpuruk dalam kemiskinan. Kecuali bahan makananlah dapat mereka berikan.
            Apapun resikonya aku harus melakukan panen kelapa di kebun milikku yang telah di jual penguasa itu. Toh sebagai pemilik, aku berhak atas kebunku. Sistem busuk yang dijalankan penguasa biarlah menjadi sistem mereka. Di mata Tuhan yang kuimani, aku tidak berdosa jika aku mengambil sesuatu dari kebun milikku. Sebuah resiko yang menyakitkan memang sudah kubayangkan. Tapi ini satu-satu jalan untuk menyelamatkan istriku.
            Pagi itu, sepulang dari melapor di Koramil, aku langsung menuju kebun. Sasampainya, aku memanjat kelapa yang sarat dengan buah. Aku pilih buah-yang kering dan yang telah tua.  Agar karungku boleh menampung banyak, kelapa-kelapa itu ku kupas.  Setelah pulang aku singgah di pinggir kampung menjual kelapa itu ke sebuah warung dan membelikan obat-obat yang diperlukan istriku di tempat penjualan obat.
            “Kau telah melakukan perbuatan yang beresiko bagi dirimu,” kata istriku lemah, ketika ia tahu, aku baru mangambil kelapa di kebun untuk membelikan obat-obat dan keperluan hidup sehari-hari.
            “Aku tidak mencuri Meria. Itu kebun milik kita. Kebun yang kita beli dari keringat kita sendiri," kataku menghibur dan menguatkan hatinya. Kulihat matanya menatap langit-langit kamar. Bibirnya yang pucat nampak bergerak-gerak seperti mengucapkan sesuatu yang terselip dalam batinnya. Aku tahu, istriku sedang mengucapkan sepotong doa untuk Tuhan. Wajah  lemah itu seketika kembali digenangi air mata. Aku menciumnya, lalu pergi ke dapur untuk memasak.
            Pada malam harinya, rumah kami kedatangan tamu tak di undang. Rupanya beberapa pemuda anti PKI telah disuruh orang Cina yang kini menguasai kebunku. Pemuda-pemuda itu nampaknya sudah mabuk. Salah seorang dengan berteriak-teriak dari halaman rumahku memanggil-manggil namaku. Yang lainnya memaki-maki tak karuan. Yang lain menghinaku dengan ucapan biasa yaitu;  PKI….PKI !
            Tiba-tiba, “bruarrr..” Salah seorang dengan sombongnya mendobrak pintu rumahku. Kulihat istri kaget dan gemetar. Wajahnya memucat ketakutan. Melihat tamu tak diundang itu, amarahku tak tertahan lagi. Pemuda berperawakan sedang itu dengan cepat kulabrak dengan meja kayu kecil di dekat dipan istriku. Ia terlempar ke tanah dan tidak sadarkan diri. Tubuhnya terguncang-guncang seperti ayam yang baru disembeli. Melihat itu, kawan-kawannya bukanya menolong, malah langsung kabur melarikan diri. Mental para bajingan yang pengecut.
 “Jangan biarkan ia mati,” seru istriku. “Nasib kita akan lebih buruk lagi suamiku,” ujar Meria lemah. Kulihat tangannya menggapai-gapai seperti memerintahkan aku untuk segera menolong pemuda nahas ini. Aku tahu apa yang dipikirkan Meria jika pemuda ini mati. Aku mengambil air dan menyiram tubuh pemuda itu. Para tetangga tidak ada yang berani mendekat. Mereka hanya melihat secara sembunyi-sembunyi dari jendela masing-masing. Setelah pemuda itu sadar, kuberi ia air minum.  Tak berapa lama kudengar langkah kaki berat sedang mendekatiku. Sebelum aku menatap siapa yang datang, sebuah terjangan sepatu lars membentur kepalaku. Dunia langsung jadi gelap. Aku pingsan.
            Keesokan harinya baru aku sadar, aku telah berada di tahanan koramil. Sejak saat itu, aku tak lagi diperkenankan pulang untuk wajib lapor, tapi telah menjadi penghuni  sel Koramil lagi.       
            Seminnggu aku mendekam di sel Koramil, dari seseorang tetangga yang kebetulan lewat di depan Koramil saat aku sedang membersikan parit, kudapatkan kabar dimana Meria telah sembuh,   setelah dirawat seorang mantri desa. Mendengar kabar menggembirakan ini, tak putus-putusnya aku mengucapkan kata-kata syukur kepada Tuhanku. (Bersambung ke bagian berikutnya...)


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar