Kamis, 22 Mei 2014

PUISI DENGAN LATAR MANUSIA, ALAM, DAN SEJARAH MINAHASA



PUISI-PUISI KARYA IVERDIXON TINUNGKI

SUATU SORE DI TONDANO

aku menafsir alangalang berwarna kuning
dan anyir menenggelamkan sebuah kota
seperti membaca nasib elangelang pulang ke gunung
gunung masa kecilnya: sebuah surga dapat dilihat dari jendela.

anakanak gadis berparas merah
menabur semua mimpi dan memetik bungabunga

tondano barangkali itu
iris mata surealis dari batangbatang minahasa
begitu elangelang hinggap dalam rupa danau tak dapat dilihat
senja memecah kabut nokturnal
ke atas pematang yang pucat
diternak di lempengan ladangladang hanya menerjemahkan
ketidakhadiran hasrat saat luluh pada kemalangan

aku berguru di tengah rawa
ikanikan mujair berenang dari hulu ke hilir
lalu kembali dengan mulut dipenuhi anakanaknya sendiri
mereka akan mengarung lagi di arus kali tak pernah mati

dan sepasang gurami bercinta disela kangkung
menetaskan beribu kepingan cahaya pelangi

sesekali aku mendengar bunyi gada para penebah
dan bau sekam padi yang pecah
memanggil gidik di bayangan tumisan caesin
harum solderei
segumpal daging
dan lapar yang kadaluarsa

seorang asing berkata:
--andai kupunya minahasa
tanahtanah ini akan hamil oleh benihbenih yang indah—

di ujung sawah, ketika angin senja terakhir berhembus
petakpetak kol di huma menggelap
menjadi bolabola hitam
di kicau unggas malam para penyihir
begitu gaduh mencakapkan halhal  nyinyir

2014

PERJALANAN  KE RONDOR

perjalanan ke rondor
perjalanan ke warnawarna pohon
benihbenih haru menikah  dijangkung langit hijau dan biru
udara bersih terjulai di pucukpucuk bunga ilalang kelabu

--Tuhan aku hilang di firdaus pepohonan itu--
ketika jarijari daun di pelepah menari
menghadirkan pesanpesan dini hari yang indah dan fitri

ratusan bangau rawa terbang di atas ladangladang padi
terbang juga hatiku kesana-kemari 
barangkali ini sisi dari selasar riang itu sendiri

--kendati kini riang tak pernah abadi--         
tapi di sini ada yang tumbuh
meneduhkan pucukpucuk  ngeri

di pematang aku terpikat oleh bunga ungu
ia menetas dalam cahaya matahari
kami samasama bercinta dengan sejuk
bau kebun cokelat  di sepanjang jalan
membawa keindahan kian ke sini
ke sanubari

ladangladang jangung yang luas
pucukpucuknya ihklas  memecah bunga berwarna sawo
matang oleh para  penakik nira begitu  ramai bernyanyi  di tangga bambu
mensyukuri pohonpohon  enau tua menggugurkan pelepah  paling rentah
mendaur gemburgembur kisah di esok yang pasti akan tiba

akhirnya Rondor kulihat seperti desa dalam hikayat
orangorang tersenyum
di antara  hutan dan laut
di antara hidup dan maut

2014
*). Rondor (Rinondoran): Desa di pesisir Minahasa Utara.

KABAR DARI PULISAN

ia tiba dalam sekujur ombak
dengan perahu batang gaharu menitip alamat;
bau tubuh masa lalu itu
tak pernah menyerah menganyam arusnya ke semua langkah

aku  lagi di dusun jauh
dalam jam pembacaan  identity;
seorang kundera  menguntit kemanamana
saat chantal terpikat kental kabut  laut
yang terus menggandakan wajahwajah barunya

di jam ramai ini  cerita  itu mengempaskan ruhku
katakata lantak dan remuk

aku seperti jean marc  ternyata ingin menyeru;
“kau cantik. cantik sekali!”

langit desa rondor pelanpelan membawaku tenggelam
dalam bayangbayang mata. rambut keemasan
wangi nafas yang  harusnya kulupakan

kita pernah melintas di jalanjalan itu
setidaknya dua  puluh kilometer
berhastahasta partitur kau  lipur ke luka

nyanyianmu seperti gerisik daundaun perdu
semaksemaknya menghamburan bunga liar dalam pesta cemas
menyeretku  sekali lagi menggumam kekaguman

ada  kabar ombak pecah di tanjung pulisan
meruntuhkan dindingdinding batu
tapi  bagaimana pun senja akan berakhir
pohonpohon randu menjelma tugutugu hitam
di  malam sudah kuputuskan mesti ditinggalkan

2014
*). Pulisan : Desa di pesisir  Minahasa Utara.

OROANG-ORANG LINGKAR  TAMBANG

jam 17.15  ada ledakan
lempeng gunung lantak, tanah berceceran

saat itulah  anakanak lingkar tambang belajar menulis air
mereka mulai menapis liangliang tanah tergelincir
membawa bayangbayangnya ke selokan
tergenang pesing   dan cairan amis yang mengambang

mereka juga menulis pohon, kabutkabut gagu
bebekbebak rawa putih  berenang di celah  akarakar sagu
puisi itu tibatiba terasa seperti peluru membawa mereka berburu
tapi jamjam terperangkap di matanya membunyikan dentum

mereka tak kaget lagi
ketikan  pohonpohon berderak
burungburung bergerak ke langit  lain
saat ledakan mendegup di akarakar tradisi yang remuk

gadisdagis kecil yang manis memilih mengkuncir rambutnya
lalu bermain dengan sisa cahaya matahari  di ujung senja
mencari apa sesungguhnya mau dikabar ilahi

legendalegenda apalagi akan lahir di sini
di tanahtanah emas yang akan berganti racun ganas ini

di sepanjang jalan aku melihat wajah tirus mereka
menghitunghitung arealareal yang hilang dengan amarah
cemas berwarna tua itu mengkilap di ujung mata petani yang terluka
2014

KIMABAJO

di pijar kumuh rumahrumah petak beralas pasir
kupandang kimabajo
rumahrumah apung surut ke darat
mereka dipaksa menepi

reruntuk gelagar penjemuran ikan asin
melepas anyir terakhir
di sana bajo tak lagi suku air

seorang lelaki dengan rambut warna tembaga pulang dari laut
ia anak suku masih menyimpan bajo dengan perahu kayu
kail layanglayang. sekeranjang ikan sako
mengisah tradisi gemilang rumahrumah laut yang hilang

dari sebuah hotel di pesisir , turisturis berlarian mengarahkan jepretan
kemiskinan bajo dibawa sebagai oleole riang
ke negaranegara mereka dipenuhi kisahkisah kemakmuran

bajo seakan fosil yang ingin dijual
dalam paketpaket pariwisata terus menjarah
tanah laut kita

tak jauh ada bangkai perahu
menceritakan wajah laut muram itu
bau pesing. sungai pucat di kening
menghanyutkan cahaya bulan teguh mendirikan isak hati karam

hari menggigil di tengah udara bajo. terik
sampansampan terapung. perempuan melilitkan kain ke pinggang
tak lagi menyanyikan angin saat menyeduh umbiumbian di belanga menggantung

sebuah tradisi telah punah
karena ketidaktahuan kita akan petapeta riang kehidupan

anakanak jadi pasir
menggelinding dalam permainan ombak para peselancar
bungabunga kopi di pesisir berubah bijibijian
disangrai air mata bajo yang kelam

sejarah masa kini tak lebih bangkaibangkai arkeologis menepis keyakinan
di mana seluruh jiwa melekat dalam ikatan hidup abadi

karena sebuah dosa berasal dari dosa lain
kimabajo kini seakan pantaipantai surealis dari kenangan tenggelam
menyimpanan rahasia masa lalu dengan apik ke tepi sepi

2014


DARI BENTENAN KE TUMBAK

dari bentenan ke desa tumbak
kulayari kisah perangperang kuno
sebelum dan sesudah musafir barat menukar beras dan dammar
dan kolonialisme membaca peta  nicolas desliens
tentang negeri timur menyusu di dua musim
jadi bujur baru pada syawat penghisapan sejak masa lalu

kapalkapal datang dengan perangai peperangan
tapi bentengbenteng air itu berdiri membentuk dinding
melatih pengayuh tak jerih bertahan melawan miskin
beribu martir bangkit dan tenggelam

masih saja di sana, dua arus bertemu menyuarakan gelisah desadesa
aku bersua janjijanji selalu mati di rumahrumah apung
para pemberaninya menjadi tulangtulang tak berarti

dari saman para bajak laut
perompakperompak selatan
mereka hidup dalam mitosmitos peperangan
terus mengganyang imprealis hingga merdeka itu datang

tapi kini setiap orang hanya punya sebuah legenda periperi riang
dikejarnya dengan susah payah, sekalipun menempuh mati yang sama
dalam musimmusim berjalan tertatihtatih di lengannya

kendati kemerdekaan tak memberi mereka senyuman
di pesisirpesisir jauh itu entah bagaimana, tetap saja terjaga suatu keyakinan
bahwa bila pohonpohon saling berbisik tentang bunga
akan ditabur ke atas pagi
maka tak siasia masa lalu punya harihari patut dikenangkan

selalu ada ketika seseorang mengayuh di undakan laut
memancarkan asin ke kecupannya
membuat ia menghargai hidup

lalu mereka akan mencari kerik belalang bernyanyi dikesunyian
mengganti kenangan burungburung murai lelap di dedahan
mengilhami pelukan di tengah rambutrambut basah terjurai ke suatu masa

tentang ubin kayu jati pecahpecah
beralas balacu masih putih
hati mereka rebah mensyukuri harihari
di balik tetiris atapatap rumbia membengkok bagai cemeti

lalu ada yang berjalan bersama Tuhan di malam dan siang hari
menamai laut dan bukit akan diingatnya hingga di suatu ketika nanti
saat merdeka benarbenar memberi mereka sebiji sesawi
buat mengubah hidup masih saja berkubang dari ratap ke ratap
atau melarung kembali peperangan ke laut tak henti menyemi dendam

2014

JALAN MENUJU HULU JENGKI

orangorang terbawa arus
menumpuki kotakota gaduh
mereka tak hirau di mana letak hulu jengki
memberi riwayat peperangan paling utuh

mereka hanya petualang
kerap mencatat namanama mahkluk tanpa kaki
lalu ikut melatahi semaksemak mati

di sini, di tengah hidup kita
bangunanbangunan sewujud tangan
mencengkerami benihbenih suara
ketika mau berkata: aku tak ingin mati tanpa harga
lalu ia menghadiahkan: pusatpusat pelelangan manusia
di sekolahsekolah
di kampuskampus
di mana diajari semua sejarah dusta

kendati sendiri: aku mau berjalan menuju hulu jengki
menyusuri wanua minahasa dengan sekujur tubuhnya yang subur
tanahtanah ke atasnya seakan seluruh keringat bisa tumbuh

dan kepala walak menjahit bulu burung manguni ke hatiku
menancapkan tuis dibatas pendatang dan para waraney

seorang waraney tahu ketika air mata mencari sungai
bunyi karambangan melatari dansi bulan piuh
di tangan para pendatang tak ingin mencakapkan itu
mereka hanya pendumpul waktu dengan lumpur

diwaktu seperti ini:
sebuah peperangan harus di mulai dari hulu jengki
seperti jasadjasad anoa telah tunai pertempurannya
selalu mewariskan sebilah kapak
kepada pewaris yang ingin membuka jalan
mencari hilir menyelamatkan matahari tergelincir

bila detik itu datang: gembyarlah sopi dalam darah
saatnya menyeruh gemuruhgemuruh
perang lebih sungguh

2014

 

DARI BITUNG KUPANDANG LEMBEH

kupandang hikayat perahu melabuh
ketika gerimis datang menikahi laut
monumen trikora itu sebegitu angkuh
peperangan siapa dimenangkan itu

nasib siapa melepuh di cerobong asap kapal
datang, menjauh
pulau itu mengharu biru
di balik pelabuhan samudera
kibaran benderabendera

jantera berputar
kecuali nasib nelayan, nasib petani
karam di teluk dalam

2013


MORAYA*)


aku tak mencari  Teterusan di relief waruga
tibatiba bersua Korengkeng Sarapung

lengking suara manguni, berayun
menenun seutas mantra serat jantung minahasa
menunggang pemandangan pematang memisahkan
kemuning hijau luas bentang sawah
juga sayupsayup riak air danau menafsir
kilap teragung warna langit di atasnya

ia bersarang di sana
di pepohonan menjulang
di sisa usiaku, di sisi yang hilang
di hujan mengelincirkan asin air matanya

ia mengaduk api di kedalaman lumpur
di bawah reruntuhan Moraya
dimana beratusratus anak walak
mengikhlaskan tubuhnya jadi kepingan bara
bangkit menyeduh semua beku ingatan sasarku;
--minahasa sekadar batu waruga dengan jasad tertelungkup
menghadapkan arwahnya ke mata angin utara--

tiangtiang palisade terpancang di sekeliling
batangbatang sagu, kisahkisah hantu danau
dalam bayangan parit, amis
bau tubuh hangus
hanyut menembus abad
pucukpucuk mimpiku tertanak

mereka belum mati dalam 204 tahun pertempuran
benteng sesungguhnya masih kukuh
disiangi  sawahsawah rawa Minawanua
dimana unggasunggas mengawinkan padi
dengan nyawa yang gugur
pada sebuah pagi dan malam buta
kembali ditetasnya ke dalam dada para leluhurnya

di atas kawah danau, air hidup mengairi sawahsawah
mengaliri  jiwaku, memerciki peristiwa, merayapi sebongkah luka
ketika menimang  sebutir padi dalam legenda moyang
perang anti kolonial itu tak sekadar perebutan ladang
tapi letupan  harga diri melawan

portugis, spanyol , Belanda, juga abadabad lebih tua
UkungUkung mengirim pedang tumbak terhunus
menggemetari lembarlembar sejarah  menderasi arasaras
dimana kebebasan tak mungkin tunduk pada ajal, pada senapan
kebebasan terus menegak meski tubuhnya tersungkur dalam lumpur
luka dan nanah

aku membaca sejarah kau samak itu
ketika angsaangsa menumpahkan semua kenangan, keluhnya
ke wajah danau dengan arakarakkan menjalarkan gaduh;

residen Marinus Balfour pada Juli 1809 mengutus Lodewijk Weintre 
bersamanya  beratusratus serdadu Belanda Ternate
beratusratus perahu, rakit, korakora
bersenjata lengkap. mengepung!
Minawanua sebenarnya tak bisa mereka rengkuh

di sana walakwalak setia berpegang sumpah
terjaga, serupa suara manguni mengabar makam
hanya tempat perebahan jasat
sedang sebuah nama abadi di matanya

gempuran meriam  berdentum menggema
di subuh Agustus  terpiuh itu

 “I yayat un santi!”
seru waraney dalam derap serdadu Minahasa
juga suara perempuan di gelombang tak pernah diam
meriaki danau, menggetari rawa, seakan semua nyawa menyeru;
 “Rumungku’ se Maesa!”

peperangan danau menggertak, miris tak memandang siapa
sesekali serangan berani mati pun tumpah 
mengejutkan arwaharwah berduka
 Weintre tersengat. menderita

dengan panas hati dan seluruh kebencian
Weintre mengobar serangan lagi
di malam 5 Agustus 1809
ketika penampangpenampang daun
baru mulai menampung embun

1400 pasukan melawan 4 perahu perang
menenggelamkan Moraya
dalam kobaran api dan anyir darah
pekik suara berdesing
di hembusan nafas terakhir para pemberani
memilih mati demi sesuatu yang diyakini indah
ruyup di embun dini hari

ada yang memasuki hutanhutan
suara tangisan anak, ratapan ibu
mengoyak  air mata ke atas danau,
tak saja oleh musuh, tapi juga khianat
menyayat luka ke rahimrahim perempuan
terjarah dengan seluruh kisah kekayaan alamnya

 foso ya foso
mengangkat sumpah
Ukung Lonto
tak pernah menyerah

laskar menguasai medan rawa penuh jebakanjebakan
hantuhantu danau dari pohon sagu dalam bentuk manusia,
dibungkus  lumut dan tanaman melata
pada malam hari perisai ini dibiarkan mengambang di permukaan air
menyiutkan hati  musuh mau mengoyak  Moraya
kini dan di abad belum tiba

serupa Prediger  yang terluka kepalanya
di atas tanah nenek moyang
dalam sejarahnya yang tak bersalah

di ujung peperangan
Weintre menulis laporannya;  --temanku Balfour
Tondano telah mengalami nasib naasnya di tengah malam tadi
seluruhnya menjadi lautan api
tidak ada sisa lagi
mereka tidak sempat menyingkir 
yang selamat dari amukan api
akan kami dihabisi--

debudebu beterbangan ke atas surat itu
menyuburkan hutanhutan
di semua seluk barisan gunung
mewariskan jejak gerilya
ke ujung langkah
menyeretku ke altar
 “luminga ko’oko”
seekor manguni bertubuh
dalam nafasku
merangkai moraya lebih utuh

2013
*) Moraya: Benteng pasukan Minahasa dalam perang Tondano 1908-1809. Teterusan: Pahlawan atau Panglima Perang  Minahasa.  Waruga: Makam leluhur orang Minahasa. Ukung: Kepala Walak (Kepala Suku) Minahasa. Walak: Suku. Minawanua: Perkampungan di tengah rawa Danau Tondano.  Foso: Upacara adat pengambilan sumpah. Waraney: Pasukan atau pejuang Walak  Minahasa.


TONSARU

bangau kehilangan berdepadepa kabut Tonsoru
dalam sejarahnya menganyam riang persawahan
kini terbang ke liang kepedihan
tulangtulangnya retak, sayapsayapnya tersingkap

di tepi parit, alangalang berkibar menguaskan cemas di matanya
jalan aspal membelah padangpadang  angin
lahanlahan pertanian tergulung gelombang pikiran
terus menyusun sihirsihir
menumbuhi kota dengan sisiksisik ilalang

tanggultanggul air, ritus musim mengaliri petakpetak
meletakkan tubuhnya yang merasa bersalah
ketika danau tumpah bagai air mata
di raut petani terdepak dari sawahnya

lalu ia melepas seonggok kenangan di hitam gerak daunan
melukai sisa gemuruh sengau bangau di alis kabut membebat
dusundusun limbung menerjemahkan bunyi tetabuhan,
derak kayu bakaran di penampang budaya mensyukuri bebiji
tumbuh di tengah alam semesta

bekasbekas pohon tumbang di bebukit memagari
pemandangan kemuning padi, bunga trompet berwarna putih
terkubur nyanyian hutan dalam cuaca tak lagi berdenyut

dan capungcapung dalam kebingungannya
hinggap ke dadaku
membaringkan seluruh masa lalu

2013
*) Tonsaru: sebuah tempat di Tondano,

KALAWIREN
bau danau
di atas barisan kebun terong
mengabadikan minahasa

bukitbukit ini berkisah
betapa megah dan dramatis
ketika Injil tiba di sebuah pagi
seperti lelaki memanteli kekasih

di sepemandangan mata
lembah ladang jagung
daunnya menari
dalam gerak Keke
melintasi pematang
kulitnya putih seperti kenari
mengapung di segelas kopi

di sini Tuhan dan perempuan
adalah bait mazmur desa subur
lelakilelaki berkeringat dengan bajak dan pacul
berabad menanam cinta seluas danau

lihatlah!
asap membumbung di tumpukan jerami
menyanyikan gerisik gerabah
bunyi yang sama diolah doa petani
dalam pesta sawah mengurai koreografi penari

Tuhan mungkin selalu ke sini
menyambangi kekasih
penat dan sendiri

2012
*). Kalawiren: sebuah desa yang tanahnya subur di tepi danau Tondano. Bagian dari wilayah missionary mula-mula di pedalaman Minahasa.
*) Keke: sapaan untuk wanita Minahasa. Wanita Minahasa punya tradisi tari untuk pembukaan ladang atau sawah dan masa panen. Semacam ritual doa dan pemujaan kepada sang Ilahi.

KOTA BUNGA TOMOHON

dua abad lalu
di Queen Elisabeth
Graafland menulis
bunga Krisan dan Cintamani
di kemilau danau Linow

kini di sepemandang lembah hamparan bukit
bunga tumbuh seakan rumah beratap warna
mendenyutkan hidup sejarah anak cucu Tombulu

gadisgadis berkulit putih tersenyum di pematang
seindah Cintamani segari pagi bermatahari
ketika siang pipinya memerah bagai Krisan
melukisi nasib dipenuhi pertarungan tiada henti

alam menghampar di kaki penari kabasaran
mengendapkan belerang kawah  Lokon Mahawu
mendengar Empung menyeru di gelegar gunung
turun dalam debu menyuburkan petak sawa ladang
kebun cengkeh kelapa palawija
disemai bersama harapan nenek moyangnya

roda pedati suara burung Manguni
bou soka legam warna daun tuis
Ficus minahassae, schefflera actinophylla
menisik  dusundusunnya
seakan pola biorama
detakkan nadi  bertabur anugerah

2012

DANAU LINOW

di sini Tuhan tak saja menata keindahan
juga kebun pada  semedi para walak
menyemi di mekaran bunga cengkih
bernas di kemuning gerabah
sepanjang bentangan sawah
sepanjang sejarah nenek moyangnya

seperti sinar mata Keke
menggelorakan kawah gunung
gunung semangat membentang
melontarkan sejuk dan hangat
risau penat lesap
terhisap  nafas tak pernah sesak

andaikan surga dapat dibayangkan
maka kubayangkan petakpetak kebun bunga di sini
takdir nasib tiada tempat bersunyi, berkelindan
berkemilau seperti musim semi

di manamana semua benih tumbuh
melebatkan semak hutan warna
dalam pesta alam
ramai oleh cantik semestaNya

“Tuhan aku berbaring di padang hijauMu
berbasuh di air tenangMu”

2012

MINAMATA MINAHASA

buyat oh buyat
buyat oh buyat
minahasa minamata
minahasa minamata
e royor
e…e… royor!
celana color, pikiran kotor
sana sini masuk kantor
sambil bawabawa kopor
selalu ngomporngopor
inahasa jadi kotor
e royor
e…e…royor!

segalon mercury ditumpahkan
segalon sianida ditumpahkan
brur, tanah minahasa menggigil minamata
minamata merasuk minahasa Brur
ikanikan meloncat sakit
ganggang karang dan kehidupan blingsatan sakit
minahasa sakit brur

tidak!
bengkakbengkak dan koreng itu bukan minamata
bengkakbengkak dan koreng itu penyakit tak dikenal
bantah meterimenteri terkait dengan sigap
lalu senyum tengik di layar televisi

kami tidak akui hasil diaknosa dokter umum
kami tidak akui hasil diaknosa bukan dokter pemerintah
bantah menterimenteri sambil menipu diri
lalu senyum bangsat di layar televisi

segalon mercury ditumpahkan
segalon sianida ditumpahkan
brur, apapun namanya itu racun
tak kasihankah kamu; pada koreng dan bengkakbengkak itu

gubernur dan jajarannya pasang aksi
ngumpul rakyat dari mana entah mengapa
mengatasnamakan buyat
buyat infeksi entah dimana entah mengapa
mereka tak dilibat
lalu; semua media massa diminta publikasikan
buyat sehat
gubernur dan jajarannya
kemudian tersenyum menjijikan di layar televisi

brur, buyat itu infeksi
buyat itu kena minamata
minahasa itu menggigil sakit
lihat; koreng, kudis, bengkakbengkak, gatal, demam
panas tinggi itu akibat sakit minamata
keluh rakyat minahasa

presiden, menteri, gubernur, bupati, camat, lurah dan kurcaci-kurcaci
terkait jadi kasta Pak Oga: Panik!
air mata rakyat jatuh, mereka cepatcepat menghapusnya
senyum rakyat pudar, mereka cepatcepat bersyukur
jerit rakyat melantang, mereka cepatcepat menutup telinga
maka rakyat jangan diam
ganyang semua orang pembuat tanah ini sengsara
bangsa ini terluka

minahasa bukan tempat sampah
emas minahasa kurnia bukan bencana
kalau diwariskan malapetaka
seret mereka ke penjara

“semua pihak harus tenang,” kata para pejabat
“semua pihak harus tahu masalah itu ada hubungannya dengan
infestasi asing,” jelas para pejabat
“kalau investor itu hengkang kita rugi,” tegas para pejabat
pejabatpejabat itu kemudian masuk kamar
membuka tas, mengambil empelop
kemudian mulai menghitung upah dari penghianatan mereka
pada rakyat, pada kemanusiaan, pada Tuhan
sesudahnya mereka tersenyum gila di layar televisi

buyat oh buyat
buyat oh buyat
minahasa minamata
minahasa minamata
e royor
e…e… royor!
selana color, pikiran kotor
sana sini masuk kantor
sambil bawabawa kopor
selalu ngomporngompor
minahasa jadi kotor
e royor
e…e…royor!

2004


RITUS TOAR LUMIMUUT

Opo Wananatase…

laut utara berkisah Emung
berharum bunga sembilan penjuru
menguntum doa Karema 
di angkaangka keramat

senja naik, senja turun
bulan naik, bulan turun

e, royor…

bukit, gunung, lembah, sungai, laut, hutan, rimba, satwa
burung, kupu, anoa, ular, manguni, ikan, kerang.
melontarkan warna ke udara
menjadi kuba pelangi mengindahkan senyap
menyambut kereta langit mengantar seorang dewi
Lumimuut…
kamu datang
datang kamu
datang  sajaksajak Emung
dirapal Karema siang malam
dihadapan Empung Wangko
jadi ibu sejarah Minahasa 

E royor…

bersinar kecantikan elok bumi
detak Emung di jantung waktu
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
tidurlah di batu puncak gunung
muaikan rahim
syairsyair pernikahan purba
menjadi  Toar  yang kau lahir

Opo Wananatase…
Empung Wangko kau punya rahasia Agung
punya Kau kehendak waktu
berkisah tongkat tuis
tumbuhkan nafas Emung yang gaib
ToarLumimuut…
kamu dari satu menuju sembilan
ritus  Minahasa  puisi purba anak cucu

2004

1 komentar: