Senin, 26 September 2011

KEPAS (Kisah Orang-orang Perbatasan: Novel) (9)


BAGIAN : X


Kesaksian Keempat
(27)
Meria Arestina, wanita cantik itu tak lagi segairah dulu. Aku masih ingat kenangan-kenangan manis dan keindahan yang terpancar dari wajah istriku itu saat kami di Cotabato.  Nyonya Argava pun memujinya, sebelum wanita itu kemudian menjadi besannya. 
“Istrimu wanita desa yang cantik,” kata nyonya Sandiana padaku pada suatu pesta Natal bersama para pekerja perkebunan di rumah Argava di lembah perkebunan kelapa Cotabato. Hari itu aku sangat-sangat tersanjung oleh pujiannya. Apalagi Meria. Tentu hatinya sangat bersukaria oleh pujian tulus majikannya. Kenangan itu kini seakan telah mejadi masa silam. Seperti ingatanku akan cabang-cabang cemara dan pohon mohoni yang mejejar di halaman rumah kami di perkebunan Cotabato yang setiap paginya dihinggapi burung-burung kecil yang lincah berlopatan dengan siulan-siulan manis menyejukkan batin. Atau bandou yang memipih rambutnya hingga menempel kekulit kepala di mana di bawahnya wajah segar dan bersih mengkilapkan kegairan yang penuh. Kegairahan akan masa depan yang tumbuh dan melaju dalam kehidupan kami.
Garis-garis indah yang senantiasa pias di wajah istriku kini tinggal guratan penat di sana-sini. Ia tampak tua dan capek. Tapi, Syukurlah ia sudah sembuh.
Ketika membesukku hari ini, jelas kulihat semua keindahan pada dirinya telah dimakan peristiwa-peristiwa yang beruntun kami alami. Namun aku cukup senang, paling tidak ia masih punya kekuatan untuk bertahan. Tapi sampai kapan? Aku sendiri akhir-akhir ini mulai putus asa menghadapi berhala kekuasaan yang berlangsung di sini.
Berhala kekuasaan mungkin ungkapan paling tepat seperti dikatakan Sasinduan  menilai perangai para penguasa di kepulauan ini. Mereka telah menyihir rakyat dan membimbing mereka ke kedai pemabukan akan kekuasaan. Dan tentara, terutama menjadi simbol dari hak paksa kekuasaan itu. Sedang birokrat sipil menjadi artikulator kekuasaan.
Memang tidak semua tentara dan pejabat sipil yang terlibat dalam drama kejahatan ini. Tapi, kukira lebih dari separoh sudah terlibat di dalamnya. Mereka bersama-sama bersanding di atas mesbah penyihiran. Dan setiap saat—jika diperlukan peragaan bagaimana dasyatnya kekuatan kekuasaan itu—mereka tak segan berimprovisasi dengan penyerahan tumbal-tumbal. Tumbal-tumbal itu mudah saja diambil dari kerumunan rakyat yang telah tersihir oleh kekuasaan mereka. Mereka memang punya banyak mantra, seperti senjata api, atau perangkat peraturan, lengkap dengan syair-syair kenabian yang palsu. Janji-janji palsu tentang keadilan ekonomi, atau pewujudan masyarakat adil dan makmur. Dengan janji dan mantra-mantra itu mereka memaksa rakyat menjadi tunduk. Masyarakat ditipu dengan kemegahan pembangunan fisik. Padahal semua itu adalah hasil dari sebagian hutang luar negeri yang pembayarannya harus dipikul lebih dari tujuh generasi. Sedang lebih dari separoh hutang luar negeri telah dikorup oleh segenap kroni beserta buyut-buyut penguasa ini. Sasinduan menceritakan semua itu padaku.
“Itulah sebabnya aku berada disisi kiri jalan. Karena aku telah melihat kemaksiatan para kapitalis pencoleng yang bersekutu dengan penguasa untuk menipu rakyat dari bangsa ini,” tukas Sasinduan, ketika itu.
“Adakah yang bisa menentang?”
“Pernah. Dan Banyak. Tapi mereka disambut berondongan bedil. Bukan saja para aktivis mahasiswa. Namun segala suara kearifan yang datang dari para pengeritiknya, dibungkem dan dilenyapkan.”
Nasib suara kebenaran di negeri ini kisah Sasinduan, laiknya, suara lantang  yang pernah dikumandangkan si rambut gondrong Yohanes Pembaptis. Suara yang melengking dari daerah karang terjal di sehamparan batu karang lancip di seputar mediterania. Tapi suara seperti ini, suara  yang menggedor dan menembusi pintu istana para dewa-dewa kekuasaan itu, hingga kebagian dunia diaspora kaum beragama ini, haruskah menjadi suara kebenaran yang ditukar dengan kepala yang terpenggal, dan hujaman peluru. Tidak saja di sana, tapi juga di kepulauan ini. Padahal kepulauan ini telah mencium aroma kekristenan sejak 1524. “Kasih? Itu hanya suatu propaganda agama. Sementara kaum beragama itu sendiri telah membuatnya menjadi omong kosong,” kata Sasinduan lagi mengingatkanku ketika itu. Sasinduan memang mahir mengutip bible dalam membuat analog.
Aku sendiri mengerti dimana memang rakyat kita telah sedemikian mabuk. Mabuk berat oleh janji-janji palsu yang terkemas sedemikian indah dan sempurna dalam retorika para artikulator dan orator. Rakyat tak bisa lagi membedakan kabut dari fatamorgana. Atau merah lembayung dan kampung yang terbakar. Orang-orang tak bisa lagi membedakan air mata rasa sakit atau embun keharuan. Semuanya telah tersihir. Semuanya telah mabuk dalam filosofi kebendaan. Cari untung dan cari selamat bagi diri sendiri. Dan untuk mencapai itu, mereka bersedia menjahati dan mengkhianati saudara sendiri.
Aku menjadi sang lain di tengah pikuk dari padang sepi rasa ini. Kejadian baru terus mengalami kebaruan meski semuanya bermakna kesakitan. Semua bermakna berhala kekuasaan.  Malaikat sekalipun akan menangis  didera seperti ini. Jika demikian sakitnya, bagaimana dengan manusia? Bagaimana mungkin manusia bisa mendera sesamanya melebihi kemampuan manusia itu sendiri?
Di horison laut sana, matahari entah telah berapa ratus ribu kali menenggelamkan hari-hari penuh kabut sengsara. Entah telah berapa pelaut yang pernah menyimpan wajah tanjung-tanjung itu di memorinya. Kenangan yang melepuh oleh sumpah serapa dari suatu kesakitan yang kini diabadikan.  Mungkin juga tidak sedikit syair dan kata-kata puitis di lahirkan dari makna kudus lembayung senja, dan senyuman fajar pagi yang diapit para nelayan saat menepihkan perahunya di pantai itu. Namun sebuah berhala, tetaplah berhala. Makin lama, makin kudus. Jika itu berhala kejahatan, maka makin hari makin kejam.
Makowako, bukan manusia, simpulku dalam hati.  Komandan Koramil itu semacam setan yang menjelma dari masa nabi Ayub.  Brewoknya, menjuntai seperti ular –ular hitam yang senantiasa meneteskan gidik bisah mematikan. Mungkin ia keturunan dari sibeludak yang menjerumuskan Hawa dan membangkitkan gairah seksual Adam, dan mempersetubuhkan mereka dalam ombak birahi hingga terbuahilah tabiat Kain di rahim perempuan-perempuan suci.  Dan Makawoka, mungkin gen kesekian miliar dari keturunan maksiat itu. Kepalanya plontos, seperti lukisan seorang rasul kejahatan yang bangkit dari kubur setelah mati miliaran tahun. Matanya, mata malaikat maut yang tak sedikit pun menyimpan perasaan welas asih. Haruskah setiap ucapannya bermakna bencana? Kedipan mata itu akan segera memberkaskan sekian ribu bahkan miliaran makna bagi anak buahnya. Bisa bermakna perintah kematian bagi seseorang. Perampasan, pemerkosaan seorang gadis. Makawoka, mungkin manusia tanpa air mata. Sebab jangan harapkan serpihan iba di bilik mata melotot itu.  Ia semata mesin. Mesin pembunuh. Mesin pembunuh di masa rezim ini bukan saja tank, panser, atau senjata-senjata otomatis.
Penguasa telah berhasil merangkai manusia mesin, yang diprogram untuk memerangi rakyat dari bangsanya sendiri. Perang tidak pernah usai di otak kaki tangan seorang rezim jahat, selama mereka masih tetap menjadi manusia yang punya keinginan. Keingin yang terus minta pemuasan. Nafsu yang tiada habis-habisnya mengambil.
Jutaan manusia mesin telah digelar dalam tirani ini di sepanjang jazirah nusantara. Mereka bukan saja para tentara, tapi kaum sipil dan rakyat biasa yang telah ikut  termesinkan lewat partai-partai politik. Kemudian menjadi kelompok partisan hati kering dan suka membabibuta.  Lembaga agama pun ikut menjadi ladang-ladang penciptaan manusia mesin. Para agamawan pesolek, dengan ajaran-ajaran berlumeran kosmetik. Ayat-ayat suci yang dipolitisir untuk melegitimasi kejahatan. Kesakralan yang diasah menjadi pedang pembantai. Tuhan yang di-hantu-kan. Ah…aku menangis berhari-hari. Aku meratapi semuanya.  Seperti ratapan Lot yang kehilangan cinta isteri yang menjadi tiang garam dan kampung halamannya yang terbakar.

            “Bangsat! Pergilah kau memanah ikan. Kami sebentar ada pesta kecil,!” bentak Makawoka mengagetkanku.  Bau alkohol dari mulutnya menyembur, seperti bau bensin yang siap terbakar. Aku hanya bisa menganggukkan kepala. Ia kemudian membuka gembok sel. Tanpa banyak berpikir aku langsung berjalan ke luar sel, sebab membantahnya sama dengan mematik api di ladang minyak. Makawoka, begitulah ia. Lelaki yang merasa dirinya menjadi Tuhan. Tapi bagiku ia hantu.
Siang itu, matahari masih mengosongkan laut hingga berwarnah perak. Udara panas kering menyaput ke daratan dari lautan Fasifik. Burung-burung tak satu pun terlihat. Mungkin menyepi dari terik. Laut tampak kosong dari perahu dan kapal-kapal yang biasanya lewat menuju selatan Filipina.
Dengan dikawal seorang tentara aku meninggalkan kantor Koramil itu, menuju rumah mengambil papiti dan peralatan memanah di dalam air. Angin selatan sesekali menghempas kencang. Ombak besar memecah di karang dengan buih memutih menutupi permukaan pantai. Meria, seperti biasanya, ia hanya bisa memandangku dengan matanya yang memelas. Aku tahu, hatinya sedang menjerit.
            “Cuaca seperti ini sangat sulit mendapatkan ikan!” kataku pada tentara itu, setelah kami sampai di pantai.
“Sudah pergi kau jangan banyak bicara,” bentaknya lalu mendorongku hingga terjungkal di pasir.
              Aku memaki berkali-kali dalam hati. Jika Tuhan dapat diajak bernegosiasi, aku akan tawar-menawar dengan nyawaku. Biarlah, agar tangan Tuhan mencekik leher si bajingan ini. Biar disuatu saat nanti nyawaku akan membayar lunas semuanya. Terserah itu harus kutebus di neraka. Tidak! Tuhan tetap diam. Sebuah konsep diam yang oleh ibuku katanya, bermakna kasih. Kasih yang sulit terpahami jika dimaknakan di saat-saat menyakitkan seperti ini. Tuhan itu sesuatu yang tidak berperasaan. Tidak berpihak. Ataukah memang Tuhan itu tidak ada. Dan sebuah omong kosong. Lalu manusia adalah mahluk yang tak waras yang mengada-adakan sesuatu yang tidak ada. Tapi juga, siapakah kita jika tidak berasal dari suatu kekuatan yang meng-ada-kan itu. Dan pantai, lalu jagad raya ini? 
Laut luas menatapku dengan bola matanya yang lebar. Mungkin ia sedih. Bunyi ombak mendebur-debur seperti suara yang meratap-ratapi nasibku. Mengapa aku menjadi seperti Nabi Junus yang tak bisa menghindari kutuk pilihan Tuhan? Kuceburkan diriku ke laut. Airnya terasa hangat. Jika aku memiliki ingsan seperti ikan, aku ingin berlama-lama di dalam air, agar tak melihat sosok tentara bejat yang menantiku di bawah pohon Ketapang di pesisir itu. Sayang aku mesti timbul tenggelam untuk mencari udara, mematuhi hukum alam. Dan  bangsat itu di sana. Mengintaiku.
            Beberapa jam kemudian, aku kembali ke darat. Tali penusuk ikan di pinggangku sudah penuh. Tangkapanku lumayan. Tentara itu menjemputku. Ia nampak tersenyum-senyum melihat hasil yang kudapatkan. Ia seperti seorang anak baru mendapatkan permen. Ia menyuruhku untuk membawakan beberapa ekor untuk istriku. Syukurlah.
Di rumah, Meria memelukku. Aku tahu, betapa rindunya ia padaku. Tapi pelukannya lebih terasa sebagai belas kasihan atas derita yang kualami, kujalani.
            “Bersabarlah. Tuhan akan menolong kita,” bisiknya. Beberapa butir air matanya jatuh lagi ke bahuku. Air mata yang selalu memerciki rasa hangat bagi perasaanku. Sejurus kemudian,  Ia menghidangkan aku segelas kopi, dan ubi rebus. Ubi kuning yang menggoda seleraku, dengan cepat kusambar. Meria tampak senang melihat aku mencicipi buah keringatnya berkebun.
            Aku tak bisa lama-lama di rumah, karena izin yang diberikan padaku hanya untuk mengantar peralatan panah. Setelah menganti baju, aku kembali lagi ke koramil.
            Sebelum aku berangkat, Meria, menyerahkan aku sepucuk surat. “Dari Sasinduan!” ujar Meria. Dengan tanpa berpikir banyak, kubuka surat sahabatku itu. Apakah ia sudah sembuh? Ataukah ini sengaja di tulis familinya untuk mengabarkan berita buruk? Setelah surat itu terbuka, aku langsung melihat tanda tanganya dulu. Aku kemudian lega karena di sana nama Sasinduan, tertulis jelas. Berarti ia sendiri yang menulis surat ini.

 

Kepas Sahabatku
Salam kasih.
            Kabar pertama, aku telah sembuh. Kini aku menjalani hukuman wajib lapor saja. Mereka, para penguasa itu, enggan lagi mempekerjakan pekerjaan yang berat  padaku saat ini. Jadi nasibku saat ini agak enakkan sedikit. Aku tidak tahu bagaimana nasibmu. Yang pasti aku selalu membayangkan bahwa nasib kita selalu tidak beruntung. Untuk bisa tidur melepas kantuk dan bayangan-bayangan hidup yang suram saja itu sudah merupakan berkat yang luar biasa. Jadi aku tidak perlu lagi membayangkan jalan hidupmu, sebab bagaimanapun aku mencoba merangkai mimpi tentang keindahan hidupmu, aku selalu ditibakan pada kesadaran bahwa kita telah disistem untuk melarat.
            Rokokku masih saja eskort. Aku berpikir kau makin mahir memelintir batang leher babi hutan. Apakah kau masih senang menangkap buaya? Di pulauku saat ini makin banyak orang yang mahir bercongkak-congkak. Mereka terbawa impian kosong yang pernah di sulam Belanda. Mereka menabung ketinggian hati dari cerita masa silam pulau ringgit. Mereka menjadi mabuk janji-janji palsu penguasa. Mereka menjadi buta akan kebenaran. Ada cerita kecil dariku Kepas : Bulan kemarin seorang anak polisi dengan seenaknya memanah kaki seorang anak petani di Kahetang.  Aku melihat anak petani itu berteriak-teriak kesakitan, tapi anak polisi itu bersama teman-temannya justru terbahak-bahak mengolok-olok korban mereka. Cerita kecilku ini hanya mau mengatakan bahwa sungguh di negeri kita ini telah tumbuh suatu kebudayaan yang aneh. Kebudayaan penindasan namanya. Ini merupakan hasil anasir dari apa yang pernah kukatakan padamu sebagai budaya kapitalis.
            Apakah kau sudah bisa masuk gereja pada hari Minggu? Aku pernah berusaha ke gereja, tapi aku di jauhi anggota jemaat yang lain. Malahan selama beribadah mereka selalu membicarakan diriku. Sejak itu, aku memutuskan untuk tidak ke gereja. Dan sekarang aku lebih suka menjumpai Tuhan di kamar tidurku.
            Bagaimana  Herkanus, apakah ia masih setia dengan cita-cita luhurnya. Aku pikir, lebih baik kau meneguhkan hatinya agar dia bisa merealisasikan keinginanya itu. Kapan- kapan tulislah surat padaku, aku kangen mendengar cerita tapol di kampungmu. Salam untuk istrimu.

Sahabatmu

Sasinduan


            Kulipat surat itu, dan kuserahkan kepada istriku untuk menyimpannya. Aku senang karena akhirnya Sasinduan, sembuh. Lelaki yang telah banyak memperkaya wawasanku tentang hidup dan arti suatu perjuangan.
            “Keluarga pak Sono akan ke Siau, satu dua hari ini. Kora-kora mereka sudah selesai dikerjakan. Apakah kau tak mau membalas surat Sasinduan?” tanya Meria.
            “Oya! Kalau begitu aku akan membalasnya,” kataku sambil  berjalan ke meja kayu di pojok kiri rumahku, dimana di sana tumpukan kertas dan beberapa buku tersusun dengan rapi. Meria mengikutiku dan menyerahkan sebuah pulpen tinta Parker padaku.

Sahabatku Sasinduan

Aku senang dengar kau telah sembuh. Hari-hariku kini terisi dengan banyak pekerjaan. Mulai dari mencari bahan-bahan ramuan bangunan untuk membangun rumah Camat, serta fasilitas pemerintah lainnya. Semua itu aku kerjakan bersama  para tapol lainnya. Kau tentu perlu tahu, dimana tanah-tanahku dirampas penguasa, dan dijual ke warga keturunan. Sialnya, aku masih diwajibkan membayar pajaknya.
            Pekerjaan kami masih dilakukan tanpa upah.  Para penguasa itu masih juga menyensarakan kami dengan memaksa mengerjakan pekerjaan tersebut dengan peralatan yang terbatas. Bayangkan, kami harus disuruh menebang kayu yang besar dengan parang yang kecil. Padahal pekerjaan itu agar lebih muda harus ditebang dengan kapak. Tapi bagi penguasa, kami adalah orang hukuman. Jadi setiap pekerjaan kami, juga bermakna hukuman.
            Berburu babi hutan adalah pekerjaanku yang lain. Aku dan beberapa tapol yang mahir berburu sering diperintahkan berburu setiap akhir pekan. Syukurlah kalau kami bisa mendapatkan hasil buruan. Sebab kalau tidak, maka kami tak luput dari deraan dan penyiksaan.
            Tentang saranmu, aku lagi pikir-pikir. Tapi amarahku benar-benar telah di ubun-ubun. Lain waktu aku akan menulis surat lagi padamu. Jangan lupa kirimi aku khotbah-khotbahmu. Di sini aku tidak ke gereja. Gereja hanya milik orang suci, bukan milikku.

Kepas
           
Kuserahkan surat balasanku itu pada Meria, yang sedari tadi nenanti di sampingku saat aku menulis surat itu. Ia melipatnya dan menaruhnya dalam sebuah emplop yang diambilnya dari laci meja.  Aku kembali pamit padanya. Meria tersenyum, dan mengantarku sampai di depan pintu, dengan tatapan seakan tak mau berkedip.
***
(28)
Pohon dan rerumputan masih basah dan mendenyarkan warna kecubung. Hujan semalaman mengguyur deras membuat kami merasa beku. Kami belum menemukan apa-apa. Jangankan menemukan seekor, melihat bayangan babi hutan atau jejaknya saja kami belum.
Masoa, lelaki itu, masih enggan beringsut dari akar pohon tempat ia berteduh dan tidur beralas dedaunan kering dan karung goni, padahal matahari mulai mengirimkan sinarnya ke hutan tempat kami berburu. Lengka, sedang memasak air saat kudengar dengungan lagu yang getir dari mulutnya yang mengatup. Aku sendiri tidak bisa tidur semalam. Aku lebih memilih merokok  dan membuat beberapa catatan yang akan ku kirim ke Sasinduan, di Siau. Sekian waktu terakhir ini, aku memang makin sering membuat beberapa catatan tentang kehidupanku dan kehidupan para tapol di kawasan penahanan kepulauan Talaud untuk kukirimkan ke Sasinduan. Informasi ini sangat dibutuhkan Sasinduan, untuk selanjutnya dikirim kejaringan pejuang kemanusiaan di luar negeri.
Tiga kawan lainnya telah masuk lebih ke dalam hutan sejak subu. Aku  memimpin rombongan kecil ini. Rombongan pemburu babi hutan yang ditugaskan Camat. Sejak sore kemarin kami sudah masuk hutan  tapi belum ada hasil apa-apa. Setelah meminum kopi buatan Lengka dan membangunkan Masoa, kami bertiga memutuskan menyusul teman-teman lainnya yang sudah lebih dulu berangkat.
“Perasaanku tak enak sejak semalam,” ujar Masoa  Wajahnya kusut. Seperti ada ketakutan yang hinggap di wajah itu.
“Jangan terlalu percaya pada perasaan. Orang tertindas seperti kita selalu dipermainkan perasaan,” tukas Lengka. Aku sendiri sejak semalam juga dibayangi perasaan yang mendebarkan. Ada apa?
“Kita harus menemukan buruan, agar kecemasan kita bisa sirna,” kataku menghibur Masoa. Lelaki itu membatin.
“Ini perasaan yang lain, bukan ketakutan karena akibat dari kita tak menemukan sesuatu dari pemburuan ini!” ujar Masoa, sambil menyesap kopi di depannya.
“Sudalah jangan dipikirkan. Berkemaslah kini segera berangkat,” pintaku. Masoa akhirnya mengangguk dan mengemas peralatan dan barang-barangnya.
Kami masuk ke hutan sebelah utara. Kawasan hutan itu terkenal menyimpan populasi babi hutan yang banyak. Kayu Raja, Batuline dan Sisak tumbuh subur di lereng yang tak begitu tinggi ini. Tapi anehnya, hingga siang hari kami berjalan, kami tak jua bertemu seekor pun. Tiga kawan lainnya telah bertemu rombongan kami. Mereka pun belum berhasil menemukan tanda-tanda adanya babi hutan di kawasan yang mereka lalui.
“Kemana babi-babi itu?”
“Mungkin disembunyikan setan di hutan ini!”
“Mungkin dari kita ada yang menyebabkan sial!” Mendengar ucapan Masoa, kami langsung saling bertatapan. Tradisi yang kami yakini membenarkan perkataan Masoa. Langit menjadi sedikit mendung, kemudian mulai bergerimis. Di selatan gunung Piapi,  pelangi melengkung ke utara dengan garis warna yang begitu tegas.
“Tapi kita semua ini kan manusia sial,” ujar Ebe, yang lagi sibuk dengan ubi bakar yang sedang di lahapnya. “Kalau bukan manusia sial, tentu kita tidak dijeblos jadi PKI,” tambanya. Kubagikan sisa rokok yang masih tersedia. Rokok itu kemudian seperti menghilangkan kerisauan yang tergurat di masing-masing wajah. Kerisauan yang sesaat terbawa pergi asap tipis yang kemudian lenyap di reranting kayu Sisak.  Hutan ini begitu sepi. Tiada bunyi burung yang mencicit. Memang tidak seperti biasanya, hutan selalu punya keramaian tersendiri. Tapi hari ini agak mencekam. Kami memutuskan terus masuk ke kaki gunung Wowon Mandeeta. Sudah mendekati senja,  kami baru melihat ada seekor babi hutan besar yang mendekati besar anak sapi, sedang bermain-main di bawah pohon Sagu yang berair. Dengan mengendap- endap aku dan teman-temanku mendekati tempat babi hutan itu. Setelah berada dalam jarak yang cukup untuk menyerang. Aku dengan cepat menombakkan sambeang kearah babi itu. Sambeangku langsung menancap di punggungnya. Sementara sambeang teman-temnanku juga ikut menancap di tubuh babi itu. Gila!  Dengan cepat babi itu melesat lari. Kami terus memburunya. Kurang lebih satu kilometer kami mengejar. Dari jarak yang tidak jauh, kami melihat babi itu menyelinap ke bawah pohon Beringin. Diikuti terdengarnya erangan yang memilukan. Erangan yang aneh. Seperti erangan manusia yang sekarat. Dalam hatiku timbul firasat lain. Perasaan yang kurang mengenakan. Tapi aku pikir babi itu segera akan mati. Kami terus mendekat ke tempat babi  yang masih mengerang-erang dengan suara yang menyayat hati. Kian dekat ke tempat erangan, kami makin pasti dimana babi itu terkapar di bawah pohon beringin besar itu. Tapi setelah sampai, ternyata babi itu tidak ada di sana. Babi itu lenyap begitu saja. Kalau babi itu lari setelah kami mendekat, hal ini tak mungkin terjadi, sebab kami telah mengepung arah erangan dari pohon beringin. Jadi jika babi itu lari, pasti akan segera kami ketahui karena kami telah mengurungnya.
            Kami mulai menyadari dimana babi yang baru kami buru adalah hantu yang menyerupai babi. Sebab kemudian, kami mendengar suara erangan babi itu telah berada di atas pohon Beringin yang sangat rimbun dengan akar-akarnya yang liar menjuntai-juntai ke tanah dan batu karang di sebelahnya itu. Seperti kumis raksasa yang tak terurus dan angker.
Tanpa membawa hasil apa-apa kami memutuskan pulang sore itu. Sesampainya di kampung, kami di songsong berita menggemparkan.  Istri Masoa, tewas di gigit babi hutan.  Orang-orang telah menyusul kami hingga ke pinggir hutan untuk mengatakan berita itu. Perkabungan mengerikan terasa menyusup ke hatiku.  Kutukan roh-roh halus yang senantiasa berkeliaran di kepulauan ini kembali meminta korban. Legenda purba yang kami yakini itu kembali terbukti. Masoa, nampak begitu pedih mendengar kabar buruk ini. Mosoa, sudah dalam keadaan pingsan ketika kami membopongnya menuju rumahnya. 
Beberapa saat kemuidan, setelah dirawat oleh seorang dukun, Masoa, siuman, tapi langsung meraung-raung dan meronta-ronta. Di depannya, Isye, istri Masoa, terbujur kaku dengan beberapa luka gigitan yang membiru di tubuhnya.
“Ia digigit babi hutan saat pergi mengambil air ke andaara,” jelas Denang, dukun yang baru selesai merawat Masoa. “Kalian menombak babi hutan tadi?” tanya Denang, padaku. Aku mengangguk.
“Babi itu membalas,” kata Denang, getir.
Setelah semuanya sedikit aman, dan Masoa, sudah agak tenang, kami pamitan melapor ke Koramil. Nanum kutukan dari awan hitam yang masih tetap mengumpal di langit kami ternyata selalu lebih dasyat setelah kami melapor ke Koramil. Apa yang kami alami? Komandan Koramil justru menganggap kami berbohong, dan dituduh tidak benar-benar melakukan pemburuan dan bermacam tudingan yang lain. Yang pasti mereka hanya mencari alasan karena perasaan kesal atas hasil kami yang sia-sia. Akibatnya, kami masing-masing kebagian hantaman keras sepatu lars ke tulang kering masing-masing.
***
Masoa Darena, sangat terpukul atas kematian istrinya. Apalagi pihak Koramil seakan tak ambil pusing dengan urusan itu. Tak ada rasa iba atau keringanan hukuman. Pihak gereja pun dingin-dingin saja menanggapi kejadian itu saat pemakaman. Wanita itu seakan pergi begitu saja tanpa kesan. Kecuali hati Masoa dan anak-anaknya yang begitu mencintai istri dan ibu mereka.
Masoa tampaknya mulai kerepotan mengurusan anak-anaknya. Bagi Masoa, malapetaka yang menimpanya semata karena akibat dari ulah Komendan Koramil yang memerintahkannya ikut berburu.
            Sepekan setelah penguburan istrinya, Masoa, mengajak kami membicarakan rencana pembalasan kepada Makawoka.  Lelaki itu telah terbakar dendam. Beberapa orang yang dipercayainya diajaknya untuk membicarakan rencana itu sewaktu kami pulang dari kerja pembersihan jalan di depan kantor Camat.
            “Kalau kita sepakat, biar aku yang melakukannya,” kata Masoa.
            “Dia itu komendan Koramil. Apa sudah dipikirkan akibatnya?” tanya Lengka, ragu. Masoa menatap Lengka dengan sorot mata tidak senang.
            “Ini lebih mempersulit kehidupan kita!” potong Ebe. Masoa wajahnya kian memerah.
            Merasakan mulai ada pertentangan pendapat aku cepat-cepat menetralisir keadaan.  “Kita semua  seharusnya memahami perasaan Masoa. Kalau kejadian itu terjadi pada istri kita, pasti kita punya dendam seperti yang dia alami saat ini.  Namun begitu,  aku sependapat dengan teman-teman, Masoa!  Upayamu untuk balas dendam  akan menimbulkan dampak lebih besar lagi.”
            “Niatku sudah bulat. Kalian boleh tidak membantu aku!” kata Masoa, sambil menatap kami dengan sinar mata kekecewaan.
            “Kami bukan tak mau membantumu kawan! Tapi tindakanmu itu akan menyeret banyak keluargamu ke kubang persoalan baru. Apa kau tega?” kata Lengka.
            “Kupikir Lengka, benar. Keluargamu akan mengalami kesulitan!” kataku meyakinkannya. Masoa, menatapku. Sinar matanya begitu dingin. Aku menyodorkan sebatang rokok padanya, tapi ia menolak.
            “Kita tidak pernah akan terbebas jika kita tetap pasrah!” gumam Masoa,  kemudian meninggalkan kami di kelokan dekat jembatan kecil menuju rumahnya. Aku sempat memandang punggung lelaki dengan hati terluka itu, seperti memikul beban amat berat.
            “Dia kecewa dengan kita,” kata Lengka.
            “Memang sangat sulit mendukung rencananya di tengah situasi yang saling tidak mendukung saat ini.”
            “Aku cuma kasihan keluarganya, yang juga akan memikul akibat dari tindakannya itu,” ujar Ebe.
            “Tapi benar kata Masoa, kita akan selalu kalah akibat tabiat kita yang selalu pasrah. Kita memang harus melakukan sesuatu, tapi harus terencana. Bukan seperti kemauan Masoa, menghabisi semua isi Koramil itu. Jumlah tentara di sini memang tidak seberapa, tapi rencana  Masoa itu akan mengundang reaksi pusat untuk membombardir kampung ini,” kataku menjelaskan.
            “Aku juga berpikir demikian,” kata Lengka. “Aku setuju kalau rencana itu kita pikirkan lagi,” sambungnya.
            “Kita cari waktu membicarakannya lagi dengan Masoa! Bagaimana Be?” Ebe, mengangguk.
            Sore itu, kami berpisah di depan kantor Koramil. Ebe, dan Lengka,  langsung pulang ke rumah mereka masing-masing. Mereka tahanan luar.  Sementara aku mendekam lagi di sel Koramil.
***
(29)
            Perahu Londe sudah kudorong ke tepi. Laut memanggilku laksana perempuan yang rindu dan birahi. Aku memang anak laut. Lelaki yang menemukan keperkasaan di atas gelombang.  Bergenerasi-generasi sejak leluhur kami menjadikan laut sebagai rahim kehidupan. Guru, dan kenyataan itu sendiri. Kami manusia di tengah laut. Dipelihara laut. Dan kali ini aku sudah siap-siap melaut. Tapi tak seperti biasa, jika ke laut hatiku bernyanyi-nyanyi. Kali ini berbeda. Ada tekanan yang memuakkan hatiku yang memaksa aku melaut.   
Besok, Komandan Koramil akan melangsungkan pernikahan anaknya. Aku diperintahkan untuk mencari ikan guna kebutuhan pesta pernikahan itu. Beberapa dari temanku juga diperintahkan melakukan pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang lebih bermakna tekanan. Tak ada bedanya dengan peristiwa-peristiwa sebelumnya di kam kerja paksa. Segalanya menjadi tak berharga, kecuali aku harus tetap hidup.
            Meria, wanita tabah ini, masih seperti kemarin-kemarin, tak jua melepaskan reka di pipinya meski kecantikannya yang dulu sudah menepi dari sana. Ia selalu ingin menyumbangkan senyum di tengah kegetiran hati kami. Keluarga yang terberai oleh suasana yang diciptakan suatu rezim. Ia telah menyiapkan bekalku.  Sore itu aku langsung berangkat. Langit di kejauhan sana melindapkan pemandangan menyejukkan hati. Tapi hatiku tetap panas. Aku manusia terpenjara. Yang terbuang dari kumpulan manusia yang dikencanakan penguasa. Manusia yang berada di luar strata manusia. Sysiphos tragedi bukan sekedar fiksi, tapi kenyataan  bagi rezim yang sedang memimpin kami.
“Tapi kau harus tetap hidup demi aku, demi anak-anak.” Bisikan Meria itu membuat aku tetap bertahan. Aku tidak bisa memilih bunuh diri seperti yang lainnya, meskipun kesempatan untuk mati sangat terbuka bagiku.
Sesampainya di tempat yang cukup dalam, aku mulai melepas tali kailku untuk mengail ikan karang. Sementara sebuah mata kail besar juga kulepas tanpa memberi pemberat tima, agar bisa terseret arus ke mana saja,  siapa tahu ada ikan besar yang memakannya. Perahu londe beberapa teman tapol lainnya juga tampak mengapung tak jauh dari perahuku. Mereka membuang sauh di sana. Londe Lengka, di sana, sekitar lima puluh meter dariku. Lelaki itu terdengar bernyanyi-nyanyi kecil. Kupikir, ia sedang menghibur hatinya. Mosoa, lelaki yang belum lama di tinggal mati istrinya itu memilih terus mendayung perahunya ke laut lepas. Akhir-akhir ini Masoa, tampak menjadi pendiam dan malas berbicara. Kemana pun kami pergi ia diam saja. Kematian istrinya sangat memukul perasaannya. Tiga orang anaknya masih kecil, kecuali yang tertua sudah menjelang remaja. Ia memang termasuk terlambat menikah. Perubahan sikapnya itu sangat mengkhawatirkan kami semua. Sebagai sesama tapol, tiba-tiba kami merasa sebagai keluarga. Kami tumbuh menjadi semacam komunitas eksklusif. Suatu eksklusifitas orang-orang terpinggir dari mayoritas masyarakat umum. Kepedihan hati seseorang terasa menjadi kepedihan kami pula. “Kemana Masoa mendayung perahunya? Jangan-jangan ia berniat melarikan diri, tapi kemana? Ataukah ia punya rencana bunuh diri?” Kulihat perahunya kian mengecil, dan kemudian menghilang bersama datangnya kegelapan mengisi gigir laut ini.
 Hampir tengah malam aku telah berhasil mendepatkan ikan goropa dan maming beberapa ekor, yang besarnya seperti betis orang dewasa. Kupikir aku harus mendapatkan lebih dari itu.
“Sudah banyak?” teriak Lengka, dari kegelapan.
“Lumayan,” jawabku. “Bagaimana denganmu?”
“Tiga puluh dua ekor!” jawabnya.
Setelah mencicipi bekal, aku memilih beristirahat sejenak. Sementara mata kail besar kubiarkan saja. Sambil merebahkan diri di papan perahu, aku berusaha mencari tidur sejenak. Di atas sana, di langit yang kelam, awan hitam bergerak kian ke utara, dan bintang-bintang bergeser ke barat.  Meteor-meteor kecil kadang-kadang melesat dari kegelapan dan hanya kesekian detik kembali ditelan kegelapan. Tak ada nyanyian, selain siulan Lengka, yang samar-samar muncul di antara debur ombak dan desir angin yang melintas di atas permukaan perahu. Aku kembali teringat Masoa. Kemana lelaki itu? Kami memang belum punya kesempatan lagi membicarakan rencananya menghabisi Makowoka. Apakah ia terlanjur kecewa, lalu membiarkan dirinya dihanyut gelombang? Tiba-tiba aku ingin berdoa agar Masoa selamat. Anak-anaknya masih membutuhkan dia. Kuucapkan doaku pada bintang-bintang di kesunyian jauh di atas. Berulang-ulang dan terus berharap Masoa selamat.
Tak terasa sudah mendekati subu. Aku dikagetkan suatu guncangan keras pada perahuku. Kail besarku bergetar. Golong talinya berputar hebat setelah kayu tempat pengikat tali itu patah di sentak kekuatan yang sedemikian dasyat. Ini pasti pekerjaan ikan besar, pikirku. Dengan cepat kurai golong tali kail, lalu melepaskan tali itu sebanyak mungkin hingga mendapatkan jarak yang lumayan untuk menariknya. Setelah kupikir sudah cukup, aku mengingatkan tali kail  senar itu ke sema-sema perahu dengan kencang. Tak berapa lama perahu berderit dan bergerak maju di tarik hentakan yang keras.  Kian lama, perahu makin laju jalannya. Aku langsung memotong tali Sau, sebab kupikir jika ikan yang memakan umpanku itu besar , maka perahu londe kecilku ini bisa patah akibat sentakan kuat ikan itu. Perahu londeku langsung melaju dengan cepat seperti dipasangi mesin tempel Johnson.
“Salasughi!” teriak Lengka.
“Mungkin!” jawabku.
“Putuskan saja. Ukurannya sangat besar!” teriak Lengka, memperingatkanku lagi.  Dalam suasana yang masih gelap seperti ini aku tak bisa mengenali jenis ikan yang memakan umpanku meski ia mulai tampak melompat-lompat ke atas permukaan air sekitar lima ratus meter di depanku. Ombak dari benturan ikan itu membuat perahuku terguncang.
“Kepas, jangan cari mati. Ikan itu terlalu besar. Perahumu akan koyak!”
“Aku akan coba menaklukannya!” balasku.
Tapi aku bisa memastikan ini pasti Salasughi. Orang menyebutnya ikan layar yang besar.  Mengalahkan ikan layar bukanlah pekerjaan yang mudah. Selain ikan jenis ini memiliki tenaga yang kuat, juga ukurannya selalu besar. Besarnya bisa melebihi tiga atau empat kali besar perahu londeku. Paling kecil saja biasanya seperti perahu londe. Kubiarkan perahuku di tarik ikan itu. Untung cuaca agak baik, jadi aku tidak terlalu sulit mengemudikan perahu mengikuti arah tarikan ikan itu.
Hari sudah merekah. Angin darat berhembus agak kuat. Cahaya kuning sinar matahari yang dipantulkan air memaksa aku harus memicingkan mata berulang-ulang agar tetap bisa melihat ke depan. Aku benar-benar masih sangat kerepotan menahan laju perahu yang terseret. Ikan ini membawaku terus ke laut lepas. Kian lama, kian ke sana. Aku mulai khawatir ketika selang 5 jam ikan itu seperti tak jua kehabisan tenaga. Matahari mulai mendaki ke ubun. Aku kehausan dan lapar. Hampir tak ada waktu sedikitpun untuk istirahat mengisi perut atau membasahi kerongkongan.  Aku berpapasan dengan beberapa perahu nelayan. Mereka menyarankan agar aku memutuskan saja senarku karena ikan yang memakan kailku itu terlalu besar. Mereka khawatir perahuku akan koyak jika ikan itu berbalik mengamuk ke perahu.  Tapi aku memutuskan untuk berusaha menaklukan ikan ini.  Sebab bagaimanapun takdirku sebagai anak laut haruslah bisa menaklukan laut. Untuk menjaga jarak aku melepaskan lagi senarku beberapa kaki. Tapi dengan cepat senar itu menjadi kencang kembali. Laju ikan ini kurasakan seakan melesat seperti peluru.
Terik memanggang hingga sekujur tubuhku terasa gosong. Aku berusaha tidak lengah sedikit pun, sebab jika aku tidak bisa mengikuti irama dan arah tarikan ikan ini, perahuku bisa terseret melintang, berarti itu malapetaka, karena perahu ini bisa patah. Sudah mendekati malam ikan itu terus menarik perahuku. Mungkin aku sudah terseret ratusan mil dari pantai. Pulau  sebesar Karakelang mulai kulihat seluruh cekungannya, dan kian lama, kian mengecil. Aku mungkin telah terseret ke lautan Fasifik. Gelombang Fasifik mulai terasa meski musim tenang.  Perahuku terus berputar tanpa arah yang pasti. Aku mulai was-was. Namun jika kulepaskan ikan ini, aku merasa sia-sia usahaku setelah seharian berjuang mengalahkannya. Aku mungkin sudah mendekati batas perairan kepulauan negara Jiran.  Samar-samar aku mulai melihat kapal-kapal asing yang lewat. Sudah mendekati subuh, ikan itu belum juga kehilangan tenaganya.  Pulau Karakelang sudah lama tak terlihat lagi.  Bekal yang disediakan Meria sudah habis, ketika semalam aku menyempatkan makan sambil terus menjaga jarak dan arah tarikannya. Sementara ikan ini belum juah kukalahkan. Ratusan ekor ikan Kuhia muncul di dekat perahuku. Kuhia-Kuhia atau lumba-lumba itu seperti mau berpacu dengan perahuku. Aku kian khawatir jangan-jangan Kuhia-kuhia ini memotong di depan perahuku dan terjadi benturan yang bisa membuat peraku hancur.  Untung ikan-ikan itu tetap melaju lurus searah perahuku. Aku baru ingat ketika pagi merekah lagi, dimana pesta perkawinan anak komendan Koramil itu pasti sudah lewat kemarin.  Maka mendapatkan ikan ini tentu tidak penting lagi bagi kebutuhan pesta itu. Aku mulai merasa ini semua, tak lebih dari usaha  sia-sia. Usaha ini tidak ada artinya. Sebab bagaimana pun, aku pasti mendapatkan hukuman atas tuduhan kelalaian ini. Mereka tidak akan peduli dengan alasanku. Bagi mereka perintah itu harus dipatuhi dan tepat waktu. Mereka tidak mau tahu aku mau mati atau diseret ikan ini ke neraka sekalipun. Bagi mereka hasil yang paling penting.  Di kejauhan sana, ikan itu membanting badannya setelah melompat ke udara agak tinggi. Aku terkesiap melihat besar ikan itu. Baru ini kulihat ikan layar sebesar itu. Benar, ikan ini sekitar dua atau tiga kali ukuran perahuku. Melihat ikan sebesar itu, niatku untuk menaklukkannya tiba-tiba sontak dan menggebu. Padahal niatan itu sudah mulai sirna, karena aku sudah mulai lapar lagi. Sudah dua hari dua malam aku di seret ikan ini berputar mengelilingi Talaud hingga ke kawasan Fasifik. Banyak perahu dan kapal yang berpapasan denganku melihat kegigihanku. Mereka terheran-heran. Bahkan banyak yang menyempatkan diri membuat foto penaklukan ini. Sebuah kapal mungkin berbendera Inggris, sempat melemparkan bekal ke arahku, ketika mereka berusaha mendekatiku. Mereka menawarkan diri mau menolongku. Tapi aku menolaknya bagiku mengalahkan ikan ini adalah suatu prestasi tersendiri, biar pun konsekuensinya aku akan  terseret ke negeri manapun di dunia ini. Yang penting bagiku ikan ini harus berhasil ku taklukan.  Malam ke tiga, kelelahanku mulai memuncak. Melihat cuaca teduh, tali kailku kuikat dengan posisi segi tiga di depan perahuku yang terkancing di sema-sema. Maksudku agar perahuku bisa berputar sendiri mengikuti arah ikan itu menyeret. Pada saat  itu tiba-tiba aku ingat mantra peremuk tulang. Aku belum mencobakan sekalipun. Kekuatan mantra ini konon sangat ampuh. Memang “berang ese” ini diperuntukan pada perkelahian antar manusia. Tapi kepada ikan? Kupikir tiada salahnya mencobanya. Kuraih tali senar itu, lalu aku mulai merapalnya :
Ual patah ual
Kau patah siri
Ual patah ual
Kau Patah siri
Ual Patah ual
Kau Patah siri
(lalu aku menguncinya dengan dua kata rahasia)
Setelah semuanya beres, aku berusaha untuk tidur sejenak. Tengah malam aku baru terbagun, karena terasa perahu diam dan hanya digeser oleh arus. Aku yakin ikan di ujung kail sana sudah kelelahan, atau mungkin mantra itu telah meremukkannya.  Dan kalau mata kailku ditelannya, pasti ikan itu sudah mati karena kehabisan darah dari sobekan mata kail di usus besarnya.  Perlahan aku mulai menarik senar. Gilanya, yang bergerak mendekat bukan ikan itu, tapi perahuku. Tapi hal itu terus kulakukan. Karena sudah subuh, dari jarak seratusan meter aku melihat sesuatu yang besar tampak mengapung di sana. Ikan itu sedemikian besar. Aku menjadi kecut mendekat, jangan-jangan ikan itu masih hidup. Aku berharap ada perahu yang lewat agar aku bisa meminta pertolongan mereka. Dalam keadaan sedemikian risau, aku memutuskan untuk berhenti menarik senar itu. Untuk membuang sauh tak mungkin, karena laut ini terlalu dalam. Pulau Karakelang masih tidak terlihat. Aku memutuskan untuk istirahat sambil menyantap bekal pemberian kapal asing kemarin.  Setelah mengisap sebatang rokok, aku memilih merebahkan diri kembali menanti pagi. Diam-diam aku bersyukur karena Tuhan berada di dekatku selang tiga hari dalam penaklukan ini. Buktinya ia memberiku cuaca yang indah, dan semangat yang tak terkalahkan oleh sungut dan putus asa. Aku kembali tertidur.
Sekitar beberapa jam kemudian aku dikagetkan bunyi deru mesin motor tempel. Dengan cepat aku bangun. Tak jauh dari perahuku, tampak Tiga perahu pamo  sedang mendekat ke arah perahuku. “Kepas, ini kami.” Kudengar suara lelaki itu. Itu pasti suara Lengka. Sekitar seratusan meter aku langsung mengenal karibku itu.
“Lengka!” seruku.
“Kau gila!” teriaknya.
“Biar!”
“Mana ikanmu?”
Aku menunjuk ke arah bongkahan besar yang mengapung di belakang perahuku. Tiga pamo itu terus merapat ke londeku.
“Sudah mati,” teriak salah seorang dari pamo yang mendekat kearah ikan.
“Kepas! Pindahlah ke pamo!” ajak Lengka.
“ Tidak. Aku harus pulang dengan londeku!”
“Dasar lelaki gila!” teriak Lengka, lalu membuang tali gandengan untuk londeku. Sementara, ikan layar yang ternyata berukuran sekitar sepuluh meter itu, harus digandeng dengan tali karena pamo yang menjemput tak cukup untuk memuat ikan sebesar itu. Aku sebenarnya telah menyarankan untuk memotong-motong ikan itu. Tapi semua pemilik pamo tidak setuju karena mereka takut darah ikan itu akan memancing datangnya hiu di sekitar kepulauan ini.
Sejam kemudian kami telah pulang beriringan. Tiba-tiba aku merasa sebagai seorang pahlawan yang pulang dengan penuh kemenangan. Kopi hangat yang diberikan Lengka, membuat tubuhku segar kembali. Sambil merokok di atas londe kudengar percakapan orang-orang di tiga perahu pamo yang berjalan di depanku. Aku sendiri di atas londeku. Mereka pasti memuji keuletan dan keberanianku. Tapi aku tahu, di pantai sana aku sedang ditunggu suatu hukuman bukan tampik kemenangan dan pujian. Tapi bagiku, semua itu tak ada artinya. Bahwa dalam sejarah kehidupanku, bagaimana pun aku telah membuktikan diri sebagai anak laut. Lelaki yang bisa mengalahkan kedasyatan laut. Lelaki yang diberkati Empung Taghaloang.  Ditembak sekalipun di pantai sana, aku masih merasa lebih berarti ketimbang aku terkalahkan oleh ikan ini. Sebab satu-satunya takdir manusia adalah mengatasi alam, bukan dikalahkan oleh alam. Orang yang kalah oleh desakan alam, ia tak berhak menyandang gelar sebagai manusia. Sebab untuk menjadi manusia, seseorang harus merebutnya dari alam. Dan aku telah melakukan itu yang kesekian kalinya, pikirku.
Setelah lima jam perjalanan, aku baru bisa melihat keramaian di pantai sana. Para penduduk Essang tampak memenuhi pantai itu. Samar-samar kulihat satu-satu orang-orang yang menantiku. Meria, di sana. Cintaku itu, seperti bayangan malaikat yang anggun dengan kecantikan yang sempurna yang terpatri di sana. Aku tahu ia telah mengenaliku. Setelah tiga hari lebih aku bertarung dengan ikan, aku hampir lupa kalau di daratan Essang ini ada seseorang menantiku. Penantian yang pasti diliput serentetan doa dan pengharapan pertolongan Sang Maha Pencipta. Kuyakini itu. kami memang keluarga yang tersesat dalam lorong hitam penyesatan politik. Tapi kami mungkin keluarga yang lebih memahami Tuhan secara sederhana karena penyesatan itu. Dan kami selalu merasakan buah-buah kasihNya dalam setiap kepedihan yang kami alami. Sekaligus keakraban dengan Tuhan itu membuat aku sering membenciNya, karena ketidakberpihakanNya dalam keinginan-keinginan kami. Kemisteriusan Tuhan itu membuat aku mengenalNya lebih nyata dari mereka yang mungkin hanya menjadikannya sebagai gaya hidup. Bahwa untuk diakui sebagai manusia saleh banyak orang bergaya dengan mengikuti berbagai ritus dan dogma. Tapi Tuhan yang bagiku kadang-kadang menjengkelkan itu adalah sesuatu yang nyata dalam ketiadaanNya. Karena ketiadaanNya itu membuat Ia selalu ada. Karena Ia berbuat dalam hal-hal yang justru tak disangka dan berbeda dengan yang diinginkan.
Beberapa saat kemudian aku telah berada di pantai. Hampir semua wajah menatapku dengan takjub, kecuali isteriku yang menyambutku dengan air mata. Orang-orang tampak ramai bahu- membahu menarik ikan yang panjangnya seperti dua perahu pamo itu. 
“Aku senang kau selamat!” kata Meria. Aku memeluknya. Aku tidak sibuk lagi dengan ikan itu. Setelah pamit kepada isteriku, aku langsung menuju kantor Koramil. Aku harus melaporkan apa yang kualami.
Makawoka, yang mulutnya sudah berbau Cap Tikus, menghadiahiku beberapa tamparan keras. Beberapa butir air mataku melesat ke lantai. Tapi aku tidak menangis. Aku anak laut yang baru memetik kemenangan atas ujian alam. Makawoka, bukan apa-apa. Ia hanya lelaki yang tak berdaya yang berlindung di balik seragam lorengnya, dan senjata yang setiap saat terselip di pinggangnya.
Oleh komendan jaga, aku diperkenankan pulang siang itu. Di sepanjang jalan, sayup-sayup ku dengar orang-orang mencakapkan diriku, dan peristiwa-peristiwa yang kualami. Padahal sedikitpun aku belum bercerita tentang hal itu. Lalu cerita seperti apa yang mereka rangkai di sana. Suatu keganjilan yang aneh yang melanda pola hidup masyarakat di kampung ini.
***


BAGIAN  : XI

Kegilaan Yang Gila








(30)
     Oliander di empat penjuru makam Franseska Matiti telah berbunga. Daun-daunnya hijau halus yang betuknya runcing menandahkan kesuburan  pohon yang cabang-cabangnya menjejar itu. Warna kembangnya pink muda dan penuh. Berumbai seperti mahkota peri perempuan yang cantik.
Saat kami tiba, angin menggoyangnya seperti empat penari di bawah sinar pagi. Gemulai dan menakjubkan. Waktu telah membuat bunga Oliander ini bertumbuh dengan carang-carang yang banyak dan pucuk-pukuknya menyangga tangkai-tangkai bunga yang merimbun. Beberapa carang yang kecil luruh ke arah tanah. Dan yang besar, menjulang lurus namun tak begitu tinggi.
Sisa angin selatan yang menghembus dari lautan Fasifik yang datang dari arah depan pulau ini menggugurkan dan menebar banyak kembang Oliander ke dada makam itu. Pemandangannya kemudian tampak seperti makam para bangsawan kerajaan yang bertabur bunga. Ada yang telah mengering dan menghitam. Tapi banyak yang masih segar dan berembun ketika aku dan Meria tiba di sana.
Kami menyempatkan diri berziarah pagi itu. Meria tersenyum melihat tanamannya telah berbunga. Waktu ke Filipina tempo hari ia gagal menanam Oliander di empat penjuru makam ini. Ia sedih ketika mendapati tanamannya mengering, dan tak berbekas. Tapi kali ini ia begitu senang.  Bunga-bunga yang masih segar itu tentu  baru gugur semalam dihempas angin. Seperti biasa, Meria akan segera mengambil sapu dari lidi daun Enau yang sengaja disimpannya di balik kepala makam dan mulai menyapu makam itu sampai ke bagian halamannya. Aku sendiri mengerjakan pembersihan pada semak-semak yang mulai menjalar hingga ke halaman kuburan itu.
            Dan semua pekerjaan itu, dan pemandangan-pemandangannya membuat aku terkenang Franseska Matiti. Ia mungkin sedang pedih hari-hari belakangan ini. Mungkin juga semenjak kepulangan kami dari Filipina arwahnya menjadi tak tenang.
“Hatiku akan tenang jika kalian bisa keluar dari kutuk di kepulauan ini,” kata Oma Tua waktu itu. Aku selalu ingat keinginannya. Mertuaku   mengharapkan aku bisa membimbing keluargaku menuju tanah pelarian. Dan sekarang apa yang akan dia katakan seandainya ia menyaksikan semua kejadian yang kami alamai.
“Bila kamu sudah siap, pulanglah,” pesan Franseska padaku.
“Kini kami sudah di sini. Kami sudah pulang!” desisku perlahan. Tapi kuatkah dia bila melihat segala yang kami alami? Terutama kejadian yang dialami cucunya Dian, dan dendam yang terus bertunas di hati Herkanus dan Yulin. Apakah perempuan tua itu  sedang sedih di alam sana? Semua pertanyaan itu meliar keluar masuk dalam pikiranku. Yang pasti kami tertangkap kembali oleh takdir. Dipulangkan takdir ke tanah penuh pergumulan ini.
            Akupun sudah lama  tak mendengar kabar dari penyair tua di port Davao. Lelaki yang selalu penuh pengajaran yang membuat hatiku lega. Apakah ia masih hidup atau sudah mati. Aku masih ingat padanya, semua kenangan tentang dia. Giginya yang menghitam dan tawanya yang memancar ketabahan. Atau penyamarannya sebagai orang Dagos Argava yang membuat aku terkejut. “Dunia seperti berlapis-lapis ketak-kemungkinan!” “Semuanya mengejutkan!” tandas si penyair kekasih sang angin itu,  waktu itu.
Kerinduanku padanya seperti kekasih yang menanti. Tapi kapan dipertemukan kembali? Lalu, Masoa yang mendayung perahunya menuju lautan terbuka apakah ia selamat? Dimana ia menambatkan diri, melepas keluh kesah yang menggumpal di hatinya? Apakah meteor-meteor kecil yang muncul di kegelapan langit ketika itu, mendengar semua doaku, dan mengabulkannya? Sudah beberapa pekan berlalu, tapi kami tak juga mendapat kabar tentang dia. Upaya pencaharian dirinya sudah di hentikan. Datu Banua sendiri sudah punya firasat, lelaki itu telah meninggal. Apakah ia tenggelam dihempas gelombang Fasifik, atau mati kelaparan di tengah samudera raya sana? Tak ada yang tahu pasti, kecuali Datu.
“Aku sudah bertemu dia dalam mimpiku. Ia pamit pada kita semua,” jelas Datu padaku ketika aku mampir di rumahnya pekan kemarin.
Aku benar-benar kasihan pada anak-anaknya yang ia tinggalkan. Mereka harus berjuang sendiri menghadapi hidup yang begini keras. “Segala sesuatu ternyata adalah serangkaian ketidak-pastian. Kepastian ternyata hanya kematian,” bisikku pada diri sendiri. Seperti Oliander yang tumbuh dan mati. Lalu istriku menanamnya kembali hingga kini berbunga, dan yang tua gugur menghitam. Dan yang segar jatuh terhempas angin ke atas makam. Betapa sederhana riwayat manusia, seakan berlangsung dalam beberapa episode saja kemudian tamat. Dan perjuangan bertahan menjalani episode-episoede itu ternyata begitu sulit dan mendedah.
            Sudah agak sore aku dan Meria meninggalkan makam Franseska. Semuanya telah bersih dan terlihat rapi. Meria begitu puas.
Beberapa saat sesampainya di rumah,, aku disodori Meria sepucuk surat dari yulin dan Jack. “Aku lupa memberikannya padamu tadi,” kata Meria. “Mau kubuatkan kopi?” tanyanya. Aku mengangguk sambil menyobek sisi emplop surat itu lalu duduk di kursi dekat pintu dapur. Angin menyusup dari pintu yang baru dibukakan Meria. Ia mengamatiku dengan seksama ketika aku dengan girang mengeluarkan lembaran surat itu. “Boas sempat mampir ke mari kemarin. Ia yang mebawa surat itu. Katanya dititip sekretarisnya Tuan Argava. Ia juga membawa senjata milikmu yang ia pinjam tempo hari,” jelasnya kemudian.
            “Dimana senjatanya?”
            Meria menunjuk sebuah kotak kecil dari kardus yang ada di atas meja kecil di dekat jendela. Aku menoleh sejenak ke meja yang ditunjuknya. Aku melihat kotak kiriman itu.
Kangenku pada anak-anak itu membuat aku cepat-cepat  membacanya agak keras agar Meria juga mendengar isi surat itu. Sementara ia sudah disibukkan menyiapkan kopiku.

Papa dan Mama Tersayang

Salam kasih.
Kami baik-baik saja. Kami berharap Papa dan Mama dalam keadaan yang sama. Kami memang tak dapat memberikan sesuatu yang dapat membuat kehidupan Papa dan Mama menjadi lebih baik, kecuali kiriman uang secukupnya. Kami sebenarnya mampu memberikan lebih banyak dari itu, namun kami khawatir jika semuanya akan dapat membuat kehidupan Papa dan Mama lebih sengsara lagi. Sebab kami yakin setiap perkembangan orang Tapol terus dipantau penguasa. Namun kami sangat berharap, Papa dan Mama bisa bertahan, dan selalu punya semangat hidup. Sebab Papa dan Mama haruslah ikut menjadi saksi dari aksi-aksi pembalasan yang akan kami lakukan. Jika alam menghendaki lain, sejak kini kami mau mengatakan bahwa hari pembalasan itu tetap ada, kecuali kami mati.
Kabar dari Herkanus, ia kini bergabung dalam kelompok pergerakkan  internasional. Ia telah memilih jalan itu demi merebut kembali tanah air, bumi pertiwi Indonesia yang ia cintai, yang kini koyak moyak disobek oleh rezim tiranik.
Aku sendiri masih di sini bersama kelompok suamiku. Kami telah melakukan serangkaian persiapan yang telah mencapai tingkat kematangan. Di seluruh Indonesia kami telah punya jaringan bawah tanah yang siap bergerak menumbangkan rezim dari tanah Babel itu.
Herkanus dan kelompoknya telah melatih para partisan pergerakan berbagai teknik merangkai bom dan membuat persenjataan. Indonesia lama tinggal menunggu waktu Papa. Tunggulah saat-saat kemenangan itu jika mungkin. Sebab Indonesia lama memang harus dihancurkan demi bangkitnya Indonesia baru. Jika tidak, maka kami adalah generasi yang selamanya tidak memiliki tanah air. Kami seperti musafir yang tersesat. Maka tak ada pilihan kecuali menjumpai hak kami di bumi pertiwi itu dalam hidup atau mati.

Peluk cium anakmu.
            Yulin dan Jack

            Meria hanya bisa menangis mendengar isi surat anaknya. Perasaanku sendiri begitu tercekat. Seakan ada sesuatu yang menyumbat dadaku. Waktu memang berlari seperti peluru, menerjang segala yang menghadangnya. Surat dari Yulin mengabarkan adiknya Herkanus, kini terdaftar sebagai anggota kelompok pergerakkan internasional, mendorong aku harus memeluk ibunya. Ia agak terguncang. Mungkin banyak bayangan menakutkan menyerbu pikirannya. Ia harus ditenangkan.
“Kurasa, dendam di hati anak itu, telah tumbuh sedemikian rupa. Aku tahu, suatu saat ia akan ada di negeri ini dengan program-program penghancuran yang telah ia siapkan,” bisik Meria padaku. Air matanya meleleh ke dadaku. Air mata yang hangat tapi mendesirkan  kepedihan.
“Kita harus bisa menghadapi ini semua,” kataku menghiburnya. Rambutnya yang kusut-masai kusisir dengan tanganku. Aku berharap ia merasakan kelembutan ini dan bisa tenang.
Beberapa saat ia mendongakkan wajahnya ke arahku. Aku menciumnya sebelum melepas pelukanku. Meria kemudian bisa tersenyum indah. Seindah siluet senja yang menerobos dari celah rerimbunan pohon Ketapang dan menimpah rumpun-rumpun bunga Krokot merah di halam depan rumah kami. Aku tahu, perasaan Meria kini lebih lega. Setelah mengambil kotak kardus yang berisi senjata kecilku  jenis Long River 28 dan menguburnya di suatu tempat penyimpanan tak jauh dari rumahku, aku pun kemudian  pamit padanya untuk pergi ke Koramil. Tak lupa, kopi yang dibuatnya kusesap cepat hingga tandas. Sebelum aku pergi, ia masih sempat menyisipkan beberapa rupiah dari kiriman anaknya yang baru diterimanya bersama surat itu, padaku, untuk keperluan rokokku.
Dalam perjalanan ke Koramil, hatiku masih saja dikerubuti bermacam-macam pikiran. Semuanya memberatkan hatiku. Malamnya pun semua itu membuat aku sulit menemukan ketenangan untuk tidur.
Berhari-hari aku selalu bagun kesiangan, sebab malamnya aku baru bisa pulas menjelang pagi. Aku tiba-tiba sampai pada pertanyaan sesungguhnya kehidupan ini apa, jika seorang manusia tak pernah kuasa atas keinginannya, cita-citanya. Siapakah anak-anakku jika kemudian mereka tidak berada dekat dengan keinginanku. Atau diriku sendiri yang berjalan dalam rel hidup yang senantiasa tak kumengerti. Segalanya dijajah keadaan. Dibentuk oleh situasi. Aku kemudian menjadi seseorang yang paling resah dan bingung.
“Jika hari pembalasan itu tiba, apakah ini jawaban terbaik bagi persoalan kami?” tanyaku pada keheningan di luar sel sana.  Di sisi lain, aku seperti menemukan keyakinan bahwa keadaan yang aku alami dan dialami para tapol justru gambaran paling tegas dari hidup itu sendiri.  Dimana kehidupan sejati adalah ketika kita berada di tengah gejolak. Lalu, keinginan siapakah sebenarnya yang berlaku dalam takdir seorang manusia, jika manusia itu sendiri tak pernah kuasa atas keinginannya sendiri. Seorang manusia, tak pernah sekalipun bercita-cita menderita. Lalu siapa yang menulis ayat-ayat penderitaan dalam hidup ini? Kalau itu datang dari kehendak Sang Pencipta, apakah sedemikian ini Ia mempermainkan nasib manusia. Lalu siapakah manusia di tengah keinginan Tuhan?
            Sekali waktu, Sasinduan menertawakan permenunganku semacam ini. “Itu kesesatan pikir Kepas. Sebab ada wilayah yang tak tejangkau dalam perspektif berpikir semua ciptaan. Lihatlah hewan, mereka hidup dangan naluri. Sedangkan manusia dengan akal. Lalu Tuhan? Ia kearifan itu! Jadi ada yang tak terjangkau oleh isi  kepala kita. Untuk mencapainya hanya lewat lorong yang namanya iman,” jelas Sasinduan.
            Memang banyak hal yang selalu kupikirkan semenjak aku dipindahkan dari Essang ke Beo. Banyak kegiatan pembangunan fisik di Beo, menyebabkan beberapa Tapol dari Esang pun ikut ditarik ke Beo. Aku dan istriku bagian dari keluarga Tapol yang dipindahkan ke Beo. Di Beo aku dan istriku tinggal di desa Makatara. Aku membuatkan gubuk yang tidak begitu besar dari ramuan kayu-kayu bulat dan atap daun rumbia. di tanah yang pernah kami beli sekembalinya dari Filipina tempo hari. Di sana Meria tidak begitu jauh dari makam ibunya yang terletak di ujung kampung.  Jadi bila ia sedih, ia dapat dengan cepat berjalan ke makam ibunya untuk melepaskan kesedihannya di sana. Akupun sudah meminjam tanah kepada famili untuk ia bisa berkebun. 
Seperti biasa, berbagai pekerjaan berat kami kerjakan di kota kecil ini. Mulai dari pembangunan fasilitas perkantoran hingga pembuatan parit. Sedangkan tekanan yang dilakukan tentara pada kami tak juga surut.
            Banyak Tapol yang mengeluh dan mulai sakit. Tak tahan menghadapi tekanan yang kian hari kian berat. Beberapa dari kawan kami sesama Tapol akhirnya menjadi gila.
Sedangkan Lengka, pada suatu pagi ditemukan mati bunuh diri dengan menggantungkan dirinya di tepi hutan di Pulutan. Kematian Lengka menjadi semacam kepunuhan historis suatu garis keturunan. Pertama ia kehilangan istri dan anak-anaknya, kini dirinya. Lelaki tabah itu ternyata tak mampu juga menghadapi hempasan angin penderitaan yang ditiupkan penguasa.
            Di tengah kepedihan yang mengigit itu, aku bertemu dengan seorang wartawan. Dixti nama wartawan itu. Pertama kami bertemu pada saat aku sedang membersihkan parit di depan kantor Koramil. Ia mungkin kasihan padaku dan memberikan aku sebungkus rokok ketika itu. Ia masih muda dan belakangan dalam pertemuan kami yang lain, ia ternyata sangat antusias dengan persoalan-persoalan kemanusiaan yang dialami para korban stigmatisasi PKI di kepulauan kami. Ia sesusngguhnya anak seorang tentara. Tapi ia memilih jadi jurnalis. Lewat motivasi laki-laki muda itu, kemudian aku berkesimpulan untuk menulis kesaksian dari para Tapol, terutama kesaksianku tentang apa yang terjadi pada diriku, termasuk yang dialami teman-temanku. Tapi sayang pertemuan kami yang dilakukan secara rahasia di rumahku di Makatara akhirnya tercium tentara, hingga suatu ketika aku ditangkap dan dituduh telah membocorkan rahasia negara kepada pihak wartawan. Aku didera habis-habisan. Tubuhku kian hari kian lemah, sehingga suatu saat aku memutuskan membuat siasat berpura-pura jadi gila. Pilihan siasat ini memang memiliki resiko karena awalnya akan dianggap sebagai sesuatu yang dibuat-buat.
            Hari ini Meria mengunjungi aku di sel. Setelah sepekan memikirkan  rencana siasat gila itu, kini aku sudah bertekad akan mengutarakannya kepada Meria. 
“Menjadi gila? Aku tidak setuju,” protes Meria padaku. Ia dengan tegas menunjukkan sikap tak senang atas gagasanku itu.
“Tinggal ini satu-satunya jalan agar aku punya banyak waktu menulis kesaksian itu,” jelasku membujuk Meria.
“Apa kamu bisa melakukannya dengan sempurna?”
“Aku akan mencoba, dan melakukannya dengan baik!” kataku.
“Seperti filem saja,” kata Meria.
“Tolong pikirkan,”pintaku.
“Moga kau kuat melakukannya,”katanya.

Panjang lebar kami membahas rencana itu. Awalnya ia begitu khawatir dengan resiko-resiko yang akan terjadi padaku. Aku kemudian menjadi senang, karena Meria bisa menerima gagasanku itu. Atas dukungan Meria aku menjadi berani mengambil resiko itu. Sebab bagiku sisa waktu diusia yang kian senja seharusnya aku memiliki saat-saat yang indah bersama istriku. Dan aku harus melakukan sesuatu yang berarti bagi kehidupan. Toch Tuhan yang maha scenario itu kupikir telah menuliskan jalan hidupku, Jika ada keinginan berperan dalam gila, mungkin ini bagian dari tragedi yang penuh sensasi dalam drama besar yang diinginkan penulisnya. Ya Tuhan itu sendiri!
            Dibutuhkan sepekan lagi mempertimbangkan rencana itu. Setelah siap, pada suatu malam Senin aku mulai aksi gilaku dengan berteriak-teriak seperti orang gila yang kesurupan. Pada hari sebelumnya aku sudah berdoa sepanjang hari, agar aku mendapatkan kekuatan untuk aksi ini.
Melihat acting gilaku, aku menjadi geli. Aku sendiri merasa ini suatu tindakan paling gila dan membuat aku tertawa sendiri. Untuk menenangkanku, beberapa petugas menghajarku hingga pingsan.
“Sial! Sakit juga aksi gila ini!” kataku pada diri sendiri setelah siuman.
Keesokannya aku tersadar, tubuhku teramat sakit. Namun semangatku untuk terus melancarkan siasat ini tak surut sedikitpun. Aku kembali berteriak-teriak sambil menyobek-nyobek bajuku hingga telanjang. “Astaga! penisku tergantung seperti lelaki tua yang tak berdaya.” Bukankah ini pemandangan yang memalukan? Tapi biarlah, semua ini harus kulakukan pikirku. “Namun bagaimana kalau tiba-tiba kemaluanku ereksi jika melihat perempuan?” Ini benar-benar suatu kesulitan yang tak mudah teratasi! Bila yang terpikirkan adalah selangkangan Senona, gadis Filipina yang kulitnya begitu halus, atau leguhan suaranya yang lirih menggairahkan saat senggamah denganku tempo hari. Astaga! Ia pasti mengeras dan sulit terjinakkan. Moga aku tak memikirkannya.  
Para petugas itu mulai menyangka kalau aku benar-benar sudah gila. Berbagai deraan baru mereka lancarkan tapi aku tak peduli. Niatku sudah bulat. Aku memang sudah tergila-gila dengan siasat gila ini. Andaipun jika satu saat aku menjadi benar-benar gila, tak apalah, karena memang aku telah bosan hidup waras tapi diperlakukan secara tak waras.
Tapi diam-diam aku terus berdoa kiranya Yang Kuasa            memberikan kekuatan padaku untuk tetap waras dalam aksi gila ini. Jika aksi ini berhasil maka akan banyak hal yang dapat kuceritakan di kemudian hari kepada siapa pun yang membaca kesaksianku bahwa di sepenggal bumi ini, di daratan terutara dari negeri yang belum lama merdeka, sesunghuhnya telah hidup seorang penguasa yang lebih jahat dibanding penjajah asing. Dan demi cerita memedihkan itu, aku harus tetap waras agar bisa terus menulis kesaksian itu.
***
(31)
Setelah sepekan aku melakukan aksi gila, akhirnya pihak Koramil memulangkan aku ke rumah. Seorang matri desa yang mengerti persoalan yang kualami dengan senang hati memberikan rekomendasi keadaan diriku. Kepada pihak penguasa sang mantri  memberikan keterangan bahwa aku mengalami gangguan kejiwaan. Mantri desa itu melakukan semuanya atas permintaanku. Dan aku kian yakin betapa unik kehidupan ini, di mana di tengah padang kebencian selalu saja ada secuwil kebaikan.
Jadi, selain Meria, mantri itu pulalah yang tahu bahwa aku sebenarnya tidak gila. Namun karena sekali sudah memutuskan menjadi gila, maka kemanapun, dimanapun aku harus tampak sebagai orang gila. Seluruh warga kampung akhirnya mengenaliku sebagai orang gila. Keculai istriku dan sang matri desa. Mereka tahu aku waras. Dan kegilaan yang kami sepakati adalah suatu tindakan paling waras untuk menghadapi penindasan para penguasa yang gila kekuasaan.
            Selama di dalam rumah aku hidup wajar seperti biasa. Tapi jika sudah keluar halaman aku harus menunjukkan sifat kegilaanku. Setiap saat aku mengikuti istriku ke kebun aku harus bermain peran gila itu di sepanjang jalan. Tingkah anehku itu membuat Meria kadang-kadang merasa geli sekaligus kasihan.
            “Kau seperti orang gila saja,” katanya berkelakar.
            “Aku memang sedang gila,” kataku
            “Sedang gila atau tergila-gila pada gila?”
            “Apa aku benar-benar sudah gila?”
            “Mungkin!” katanya diselingi derai tawa yang indah, “kamu punya bakat jadi bintang film!”
            “Ya! Itu sudah pasti. Judulnya; Si Kepas yang gila, bersama istrinya yang tergila-gila pada orang gila!” kelakarku.
            “Atau kamu benar-benar sudah gila?”
            “Waras!”
            “Gila!”
            “Kamu yang gila!”
            “Aku waras!”
            “Hanya orang gila yang mengatakan dirinya waras!”
            “Jadi?”
            “Aku tak tahu. Tapi semua ini benar-benar gila!” kataku.
            Meria terbahak dan melempari aku dengan bika. Aku sangat senang bisa membuat  wanita yang kucintai itu gembira.
            Kadang-kadang aku harus melempari anjing dengan panggi atau uwi, agar orang-orang yang melihatku terus yakin kalau aku gila. Di mana-mana dan ke mana-mana orang-orang mengolok-olokku seperti mengolok orang gila sungguhan. Kadang-kadang olokan itu memedihkan hatiku. Tapi aku sadar, mereka mengolokku karena aku gila. Paling tidak pada tindakan kegilaanku. Tak terkecuali pendeta lelaki itu. Ia tak seperti pendeta Simon Andrian. Pendeta Ronald Kolotidi dalam sikapnya tak memancarkan keagungan seorang pelayan Tuhan. Ia materialis dan suka meneguk minuman keras.  Ia sering juga menghardikku seperti menghardik orang gila. Padahal aku tahu aku tidak gila. Tiba-tiba dalam peranku seperti orang gila, aku menemukan kenyataan sesungguhnya manusia-manusia yang mengaku waras itu adalah sosok-sosok gila yang hidup dalam ketidak warasan yang aneh. Mereka tega menyakiti dan menjahati orang lain untuk sekadar memuaskan nafsu iseng mereka.
            Di sisi lain, dalam kegilaan yang kuperankan, aku menjadi orang paling merdeka yang bisa berkeliaran di mana dan ke mana saja yang kuinginkan. Aku bisa masuk gereja meski hanya duduk di lantai luar dekat pintu. Kerinduanku mendengar Firman Tuhan  yang selama ini tertutup bagi keluarga kami kini mulai terpuaskan. Sebab sebagai manusia waras yang di tuduh PKI aku tak punya hak untuk masuk gereja. Kini sebagai orang gila aku bisa masuk meski hanya sampai depan pintu gereja. Yang penting bagiku, aku bisa mendengarkan firman-firman yang ajaib itu. Malahan kadang-kadang aku dapat mendengarkan para majelis yang berkumpul di konsistori sedang membicarakan hal-hal yang tabuh bagi mulut seorang Pinolung seperti mereka. Aku dengan mata kepala sendiri pernah menangkap basa seorang majelis yang secara diam-diam mengambil segenggam uang receh derma dari kotaknya lalu dibelikan rokok di warung. Astaga! Ini benar-benar kejahatan yang dilakukan di depan Tuhan.
Dalam kegilaan ini segala sesuatu tiba-tiba menjadi gampang kuketahui. Toch siapa yang peduli pada kesaksian seorang gila seperti aku. Di otak mereka mungkin telah tertanam keyakinan dimana Tuhan sekalipun pasti tidak percaya akan kesaksian seorang gila. Kegilaan ini tiba-tiba merupakan bagian paling menarik dalam hidupku. Aku tak terkecuali lagi. Aku bebas ke mana pun aku suka. Aku bisa nonton bola. Aku bisa mengunjungi pesta seni dan pesta adat. Aku bisa apa saja. Tapi semuanya harus kulakukan dengan cara-cara kegilaan. Kadang-kadang untuk meyakinkan bahwa aku ini orang tak waras, aku mesti melepaskan pakaian dalamku di tengah jalan ketika banyak orang berkerumun. Gilanya, tingkah gilaku ini kadang-kadang membuat aku lupa kalau aku ini sebenarnya manusia waras. Karena sudah terbiasa jadi gila, suatu ketika aku kena marah istriku karena ternyata aku masih bertingkah selayaknya orang gila ketika bersebadan dengannya. Ah, sebuah gila yang gila.
Lepas dari sikap gila ini, aku sudah bisa menulis dengan ragam kesadaran yang lebih sempurna menurut ukuranku. Proses-proses kesadaran yang terbentuk selama dalam tahanan membuat aku memiliki persepsi yang pasti tentang politik. Pada saat menulis ini aku tiba-tiba menemukan diriku dalam kecerdasan yang  lain. Kecerdasan yang kupelajari dari buku alam, buku pengalaman. Aku dipertemukan dengan kesimpulan-kesimpulan sementara tentang situasi politik dan praktik kekuasaan yang kuanggap paling mesum jika ditakar dari sisi kemanusiaan. Misalanya tentang kesimpulanku bahwa pemimpin Orba itu adalah dalang G 30 S PKI, atau Orba adalah muasal dari segala persoalan keterpurukan ekonomi di masa depan. Tapi semua ini menjadi relatif juga. Karena bagaimana pun ia tampil dalam rupa yang molek, ia tetap berangkat dari situasi yang lebih banyak mengakomodir peluang-peluang kejahatan. Tak ada kejujuran dalam politik. Politik semata naluri pertengkaran yang dilegitimasi. Manusia mengakuinya  karena memang sejak masa Kain, politik telah muncul dalam rupa paling manusiawi hingga masa Essau dan Yacub seperti di tulis Bible, dan kini di sini dalam rupa-rupa wajah dan bentuk.
            Lalu anak-anakku, awan hitam di langit sana, semuanya tidak berubah. Segalanya bergerak di wilayah terbuka yang tak terlindung. Hanya aku di sini dalam kesepian bersama penghayatan-penghayatan hidup yang kian matang dan sebentar lagi tak terhindar dari usur.
Di akhir-akhir pergulatan batin inilah aku ditibakan ke dalam suatu ketakutan yang menegangkan. Hari pembalasan anak-anakku tiba-tiba bukan lagi saat-saat yang bermakna kemenangan. Aku justru melihatnya sebagai kota Babel yang sedang memasuki masa penghancuran. Dan anak-anakkulah penulis sejarah penghancuran itu. Dan luka-lukanya akan menjadi sejarah hitam tanpa kebanggan.  Di sanalah aku menemukan sebuah refleksi bagaimana kemahakuasaanNya. Yesus lebih memilih perdamaian dari pada emosi liar manusiawiaNya yang sebenarnya bisa menghancurkan musuh-musuhNya. Atau jika Ia mau, Ia bisa menghancurkan planit bumi ini. Aku telah melihat masa-masa berbahaya dalam diri Yesus ketika sisi kemanusiaanNYa mendesak pemberontakan kepada Bapa, dengan memintakan cawan penderitaan lalu dari dirinya. Ia merasa hidupNya adalah segala-galanya. Dan untuk mempertahankan hak kemanusiaanNya, Ia menuntut Bapa untuk melepas ikatan kodrati penyelamatan lewat jalan larah salib. Tidak! Yesus lelaki dari Nazaret itu. Anak tanpa ayah harafiah. Kecuali Yusuf yang menyusup ke dalam tradisi karena bimbingan Bapa untuk menegaskan keanakan manusiawia Yesus. Karena Ia memang dikandung dari Roh  Sang Kemahakuasaan. Tidak melakukan pembalasan dan  pembelaan diri. Padahal sekali lagi, jika ia mau, Ia bisa mendatangkan pembalasan. Karena sesungguhnya Ia maha kesaktian itu.
            Lalu, apa makna dari hari pembalasan yang disusun anak-anakku, jika suatu hari kemenangan itu harus dipetik di atas tumpukan mayat bergelimpangan. Atau reruntuhan dengan puing-puing kesakitan dan ketakutan yang menumpuk.
            Aku dalam kebingungan yang teramat sempurna ketika lelaki itu datang lagi dengan baju rombeng.
            “Kau Judas?” tanyaku. Ia tersenyum.
            “Sebutkan seribu nama, atau beberapa nama sesukamu. Tapi semua itu pentingkah?”
            “Tapi aku tak mengenalmu. Aku ingin tahu dengan siapa aku bicara!”
            “Jika kau berdoa, kau kenalkah dengan sang tujuan doamu?”
            “Tidak! Tapi semua orang mengatakan kita berdoa kepada Tuhan!”
            “Mengapa Tuhan harus disembah?”
            “Karena hanya padanya semua kehormatan harus diberikan!”
            “Cuma karena kehormatan?”
            “Karena Ia sumber kebaikan!”
            “Apakah aku jahat padamu cuma karena aku tak mau menyebut namaku?”
            “Itu tak ada hubungannya dengan Tuhan!”
            “Jika pada setiap suku, Tuhan punya satu nama, dan pada setiap ciptaan Tuhan punya satu identitas. Kalau pada setiap jagat kehidupan pada segala jagat raya Tuhan punya tanda dan eksistensi, apakah Tuhan harus menyebutnya kepadamu semua namanya, semua identitasnya, semua tanda eksistensinya?”
            “Jadi kau Tuhan?”
            “Tuhan di kenal dalam kebaikan!”
            Ketika aku mau bertanya lagi, lelaki gembel itu meledak seperti mercon dan lenyap.

***
            Aku pulang dari memanah ikan ketika hari sudah agak sore.  Sepanjang jalan, orang-orang masih juga mengolok-olokku dengan teriakan-teriakan yang menjengkelkan. Tapi aku tak ambil pusing. Ada perasaan tidak enak yang hinggap di hatiku yang mebuat aku harus cepat-cepat pulang. Sesampainya di rumah, Meria belum juga pulang dari kebun. Sebelum aku pergi memanah, ia bilang padaku akan ke kebun untuk mengambil bahan makanan. Sambil menunggu Meria, aku membakar beberapa ekor ikan goropa untuk lauk makan malam.
            Hingga pukul 19.00 malam, ia belum juga muncul. Hatiku kian gelisah.  Tak tahan menunggu, aku kemudian memutuskan menyusulnya ke kebun. Jalanan kecil menuju kebun begitu gelap. Suara jangkrik telah ramai mengisi malam. Kunang-kunang berseliweran di semak-semak. Aku telah menyalakan sido dari daun kelapa sejak lepas ujung kampung. Api obor daun kelapa itu cukup membuat jalanan berbatu-batu karang  yang kulalui  menjadi terang.
            Sesampainya di kebun aku langsung memanggil-manggil Meria. Tak ada sahutan.
Dengan cepat aku menuju dasan kami di kebun itu. Astaga! Meria di sana tergolek tak sadarkan diri dengan pakaian yang sobek-sobek. “Ya Tuhan, apa yang terjadi!” pekikku. Dengan cepat kuraih istriku ke dalam pelukkanku dan berusaha membangunkannya. Tapi sial upayaku sia.sia. ia belum siuman juga. Wajah Meria tampak lebam dan darah masih menetes dari bibirnya yang pecah. Hatiku menjerit menyaksikan semua itu.
            “Biadab. Siapa yang melakukan semua ini!” teriakku sekeras-kerasnya. Aku menangis seperti anak kecil. Dadaku terasa mau meledak. Tapi Meria harus diselamatkan dulu, pikirku. Dengan cepat aku turun menuju kali kecil yang tak jauh dari kebun kami untuk mengambil air. Sebuah kaleng mentega yang biasa dipakai untuk memasak air kubawah dan kuisi penuh lalu kembali ke dasan. Aku menyiram wajah dan tubuhnya, kemudian menepuk-nepuk pipinya. Syukur kemudian Meria mampu membuka matanya dan nafasnya kembali menjadi normal. Melihat aku yang menolongnya, ia tiba-tiba menangis terseduh-seduh. Kupeluk ia seerat mungkin. “Menangislah sepuasnya, aku ingin mendengarnya,” kataku. “Kepas, aku…!” katanya terbata-bata, tapi langsung aku memotong, “jangan-jangan katakan apa-apa dulu, tenangkan hatimu!” Kulihat, celana dalam Meria yang sudah sobek tergeletak begitu saja di sudut dasan.  “Ya Tuhan, apakah ia diperkosa?” desisku dalam hati. “Aku di perkosa!” desis Meria tiba-tiba. Hatiku langsung berdebam. Dengan cepat kulepaskan pelukanku, dan berdiri menjauhi Meria. Hatiku teramat sakit. Aku ingin berteriak sekeras-kerasnya. Meria hanya tertunduk dalam keletihan yang teramat sangat. Suara tangisannya menjadi begitu parao.
            “Siapa yang melakukannya?” tanyaku.
            ‘Elly!”
            “Bangsat! Lelaki itu harus mati,” pekikku dengan murka yang meledak-ledak. Dengan cepat aku berlari pulang menuju rumah. Otakku sudah tertutup oleh amarah yang teramat sangat. Aku ingat Long River 28, senjata kecil otomatik pemberian Paulus, yang sudah diantar Boas ketika ia datang mengantar surat dari Yulin. Senjata itu kusimpan di dalam tanah tak jauh dari rumahku.
            Sesampainya aku langsung menggali tanah tempat penyembunyian senjata itu. Setelah memeriksanya dengan seksama, aku langsung berjalan lagi mencari lelaki bangsat itu ke rumahnya. Rumahnya di ujung kampung dan agak berjauhan dengan tetangga. Lelaki itu memang sudah beberapa kali kulihat menggoda Meria saat ke pasar. Ia teman dekat komendan Koramil. Ia juga seorang pemabuk berat yang suka bikin onar di pasar.
Tanpa mengetuk pintu, aku langsung masuk mencarinya di dalam rumahnya. Di dapur rumahnya kudapati ia sedang makan. Kebetulan hanya dia sendiri berada di rumah. Anak dan istrinya tidak tahu ke mana. Melihat kedatanganku, ia begitu terkejut. Tanpa banyak bicara langsung kuarahkan senjataku ke kepalanya dan menarik pelatuknya.  Sebuah letusan menyalak dan menghempas  Elly dengan cepat ke belakang. Ia tersungkur dekat dego di dapurnya. Melihat ia masih bergerak, sekali lagi kusasar punggunya, dan sebuah letusan menyalak lagi. Setelah itu aku langsung kabur lewat jalanan hutan di belakang rumahnya dan berjalan menjemput Meria lagi di kebun. Dalam perjalanan aku merasa begitu puas. Puas sekali telah menunaikan tugasku untuk membela kehormatanku sebagai laki-laki. Sebagai ayah, dan sebagai manusia.
            Di kebun Meria langsung menyerbuku. Aku memeluknya dengan perasaan sayang yang teramat sangat.
            “Kau sudah membalasnya?” bisik Meria.
            “Sudah jawabku!”
            Selang beberapa saat, ketika Meria sudah agak tenang, ku ajak dia pulang.  Malam itu kami berdua tidak langsung tidur. Aku berusaha membagi suka-duka dengan Meria. Perisitwa menyakitkan dan memalukan itu akhirnya bisa kami fahami sebagai sesuatu yang harus kami terima dengan penuh ketabahan, apalagi pelakunya sudah kulenyapkan. Artinya, rahasia ini akan semata menjadi rahasia kami untuk di bawah mati.
            Mendekati  subu, Meria sudah tertidur di pelukanku. Akupun sudah sangat mengantuk ketika  lelaki gembel itu datang lagi.
            “Aku datang lagi karena kau sedang menulis. Tulislah. Karena kau buku itu sendiri. Buku dari tulisan Tuhan. Anak-anakmu memang harus di sini suatu ketika. Karena hari pembalasan itu memang ada. Seperti siang, ia selalu diganti malam, dan terus berganti. Seorang kelaparan akan makan hingga kenyang dan suatu ketika ia akan lapar lagi. Tunaikan tugasmu seperti tadi!” katanya.
            “Tapi hari pembalasan itu malapetaka!” gumamku.
            “Ingat kataku ini, akan ada Bininta!”
            “Bininta?”
            Lelaki itu meledak lagi seperti mercon, dan menguap di angin.
            Aku bangun agak kesiangan. Meria langsung mengatakan kepadaku ada kegemparan atas berita kematian Elly. Tentara dan polisi katanya sedang mencari-cari siapa pelakunya.
            “Kau menembaknya dua kali?” tanya Meria.
            “Ya!”
            “Seharusnya seribu kali!” kata Meria dengan sorot mata penuh bara dendam.


















BAGIAN : XII

PENUTUP




(32)
Dini hari tanggal 30 September 2001. Weker hitam di kamarku menunjukkan pukul 04.30 waktu Indonesia Tengah. Ketika itu, tubuhku sudah teramat letih. Tapi hatiku begitu gembira. Akhirnya selesai juga pekerjaanku yang sudah tertunda satu tahun lebih itu. Pekerjaan menerjemahkan buku tulisan tangan dari Kepas, yang ditulisnya dalam bahasa Talaud yang tempo hari diserahkan seorang perempuan misterius yang lenyap di bawah pohon Jati besar di desa Makatara.
Ketertundaan yang sedemikian lama itu, terutama disebabkan pengetahuan dan kemampuan saya berbahasa Talaud hanya sebatas bahasa tutur saja.  Memahami kosa kata sastra yang banyak digunakan penulisnya di buku itu, dibutuhkan lagi suatu study referensi yang lebih mendalam. Apalagi, hingga kini belum tersedia kamus bahasa Talaud. Selain itu, ada tiga lanskap yaitu: Filipina, Talaud, California, yang merupakan latar tempat kejadian dari kesaksian-kesaksian utamanya. Semua itu membutuhkan suatu study tersendiri untuk menghindari terjadinya kesalahan interpretasi. Dalam usaha yang terbilang sulit itu, syukurlah kemudian semuanya bisa selesai meskipun berlepotan berbagai keterbatasan. Meskipun ada upaya traveling terus-menerus yang kulakukan untuk menemukan deskripsi yang tepat melukiskan serangkaian tempat dan  kejadian yang dipaparkannya, namun upaya itu tetaplah dipenuhi berbagai kekurangan.
Kepas, menulis dan melukiskan segala kesaksiannya dengan begitu indah dalam bahasanya.  Dan aku yakin, keindahan itu kadarnya menjadi menurun dibanding hasil terjemahanku. Hal ini disebabkan selain oleh keterbatasanku dalam penguasaan bahasa setempat, juga karena perbedaan atmosfer budaya, di mana di Talaud, kata seperti juga benda-benda dan alam semesta, dipahami sebagai magi atau kepercayaan Manna seperti ditulis Bible. Maka kata tidak berhenti dalam rana maknanya, tapi kata bertindak dalam kemagiannya.
Metode semiologi yang sedikit kukuasai paling tidak mampu menolongku untuk menginterpretasi berbagai ikon. Akupun sempat meminta bantuan ahli simbologi dan ikonografi untuk kepentingan ini. Tapi upaya ini bukan tidak mukin pula memunculkan reinterpretasi yang baru dan mungkin saja berbeda dengan yang dimaksud oleh penulis. Untuk itu, dalam beberapa bagian pemaparannya, aku berusaha menambahkan penjelasan-penjelasan, hingga pekerjaanku tidak direpoti lagi dengan pembuatan catatan kaki.  Untuk nama-nama tempat dan benda-benda khas daerah itupun  kubiarkan tetap dalam nama dan kata aslinya. 
Untuk beberapa mantra, sengaja tidak diterjemahkan untuk mempertahankan struktur sastranya, kecuali sandi pengunci mantra, sengaja kuhapuskan untuk menghilangkan efek kemagisannya. Kepas memang memberikan catatan tersendiri yang ditujukan padaku agar tidak membaca mantra-mantra itu dengan suara kedengaran agar tidak menimbulkan efek magis. Untuk keamanan bagi sidang pembaca, aku lebih memilih menghapus kata luncinya. Dengan demikian, pembaca akan terhidar  resiko magis dari mantra itu.
            Usai membenahi semua kertas yang berceceran di meja kerja serta mematikan komputerku, perasaan lega terasa mengerubuti hatiku.  Kupikir, pekerjaan yang menggelisahkanku selama ini sudah usai. Langkah berikutnya tinggal mencari penerbit yang ingin menerbitkannya, hingga kesaksian itu tidak berhenti sekadar menjadi catatan tersembunyi, atau duka yang menangis sendiri di pedalaman sejarah negeri ini.
            Tinggal sedikit waktu untuk aku istirahat, sebab pagi tak lama lagi.  Aku telah menyetel alaram Handphoneku pada angka 06.30, agar aku masih bisa bangun agak pagi, dan masih punya waktu ke kantor seperti biasanya.
Baru sekitar lima menit aku berbaring di ranjangku, aku dikejutkan oleh munculnya sosok seorang lelaki. Ia berdiri di samping ranjangku. Ia menatapku dengan tatapan yang cemerlang.   Lelaki yang wajahnya sangat ku kenal.
            “Kepas,” desisku dalam kekagetan yang teramat sangat, sambil bergegas bangkit dari ranjangku. Air mukanya kemudian berubah gembira, lalu mengulurkan tangannya untuk kujabat.
            “Maaf, aku mengganggumu. Aku tahu kau lelah. Tapi aku tak tahan untuk tidak segera mengucapkan terima kasihku padamu,” katanya dengan suara beratnya, diselingi bunyi batuk kering yang tercekat di kerongkongannya.
            “Aku memang suka melakukannya. Aku tertarik dengan kesaksian-kesaksianmu!” kataku sambil mengajaknya            ke ruang tamu. Setelah menyalakan lampu tengah, aku mempersilakannya duduk.  Ia kelihatan lebih tua dibanding penampilannya yang juga misterius ketika terakhir kami berjumpa di rumahnya di Makatara. Rambutnya menguban tapi sorot matanya tetap tajam. Ia masih membawah tongkatnya yang dulu untuk menyangga tubuhnya saat berjalan.
            “Siapa yang mengatakan aku sudah selesai menerjemahkan bukumu?” tanyaku membuka percakapan. Ia memiringkan sedikit posisi tubuhnya ke kiri, hingga punggungnya tersandar di belakang sandaran kursi sofa yang berwarna biru laut, kemudian berkata, “manusia adalah kekasih sang angin. Ia mengatakannya padaku!”
            “Kau mengutip kata-kata puitis sang penyair tua di port Cotabato, seperti yang engkau paparkan dalam bukumu?”
            “Ya. Ketika pergi, kita menjadi angin. Angin bisa  melintas kemana saja yang ia ingin,” jawabnya dengan suara mendesis.
            “Jadi, arwahmu mengikuti aku kemanapun aku pergi?”
            “Aku tidak mengikutimu, tapi kerinduanmu membawaku padamu!”
            “Sudahlah! Apa ada yang ingin engkau sampaikan padaku?” potongku menyudahi percakapan yang terasa merindingkan tubuhku itu.
            “Katakan pesanku pada anak-anakku,” katanya dengan wajah yang tiba-tiba berubah penuh duka, “bahwa manusia selalu punya sejarah. Dan sejarah adalah sebuah pelajaran berharga, bukan pembuka bab dendam yang baru. Katakan,  dendam tak akan melahirkan perbaikan apapun. Sebab, tanah air baru yang elok, yang mereka cita-citakan hanya akan ada bila mereka mengawalinya dalam perdamaian.”
            “Aku tidak mengerti apa maksud pesanmu!”
            “ Katakan, musin kawin bukan penghancuran.” 
            “Aku kian tidak mengerti,” kataku dalam kebingunganku memahami pesan-pesannya.
            “Satu saat kau akan mengerti jika sudah berjumpa dengan pengertian itu sendiri,” katanya, seperti memahami ketidakpahamku.
            “Tapi dimana aku harus mencari anak-anakmu?”
            “Mudah mengenalinya. Lihat Bininta!”
            “Lihat bininta?”
            “Ya,” katanya, sambil menyeringai ke arahku dengan tatapan duka seperti tadi, kemudian berkata lagi setelah batuk yang tercekat di kerongkangannya dapat diatasinya, “kukira tugasku lunas sudah.” Ia kemudian berdiri dibantu tongkat yang setia menyangga tubuhnya hingga pundaknya agak tegak.
            “Kau akan pergi?” tanyaku.
            “Sampaikan pesanku, pada anak-anakku!” katanya sambil berjalan ke arah pintu.
            Alaram handphone-ku berdering keras. Aku terjaga dari tidurku. “Lelaki itu datang dalam mimpiku,” desisku pada diri sendiri. Pesan lelaki itu harus kusampaikan. Tapi dimana aku harus bertemu Herkanus, Yulin, dan Dagos menantunya? Lalu apa yang ia maksudkan dengan Bininta? Apa yang ia maksudkan dengan kata kawin? Semuanya menjadi teka-teki yang jawabannya harus  kucari sendiri. Dan tiba-tiba aku merasa menjadi kekasih sang angin yang pergi mencari ruang-ruang pengertian itu sendiri.

***
            Setelah serentetan ledakan bom di berbagai tempat. Setelah munculnya aroma disintegrasi dari beberapa daerah. Setelah menguatnya kesadaran untuk melawan rezim otoriter. Kekuasaan Presiden Soeharto, akhirnya jatuh. Dijatuhkan kekuatan people power yang dipelopori para mahasiswa. Kecamba perlawanan yang kemarin-kemarin berinkubasi, dan menebar dengan cepat seperti virus tipes saat tatanan sosial politik bangsa melemah. Kekuatan melawan rezim yang dituding  korup itu tidak datang begitu saja, atau secepat kilat dalam satu dasawarsa. Tapi suatu gerakan dari ladang pembibitan yang kemudian disemai dengan sabar bertahun-tahun. Baru setelah 32 tahun, pohon perlawanan itu menjadi pusat dari segala semangat mengambil energi. Bebukit kesadaran yang tandus kini berair. Air dari hutan pohon-pohon perlawanan. Menjadi bah.  Hanya sekejab, menara Orba menjadi puing-puing berserahkan.
Lalu pergantian kuasaan kepemimpinan negara terjadi dalam chaos ke cheos dari Soeharto ke Habibie, lalu ke Gus Dur, kemudian ke Mega.  Krisis moneter, dan krisis sosial politik berseliweran seperti elmaut menerjang siapapun. Negeri ini seakan menjadi rumah dari keluarga broken home.  Perselisihan dan pertengkaran merebak hingga tak mampu ditulis ribuan media massa yang tiba-tiba menjamur. Seorang penyair terinspirasi keadaan faktual tiba-tiba menulis puisinya dimana para pemimpin kita saat ini butuh “pil anti krisis”. Namun, teror dan bom terus meledak.
            Dalam kekalutan yang dasyat ini tiba-tiba semua orang tak tahu lagi dari mana asal segala sengketa ini.
            Sebuah media lokal yang terbit di Manado dalam sebuah beritanya menulis;
Kekhawatiran Konsulat, dan atase militer  Indonesia di Davao City, tentang kian maraknya aksi penyeludupan diperairan Satal kini ditindak lanjuti TNI AL dengan melakukan penelusuran ke berabagai kawasan perairan perbatasan itu. Hasil penelusuran TNI-AL, kawasan perairan Satal  disimpulkan sebagai wilayah paling rawan penyelundupan senjata api.  TNI AL mengerahkan ratusan kapal tempur dibantu pesawat intai maritim dari Komando Armada RI Kawasan Timur (Koarmatim) untuk siaga.
Seorang  wartawan dari Davao City, Batuganding serta Saranggani, memaparkan kian maraknya aksi penyeludupan yang masuk dan keluar Satal. Penyeludupan itu tidak saja meresahkan aparat keamanan, juga masyarakat Indonesia di kawasan Mindanau Selatan. Konsulat Indonesia di sana pun dengan tegas meminta TNI AL untuk segera menindak aksi lintas batas ilegal tersebut.
Mencermati aksi penyeludupan yang kian berbahaya karena adanya indikasi penyeludupan senjata, Kadispen Koarmatim Letkol Laut (E) Ditya Soedarsono di Surabaya, kepada wartawan menjelaskan, pihaknya kini telah mensiagakan ratusan kapal tempur untuk menjaga dan siaga di perairan Satal. Langkah itu diambil kata Sudharsono,  sebagai tindakan pencegahan penyelundupan barang berbahaya melalui jalur laut. “Sebetulnya, setiap tahun TNI-AL selalu mengadakan operasi rutin. Tapi untuk saat ini, perairan yang dianggap rawan tentunya kami perketat, seperti di Sangihe Talaud yang kemungkinan memasok senjata ke Ambon atau ke Irian Jaya,” katanya. Ia menjelaskan, TNI AL yang sebelumnya menggerakkan 22 kapal setiap tahunnya, namun karena keterbatasan dana operasional, kini hanya menyiapkan 17 KRI dibantu ratusan kapal kecil yang disebut KAL (Kapal TNI AL) milik Pangkalan TNI AL (Lanal) maupun Lantamal.
            “Kalau dulu mungkin yang menjadi sasaran dari penjualan senjata gelap itu Ambon, tapi sekarang beralih ke daerah lain karena Ambon sudah relatif aman. Penjualan senjata itu umumnya dibawa oleh nelayan Filipina karena di sana memang dijual bebas,” paparnya.
            Menurut Ditya Soedarsono, kalau penyelundupan senjata yang masuk ke wilayah Barat (Aceh) dilakukan dalam jumlah besar, maka untuk wilayah Timur relatif kecil dan hanya perorangan, sehingga lebih sulit untuk mendeteksinya. “Jadi kalau di wilayah Timur paling-paling hanya membawa beberapa senjata yang disimpan di sela-sela ikan, tapi kalau di wilayah Barat mungkin terorganisasi. Sehingga untuk wilayah Timur ini agak sulit dideteksi dengan radar kapal,” ungkapnya.
            Ia menambahkan, setiap KRI maupun KAL yang melakukan operasi rutin akan melakukan penghentian dan pemeriksaan terhadap setiap kapal asing yang melintas di perairan Indonesia dan jika ditemukan adanya penyelundupan, akan dilakukan penangkapan. “Tapi bukan hanya penyelundupan senjata api saja, kalau kapal kami juga menemukan pencurian ikan atau kayu ilegal, kami juga melakukan pemeriksaan dan penangkapan,” tandas perwira menengah melati dua itu.
            Meskipun melakukan pengetatan operasi, namun hingga kini Koarmatim belum melakukan penambahan kapal. Fungsi ke-17 KRI dan ratusan KAL itu kini masih dioptimalkan dengan dibantu pesawat udara dan para nelayan. “Cuma kalau pesawat itu tidak tiap hari, tapi tergantung permintaan awak KRI untuk melakukan pengintaian. Kalau nelayan, memang kita maksimalkan perannya untuk membantu kami. Laporan para nelayan itu akan sangat membantu operasi kami di laut,” jelasnya.
            Sebelumnya, Presiden Megawati Soekarnoputri sendiri secara resmi sudah meminta pemerintah Filipina mengambil langkah-langkah menghentikan kegiatan penyelundupan senjata di wilayah perbatasan kedua negara. Permintaan itu bahkan disampaikan langsung kepada Presiden Gloria Macapagal Arroyo di Istana Malacanang.
            Menurut Megawati, seperti dikatakan melalui Sekretaris Negara Bambang Kesowo, saat ini ada sinyalemen meningkatnya perdagangan senjata melalui lintas batas Indonesia-Filipina. “Hal ini tentu diharapkan tidak memperburuk stabilitas kedua negara, terutama di wilayah yang berdekatan, seperti di Filipina Selatan,” katanya. Ditambahkannya, Arroyo telah menyanggupi permintaan Megawati tersebut, karena menurut dia, perlu segera ada penyelesaian masalah keamanan secara bersama.
            Pihak kkepolisian Daerah Sulawesi Utara sendiri beberapa waktu lalu pernah mengungkap kasus penyelundupan senjata yang melibatkan beberapa orang. Senjata-senjata itu kabarnya akan dikirim ke Maluku. “Dari data yang ada, senjata, peluru dan granat nanas diselundupkan dari Filipina. Untuk mengantisipasi, pengawasan telah ditingkatkan,” jelas Kadispen Polda Sulut, AKP W Damanik..
            Beberapa warga Satal yang pernah diwawancarai juga mengakui hal serupa. “Peluang itu ada karena memang sejak dulu, di kawasan Filipina Selatan orang bebas memiliki, menggunakan bahkan memperdagangkan senjata api,” tukas Yus Manumpil, seorang warga Satal yang pernah menelusuri jalur perdagangan lintas batas hingga ke Mindanao Selatan.

            Carlos Tinuntung, seorang pegawai Konsulat Indonesia di Davao City  memaparkan dimana hasil pengamatan pihaknya, aksi penyeludupan di perairan Satal yakni datang dari pulau Tinakareng, Toade, Kaluwatu, Petta, Lawasan Salibabu, Bowombaru, Apan, Dampulis, Peret, Alude. Sementara yang keluar dari Filipina lewat pintu-pintu seperti Teluk Panggang, Tinana Pulau Balut, Mana Boy Laker, Saranggani, Maitum, Gen San, Davao.
Menurutnya Saat ini banyak kapal yang berkedok sebagai kapal ikan padahal tidak mencari ikan, namun sebagai kapal penyeludup. Kesaksian Carlos tersebut dibenarkan Guskamla (Gugus Keamanan Laut) Konsulat RI di Davao, Mayor Laut Toto Subagio. Menurutnya aksi penyeludupan itu dilakukan oleh kapal-kapal yang saat ini berkedok sebagai kapal ikan.  Terkait dengan penyelundupan senjata, TNI kini juga sedang memusatkan perhatian pada masalah teroris internasional. Menurut KSAD Jenderal TNI Endriartono Sutarto, semua instansi, termasuk Kopassus, perlu dilibatkan dalam menangani terorisme internasional. Supaya hasilnya lebih efektif dan permasalahan bisa segera dipecahkan.
            “Penanganan terorisme itu kompleks, dan tidak mungkin hanya satu instansi yang menangani. Kalau Polri berkeinginan minta bantuan Kopassus atau instansi lainnya yang mampu, maka hal itu saya kira yang terbaik,” ujar KSAD.
            Terorisme, tegas dia, penting untuk segera ditangani karena jika tidak dapat menimbulkan rasa ketakutan di masyarakat. “Tindakan terorisme bisa timbul kapan saja. Ini bisa menimbulkan ketakutan di masyarakat,” katanya.
            KSAD juga mengimbau kepada semua pihak agar tidak gegabah menuding TNI terlibat sesuatu jika tak memiliki bukti yang kuat. “Saat ini kalau ada persoalan bom, TNI selalu dikaitkan. Saya tak keberatan tapi sebaiknya didahului dengan pembuktian,” katanya.
            Sementara itu, senjata dalam jumlah besar kini diselundupkan dari selatan Filipina ke wilayah Indonesia yang sedang dilanda konflik seperti Aceh dan Irian Jaya. Hal ini disampaikan seorang pejabat Filipina. Indonesia sendiri bersama Filipina kini berupaya untuk menghentikan perdagangan ilegal tersebut.
            Itu dipertegas saat pertemuan Presiden Megawati Sukarnoputri dengan mitranya, Presiden Gloria Macapagal, serta pejabat tinggi Filipina lainnya. Penasihat Keamanan Nasional Filipina, Roilo Golez, mengatakan kedua negara membentuk komite khusus untuk menggiatkan perjanjian pertahanan dan keamanan tahun 1997 guna menghadapi penyelundupan senjata ini.
            Disebutkan, senjata tersebut dibeli oleh orang-orang Indonesia yang tidak teridentifikasi di wilayah selatan Filipina seperti Pulau Sitangkai, surga penyelundupan, dekat perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Senjata itu kemudian diselundupkan ke wilayah Indonesia yang dilanda konflik seperti Aceh dan Irian Jaya, ujar Golez.
            Kabar terakhir, pihak TNI AL menyatakan, wilayah perairan Satal menjadi salah satu daerah yang rawan penyelundupan sehingga perlu dijaga ketat. Ini tentunya peringatan bagi warga Sulut. Karena daerah ini disinyalir menjadi jembatan penyelundupan senjata.
            Senjata-senjata itu sendiri dijual ke kelompok separatis di Indonesia dan pelaku kriminal. Yang ditakutkan, bukan hanya senjatanya yang masuk, melainkan pelaku-pelaku penyelundupan yang bisa dipastikan berasal dari kalangan kriminal (penjahat). Dan mereka itu merupakan penjahat kelas kakap. 

            Sebuah bom meledak lagi di Jakarta. Ratusan orang menjadi Korban. GAM terus meringsek. Timor Leste sudah merdeka. OPM kian gigih. Lagi-lagi Bom meledak. Dimana Herkanus? Dimana Yulin dan Dagos. Apakah mereka masih di padang dendam? Bagaimana harus kusampaikan pesan ayah mereka?
Sebuah tabloid terbitan lokal yang sempat kubeli saat pulang kantor, memuat foto orang-orang yang dituduh anggota teroris internasional di halaman depan. Orang-orang itu tertangkap di kawasan Filipina Selatan. Yang menarik dari foto itu yaitu sulaman gambar perahu Bininta kecil di kerak baju bagian kiri yang mereka kenakan. Bininta adalah perahu perang dalam tradisi kuno anak laut Sangihe Talaud, terutama dimasa kulano-kulano.
Sasampainya di rumah, aku melihat ada surat dari kantor pos yang diletakkan di bawah pintu. Nama pengirim yang tertera di sampul surat itu adalah Herkanus, tapi tidak mencantumkan alamat. Hanya dari stempel pos aku mengetahui kalau surat itu di poskan dari Jakarta Utara. Dengan cepat kusobek bagian pinggiran sampul surat itu, dan membacanya:

Dixti,

Salam.
Dalam surat yang sempat dikirim ayahku semasa hidupnya, ia banyak bercerita tentang kamu. Kami baik-baik saja. Aku ingin melengkapi catatan tentang riwayatku dalam tulisan-tulisanmu nanti. Yakni, aku akan kawin lagi di AS dan kemudian di Bali.

Herkanus

            Isi surat itu, kian mengangakan teka-teki dalam pikiranku.  Mengapa ia menggaris bawahi kata kawin, AS dan Bali. Lalu, apa hubungannya dengan kata kawin yang dipesankan ayahnya? Apakah aku akan menemukan jawaban dari semua itu. Moga di suatu saat nanti!


Tamat.
Manado, 1 September 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar