Kamis, 22 Mei 2014

JUNUS, SEBUAH DRAMA KARYA IVERDIXON TINUNGKI



JUNUS
KARYA : IVERDIXON TINUNGKI

BAGIAN: SATU
DI RUANG MASA. DERAP SEPATU PATUNG-PATUNG. BUNYI YANG GADUH
(SETELAH HENING. HANYA ADA BUNYI METRONOM)

PATUNG 1:
Dulu, moyang pertama melihat awan, menempa terang itu ke dadanya.
Bungabunga bertaburan di atas seluruh langka mereka.
PATUNG 2:
Hari ini moyangmoyang sekadar lagu using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar.
Generasi kini tak lagi menggali kabar, sejarah seuatu yang hambar.

PATUNG 3:
Mereka ingin di depan dipuja bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar, kendati abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan jahat telah menjadi kabur

(KEMBALI HENING. HANYA ADA BUNYI METRONOM)
ALESSA MENDORONG JUNUS DI KURSIH RODA KE TENGAH PANGGUNG

JUNUS:
Pukul berapa sekarang?
ALESSA:
Sudah tengah malam. Pukul dua belas lebih sedikit.
JUNUS:
Jam dimana perjalanan kematian dimulai. Kematian yang baik selalu berada diantara kokok ayam pertama dan kokok ayam kedua. Diantara kokok ayam kedua dan kokok ayam ketiga, itu saat-saat cinta paling sublim.
ALESSA:
Sebagai penyair, bapak mengetahui banyak misteri kehidupan. Bahkan misteri yang tak pernah bapak kuak sendiri bisa bapak jelaskan dengan pasti. Penyair serupa nabi, pewarta misteri ilahi tertinggi. Aku yakin penyair bukan keinginan seseorang, tapi Tuhan yang memilih.
JUNUS:
Penyair tak berpikir ia sebagai penyair. Puisi-puisi itu sendiri datang padanya minta dituliskan. Barangkali seperti wahyu datang pada seorang nabi. Aku tak bercita-cita jadi penyair. Tapi puisi  menyeretku ke jalan penyair.  Sebenarnya cita-citaku jadi pedagang. Aku diringkusnya, dan tak bisa keluar dari takdir yang diaturnya.
ALESSA:
Sulit kupahami. Dan barangkali tak perlu kupahami. Bagiku memahami penyair dan puisinya seperti memahami bunga dan keindahannya. Puisi seperti wujud yang punya tubuh, jiwa, dan roh sendiri, tiba-tiba merasuk menjadi diri kita sendiri. Sering aku bertanya siapa dia puisi itu?
JUNUS:
Penyair meyakini puisi adalah sabda ilahi. Pribadi yang menjelma dalam warna-warni makna alam semesta. Spiritualitas yang dapat dicerna logika, hingga manusia bisa menilai baik dan buruk, indah atau hambar, mulia dan suram. Ia akrab dengan kepedihan dan air mata. Banyak orang seperti aku ditelantakkannya ke tengah kepedihan dan air mata sebagai penafsirnya.
ALESSA:
Ia seperti mesias?
JUNUS:
Hanya orang-orang baik, mereka yang punya cita rasa, yang bisa menjawab pertanyaanmu.
Mana handphoneku Alessa?
ALESSA:
Bapak akan menelpon seseorang selarut ini?
JUNUS:
Tidak. Aku hanya mau mendengar musik

ALESSA MENGAMBIL HANDPHONE DI SEBUAH MEJA BERKACA. IA BERHENTI SEJENAK MENENGOK WAJAHNYA DI CERMIN DAN MENYISIR RAMBUTNYA.

JUNUS: (SETELAH MENATAP TINGKAH ALESSA)
Ia merpati yang tak menemukan sarangnya. Keindahan yang terselip di tengah duri-duri usia. Misteri yang tak henti mencari tempat bergelayut.

ALESSA MENYERAHKAN HANDPHONE KE JUNUS. JUNUS KEMUDIAN MENGHIDUPKAN PROGRAM MUSIK DAN…TERDENGAR ORKESTRASI HANS SIMMER. IA MENGELUARKAN LEMBARAN KERTAS DAN MENYERAHKANNYA KE ALESSA.

JUNUS:
Bacakaan puisi ini dengan penuh perasaan seperti dulu.
ALESSA: (MEMBACAKAN PUISI ITU)
Ia tak menulis sajak itu dengan kata
tak melukisnya dengan cahaya
tapi dimintanya pada Tuhan di doadoa malam
hingga kubaca dan tak berdaya pada cintanya

di sepi dukaku dibangunnya rumah buat risaurisauku menemukan pintu
seakan buku bertuliskan seribu kata damai sejuta kata cinta
kitab yang awal menulis sayang, di tak terhingga dieratkan dekapan
hingga surga pun punya air mata buat dua hati menyatu dalam sajaknya

o…Allah maha sajak
di mata maha tabah itu tak ada indah kutandingkan
kecuali melangkah terus ke panggung resital agung kau konserkan
di gelak tawa, air mata Kau tamankan di nafasnya

JUNUS:
ia terindah dari seribu indah yang Kau mampirkan ke hatiku
gunung yang meraihku ke puncak buat lembahlembah menjadi terang di mataku
keihklasan menitip sayang biar aku bisa terbang laksana rajawali
ke tempat tersuci dari sebuah kota yang Kau bangun di kedalaman hatinya
ALESSA:
Sebentar lagi malam bau deklonya
bungabunga kertas tak benama
hutan hitam mengebumikan warna
setangkup kisah lelaki mati muda

kekasihkekasihnya akan mulai mengingatnya
dalam potongan bayang tak lagi teraba
lalu suram seperti cahaya lentera menjauh
ke dasar kenangan

yang berharga adalah manusia menyejarah
kerena langit pun tak bisa melabur warna berbeda
ke atas ingataningatan tentang kebaikanmu di suatu ketika
hingga pada suatu ketika, senja lain menjadi indah

inilah senja itu
perjalanan pulang yang gagah dengan kisah takjub
derap kaki sahabat mengusungmu dengan nyanyian
seperti konfigurasi di panggung kau mainkan
menggedor pengzaliman atas kemanusiaan
hingga teriakan paraumu tak dapat dilupakan
tak mampu dipadamkan malam juga zaman
JUNUS:
sejarah tetaplah sejarah
dunia tak bisa mengubahnya
kerena surgalah menulis kisahnya…
(MENGHENTIKAN PUISI ITU) Sudah…sudah. Cukup! Berhentilah berbalas puisi seperti ini. Sudah 30 tahun kita berdua bermain-main di atas puisi. Aku tak mau mati dalam intuisi-intuisi suram itu.  (MEMATIKAN SUARA MUSIK).
ALESSA:
Sejak mengenal puisi, aku terus menyukainya. Puisi adalah kekasih yang paling mengerti. Kelembutan dan amarahnya menjangkau jauh kedalam bilik-bilik kata hati yang tersembunyi. Ia seperti amarah penuh emosi yang menampar dengan tarian. Seperti cumbuan terlembut di pucuk-pucuk hati terhening. Kadang kita dibawa sebagai prajurit yang berperang tanpa ketakutan akan mati. Tapi sesekali dipilinnya dalam kecemasan social teramat gelap hingga tiba-tiba kita menemukan sebintik cahaya putih dalam kecemasan itu sendiri. khotbah-khotbahnya adalah jalan di tengah gurun paling gurun. Tapi ia bisa serupa pisau yang tersandar di urat leherku.
JUNUS:
Kau sudah seperti puisi itu sendiri…
ALESSA:
Pekan ini bapak telah menulis enam puisi. Seperti ada energy berlebih dalam diri bapak hingga bapak terus menulis seperti dalam keadaan kesetanan. Bahkan tergesah-gesah ingin menyelesaikan semuanya dengan cepat. Dan kini bapak ingin menulis puisi ketujuh dengan susah payak hingga bapak terlihat sakit. Seakan puisi ketujuh adalah puisi terakhir dalam hidup bapak
JUNUS:
Menulis sebuah puisi seperti perempuan hamil melahirkan seorang bayi. Penyair akan sangat menderita untuk itu. Tapi sudalah, biarkan aku menjalaninya. Apa kesan yang kau tangkap dalam puisi-puisiku belakangan ini Alessa?
ALESSA:
Warna-warna kematian dan pujaan kepada seseorang, bahkan bapak banyak berdoa untuk kebaikannya. Tapi ada api kecemasan di sana.

 DERAP SEPATU PATUNG-PATUNG. DAN BUNYI YANG GADUH. (SETELAH HENING)

JUNUS:
Begini selalu. Selalu saja ada derap sepatu, dan bunyi langkah segerombolan orang yang mendekat mau menangkapku.
ALESSA:
Bunyi, dan suara-suara itu hanya dalam pikiran bapak. Dalam imajinasi bapak.  Kamar kerja ini selalu sunyi. Hanya Ada suara metronome yang bapak setel itu. Suara-suara ombak di pantai sana  terlalu sayup untuk didengar telinga setua bapak. Bapak bisa melihat daun ketapang yang jatuh di halaman lewat jendela itu. tapi tak ada desisannya yang sampai ke sini. Kamar kerja bapak ini luas dan heningnya begitu indah. Tak ada yang menakutkan. Menurutku bunyi metronome itu yang menakutkan bapak.
JUNUS:
Metronon ya metronome. Aku menyetelnya agar selalu menyadari birama hidup. Alessa…kau tahu alam semesta ini adalah sebuah piano raksasa yang terus berbunyi. Metronom itu membantuku menulis puisi sebagai lyric dalam sebuah partitur musik alam semesta itu.
ALESSA:
Berdialog dengan penyair sama seperti berbagi cerita dengan langit, laut, hutan rimba dan bunga-bunga yang diam. Jauhnya sama dengan dekat itu sendiri. Tidak terindera tapi ada. Tidak teraba tapi nyata. Tidak terdekap, tapi hangatnya memeluk kita. Dekat dengan bapak, aku merasa seperti perempuan-perempuan yang duduk bersama Nabi Daud saat ia memainkan kecapi dan mengidungkan mazmur-mazmurnya.
JUNUS:
Alessa, berapa umurmu kini?
ALESSA:
Dalam tiga puluh tahun aku bekerja kepada bapak. Sudah beribu-ribu kali bapak menanyakan usiaku. Apakah usiaku begitu penting. Bapak bilang usia hanya bilangan dalam hidup. Dan hidup sesungguh berarti adalah ketika kita bisa punya satu menit melakukan kebaikan. Ada apa sesungguhnya?
JUNUS: (MEMAKSA)
Berapa umurmu kini?
ALESSA:
Empat puluh sembilan tahun tiga bulan sebelas hari.
JUNUS:
Sudah sulit bagimu untuk melahirkan seorang bayi.
ALESSA:
Bapak selalu mengatakan itu padaku. Sesulit bapak munulis puisi yang ketujuh dipekan ini  kukira.
JUNUS:
Mengapa engkau tak pernah bertanya padaku, kenapa aku tidak menikah lagi?
ALESSA:
Bukankah seorang pembantu tidak pantas menanyakan hal itu kepada majikannya.
JUNUS:
Siapa yang bilang itu. bagiku majikan dan pembantu setara. Tanpa pembantu seseorang tak pernah akan jadi majikan. Tanpa majikan seseorang tak pernah akan jadi pembantu. Meski Tuhan tetap ada kendati tanpa umat. Tapi Yesus datang, masuk dalam kesetaraan dengan manusia hingga logika eksistensial di atas bisa mendetak seperti metronome yang mengatur birama itu. 
ALESSA:
Baiklah, kalau Bapak memaksa. Lagi pula sejak lama aku menyimpan pertanyaan itu dalam hatiku: Kenapa bapak tidak menikah lagi?
JUNUS:
Tentu aku akan menjawab; setelah kepergian istriku, aku tak pernah jatuh cinta lagi! Dan engkau barangkali akan bertanya apa alasan istriku meninggalkanku. Tapi aku tak akan menjawab itu. Lelaki sejati tak butuh pembenaran.
ALESSA:
Lelaki terpandang. Penyair yang cerdas. Orang yang punya peninggalan harta warisan yang lumayan. Tampan, dan suka berkaian yang satun, bagaimana bisa bapak tak jatuh cinta lagi.
JUNUS:
Cinta sama saja dengan penyakit obsesif kompulsif. Cinta mengaburkan batasan antara kesehatan mental dan psikopatologi. Cinta melepaskan zat-zat kimia yang memicu hiperaktif, kesembronoan dan kegembiraan yang berlebih. Cinta itu sangat berbahaya, karena seseorang bisa menempuh risiko-risiko yang tidak lazim hanya untuk membuktikan cinta. Bahkan Raja Eward III mengesampingkan seluruh Negara untuk berpaling pada wanita yang dicintainya.
Cinta hanya tamasya ke masa kanak-kanak, suatu dorongan untuk kembali ke suatu situasi intim ketika kita menyusu pada ibu dalam perasaan damai.
Cinta juga umurnya tidak panjang. Seorang lelaki yang mengatakan “engkau cantik sekali hari ini” kepada kekasihnya, setelah 365 hari kemudian ia akan merasa kecantikan kekasihnya datar-datar saja.  Cinta tak lebih dari nyala caudate nucleus  dalam pangkalan saraf yang jejak kimiawinya sama dengan efek obat gangguan jiwa. Lihatlah cinta paling membara yang mengantar suatu pasangan dalam perkawinan sekali pun, usianya hanya empat tahun. Ya…hanya empat tahun. Lalu, pudar, dan merosot sekadar hubungan persahabatan, atau bahkan kemitraan ekonomi dua orang yang terikat rekening bank. Penghianatan istriku padaku dapat diterangkan dengan seksama lewat teori biokimia cinta ini. Untuk apa aku jatuh cinta lagi bila cinta sesungguhnya tak lebih dari sakit jiwa.
ALESSA:
Sejauh berkelit, tapi tetap saja teresepsi seperti sebuah pembenaran. Tapi sudahlah. Menurutku tak ada seluk beluk cinta yang tak bapak pahami. Barangkali, saat bapak jatuh cinta lagi, bapak akan lebih paham makna-makna hakikinya.
JUNUS:
sejak engkau datang bekerja di rumah ini, keinginan jatuh cinta itu kian dalam terkubur.
Apakah engkau pernah jatuh cinta Alessa?
ALESSA:
Pertanyaan yang sama telah bapak lontarkan beratus-ratus kali. Dan aku selalu menjawab:
Iya. Sekali! Dan selamanya!
JUNUS:
Mengapa engkau tak mengajak lelaki itu menikah!
ALESSA:
Bagiku cinta bagaikan dua orang yang berjalan di bawah satu payung tanpa mencakap sepatah kata pun, tapi mereka saling berbagi ruang agar tak terpercik hujan. Itu sudah cukup. Tak penting lagi menikah.
JUNUS:
Kemarikan tanganmu! (ALESSA MENJULURKAN TANGANNYA KE JUNUS)
JUNUS:
Harusnya tangan indah ini ada yang membelainya.
Untuk ini aku harus membayangkan Yesus membelai kepala anak-anak kecil yang dicintainya.
Duduklah di sampingku! (ALESSA MENGAMBIL KURSIH DAN DUDUK DI SAMPING JUNUS)
JUNUS:
Kau selalu mengurus buku-buku diperpustakaanku. Apakah kau pernah membaca cerita karya Yukio Mishima tentang Sang Pendeta dan Kekasihnya?
ALESSA:
Tiga puluh tahun lalu ketika aku datang bekerja pada bapak sebagai gadis desa yang miskin, yang kupunya hanya tangan. Tanganlah yang membuat aku bertahan hidup. Aku tidak begitu perlu  membaca, apalagi bacaan yang berat dan berliku-liku. Aku hanya tamat sekolah dasar. Di desa kami orang hanya butuh tangan, tak butuh buku.
JUNUS:
Kau ternyata tak pernah mendengar kata klise itu: “buku adalah jendela dunia”. Tanpa membaca maka engkau tak pernah menengok dunia.
ALESSA:
Benarkah? Apa yang dibaca pemimpin-pemimpin negeri kita yang membiarkan desa-desa, pulau-pulau,  diporak-poranda oleh industry tambang-tambang itu. orang yang seperti kami  hanya punya tangan untuk bertahan hidup, selalu tergusur oleh kaum pembaca buku.
Bukankah bapak juga pernah dengan cemerlang mengkritisinya? Aku menghafal puisi bapak yang kritis itu:
di hutanhutan tambang
pohonpohon jati yang jangkung bimbang dan bingung
mencari langit yang mau melipur ngilu burungburung

satwasatwa murung antara mau hidup atau mau mati
di senja empedu yang kian mendidih
seperti senja adam mendapati eden dalam kemuramannya

hutan itu tidak berarti ia bukan manusia
kata pepohonan dalam cemasnya yang menyemak
onak menusuk tapaknya yang membusuk

maka aku menulis manusia
ketika hutan dikosongkan dari segala tafsir
capungcapung tak berarti, burungburung yang tak mengerti
mematuki hariharinya sebentar selesai

semua jalan diam membisu tentang mereka
warga tak punya apaapa untuk bertahan hidup
kecuali tangan  dan helaihelai kehinaan
gugur dalam daundaun yang mengerut

warna letihnya begitu mencolok
mencolok oleh lupa
tunastunas muda lapuk tak mencapai senja

dan jalanjalan lincin mengkilap oleh marka
membawa semua arah mengkelok
makna hidup yang seok

bagaimana hidup di atas tanah yang humushumusnya digerus
manusia tak lebih tonggak kayu yang tirus

bila mau mati
bagaimana merayakan hidup terlanjur dipahami
sebagai kurnia bukan kuldi

di hutan ini kalian tak menyisakan pilihan
kecuali pedang dan ruang masa mati atau menang

mereka yang kekuasaannya tak mungkin dicabut
kecuali dengan bayonet dan khianat itu
akan lebih berbahaya dibanding bandang
jika tiba waktunya meluap

JUNUS: (BERTEPUK TANGAN)
Aku suka…aku suka kau menghafal itu. Kau tahu, istriku tak pernah bisa menghafal sebait pun puisiku. Empat tahun pernikahan, dan ia memilih pergi dariku tanpa menghafal sepotong pun puisiku. Aku amat sedih memandang puisiku.
Tapi…Alessa, carilah waktu dan baca kisah itu. dalam kisah Mishima, di sana kau akan mengerti dimana cinta bisa mengubah keyakinan sekuat apa pun. Dan cintalah yang memberi pondasi keyakinan yang lebih utuh dalam hidup. Mainkan lagu yang sudah kuajarkan padamu.

ALESSA PERGI KE PIANO DAN MEMAINKAN SEBUAH LAGU. TAK BERAPA LAMA….

JUNUS: (PANIK)
Berhenti! Kemari…kemari selimuti  aku!
ALESSA: (MENDEKAP JUNUS SEPERTI ANAK KECIL)
Bapak kembali mendengar derap sepatu dan langkah-langkah itu?
JUNUS:
Iya…kian dekat. Mereka seperti ada di dalam kamar ini.
ALESSA:
Barangkali bapak perlu istirahat di kamar,  akan kuantar!
JUNUS:
Aku masih ingin di sini.
ALESSA:
Akan kuambilkan air untuk bapak!
JUNUS:
Buatkan teh saja. Gulanya sedikit. (ALESSA EXIT)

JUNUS:
hari itu entah waktu keberapa, tapi terdengar sayup ada suara masa lalu membawa bau laut ke jalanjalan masa kini. kabutkabut dingin yang berbahagia menyiangi bungabunga piring memecah. di jalanjalan, mereka yang limbung tak menemukan apaapa…

DERAP SEPATU PARA PATUNG. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH HENING)

PATUNG 1:
dulu, moyang pertama melihat awan, menempa terang itu ke dadanya. bungabunga bertaburan di atas seluruh langka mereka
PATUNG 2:
hari ini moyangmoyang sekadar lagu yang using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar
generasi kini tak lagi menggali kabar. sejarah seuatu yang hambar
PATUNG 3:
tapi mereka ingin di depan dipuja bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar. kendati abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan jahat telah menjadi kabur

KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADUH. (SETELAH HENING)
MASUK ALESSA MEMBAWA TEKO MENUMAN DAN MELETAKKAN DI SUBUAH MEJA.

ALESSA:
Bapak harus minum, agar tubuh bapak menjadi hangat. Belakangan tubuh bapak dingin dan kaku.
(MENUANG TEH KE GELAS DAN MENYODORKANNYA KE JUNUS) (JUNUS MINUM TAPI KEMUDIAN MUNTAH) (ALESSA  MEMBERSIKAN BEKAS MUNTAH DENGAN LAP)

ALESSA:
Bapak terlalu banyak berpikir. Rilekslah sedikit biar bapak tenang. Berhentilah bapak memikirkan puisi ketujuh itu. Carilah ide yang lebih ringan dan cair. Bapak selalu terjebak diantara masa lalu dan masa kini. Padahal bapak tak mungkin menghadirkan masa lalu itu secara persis kedalam hari ini. Dan di usia setua ini bapak masih juga memikirkan cinta. Itu membuat kondisi fisik bapak kian runyam.
Aku akan menyiapkan tempat tidur bapak sebentar. Bapak mesti istirahat. (ALESSA EXIT)

KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH HENING)

PATUNG 1:
dulu, moyang pertama melihat awan, menempa terang itu ke dadanya
bungabunga bertaburan di atas seluruh langka mereka.
PATUNG 2:
hari ini moyangmoyang sekadar lagu yang using, lagu yang dinyanyikan dengan hambar
generasi kini tak lagi menggali kabar. sejarah seuatu yang hambar.
PATUNG 3:
tapi mereka ingin di depan dipuja bagai pahlawan, berbekal kisah taklukan ketika menyinggahi banyak Bandar, kendati abad yang gugup ini sesungguhnya menuntut, karena batas antara baik dan jahat telah menjadi kabur.
JUNUS: (MARAH)
aku  yang terutus, tak ingin menganyam daun ara  buat gaun masa kini yang begitu sengsara.
kitabkitab yang ditulis sejak moyang adam cukup memberi peta di mana letak benuabenua merdeka, tapi, siapa yang mau membaca.

SEORANG TUA MELINTAS DI DEPANNYA TAPI KEMUDIAN BERHENTI TAK JAUH DARINYA

JUNUS:
Dia, seorang yang menyimpan duka cita. buruhburuh yang sejak subuh kelelahan diluar sana
adakah mereka tua dengan duka yang sama denganya
SOSOK TUA:
Ia selalu tak mau bertanya, karena masa kini pun tak menoleh kepadanya. Seperti cintanya kepada alessa yang terus dipendamnya. Ia berfikir aku yang salah atas semua cita-citanya,
padahal ketika aku melemparkan biji-biji bunga ke hutan-hutan, setelah tumbuh, ia dengan enak menikmati keindahannya. Ia pikir keindahan hanya untuknya. Dan orang lain cukup dengan kemuraman saja.
JUNUS:
Generasi terakhir hidup diabad  ini, lebih tabah memelihara kekejaman dan perang bersanding mesra kebaikan dan kemurahan. Apakah kau tau itu? Di pasarpasar jutaan orang mengeluh, mestikah dalam keyakinan semacam itu sang pahlawan datang dalam bau peluru. Kekacauan tak terhindarkan
SOSOK TUA:
Junus…Junus. Aku anastasia!
JUNUS:
Pohon jarak itu telah hilang dari tanah nenek moyang!
SOSOK TUA:
Aku yang menumbuhkannya. Tapi kau mengeluhkan kehilanganya. apa kau inginkan dariku?
JUNUS:
Darah. rintih, sebuah kemenangan!

KEMBALI DERAP SEPATU. DAN BUNYI YANG GADU. (SETELAH HENING)
SOSOK TUA DATANG MENDEKAP JUNUS

SOSOK TUA:
Warnawarna mentubi di hatimu , mengayam haru biru ke seluruh penjuru kota imajinasimu
tubuhmu tercabik-cabik oleh imaji indah dan imaji liar. Kau tersekap tak bisa bergerak. Tak seperti dekapan bunda mencintaimu dalam puisi-puisimu yang dulu. Kini semata belitan keinginan mencengkram kesadaranmu. bibirmu kaku, pucat. mulutnya gagu. Kecuali hatimu menggumam penyesalan. selalu begitu. Kau Junus!
JUNUS:
Aku tak punya istri jelas, tak punya anak jelas. Kata-kata meliar di bilik renungku. istri, anak,  apakah sesuatu yang lumrah dibiografi lelaki. bukankah itu tak lebih sebuah narasi. bukan esensi! anastasia aku menggugatmu! Mengapa aku jatuh cinta pada Alessa pembantuku. Mengapa aku takut mengatakan cintaku itu kepadanya. 30 tahun aku terpenjara dalam perasaan cintaku. Lalu kau tak kasihan padaku. Kau justru memanggilku datang ke kota ini dengan tugas seperti dulu. Lelaki yang menggeliat seperti ulat yang melalap daun-daun jarak

ASAP MENGEPUL. ADA BUNYI DESIS KIAN BISING. DERAP SEPATU KIAN DEKAT MENGURUNGNYA. ORANG-ORANG ITU MENANGKAPNYA DAN MENGIKATNYA DI ATAS MEJA.

JUNUS:
aku antagonis yang kau disonansi!
SOSOK TUA:
Lihat ! junus membelalak. lipit mata mongolschopilnya memandang sekeliling. begitu buram. Suram. seperti awal. seperti akhir batin yang berpikir

TIBA-TIBA JUNUS MELIHAT RUPA LELAKI DUDUK DI PUNCAK BUKIT.

SOSOK TUA:
Ia memandang lelaki berkulit merah. Tamburnya berbentuk pinggul wanita
JUNUS:
judas! Itu dia. Judas!
SOSOK TUA:
sang penjual kebaikan. Lelaki yang ususnya burai di tanah darah. Tapi…junus girang. Judas melemparkan senyum manisnya. Senyum manis begitu, tengik dan berbahaya. Panggul dia!
(GEMPAR. ORANG-ORANG MEMANGGUL JUNUS)
SOSOK TUA:
Jantungnya mendentam serupa keriuhan pesta angin menderu membawa bau keringat pucat
JUNUS:
Kemana aku akan kalian bawa!
SOSOK TUA:
orangorang tak mendengar. Terus bergerak. Segerak api di liang magma.

JUDAS MENGGENDAM TAMBUR SAMBIL MELANTUNKAN SYIAR-SYAIR

SOSOK TUA:
Syairsyair tak halus lagi. Katakata menjadi besi. Katakata menjadi peluru. Katakata begitu berbahaya kini

BERKALI-KALI JUDAS MENGULANG SYAIR-SYAIR SAMBIL MENARI
HINGGA SEMUA MENGKATARSIS, MUAL, MUNTAH, HISTERIS, TERJEREMBAB, KOMA.
KECUALI JUNUS, JUDAS DAN SOSOK TUA

SOSOK TUA:
Mereka kakak beradik dari ayah Sangir, ibu Minahasa. Tapi mereka tak kenal betul orang tuanya, seperti anakanak masa kini merasa orang tuanya bioskop, facebook, game, mall
Junus dan judas telah ditinggal sejak bayi, di hanyutkan di laut di atas perahu londe, sejak pesisir mulai dipagar dan laut tak lagi cermin. itulah upacara pelepasan maut di abad ini. Kekacauan historiografi dalam perbedaan tafsir atas kitabkitab suci oleh para akademisi ahli filologi.

(MASUK SEORANG WARTAWAN LANGSUNG MEMBUAT FOTO-FOTO JUNUS DAN JUDAS)

WARTAWAN:
Aku dari Koran warta bumi. Dapatkah kalian menceritakan asal usul kalian?
JUDAS:
Saat kami dihanyutkan, angin barat bertiup keras di liang fasifik. Kami dilontar ke manamana
junus terlontar ke Perjanjian Lama, aku terperosok ke Perjanjian Baru! Dan kami bertemu di sebuah bait puisi ketujuh ini.
WARTAWAN:
Wah aku tak paham! (Exit)
SOSOK TUA:
Lihatlah. sang wartawan mengernyit. ia tak paham, tak mengerti. Bagaimana pun seorang wartawan bukan atheis,  tapi ia lebih atheis dari seorang atheis pada masa kini.
wartawan semacan sekte baru, bangkit sejak masa revolusi industry, kini penyanjung manisfeto mega machine. Wartawan dengan pandangan apokrifnya sewenangwenang mempahlawankan penjahat.  mengubah damai jadi sebuah perang, mengkomoditikan perang sebagai lahan mencari uang. Dengan semangat menggebugebu mendatangi lokasi bencana sekadar mencari tahu jumlah korban jiwa, kerugian materi. Apakah mereka punya air mata untuk empati?
Wartawan menjadi sesuatu yang sulit ditaklukan, kecuali oleh nuraninya sendiri.
Sensasi militer meledakkan bom itu lebih menarik. wartawan kini serupa sutradara. mengatur kapan ada air mata. “Qui facit per alium facit per se”. 

JUNUS DAN JUDAS TERTAWA
SOSOK TUA:
Puisi ketujuh telah dimulai. (LAMPU PADAM)....bersambung

(Catatan: BILA ANDA INGIN MENDAPATKAN BAGIAN NASKAH SELANJUTNYA...HUBUNGI SAYA: 085343976992)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar