gumam penyair itu dalam puisinya
ketika cintanya terus berjalan di atas lariklarik penuh cahaya
dihela tujuh kereta kuda, melintasi tujuh langit, menuju pintu surga
telah ditinggalkannya kota utara berhujan
waktu penuh kabut, angin kencang yang mengacungkan pedang
ia pergi menuju bab terakhir dari sajak yang akan ditulisnya
tentang peri cahaya yang membawa pergi semua cintanya
“peri cahayaku sayang
betapa sempurna malam di kelip kunangkunang,” kata penyair itu
“tak ada kesedihan, airmata pun tak ada
Kehilangan ini tak sebanding keindahan yang pernah bersinggah,” ujarnya lagi.
Penyair itu mendongak ke langit, ke kumpulan awan menyerupai kekasihnya
“Kau berada di tengah kemegahan yang selalu kutatap.” ucapnya, sambil
Ia
Menggerakan tanganya ke atas
Menyentuh
Wajah
Kekasihnya
Yang berpendar menjadi butiranbutiran cahaya
Penyair itu menunduk, mengatupkan matanya
Nafasnya berat
Tangannya gemetar
o… gumamnya, dan semua sendinya terasa terlepas
kecuali hatinya yang kokoh bagai baja
ia terhuyung, dan rebah di atas tanah yang basah
tapi bukan oleh airmata
tapi keringatnya yang berabadabad menjaga cintanya
yang kini dibawa peri cahayanya ke surga
hatinya tetap kuat, tak ada penyesalan, sekecil pun tak ada
meski ia rebah di tengah kesunyian, rebah yang indah
di tengah kelip kunangkunang yang menuntun matanya
ke arah langit, mengagumi cahaya peri cintanya
“kau telah di sana periku sayang
Di balik tujuh lapisan langit, tak bisa kuraih meski dengan mati,” bisiknya
“Tapi aku bahagia dan selalu baik
Mengenang canda, dan kelakarkelakar aneh kita,” begitu katanya
Seluruh tubuhnya bergetar
Kecuali hatinya tetap kuat seperti baja
o…gumamnya
“Kau selalu bernama cinta,” tulisnya dibait terakhir sajaknya
Lalu ia meletakan tangannya di atas tanah yang basah
Tapi bukan oleh airmatanya
Tapi oleh keringatnya yang abadabad menjaga cintanya
o…raungnya…di ujung nafas terakhirnya
Manado, 10 Desember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar