Karya : iverdixon tinungki
(Dilarang dipentaskan tanpa seizin pengarang)
Pelaku :
Jusuf
Bunda Maria
Jesus
Lelaki Misterius
Maria Zaitun
Chorus
I
LELAKI MISTERIUS DI ATAS PANGGUNG KISAHNYA CHORUS PATUNG MENYERET KERETA LILIN DALAM KEPERIHAN
Bunda Maria di Awan, di Sekat Bulan
Yusuf Terantai Perasaannya
Lelaki Misterius :
(memikul dua galon air dari tuwung surga)
Empat belas keturunan dari Abraham sampai Daud.
Empat belas keturunan dari Daud sampai Kristus (7 Kali)
Mari siapkan jalan baginya hingga bersua di minggu palma!
Yusuf :
(Menghentak-hentak rantai yang membelengguhnya)
Aku terbelengguh. Perasaanku sunyi tersayat.
Darahnya kegetiran mengalir dalam igau hampa
Aku mencari dia pada setiap serpihan kabut
Tapi rantai-rantai hatiku ini memasungku
Cintaku digranat menjadi kepingan-kepingan malam tanpa cahya!
Kini berserakan di sepi.
Patung 1 :
(sambil Menyalakan 14 lilin)
Rasul Matius berkata: Balada cinta Tuhan sebuah misteri
Patung 2 :
(Sambil Menyalakan 14 lilin)
Duka, serpihan rindu tertudung di atas orang-orang terpilih
Tapi isyarat Nabiah Mikha mesti dipenuhi.
Ini memang sebuah sejarah pedih.
Lelaki Misterius :
Jusuf anak Jacub cintakah kau pada Maria Tunanganmu
Cintakah kau pada sang cintamu
Jusuf :
(Terbelenggu rantai yang kuat)
Rantai-rantai ini!
Rantai-rantai memasung hasratku
Cinta dan kebencian bergumul dan kusut dalam jiwaku
Hatiku, kertas penuh catatan hitam putih
Diterbangkan angin ke langit kosong
Aku bimbang!
Aku bimbang!
Bimbang meledak-ledak, bimbang hatiku!
(tertunduk lesuh)
Lelaki Misterius :
(Bertepuk tangan)
Jusuf tertunduk pedih!
Ia manusia. Manusia memang punya keluh sendiri
Koor Patung :
Rasul Matius kembali berkisah:
Ketika Jusuf tau Maria telah hamil bukan oleh dirinya, ia ingin menceraikan Maria,
karena kandungannya bukan buah cintanya
Maria Zaitun Menyeret Kereta Lelaki Terluka Ke Suatu Sudut
Maria Zaitun :
Lelaki selalu angkuh. Angkuh dan sombong. Aku Maria Zaitun pelacur itu.
Lelaki-lelaki mendekatiku dan membuangku
Mereka tak pernah membaca cinta di mataku
Koor Patung :
siapa yang ingin kawin dengan wanita
yang tak mengandungkan anaknya
Maria Zaitun :
Cinta sebuah misteri
Adanya di balik pedih
Untuk bertemu cinta, seseorang harus menjuang meraihnya di tengah pedih itu!
Maria Zaitun exit dengan kesedihannya
II
BULAN DI TIRAI JENDELA
KEPEDIHAN JUSUF DAN BUNDA MARIA
KIDUNG BUNDA MARIA :
Jusuf :
Maria
dalam sajakku engkau bernyanyi
syairnya membawa pergi sepotong hati
berlayar dengan cinta hinga ke negeri tersembunyi
aku memandang dari bawah panggung tanpa kedip
sebagai pengagum aku mengidolai dikau
aku selalu mencari sebentuk senandung dalam desing keributan
karena aku ingin tetap menuliskan getar terindah suaramu
dalam kata-kata pendek aku berusaha klenengkan genta
mengiringi perjalanan hatiku kepadamu
jarakmu hanya beberapa hasta dari doaku
tapi aku selalu tak punya cukup langka menggapai dikau
berat oleh kepercumaan sia-sia dari silam tak kukenal
Bunda Maria :
telah kurekatkan tanah retak itu
buat jalanan kata sampai pada cinta, pesan hujan
kepada penyair yang gelisah merangkai rindunya
di sejumlah huruf dalam imajinya
telah kupendarkan cahaya di lorong itu
buat syair bertemu salam hangatnya pada cinta, pesan bulan
kepada penyair yang teriris nestapa
berterbangan di atas kuburan kenangannya
telah kuwangikan segala impian itu
buat kekalkan baris-baris sajak asmara, pesan bunga
kepada penyair yang tercekat sepi
dipermainkan beku malam teramat suram
terima kasih atas cinta
meski adanya senantiasa di balik air mata, balas penyair
kepada hujan, bulan dan bunga yang gelisah teriris sepi
dalam masing-masing keindahannya tanpa kata
Jusuf :
usai ceritamu, aku berdoa ke langit lapis tujuh
agar selalu bertemu engkau
tapi aku kehilangan dikau
juga jejak menuju gang dulu bernama rindu
meski ke situ aku setia mengantar dan mengenangmu
kini tak lagi kutemukan bayang senyummu
selain kepedihan daun-daun luruh
resah batu-batu hitam dipeluk sunyi
tanpa angin yang dulu mengibas rambutmu
ke mana pergi dikau cintaku
Bunda Maria :
kabar itu dinanti pada putaran musim serba tak pasti
rumput sawah menguning dalam becek mendidih
menguap ke sumsum dusun dimana hati kita berdiri
kita di sana memandang tuas awan berputar mendekap gerimis
tapi tak ada keraguan menanti hujan turun di jalanan keras itu
meski debu beterbangan mengaburkan jejak semi di kilap embun
kita berharap memandang derai pohon tersenyum di setiap tetes air
di mana langit mengabulkan temu mereka yang merindu
hanya kita perlu menanti dengan sedikit tabah
putaran lakon waktu berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar